Dua Pusaka Utama Tanah Jawa (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 4)

Alkisah Rakyat ~ Sunan Kalijaga tidak menemukan hambatan yang berarti dalam perjalanan pulang menuju Demak. Dengan kesaktian dan sejumlah ajian yang dimilikinya, sang wali mengambil langkah seribu. Perjalanannya bagaikan kilat serta ibarat anak panah lepas dari tali busurnya. Namun, tidak urung gerak langkah cepatnya tetap tidak mampu mengejar batas waktu yang sudah ditentukan. Jarak antara Gunung Pati yang terletak di pinggiran Semarang dengan kota Demak yang di zaman modern sekarang saja dengan kendaraan umum relatif baru bisa ditempuh sekitar satu setengah jam perjalanan, kala itu tidak mampu dipersingkat oleh sang wali. Sunan Kalijaga pada akhirnya memang terlambat tiba di Demak. Anehnya, keterlambatan waktu kedatangannya itu akhirnya menjadi sangat penting dan membawa pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat Indonesia yang hidup di zaman sekarang. Jika saja kala itu sang wali tepat tiba di Demak sesuai jadwal, tentu ia akan malu dengan ketiga wali lain karena ia hanya mampu mempersembahkan sepertiga bagian batang kayu jati yang diminta. Sementara ketiga wali lain, yaitu Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Jati yang yang tiba lebih awal secara utuh telah menampakkan hasil bawaan mereka sesuai harapan dan keinginan Sultan Demak.


Baca Cerita Sebelumnya:
Seakan nasib memang telah menentukan demikian. Bahkan seakan Tuhan telah memilihkan suatu hal terbaik dalam perkara ini. Karena keterlambatan Sunan Kalijaga, di kemudian hari membawa sejarah tersendiri khususnya bagi pihak Kesultanan Demak. Sekalipun batang kayu jati yang dihadirkan sang wali hanya sepertiga bagian, tetapi tanpa batang kayu jati pendek itu mustahil akan tampak sampai sekarang wujud Mesjid Agung Demak dengan segala kesucian dan kegaibannya. Meskipun paling kecil, kayu jati yang dibawa Sunan Kalijaga sesungguhnya telah lama ditunggu sejak pagi oleh Sultan Demak. Tak kala muncul di areal Kesultanan, Sunan Kalijaga memang telah jauh ditinggalkan oleh ketiga wali. Para wali pendahulu itu sejak pagi telah siap menegakkan batang jati yang mereka bawa untuk dipancangkan sebagai tiga buah saka guru mesjid. Waktu itu matahari mulai menyorotkan sinarnya yang panas tepat di atas ubun-ubun kepala.

Sekalipun belum sempat mengerjakan apa-apa, Sultan Demak tetap kagum atas ketabahan serta keuletan wali termuda, terpandai, bahkan tersakti ini. Baginda begitu bangga atas kepatuhan yang tetap diakui telah dijalankan secara baik oleh Sunan Kalijaga. Lega hati Sultan Demak ketika melihat batang kayu jati yang berhasil dibawa Sunan Kalijaga meski hanya sepertiga bagian dari batang jati ketiga wali lain. Sultan Demak sama sekali tidak menyangka bahwa Sunan Kalijaga akan berhasil membawa batang jati mengingat arah perjalanan yang telah diambil kemarin menuju ke arah Utara Kesultanan Demak. Arah Utara merupakan  arah mata angin sisa yang ditinggalkan oleh ketiga wali dan kenyataannya di wilayah itu memang tidak ada hutan yang ditumbuhi pohon-pohon jati berbadan besar dengan garis tengah sekitar satu meter. Sultan Demak semula kecewa dan menduga bahwa titahnya pasti tidak akan dipenuhi secara baik karena Sunan Kalijaga menempuh arah Utara. Akan tetapi, beliau maklum pada kesaktian sunan muda ini. Oleh karena itu, beliau yakin titahnya pasti tetap membawa hasil bagaimanapun caranya. Kenyataannya, hal itu memang terbukti. Dengan membelokkan arah perjalanan kembali dari wilayah Utara menuju arah Selatan sesuai petunjuk pertapa Cemara Tunggal apa yang diperoleh dan dibawa Sunan Kalijaga siang hari itu betul-betul mengobati keraguan serta rasa khawatir sang Sultan.

Sementara itu, Sunan Kalijaga yang mengerti dan paham akan apa yang tengah berkecamuk di dalam hati Raden Patah hanya membalas ucapan dengan mengangguk-angguk dan tersenyum. Rasa kagum juga menyelimuti pikiran ketiga wali. Secara diam-diam mereka menyatakan salut seperti halnya Sultan Demak. Mereka tidak ingin berniat jahat atau mengelabui Sunan Kalijaga jika dalam titah kemarin tanpa sengaja telah meninggalkan arah mata angin sisa kepada wali yang menjadi murid mereka. Pilihan untuk melangkah menuju arah mata angin ke Barat, Timur, atau Selatan sebagaimana ditempuh Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Gunung Jati sebelumnya memang telah menjadi suatu perebutan di antara mereka bertiga. Ketiga wali itu juga tahu di mana letak-letak hutan jati yang seharusnya mereka jarah. Sunan Kalijaga kala itu yang memang belum tahu pasrah saja menerima arah mata angin yang salah meskipun ia yakin bahwa tidak ada hutan jati di arah Utara. Kalijaga menjaga perasaan dan tetap menghormati ketiga wali yang berusia jauh lebih tua darinya. Apalagi dengan Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati yang telah membina dan menjadi guru utamanya, tidak pantas jika ia mengambil tindakan kurang senonoh untuk mendahului mereka.

Ditengah hari yang terik, ketiga wali itu pun selesai memancangkan saka guru mereka untuk bangunan mesjid yang diminta Sultan Demak. Sementara itu, Sunan Kalijaga sedang mencari tambahan potongan jati lain yang akan dipakai untuk menyambung kekurangan batang pohonnya yang tidak cukup tinggi. Bagi Sultan Demak tidak ada masalah jika batang jati untuk saka guru persembahan Sunan Kalijaga terpaksa tidak utuh dan bentuknya berupa sambungan. Hal terpenting adalah keempat batang jati itu wujudnya tetap sama berupa pohon jati raksasa sesuai keinginannya. Bahkan Sultan Demak menganggap bahwa batang jati Sunan Kalijaga merupakan sesuatu yang aneh dan unik. Berbeda dengan ketiga saka guru lainnya. Raja Demak itu yakin bahwa saka guru terakhir yang akan dipasang Sunan Kalijaga akan membawa pertanda khusus bagi perjalanan pemerintahan Demak selanjutnya. Dengan kesaktian dan ilmu rohani yang lebih tinggi di antara para wali yang ada, Sultan Demak merasa yakin bahwa Sunan Kalijaga akan sanggup pula membenahi isi dalam ruangan mesjid yang diinginkan memiliki mihrab dan penataan khusus berciri khas Demak. Sang Baginda seakan mampu menatap jauh ke depan apa yang kelak terjadi berkaitan dengan pembangunan mesjid yang telah ikut didukung oleh Sunan Kalijaga. Baginda yakin dalam perkembangannya nanti Mesjid Demak akan punya arti khusus dengan kaitan nama besar seorang Kalijaga di kalangan umat Islam di sekitar dan di luar wilayah kesultanan.

Sementara itu, di penggalan waktu yang sudah merayap semakin sempit, Kalijaga terus mempersiapkan saka guru batang jati hasil tambalannya dengan sabar disaksikan ketiga wali lainnya. Sisa batang  jati milik Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati segera diambil dan dipakai untuk menyambung kekurangan batang jati miliknya. Sisa batang jati milik Sunan Giri tidak diambil karena batang jati sambungan sudah cukup panjang. Dalam waktu singkat, akhirnya jadilah sebuah saka guru yang sama panjang dan tampak utuh serta sama kokoh sebagaimana ketiga saka guru lain yang telah didirikan. Batang jati sambungan dari tiga pohon itu diikat dengan tali ijuk besar. Lalu batang itu dipancangkan oleh sang wali di sebelah kanan bagian belakang ruangan dengan mesjid yang akan dibangun. Tidak ada pilihan lain bagi Sunan Kalijaga sebab posisi itu merupakan tempat sisa yang terpaksa harus diterimanya secara lapang dan senang hati sebagaimana ia telah memperoleh arah mata angin sisa saat hendak berangkat meninggalkan Demak kemarin.

Saka guru yang sudah dipasang Sunan Giri terletak di depan sebelah kiri tempat imam melakukan shalat. Demikian juga saka guru milik Sunan Gunung Jati berjajar di depan sebelah kanan mesjid. Saka guru Sunan Bonang di bagian kiri sebelah belakang berjajar dengan saka guru yang baru saja selesai dipancangkan oleh Sunan Kalijaga. Ternyata, saka guru sambungan buatan Sunan Kalijaga itu tetap kuat sampai sekarang sama seperti tiga saka guru yang lain. Bukti itu masih bisa dilihat di Mesjid Agung Demak. Perubahan hanya terdapat pada tali ijuk besar. Tali yang lama sudah lapuk kini diganti dengan  lempengan logam kuningan yang terpaku demikian kuat di sekeliling batang jati raksasa itu. Dalam waktu singkat, tempat ibadah yang semula hanya sebuah langgar kecil dengan bantuk amat sederhana tiba-tiba disulap oleh empat wali menjadi bangunan mesjid agung yang kala itu merupakan mesjid paling megah dimiliki bangsa Indonesia. Bangunan rumah Tuhan itu memiliki atap tiga cungkup atau tiga tingkat. Lokasi mesjid terletak di sebelah lokasi lama dan berdiri tegar pada areal persegi yang memilik hamparan tanah cukup luas di sebelah barat seberang alun-alun kota Demak.

Di muka bangunan mesjid baru itu dilengkapi serambi luas yang atapnya ditopang tiang-tiang kayu ukiran dengan motif daun berciri khas Majapahit. Tiang-tiang itu sejak mula memang sengaja dibawa Sultan Demak ketika ia menetap sementara waktu dengan ayahandanya. Prabu Brawijaya V atau Raden Wijaya, sebelum Majapahit runtuh. Tiang-tiang Majapahit dipakai sebagai rasa hormat sang sultan kepada ayahanda serta para leluhur. Tiang-tiang itu dibawa ke Demak sebagai pertanda bahwa sekalipun kesultanan yang dijalankannya bernapaskan Islam, tetapi pihak Demak tetap terbuka dengan kehadiran umat beragama lain. Artinya, bagaimanapun juga Demak tetap menghormati Majapahit yang Hindu. Ciri gabungan dua kekuatan, Majapahit yang Hindu dan Demak yang Islam, memang dipakai Raden Patah sebagai isyarat atau perlambang bagi generasi muda Indonesia bahwa dahulu kala leluhur atau nenek moyang bangsa Indonesia khususnya yang menetap di Jawa berasal dari satu keturunan. Fakta itu memang tidak bisa dielakkan oleh suku Jawa yang kini tetap memeluk agama Hindu, Budha ataupun Islam, maupun para pemeluk agama Kristen/Protestan, Katholik atau aliran kepercayaan lain.

Di sebelah kanan mesjid agung itu ada sebuah bangsal besar yang sengaja dibangun sebagai tempat musyawarah dan tempat perhelatan bagi para tamu asing ataupun pembesar agama dan kerajaan yang datang berkunjung. Semua langkah pemugaran selesai tepat waktu hanya dalam satu hari itu di tahun 1479. Atas kelancaran jalannya pemugaran sesuai rencana, Sunan Giri hanya tersenyum melihat kehebatan yang diperlihatkan Sunan Kalijaga. Ia tidak menyangka tali ijuk besar itu akan mampu memperkuat sambungan tiga batang jati raksasa yang dipersembahkannya demi kepentingan umat. Sebalikknya, Kalijaga yang mampu menyatukan batang jati milik Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati dengan batang jati miliknya turut tersenyum penuh arti. Sunan Giri tidak tahu apa yang ada dalam benak Sunan Kalijaga kala itu. Namun, ia sadar jika kalah cerdik dengan Sunan Kalijaga yang berusia relatif lebih muda, bahkan telah mengangkatnya sebagai pemimpin agama se-Jawa. Hanya Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati yang mengerti bahwa tali ijuk besar pengikat ketiga batang jati itu punya perlambang bahwa mereka tetap sepaham dan selaras dalam menyatuhkan diri ke hadirat Allah Swt, Pada pelaksanaan tugas dakwah kesehariannya. Dalam hal ini, kekompakan antara guru dan murid kesayangan secara tidak sengaja berhasil ditampakkan Kalijaga tanpa membuat cemburu dan membuat kecil hati Sunan Giri.

Mulai saat itu, Sultan Demak mengangkat para wali yang berjasa sebagai penasihat raja dan mereka dinobatkan sebagai tokoh ulama pemberhati agama. Sebaliknya ke empat wali pendukung itu sepakat untuk memberikan hak kepada Sultan Demak untuk menyandang gelar Sultan Alam Akbar al-Fatah, artinya Sultan Perlambang Kepala Negara Islam yang Merdeka. Setelah menyandang gelar agung itu, Sultan Alam Akbar al-Fatah tanpa mengurangi penghargaan ketiga wali menyatakan rasa syukur kehadirat Allah Swt, bahwa tugas sulit dan kurang masuk akal yang dilaksanakan Sunan Kalijaga akhirnya dengan sukses berhasil dijalankan. Sang Sultan lalu membuka arti dan makna yang tersembunyi khusus di balik tugas berat Sunan Kalijaga, baik sejak ditemukannya jenis kera dua warna (merah-putih) di Gunung Pati sampai arti umum dari ikatan tali ijuk yang berhasil mewujudkan sebuah saka guru. Percaya atau tidak, apa yang diungkap dan telah diisyaratkan Sultan Demak memang terbukti berharga bagi kelanjutan perjalanan dan nasib kehidupan bangsa Indonesia di zaman ini. Makna atau isyarat yang terkandung di dalam saka guru bukan omong kosong belaka, tetapi memiliki bukti kuat dalam perjalanan bangsa dari zaman ke-zaman.

Sebenarnya memang tidak ada jenis kera berwarna merah atau putih. Jenis kera yang ada sampai sekarang dan jarang ditemukan hanyalah jenis kera berwarna coklat kemerah-merahan serta kera berwarna putih keabu-abuan. Istilah kera merah-putih yang ditemukan Sunan Kalijaga di Gua Kreo hanya perlambang dua warna yang menandakan gabungan antara sikap berani dengan tekad suci murni sebagaimana dituangkan pemerintah sebagai warna Sang Saka Merah Putih kita sekarang. Apa yang ditemukan Sunan Kalijaga di Gua Kreo dahulu sekan membawa isyarat kuat bahwa untuk membangun sebuah mesjid atau membangun agama, tidak akan bisa dicampur dengan politik atau dibatasi paham kebangsaan dalam arti sempit. Sejarah berdirinya Mesjid Agung Demak memberikan suatu pemahaman yang jitu bahwa negara Indonesia harus memiliki ciri semangat merah-putih dan hidup bergotong royong sebagaimana layaknya kera-kera raksasa di Gunung Pati. Urusan kenegaraan memang mengharuskan kita untuk ikut berpolitik. Namun, di dalam urusan keagamaan atau kepercayaan yang dianut tiap umat dalam kehidupan bernegara harus tetap bersih, tidak boleh dinodai campur tangan pemerintahan. Artinya, bangsa Indonesia sudah sangat tepat jika sejak lama tetap menganut paham ajaran Pancasila yang memberi kebebasan dan tidak memaksakan kehendak kepada umat agama lain untuk masuk agama Islam. Atau, menjadikan negara besar  terdiri atas banyak suku ini sebagai sebuah negara dengan pemerintahan secara Islam.

Saka guru karya Sunan Kalijaga yang terdiri atas tiga potongan batang kayu jati yang disambung berhasil menanamkan suatu pengertian bahwa semangat persatuan dan kesatuan khususnya di dalam Islam telah mulai ada dan ditumbuhkembangkan pada zaman Sultan Demak. Bahkan ketiga potongan jati yang diikat bersama memiliki arti lain sebagai Trisila yang dalam perkembangan zaman dikembangkan pemerintah menjadi paham Pancasila telah berhasil dituangkan Sunan Kalijaga pada abad ke-15, melalui pengabdian demi kejayaan Kesultanan Demak. Pemancangan saka guru yang menyambung tiga batang jati menjadi satu keutuhan yang menyatu dapat dilambangkan sebagai bakti suci dan tugas ibadah para wali dan rakyat Demak kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Allah Swt. Pemotongan batang jati menjadi tiga bagian sama panjang yang dikerjakan Kalijaga dihadapan sejumlah kera-kera raksasa di Gua Kreo seakan melambangkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan dan gotong royong telah dicanangkan secara baik pada abad itu. Sementera itu, wujud saka guru milik Sunan Kalijaga seakan melambangkan bahwa persatuan bukan saja terbatas dalam penyebaran agama dan kehidupan umat beragama, tetapi juga seperti dilestarikan selama ini oleh negara kita sampai sekarang adalah untuk mempersatukan bangsa Indonesia yang permasalahan ini sang wali telah meninggalkan warisan penting dalam menghantarkan bangsa Indonesia menuju pencapaian kemerdekaan hingga menuju wujud sebagai bangsa besar yang semangat persatuan dan kebersamaannya telah dikagumi oleh kalangan dunia.

Dalam pandangan masyarakat Islam, mesjid merupakan rumah Tuhan dan sebuah bangunan sentral tempat beribadah kaum muslim dan mukmin. Fondasi Mesjid Agung Demak yang dibangun pada tuhun 1477, dan dikembangkan tahun 1479, sejak awal berdirinya sudah menampakkan kekokohan dan ketegaran cara berpikir para pelopornya. Bahkan mesjid agung itu pada perjalanan selanjutnya dianggap berbagai kalangan, termasuk kerajaan-kerajaan Islam lain, sebagai sebuah mesjid  paling bagus serta paling  bertuah se-Jawa dan se-Indonesia. Dari mesjid itu secara tidak langsung telah tercermin sejak lama tentang kehidupan filsafat bangsa dan agama yang berlandaskan paham moderat. Kemoderatan Islam pada awalnya tidak berjalan lancar dan mulus di Kesultanan Demak. Dari sembilan wali yang kemudian memusatkan diri di Demak itu misalnya terjadi dua pendapat yang bertolak belakang dalam membahas masalah kemoderatan. Khususnya kemoderatan di dalam pengembangan agama Islam.

Di zaman pemerintahan Raden Patah itu dari ke empat wali yang punya kedudukan utama secara samar ada dua kubu pendapat yang tidak pernah selesai diinginkan Sunan Giri serta para wali pengikut selanjutnya seperti tuntas mendebatkan soal kemoderatan Islam, Sunan Giri berikut para wali lain selain Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga secara kukuh tetap berpendirian bahwa agama Islam tidak boleh moderat, tetapi harus utuh dan murni sebagaimana tumbuh dan berkembang di tanah leluhur, Arab. Artinya segala bentuk upacara keagamaan, adat istiadat serta paham keagamaan yang berbau ajaran Hindu harus dikikis dan digantikan paham Islam ekstrem yang keras serta tidak mengenal upacara-upacara keagamaan, termasuk pertunjukan budaya melalui pagelaran wayang kulit. Dalam kubu wali yang lain, Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati di dukung Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus menolak sikap dakwah keras yang diinginkan Sunan Giri serta para wali  pengikut selanjutnya seperti Sunan Ampel dan Sunan Drajad. Ketiga wali utama itu berpendapat bahwa bagaimanapun juga cara moderat merupakan ciri bangsa Indonesia yang tidak boleh dihapuskan sekalipun mereka menganut ajaran Islam yang sama dengan Islam keras. Sedangkan Islam murni sebagaimana ditemukan di tanah Arab dan sebelumnya dibawa untuk menjadi patokan oleh Sunan Maulana Malik Ibrahim dalam dakwahnya dinilai belum tentu cocok di Jawa. Oleh karena itu, pada uparaca peresmian Mesjid Agung Demak terjadi perbedaan pendapat antara kubu Sunan Giri dengan kubu ketiga wali yang bersatu. Perselisihan paham itu secara baik berhasil ditengahi oleh Sunan Kalijaga yang menyukai persatuan dan kesatuan.

Sunan Giri berpendapat bahwa peresmian Mesjid Agung Demak lebih tepat jika dilakukan melalui cara shalat berjamaah di hari Jum'at bersama dengan rakyat. Pendapat ini ditentang oleh Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati yang mencegah penekanan terhadap umat Hindu. Mereka berkeinginan agar acara itu lebih tepat jika diisi dengan dakwah melalui pertunjukan wayang kulit. Maksud kedua wali ini agar rakyat yang masih beragama Hindu secara halus kelak dapat dibawa masuk dan mau menganut agama Islam. Sunan Giri tetap bersikeras agar rakyat yang belum masuk Islam secara paksa harus dapat ditarik dan dimasukkan menjadi umat Islam. Selisih pendapat hampir saja membuat runtuh kekompakan para wali jika Sunan Kalijaga tidak turun tangan menengahi. Dalam rangka acara peresmian itu Kalijaga berpendapat bahwa sikap kedua kubu sudah benar. Ia juga  mengajukan usul agar kedua kubu yang berselisih setuju jika kedua pendapat mereka dimasukkan sebagai pengisi acara peresmian. Akhirnya, Sunan Giri dengan taktik halus diangkat oleh Sunan Kalijaga sebagai pemimpin agama dan pemimpin upacara. Sikap ini disetujui oleh Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati. Akan tetapi, untuk menjadi pemimpin agama yang baik Sunan Giri harus tunduk kepada persyaratan yang diminta oleh Sunan Kalijaga bahwa ia sebagai pemimpin dibebankan tugas mematuhi harapan wali yang lain.

Akhirnya, peresmian mesjid berlangsung dengan jalan halus yang mengkombinasikan atau mempersatukan perbedaaan pendapat tadi ke dalam satu tujuan suci dan mulia. Shalat Jum'at secara berjamaah dilakukan pada siang hari, sementara malam harinya berlangsung petunjukkan wayang kulit dengan syiar agama. Sikap bijaksana yang diambil oleh Kalijaga mengena sasaran. Rakyat yang ingin shalat dipersilakan menggabungkan diri secara berjamaah tanpa paksaan. Demikian juga rakyat yang ingin menonton wayang kulit tidak ada tekanan atau terkena sanksi untuk menonton. Kedua acara berlangsung dengan tertip bahkan dalam pertunjukan wayang kulit, rakyat penganut Hindu dan Islam berbaur secara bebas tanpa ada perselisihan. Kemukjizatan Allah pun diturunkan kepada Sunan Kalijaga. Tepat selesai shalat Jum'at terjadi suatu hal gaib dan ajaib yang dapat membuka mata semua wali yang hadir termasuk Sunan Giri dan Sunan Sultan Demak.

Secara tiba-tiba Kalijaga mendapat anugerah pusaka dari langit lewat kegaiban yang tanpa diduga. Sebuah kilat yang muncul mendadak datang menyambar bagian atas tempat pengimaman mesjid. Entah karena sikapnya yang bijaksana atau mungkin karena prinsipnya yang benar dan diusahakan untuk sering berlaku adil, seakan Allah Swt, menganugerahkan kepada Sunan Kalijaga sebuah bukti keadilan yang menyertai dan merestui tindakannya. Cahaya kilat yang datang tidak mampu ditangkal bahkan ditangkap oleh ketiga wali. Anehnya, Sunan Kalijaga yang memiliki senjata keris ampuh bernama Kiai Sengkelat berhasil meraih kilat itu. Sunan Bonang yang semula berupaya menangkap pancaran cahaya aneh itu, tidak urung tangannya tersambar hawa panas yang dikeluarkan cahaya itu. Sunan Gunung Jati juga mengalami nasib serupa. Sementara itu, Sunan Giri yang terkenal ahli dalam ilmu kerohanian dari pada ilmu kesaktian tetap diam tercengang di tempat duduknya tanpa mau mengambil tindakan. Peluang itu akhirnya diambil oleh Sunan Kalijaga yang ternyata berhasil menangkap cahaya itu. Kiai Sengkelat yang memiliki lekukan sebanyak 13 buah itu diangkat dan diacungkan ke atas siap menghadapi serangan kilat yang datang. Cahaya itu berhasil ditolaknya dan dilunakkan, kemudian setelah tertangkap berubah wujud menjadi sebuah jubah atau baju sakti tak berlengan. Jubah sakti yang penuh bertuliskan huruf Arab itu konon anugerah Allah yang pernah diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan kini menjadi milik Sunan Kalijaga. Jubah itu diberi nama Jubah Antakusuma.

Mulai saat itu Sunan Giri yang memiliki sikap keras dan selalu  berbeda pendapat dengan Sunan Bonang dan Sunan Gunung Jati berhasil dilunakkan kekerasan hatinya. Ia mengakui kesaktian dan kecerdikan Sunan Kalijaga. Sejak saat itu Sunan Giri selalu hormat dan selalu minta pendapat kepada Sunan Kalijaga, jika menghadapi persoalan dalam melakukan dakwahnya. Sementara Sunan Kalijaga sampai kini dikenal sebagai tokoh wali yang paling sakti di antara ke sembilan wali. Selain memiliki jubah sakti Antakusuma dan keris pusaka Kiai Sengkelat yang mengagumkan itu sang wali masih memiliki senjata ampuh keris pusaka lain yang bernama Kiai Carubuk. Kedua pusaka miliknya itu dibuat oleh Kiai Supa seorang pandai besi yang menikah dengan adik perempuan sang wali yang bernama Rasawulan. Nama dan kharisma Sunan Kalijaga dalam kehidupan Kesultanan Demak berikutnya punya pengaruh besar dengan nama besar mesjid agung itu. Bahkan kesaktian dan kebijakan sang wali selalu diidentikkan dengan keharuman nama mesjid para wali Sultan Demak sangat bangga akan ketulusan hati serta kepandaian Kalijaga yang memperkuat pemerintahannya. Kalijaga selalu mampu menjadi tokoh penengah dalam setiap permasalahan yang timbul. Oleh karena itu, tidak heran jika Sultan Demak mempercayakan pembuatan mihrab serta penyelesaian akhir tata ruang dalam mesjid baru itu kepadanya.

Mihrab Mesjid Demak yang dibuat oleh Kalijaga diletakkan dekat ruangan kecil tempat imam berdiri kala shalat. Mihrab yang berfungsi sebagai tanda atau menetapkan arah kiblat yang disesuaikan dengan arah  menghadap ke Mekkah hasil karya sang wali dibuat dengan memakai simbol gambar seekor penyu atau bulus yang diletakkan di atas sebuah porselen putih. Pembuatan gambar penyu yang kemudian ditempel pada dinding bagian depan ruang dalam mesjid mempunyai makna dan arti luas bagi kepentingan ibadah umat Islam jika dikaji secara mendalam. Gambar penyu sesungguhnya merupakan ciri atau taktik jitu dakwah sang wali dalam rangka menarik minat umat Islam tanpa unsur paksaan. Arti penyu atau bulus yang dibuat Sunan Kalijaga merupakan simbol adanya "air kehidupan," atau kahuripan sebagaimana halnya "tirta amerta," yang bersifat abadi berada di dalam candi. Bagi umat Hindu, binatang melata berkaki empat itu merupakan wujud binantang suci karena Batara Wisnu pernah menjelma dengan wujud itu dalam upayanya menyelamatkan kehidupan di dunia dari tindakan angkara murka manusia. Sunan Kalijaga yang cerdik dan pandai mencoba melakukan hal serupa untuk menarik perhatian mereka. Pendapat itu akhirnya disetujui ketiga wali dan Sultan Demak.

Gambar penyu hasil karya Sunan Kalijaga, punya arti mewakili empat arah mata angin, yaitu timur laut, tenggara, barat daya, dan barat laut. Hal ini tampak dari empat kaki penyu yang menempel pada dinding mesjid. Sedangkan, kepala penyu menunjuk arah utara sebagaimana arah mata angin yang ditempuhnya ketika mendapatkan titah mencari batang jati. Ajaibnya, ekor penyu yang menghadap ke selatan sebagaimana telah dikerjakannya punya arti bahwa sang wali menuju ke Gua Kreo di Gunung Pati, untuk berhasil memperoleh batang kayu jati. Konon, gambaran empat arah mata angin yang disimbolkan itu memang selaras betul dan sama halnya dengan langkah serta hasil tugas yang telah dijalankannya. Bagi kita yang hidup di zaman kini hasil karya Sunan Kalijaga itu telah meninggalkan sebuah nilai sejarah yang sangat penting dan tetap berguna menjadi penyuluh dalam menjalin kehidupan antar umat beragama dan kehidupan bernegara secara lebih arif.

Semua warisan nilai sejarah hasil karya sang wali masih terlihat jika kita sempat berkunjung ke Demak dan singgah di mesjid agung itu. Demikian pula halnya dengan Gua Kreo yang terletak di sebelah utara kota Semarang, tersembunyi di balik sebuah dusun bernama Talunkacang di wilayah Kecamatan Cepogo Gunung Pati, masih terdapat bukti peninggalan Sunan Kalijaga berupa dua buah potongan batang kayu jati yang dahulu sengaja diperuntukkan bagi kera-kera raksasa penolongnya. Hasil karya dan warisan perjalanan langkah Sunan Kalijaga yang dilakukan sekitar abad ke-15, itu seakan kini mengharapkan agar kita tetap melestarikannya. Langkah pelestarian bisa dalam bentuk sikap dan perbuatan mulia serta terpuji atauapun perbuatan bijak lain seperti pernah dikerjakannya ketika membangun Mesjid Agung Demak. Kedua sisa batang jati raksasa di Gua Kreo yang terletak di dalam lorong panjang dan penuh dialiri air sungai yang jernih dan dingin memang merupakan salah satu awal langkah perjalanan gaib sang wali yang dipersembahkannya untuk kejayaan Demak. Batang jati bersejarah itu tetap mengambang di atas air secara tenang dan kadang-kadang masih ditunggui kera-kera kecil yang ada di sekitar hutan jati itu. Lokasi itu saat ini tengah dikembangkan sebagai daerah objek wisata kelas I dan paling terkemuka untuk seluruh kawasan Jawa Tengah oleh Pemerintah Kota Madya Semarang. Tempat bersejarah Gua Kreo terletak di dekat Bandar Udara Achmad Yani. Tempat itu banyak dikunjungi orang sebagai tempat berwisata dan tempat untuk menghayati nilai-nilai perjuangan tokoh sakti dan arif bijaksana serta budiman bernama "Sunan Kalijaga".

Oleh Ade Soekirno SSP
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Dua Pusaka Utama Tanah Jawa (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 4) Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang | Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Dua Pusaka Utama Tanah Jawa (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 4) Sebagai sumbernya

2 Responses to "Dua Pusaka Utama Tanah Jawa (Cerita Sunan Kalijaga Membangun Masjid Agung Demak Bagian 4)"

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete
  2. nuri zein binti ujun zein sangat menyukai cerita anda
    nuri zein binti ujun zein sangat menyukai cerita anda
    nuri zein binti ujun zein sangat menyukai cerita anda

    ReplyDelete

Cerita Lainnya