To Dilaling (Orang Yang Hijrah)

Alkisah Rakyat ~ Tersebutlah sebuah kisah dahulu kala di sebuah puncak bukit di Napo yang berkuasa seorang raja yang bernama Raja Balanipa. Sang raja tersebut tidak mau mempunyai anak laki-laki. Dalam hati sang Raja selalu berpikir. “Kalau anakku laki-laki pasti dia akan menggantikan saya menjadi raja”. Padahal sang Raja sama sekali tidak mau diganti walaupun oleh anaknya sendiri itulah sebabnya kalau istrinya melahirkan anak laki-laki. Ia langsung membunuhnya.


Pada suatu waktu ketika permaisuri sedang hamil besar, kebetulan pula Raja akan berburu ke daerah Mosso. Maka istrinya dibawa serta karna Raja takut kalau permaisuri melahirkan anak laki-laki, pasti permaisuri tidak tega membunuhnya. Sebelum Raja pergi berburu beliau berpesan kepada Puang Mosso. “Kalau besok atau lusa saya belum kembali dan permaisuri melahirkan anak laki-laki, maka bunuhlah anak itu.”

Ketika Raja pergi berburu, Permaisuri yang tinggal di Mosso itu kebetulan melahirkan anak laki-laki. Anak itu memiliki lidah yang berbulu dan berwarna hitam. Oleh karena itu puang Mosso bingung ketika memikirkan bayi yang baru lahir itu seorang laki-laki. “Kalau Raja ada di sini, anak itu pasti disembelih.” Katanya dalam hati.

Mengetahui permaisuri melahirkan, anjing pengawal raja yang bertugas menjaga permaisuri serta menjilati sarung bekas bersalin permasuri, sehingga meninggalkan darah di moncong si anjing. Selanjutnya anjing tersebut datang menghadap Raja sambil menggonggong terus memperlihatkan darah di moncongnya. Oleh karena itu, Raja pun mengerti bahwa permaisuri sudah melahirkan.

Puang Mosso yang kasihan melihat bayi laki-laki itu, segera menyembelih seekor kambing dan membuatkan nisan untuk kubran.

Ketika raja kembali dari berburu, beliau langsung bertanya “Bagaimana keadaan Permaisuri, apakah ia sudah melahirkan?” di jawab oleh Puang Mosso. “Permaisuri melahirkan anak laki-laki saya langsung menyembelihnya sebagaimana pesan dari Baginda. Marilah saya antarkan Baginda untuk melihat kuburan anak itu.” Lalu, Raja bersama Puang Mosso berangkat ke kuburan. Raja pun percaya bahwa anak laki-lakinya sudah disembelih dan dikuburkan.

Tidak terasa waktu telah bergulir, putra raja itu makin besar, dia sudah pandai belajar dan mengenal orang. Karena khawatir rahasianya akan diketahui oleh Raja nantinya, maka Puang Mosso menitipkan putra raja itu kepada seseorang yang sedang berlayar ke pulau Salemo yang jauh dari bukit Napo.

Setelah di Salemo, anak itu semakin besar menjadi remaja. Dia senang memanjat. Suatu hari, ketika ia sedang memanjat pohon, tiba-tiba datang sekor burung Rajawali raksasa yang mencengkeram pundaknya, lalu membawanya terbang ke tempat yang jauh. Sampai di Goa, burung Rajawali itu menjatuhkan anak itu di tengah sawah yang akhirnya ditemukan oleh petani. Mereka lalu melapor kepada Raja Gowa. “Di sana di tengah sawah, kami melihat seorang anak yang sangat gagah, berbaju merah. Kalau kita tanya anak dari mana? Dia tidak menjawab.

Begitu Raja Gowa mengamati anak itu, ia segera tertarik dan berkata dalam hati. “Hemm, anak ini bukan sembarang anak biasa.” Oleh karena itu dipeliharalah anak tersebut hingga dewasa, menjadi orang yang kuat, gagah dan sakti.

Raja Gowa kemudian mengangkat orang yang diterbangkan oleh burung Rajawali ini menjadi panglima perang. Kalau Raja pegi berperang, pasukannya selalu menang berkat kesaktian panglimanya. Prestasi tempurnya tak tertandingi.

Berita tentang kesaktian panglimanya terkenal dan terbesar ke berbagai wilayah. Sehingga Raja Gowa memberi gelar panglimanya  I Manyambungi.

Sementara itu dibukit Napo, Raja Balanipa, yang sebetulnya ayahanda I Manyambungi wafat dan digantikan oleh Raja Lego yang sakti. Raja ini sangat berkuasa dan kejam. Ia selalu menyembelih orang dan mengganggu rakyat yang berada di negeri sekitarnya. Untuk mengatasi hal ini, para raja bawahan dan di sekitarnya mulai prihatin dan mengadakan pertemuan. Karena sudah banyak orang yang dibunuh, dan tidak ada yang bisa menekan si Raja Lego yang sakti tapi kejam tersebut.

Salah seorang di antaranya berkata. “Ada berita baik, di Gowa ada seorang panglima perang yang sangat sakti, barangkali kita dapat minta tolong padanya untuk melawan Raja Lego.”

Kemudian diutuslah seseorang  ke Gowa untuk menemui panglima I Manyambangi. Akan tetapi I Manyambangi menolak dan berkata. “Saya akan turun ke Balanipa membantu kalian, kalau Puang Mosso yang datang menjemputku. Janji saya ini tidak boleh di dengar oleh Raja Gowa, karena beliau melarangku meninggalkan negeri ini.”

Tiba di Mosso, utusan yang bernama Puang Napo itu berkata kepada Puang Mosso,. “Pergilah ke Gowa karena beliau mau ke sini kalau Puang Mosso sendiri yang menjemputnya.” Tiba-tiba Puang Mosso tersentak kaget heran, dan cemas. Jangan-jangan, dialah anak Raja Balanipa yang di selamatkannya dahulu dan sekarang bernama I Manyambangi, pikirnya antara khawatir dan gembira.

Lalu berangkatlah Puang Mosso dengan kapal layar ke Gowa. Tiba di Gowa beliau menghadap kepada I Manyambangi dengan dada berdebar-debar. Berkatalah I Manyambangi, “Saya betul-betul akan berangkat ke Balanipa, karena saya mengingat budi baikmu kepadaku, sewaktu kecil engkaulah yang menyelamatkan dan memeliharaku.”

Puang Mosso, terus mengamati I Manyambangi dan memohon. “Maafkan hamba Tuan, coba julurkanlah lidah Tuan”. Ketika lidahnya dijulurkan dan terlihat lidah itu berwarna hitam dan berbulu. Puang Mosso langsung histeris memeluk I Manyambangi dan berkata “Benar, engkaulah putra Raja Balanipa.”

Tidak lama kemudian, pada waktu tengah malam berangkatlah mereka meninggalkan negeri Gowa dengan diam-diam karena jika pamit kepada Raja Gowa pasti takkan direstui kepergian I Manyambangi ke kampung halamannya.

Setelah sampai, kapal layar mereka merapat di Tangnga – Tangnga. Mereka lalu menurunkan semua peralatan perang dan membawanya ke bukit Napo. Itulah sebabnya I Manyambangi juga dinamakan To Dilaling (orang yang hijrah) karena beliau pindah dari Gowa ke Napo (salah satu daerah Mandar).

I Manyambangi yang diberi gelar To Dilaling menantang Raja Lepo dan berhasil membunuh raja yang bengis itu. Akhirnya, beliaulah yang menjadi penerus tahta kerajaan Balanipa yang kacau-balau pada waktu itu. Pada masa pemerintahan I Manyambangi negeri tersebut menjadi aman, makmur dan sentosa.

Kesimpulan :

Cerita ini merupakan legenda yang terjadi di daerah Mandar, Sulawesi Selatan. Hikmah yang dapat dipetik dari legenda ini ada dua 

Pertama, Janganlah terlalu mementingkan diri sendiri sehingga dapat merugikan orang lain, seperti yang ditunjukkan oleh raja Balanipa. Karena takut diganti, ia rela akan membunuh anak laki-lakinya.

Kedua, Manusia tidak sepatutnya menyombongkan kekuatan dan kesaktiannya untuk menindas yang lemah, karena sesungguhnya masih ada kekuatan yang melebih kekuatan dan kesaktian manusia. Jika Tuhan menghendaki, orang yang paling kuat dan sakti pun akan binasa juga.

Sumber: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Selatan oleh H. Abdul Muthalib

loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang To Dilaling (Orang Yang Hijrah) Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link To Dilaling (Orang Yang Hijrah) Sebagai sumbernya

0 Response to "To Dilaling (Orang Yang Hijrah)"

Post a Comment

Cerita Lainnya