Sejati Diri Sunan Kalijaga (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 5)

Alkisah Rakyat ~ Telah lima ratus tahun Sunan Kalijaga meninggalkan kita semua. Ratusan tahun itu pula sisa-sisa ilmu pengetahuan yang ditinggalkan sang wali kepada bangsa Indonesia telah mengakar secara kuat dalam batin banyak orang. Bahkan sejak lama, makamnya yang terletak di desa Kadilangu-Demak tidak pernah surut di datangi peziarah yang datang dari berbagai daerah. Menjelang hari-hari besar Islam seakan makam dan Mesjid Agung Demak yang ditinggalkan para wali membuat kesaksian tersendiri. Betapa nama besar sang wali mampu membawa corak serta watak terpuji bagi kehidupan umat Islam serta bangsa Indonesia secara umum. Sunan Kalijaga banyak meninggalkan warisan ilmu serta pengetahuan yang bermanfaat dan punya kandungan nilai umum yang luwes bukan saja bagi umat Islam, tetapi juga umat di luar Islam. Di dalam perjuangan agama, tokoh ini menjadi teladan utama bagi kaum muslim serta mukmin Indonesia yang secara bersama menganut paham Pancasila. Karya besarnya yang nyata dalam bentuk bangunan mesjid agung Demak serta jasa tidak sedikit bagi kemajuan para umat yang ditopang oleh sejumlah anggota wali lain merupakan peninggalan sejarah bertinta emas.


Baca Cerita Sebelumnya:
Masyarakat di Jawa secara khusus seperti halnya para ulama serta kaum kerabat kerajaan Jawa, sejak lama menganggap makam Sunan Kalijaga di Kadilangu dan Mesjid Agung Demak sebagai "Dua pusaka utama tanah Jawa." Konon, sejak Kesultanan Pajang dan Mataram yang bernapaskan Islam muncul, raja-raja di Jawa yang menjadi keturunan Majapahit percaya serta mengagungkan pula dua pusaka utama yang telah mereka tinggalkan. Sangat masuk akal jika banyak keturunan bangsawan Jawa serta keturunan Mataram mulai dari Mataram I (Ki Ageng Sela), Mataram II (Sultan Agung Hanyokrokusump) sampai Mataram III, yang menurunkan raja-raja Yogya dan Solo itu begitu percaya akan keberadaan dua pusaka tanah Jawa itu sampai  sekarang karena Sunan Kalijaga merupakan leluhur mereka. Mereka juga tidak ragu bahwa sang sinuhin Kalijaga telah sengaja meninggalkan pusaka tanah Jawa untuk melanjutkan perjuangannya lewat generasi penerus Mataram tanpa harus salah langkah atau membelokkan arah yang telah dicapai dahulu. Jika dikaji dan diteliti ulang, kepercayaan terhadap kemampuan dua pusaka tanah Jawa itu banyak benarnya karena dapat diterima oleh akal sehat.

Melalui bangunan Mesjid Agung Demak yang telah menjadi salah satu peninggalan adiluhung, ini sang wali secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa agama Islam merupakan agama yang benar, sempurna dan diridhoi oleh Allah Swt. Pesan itu seakan dituturkan ke dalam penuangan tiga cungkup atau atap mesjid yang memiliki isyarat sebagai perintah yang harus dikerjakan (syariat), kemudian mencari ridha-Nya (tarikat), lalu atap ketiga berupa pencarian kebenaran (hakikat) serta ditambah satu lagi, yaitu berupa wujud mustika mesjidnya. Tiga cungkup Mesjid Demak memberi simbol bahwa jika ketiga hal itu telah dikerjakan manusia yang mengaku beragama Islam, Tuhan akan memberikan kasih dan sayang-Nya (Ma'rifat) yang memiliki kandungan nilai tidak terhingga. Ajaran ini semua ada di dalam Islam. Melalui makamnya yang tidak boleh dikeramatkan, tetapi hanya memberikan tanda bahwa disitulah terakhir kali sang wali berbaring dan dipanggil kembali oleh Allah Swt, seakan ada isyarat penting yang akan disampaikan Sunan Kalijaga kepada seluruh bangsa Indonesia baik yang hidup di masa lalu ataupun masa kini. Sang wali meninggalkan pesan agar kita mengingat kembali sepak terjang apa yang telah kita perbuat di dunia selama menjadi hamba Tuhan.

Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh pemersatu baik di bidang keagamaan maupun di bidang pemerintahan. Ia selalu mampu tampil sebagai penengah manakala terjadi kemelut di kalangan para wali, para sulltan, para raja, ataupun kalangan rakyat jelata. Kepada para raja generasi berikut setelah ia mangkat bahkan kepada para pemimpin yang hidup di zaman sekarang makam yang ditinggalkannya telah memberi patokan agar kita mengendalikan sifat-sifat tamak, rakus, dan penuh keangkaramurkaan serta mengabaikan semangat persatuan dan kesatuan dalam kehidupan negara maupun untuk bertoleransi dengan umat di luar Islam. Pembuktian keampuhan tentang apa yang telah ditinggalkan Sunan Kalijaga terjadi pula setelah era kerajaan Jawa diperintah oleh Mataram. Dalam era Mataram banyak terjadi perebutan kekuasaan justru di kalangan keraton seperti halnya yang membawa malapetaka serta keruntuhan terhadap kejayaan Majapahit jauh sebelum waktunya. Sunan Kalijaga mampu melihat jauh ke depan apa yang kelak terjadi dan dilakukan para keturunannya.

Sang wali tidak menginginkan makamnya dijadikan pusaka bahkan sampai disembah-sembah sehingga membuat manusia yang melakukannya menjadi musyrik atau menduakan Tuhan. Akan tetapi, sejarah yang berlangsung memang mencatat harapan ini. Makamnya telah dijadikan "pusaka," bukan karena sang wali patut disembah, tetapi karena amal perbuatan serta tingkah laku luhur dan penuh keteladanan yang ditinggalkannya. Apa, siapa, dan bagaimana sebenarnya pribadi tokoh besar dan penting asal Jawa ini? Menelusuri riwayat sejarah yang membentang sosok figur Sunan Kalijaga adalah tokoh ulama keturunan asli Jawa yang bukan saja sebagai tokoh ulama dan negarawan yang unggul, tetapi juga seniman dan pemimpin rakyat yang pemurah serta berwibawa. Tokoh putra Bupati Tuban itu pada zamannya merupakan tokoh pembela negara dan pembela rakyat yang cinta tanah air (Demak) dan ulama pemersatu sesamanya. Sang wali merupakan satu-satunya tokoh ulama yang paling berhasil membawa umat Hindu dalam kehidupan tenteram serta mengajak umat Islam untuk melakukan perintah agama dengan baik dan benar. Kalijaga telah teruji berhasil membedakan antara pemerintahan secara dengan kehidupan umat Islam zaman Demak sampai era Mataram hingga pemerintahan Indonesia sekarang. Sejak zaman Demak paham Pancasila telah ditumbuhkan sang wali tanpa kita sadari atau pahami. Bukti perbuatan dan tindakan  sang wali terungkap ketika beliau selalu memerangi tindakan Sunan Giri yang secara keras mengarahkan dakwah kepada rakyat Jawa tanpa menyesuaikan diri dengan kehidupan alam sekitarnya, itu pula salah satu sebab mengapa sampai wafat, beliau tidak mau memakai jubah atau sorban putih panjang sebagaimana anggota Wali Sanga lain. Sang wali kerap ingin bertahan dan lebih menonjolkan ciri khas tradisional Jawa dengan memakai pakaian lurik hitam bergaris panjang dengan ikat kepala hitam sesuai kebiasaan yang dianut kebanyakan orang Jawa kala itu.

Selama hidup sang wali tetap tidak ingin aliran Islam ekstrem atau Islam keras yang melampaui batas sebagaimana pernah dibawa Sunan Giri dahulu meluas dan dianut banyak umat. Baginya jika hal itu berlangsung dikhawatirkan kemajuan umat akan tersendat dan arah pandangannya kian menyempit. Bagi Sunan Kalijaga syiar Islam masih harus diimbangi dengan adat Istiadat yang berlaku sebelumnya karena hal itu merupakan salah satu produk kebudayaan yang memerlukan langkah pelestarian. Apapun alasan dan situasi  serta kondisi yang menyertainya, sang wali tetap menyandarkan prinsip untuk selalu memihak pada kebenaran. Sikap sang wali seperti ini memberikan cermin dan pemahaman bahwa agama Islam sejak lama mengharuskan kita untuk mengambil jalan tengah dalam konsep, akidah, ibadah, perilaku, hubungan dengan sesama manusia, ataupun di dalam perundang-undangan yang berlaku. Falsafah jalan tengah secara mantap tetap dianut sang wali semasa hidupnya ketika beliau melakukan sambung rasa dengan para anggota Wali Sanga maupun tindakan umum sehari-hari. Bagi sang wali definisi jalan tengah itulah yang juga telah difirmankan oleh Allah Swt, sebagai "jalan yang lurus."

Sikap tengah atau moderat atau itidal yang telah lama ditinggalkannya merupakan ciri dan watak karater yang dijaga terus olehnya. Akibatnya, beliau terkenal sebagai seorang tokoh yang tidak ghuluw (kelewat batas) serta terkenal arif bijaksana, tidak tamatthu' (berlagak pintar atau terlalu konsekuen), serta tidak tasydid (mempersulit) langkah dan kenyataan adat istiadat yang berlaku. Apa yang menjadi sikap dan perilaku hidup itu kenyataan sangat berarti dan berguna bagi kehidupan masa kini. Bahkan sikap baik sang wali tetap menjadi isyarat paling berharga dan penting untuk kita ikuti jejak langkahnya. Sunan Kalijaga merupakan figur putra bangsawan yang lebih memihak kebenaran, berjiwa kerakyatan, serta suka menjaga lingkungan dari pada keangkaramurkaan. Ia tidak terlalu memikirkan banyak hal yang bersifat duniawi. Beliau yang semasa kecil punya nama Raden Mas Sahid dan sejak itu  diasuh adan diajarkan budi pekerti luhur oleh kakeknya yang bernama Ario Tejo, merupakan murid tersayang yang tidak mengecewakan gurunya, yaitu Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Sang wali yang telah menemukan jalan menuju kesempurnaan hidup sejak remaja lewat pertemuan pertama dengan Sunan Bonang di Tuban, kemudian dengan Sunan Gunung Jati di tepian kali di daerah Kadilangu disebut "Kalijaga," karena patuh menurut titah dalam melaksanakan ujian tanpa brata. Lulusnya sang wali dalam menerima titah itu sekaligus menandakan dirinya selain sebagai penjaga kali yang setia juga berhak atas nama besar kewalian yang mulai disandangnya.

Dalam perjalanan sejarah kemudian di Kesultanan Pajang, sang wali mendapat predikat lain sebagai tokoh "Dwitunggal," bersama Sunan Giri atas jasanya melestarikan persatuan dan kesatuan rakyat dan pemimpin. Tanpa tokoh Sunan Kalijaga mungkin tidak ada dinasti Mataram di bumi Indonesia. Ilmu yang ditinggalkan Sunan Kalijaga bagi bangsa Indonesia nyatanya memang punya harga mahal untuk bisa ditebus atau untuk digunakan dalam mengabdi pada praktek kehidupan manusia, bangsa, dan dunia kemanusiaan di negara kita pada zaman yang serba materialis seperti sekarang.......!!! TAMAT

Oleh Ade Soekirno SSP
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Sejati Diri Sunan Kalijaga (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 5) Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang | Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Sejati Diri Sunan Kalijaga (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 5) Sebagai sumbernya

0 Response to "Sejati Diri Sunan Kalijaga (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 5)"

Post a Comment

Cerita Lainnya