Alkisah Rakyat ~ Dini hari menjelang subuh Sunan Kalijaga telah melintas kembali ke wilayah Demak menuju arah Selatan hingga sampai ke sebuah hutan alas bernama Gunung Pati. Setiba di tepi hutan lebat itu sang wali mengambil arah Timur masuk ke dalam hutan. Setelah ratusan meter melangkah sampailah wali ke sembilan ini ke mulut gua sesuai isyarat meditasinya. Mulut gua yang berbentuk landai itu dikelilingi air jernih serta irama bunyi yang berisik dari sejumlah kera yang bergelantungan di pangkal dahan jati. Apa yang dilihat dan ditemukan Sunan Kalijaga disekitar gua itu mempunyai gambaran yang persis sebagaimana diungkap pertapa Cemara Tunggal, Sunan Kalijaga sempat terpana. Kemudian, ia berjongkok diatas bebatuan terjal sambil membasuh muka dengan kedua belah telapak tangannya di atas air yang jernih dan segar. Wajahnya yang penuh dengan peluh dan keringat akibat perjalanan panjang tampak menjadi bersih. Kesegaran pun muncul di sekitar wajahnya dan dengan tenang sang wali mengusap-usap wajahnya.
Baca Cerita Sebelumnya :
- Raden Patah Perintahkan Empat Wali (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 1)
- Pamantingan dan Pertapa Wanita Cemara Tunggal (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 2)
Sambil berkomat-kamit membaca zikir dengan kedua tangan ditengadahkan ke atas, Sunan Kalijaga memohon kepada Allah Swt, agar kera-kera raksasa yang menghuni pohon jati itu tidak mengganggu serta tunduk pada perintahnya. Setelah selesai menyatakan niat di dalam hati dan meminta kekuatan kepada Allah Swt mendadak secara mengejutkan badan sang wali yang ramping dan cukup bidang itu terhempas ke belakang. Suara berisik kera-kera memecah kesunyian hutan jati Gunung Pati. Kera-kera raksasa yang merasa terganggu dengan kehadiran seorang manusia itu langsung dengan kehadiran seorang manusia itu langsung turun berhamburan dari pohon berdaun rindang. Secara mengejutkan pasukan kera besar berbulu aneh, tidak hanya coklat kemerah-merahan, tetapi ada juga yang putih keabu-abuan, itu langsung bersimpuh dihadapan Sunan Kalijaga layaknya perilaku manusia. Ajaib, kera-kera berbulu dua warna itu kini siap menunggu perintah atau komando sang wali. Kesaktian Sunan Kalijaga yang begitu hebat terbukti kembali. Kera-kera raksasa liar yang biasanya sangat marah melihat lingkungannya terusik oleh manusia, bahkan tidak mau tahu terhadap kedatangan makhluk di luar kawasan hutan yang datang tanpa diundang ke tempat tinggal mereka, kini tidak berani mengganggu tubuh Sunan Kalijaga.
"Daulat Paduka, kami siap menunggu perintah Baginda," kata kera-kera ajaib itu sambil mengangguk-anggukkan kepala seakan memasrahkan diri kepada sang wali yang terheran-heran. Sunan Kalijaga tercengang melihat kejadian itu. Selama hidup, baru kali itulah ia mendengar kera dapat berbicara atau bersuara seperti manusia. Namun, sadar akan petunjuk yang diberikan pertapa Cemara Tunggal sebelum melangkah ke Gunung Pati. Sunan Kalijaga berhadapan dengan pasukan kera dua warna untuk minta izin menebang pohon jati raksasa, sikap heran sang wali segera sirna. Bahkan dengan cepat Sunan Kalijaga menimpali suara-suara kera ajaib tadi. "Maafkan aku, teman-teman jika kedatanganku mengusik kententeraman kalian. Sebenarnya aku diperintahkan Kanjeng Sultan Demak untuk membawa pohon jati tempat tinggal kalian untuk membangun mesjid keraton. Apakah kalian mengikhlaskannya?' kata Sunan Kalijaga menguraikan maksud kedatangannya dengan hati berat. Sesungguhnya sang wali merasa kasihan dan tidak tega menghancurkan kehidupankera-kera itu. Ia sempat mengubah pikiran untuk tidak mengidahkan titah Sultan Demak dan mengurungkan niat membawa batang kayu jati tempat tinggal kera-kera ajaib itu. Sebagai sesama umat Tuhan ia tidak sampai hati mengusik kententeraman dan kerukunan hidup sekumpulan binatang baik itu. Di dalam hatinya berkecamuk perasaan yang merisaukan antara menunaikan tugas negara yang diemban dengan pemenuhan kewajiban memelihara kelestarian lingkungan hidup kera-kera itu.
Akhirnya, tidak ada pilihan lain lagi bagi sang wali. Bagaimanapun ia harus segera memutuskan mana yang harus diutamakan. Belum sempat ia mengambil satu langkah pasti dan terbaik, pasukan kera dua warna, merah-putih, itu seakan sudah paham dan mengerti betul apa yang tengah berkecamuk di benak Sunan Kalijaga. Kera-kera raksasa ajaib itu tetap menunduk. Sekali-kali kepala mereka dianggukkan tanda paham apa yang sedang dipikirkan sang wali. Tanpa disangka mereka bersimpuh lagi sambil berkata, "Silakan Kanjeng Sunan mengambil batang jati milik kami. Hanya ada satu syarat permintaan. Izinkanlah kami turut serta mengabdi di Demak." Kebingungan Sunan Kalijaga semakin bertambah mendengar penuturan mereka yang begitu jujur serta ikhlas. Apa yang ia minta telah diluluskan dan begitu saja diberikan tanpa kesulitan. Akan tetapi, untuk membawa sejumlah pasukan Kera ke Demak sangat mustahil. Ia kehilangan akal melihat gelagat serius kera-kera itu. Mereka tidak peduli pada komentar Sunan Kalijaga. Sekalipun ditolak seakan mereka telah bertekad untuk membantu sang wali membawa batang pohon kayu jati raksasa tempat tinggal mereka.
Secara serentak tanpa menunggu jawaban yang akan diberikan Sunan Kalijaga, sederetan kera besar yang memiliki warna tubuh coklat kemerahan menepukkan kedua tangannya memberi komando. Tiba-tiba, puluhan kera lain yang semua hanya duduk bersimpuh di belakang segera bangkit. Secara bergotong royong kera-kera "merah" dan "putih" itu lalu mengerumuni batang jati raksasa yang diminta Sunan Kalijaga. Mereka berusaha menumbangkan tempat tinggal mereka tanpa rasa sesal. Batang jati raksasa yang memiliki garis tengah sekitar satu meter itu perlahan-lahan mampu mereka robohkan. Batangnya yang kuat mulai condong direbahkan mereka ke kiri dan ke kanan. Kurang dari setengah jam batang jati besar setinggi sepuluh meter itu mampu mereka tumbangkan. Batang itu jatuh di atas aliran air sungai jernih yang dangkal. Sunan Kalijaga terkejut penuh rasa kagum serta gembira. Ia pun memberi salam kepada pasukan ajaib itu sebagai tanda terima kasih. Kini, tugas berat yang dititahkan Sultan Demak hampir selesai. Batang jati yang akan dipakai sebagai salah satu saka guru Mesjid Agung Demak itu hanya tinggal dibawa saja secepatnya. Namun, mampukah ia membawa batang itu sendiri? Berapa besar kesaktiannya untuk memanggul batang jati raksasa itu dalm waktu yang singkat? Bagaimana pula nasib kera-kera itu?
Sunan Kalijaga cemas. Waktu yang dijanjikan semakin sempit. Sebelum petang ia harus sudah tiba di Demak. Oleh karena itu, ia berikhtiar mencari penyelesaian termudah. Satu-satunya jalan terbaik yang melintas dibenaknya pada saat kritis itu tidak lain terpaksa harus bersedia membawa pasukan kera tadi bersamanya. Akan tetapi, hali itu menuntut resiko. Jika pasukan kera itu turut serta batang jati memang dapat diangkut, tetapi mampukah ia mengejar batas waktu yang kian mendesak. Saat itu waktu telah beranjak pagi. Matahari mulai menampakkan cahayanya di ufuk Timur. Sunan Kalijaga harus segera keluar dari hutan Gunung Pati dengan sebuah keputusan paling bijaksana. Sungguh berat beban yang dihadapi sang wali. Ia tidak sampai hati meninggalkan kera-kera ajaib yang telah begitu berjasa menolong menumbangkan pohon jati yang diinginkannya. Sang wali harus cepat menengahi persoalan dan mencari upaya meminta kerelaan mereka untuk tetap tinggal di dalam hutan dan mengikhlaskan "tempat tinggal" mereka dibawa ke Demak. Keputusan ini tidak disetujui oleh pasukan kera. Mereka tetap bergerombol di belakang tubuh sang wali seakan bertahan atas prinsip mereka dan melakukan protes atas kebijakan yang ditempuh. Sang wali yang siap berangkat menjadi patah semangat. Matahari mulai bersinar penuh. Cahaya matahari lambat laun telah menembus kegelapan hutan jati Gunung Pati.
Sunan Kalijaga yang harus sudah tiba kembali sebelum lepas tengah hari tanpa mengindahkan ulah para kera itu bergegas mempersiapkan diri. Segala daya upaya dikerahkannya. Akan tetapi, ketika ia akan mengangkut batang jati itu dengan segala kekuatan dan kesaktiannya, batang jati raksasa itu jatuh meminpa permukaan air sekitarnya karena digulirkan oleh kera-kera raksasa yang memiliki keampuhan prima. Kejadian itu terjadi berulang kali. Kera-kera itu tetap pada pendirian mereka untuk ikut. Sekian jam selisih pendapat antar wali kesembilan dengan pasukan kera raksasa sakti berlangsung. Berulang kali itu pula batang jati yang diangkut ke puncak Kalijaga berhasil digulirkan kembali ke tanah. Kejadian ini membuat kesal hati Sunan Kalijaga.
"Baiklah, apa keinginan kalian sebenarnya?" kata Sunan Kalijaga dengan tegas.
"Ampun, Kanjeng Sunan. Kami tetap ingin ikut Baginda," kata pasukan kera itu dengan kompak.
Mendengar pernyataan kebulatan tekad itu Sunan Kalijaga menjadi bingung, kesal, jengkel, dan tubuhnya semakin letih. Akal cerdik dan pikirannya yang tajam seakan tumpul dan berhenti dengan tiba-tiba. Keningnya berkerut membuat garis-garis panjang yang sejajar. Seperti dikomando, kera-kera itu kemudian mengerumuni atau mengereo (bahasa Jawa) batang jati raksasa yang akan dibawa Sunan Kalijaga. Pohon besar itu lalu mereka naiki. Kulit pohonnya seakan tidak tampak lagi karena semua kera menumpuk menjadi satu berdesak-desakan menutupi batang jati itu. Melihat tingkah laku kera-kera yang mengereo itu, Sunan Kalijaga menjadi geli. Ia memperoleh akal memperdayakan mereka agar tidak ikut ke Demak. Tanpa pikir panjang, Sunan Kalijaga memotong batang jati itu dengan kesaktiannya menjadi tiga bagian sama panjang. Pasukan kera yang menumpuk di batang pohon itu langsung bergulir dan satu persatu berhamburan jatuh ke tanah. Mereka menindih satu sama lain sambil mengaduh kesakitan. Kejadian itu berlangsung sangat cepat. Akhirnya, dengan patuh mereka bersimpuh membuat sebuah barisan setelah dikomando oleh pimpinan laskar yang bertubuh paling besar. Satu barisan di kanan diisi kera berwarna coklat kemerahan-merahan. Satu barisan di sebelah kiri diisi barisan kera berwarna putih keabu-abuan.
"Kalian memang pandai dan memiliki mental pejuang serta sifat pengabdi yang tangguh dan ulet. Tetapi, kalian harus mengerti bahwa dunia kalian berbeda dengan dunia manusia. Labih baik jika kalian tidak usah turut ke Demak dan tinggal di sini dalam hutan lebat Gunung Pati. Sebab, dunia kalian masih tampak lebih indah tanpa bercampur dengan manusia yang memiliki akal," kata sang wali yang terus mencoba memberi petuah serta nasihat. "Dengarlah pula dan ingat, hidup gotong royong di dalam hutan masih lebih baik dari pada kehidupan di luar. Aku tidak akan lupa jasa baik kalian semua. Sebagai balasan terima kasihku, kalian harus patuh dan mau mendengar perintah ini. Bagaimanapun juga kalian adalah laskarku. Oleh karena itu, jagalah serta tinggallah kalian di sini sesuai kodrat yang ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa."
Perintah Sunan Kalijaga terbukti ampuh. Buktinya amanat sang wali itu segera mereka patuhi. Tidak ada satu pun yang menentang. Seakan kera-kera itu mengerti dan paham benar akan makna ucapan Kalijaga yang sakti. Mereka diam membisu. Tidak ada lagi ulah lucu yang dipertontonkan atau yang dicari-cari untuk mengemukakan alasan. Mereka patuh dan tunduk pada perintah terakhir sang wali. Tanpa disuruh mereka segera menggeser satu diantara tiga batang kayu jati yang telah dipotong. Secara mengereo pula satu potongan kayu jati akan dibawa sang wali segera diserahkan kepadanya. Satu batang yang lain dicoba pula diangkat bersama untuk maksud serupa. Akan tetapi, Sunan Kalijaga segera memberi isyarat kepada mereka agar jangan melakukan hal itu.
"Cukup. Dua batang kayu jati itu tidak akan kubawa ke Demak. Biarkan saja di sini mendampingi kalian. Hanya satu batang yang akan kubawa. Kedua batang sisanya sengaja kepersembahkan untuk kalian. Jagalah agar kayu besar itu jangan sampai hilang ditelan zaman," kata Sunan Kalijaga.
Kalijaga memang pandai.Jika semua kayu itu dibawa, tentu ia tidak akan sanggup. Apalagi hari makin siang. Sang wali merasa bahwa ia telah melakukan sesuatu yang adil. Karena dengan ditinggalkannya dua batang jati raksasa di hutan itu, berarti ia masih meninggalkan wadah kehidupan yang sebelumnya telah menjadi hak kera-kera raksasa itu. Sekali lagi Sunan Kalijaga mampu menunjukkan sikap bijaksana. Ia tidak serakah mengambil milik orang lain untuk kepentingan pribadi. Apalagi memaksakan diri untuk membawa batang jati dengan risiko seberat itu.
"Nah, sebelum aku berangkat ada satu pesan lagi, Kalian memiliki bulu dua warna, satu golongan berwarna merah dan golongan lain berwarna putih. Dua batang jati ini kuberikan masing-masing satu untuk kalian. Satu untuk golongan kera coklat kemerah-merahan dan satu lagi untuk golongan kera putih keabu-abuan. Terimalah tanda mata dariku ini dengan hati lapang. Ingatlah, atas kebesaran Allah tempat ini akan banyak disinggahi orang," kata Sunan Kalijaga. Untuk kesekian kalinya pasukan kera mengangguk-angguk tanda mengerti isyarat yang diucapkan sang wali. Mereka seakan paham terhadap apa yang telah diwejangkan dan akan terjadi sebagaimana dituturkan Sunan Kalijaga yang mulai mengangkat satu potongan batang jati. Para kera turut membantu membawa batang jati berat itu ke pundak sang wali. Selesai melakukan tugas, kera-kera raksasa itu tanpa menunggu komando segera membentuk dua barisan panjang dengan tertib. Sikap ini sebagai rasa hormat mereka yang siap menghantar kepergian sang wali. Sebelum beranjak ke luar hutan, sang wali sempat memberikan anugerah sebuah nama kepada kera-kera itu setelah beliau melihat sebuah gua di dekatnya.
"Sejak kedatanganku semalam aku melihat kalian di hutan ini senang mengereo pohon jati yang kucari. Untuk itu akan kusebut gua ini dengan nama Gua Kreo. Tinggallah kalian selamanya di gua ini sebagai pengganti pohon yang telah tumbang," kata Sunan Kalijaga. Selesai penganugerahan nama tempat itu, Sunan Kalijaga yang sudah terlambat itu pun cepat mengayunkan langkahnya bagai terbang. Dengan hati tenang dan lapang ia pergi meninggalkan kera-kera ajaib penghuni hutan jati Gunung Pati.
Bersambung: Dua Pusaka Utama Tanah Jawa (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 4)
Oleh Ade Soekirno SSP
loading...
0 Response to "Sunan Kalijaga dan Kera Merah-Putih (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 3)"
Post a Comment