Alkisah Rakyat ~ Ada sepasang suami istri yang sudah tua, tetapi belum mempunyai seorang anak pun. Ia tidak begitu miskin, tetapi hidupnya menyedihkan dan kesepian. Ia ingin mempunyai anak sepeti lazimnya para orang tua lainnya.
Karena putus asa, ia lalu memohon kepada Tuhan. “Ya Tuhan, karunialah hamba anak. Walau hanya seorang saja, walau hanya udang sekalipun. Ya…. Tuhan…. asal ada.”
Alhasil, permintaannya pun benar-benar dikabulkan oleh Tuhan. istrinya melahirkan seorang anak yang berbentuk udang, tetapi ia bukanlah udang yang sesungguhnya, hanya kulitnya saja.
Oleh karena itu, anak yang dinamakan I Laurang itu ditempatkan pada tempayan yang berisi air.
Setelah dewasa, ditinggalkanlah tempayan tempat tinggalnya selama ini karena sudah tidak mampu lagi memuat badan I Laurang yang telah membesar seperti manusia layaknya. Selanjutnya I laurang menemui ibunya untuk menyampaikan hajatnya. “Oh, ibu, Ananda ingin sekali menikahi anak gadis Raja.” Maka ibunya kaget dan berkata. “Wah, sungguh berat permintaanmu. Nak.” Cobalah ke sana dulu Bu.” Desak I Laurang sehingga ibunya mengiyakan.
“Apakah kira-kira Raja berkenan menerima pinangan kita? Karena anak gadis Raja ada tujuh bersaudara yang semuanya cantik, siapa sajalah di antara mereka yang mau padaku.” Lanjut I Laurang was-was.
Setelah itu, berangkatlah ibu I Laurang ke istana Raja. Disampaikanlah maksud kedatangannya untuk memenuhi pesan I Laurang. Mendengar penjelasan itu. Raja yang arif itu tersenyum manggut-manggut. Kemudian Raja berkata, Kalau begitu, saya akan menanyakan dulu kepada putri saya yang tujuh orang. Siapa di antara mereka yang mau menerima pinangan I Laurang.
Raja memasuki ruangan tengah. Di panggilnya ke tujuh putrinya. Ditanyakanlah satu persatu mulai dari yang paling sulung.
Tak usahlah dahulu saya akan menikah. Ayah kalau Cuma I Laurang yang jadi suamiku, banyak laki-laki lain yang lebih sepadan dengan saya, si Putri Sulung itu menolak pinangan. Demikian pula adik-adiknya yang berikut. Tetapi ketika pertanyaan disampaikan pada si Putri Bungsu, dia menjawab. “Sesungguhnya Ananda tidak mau membangkang. Ayah Kalau Ayah menginginkan ananda menikah dengan I Laurang maka ananda rela untuk menerimanya. Jawab si bungsu.
Akhirnya, Ibu I Laurang pulang dengan suka cita untuk melaporkan pada anaknya tentang hasil pembicaraannya dengan Raja. Ditetapkanlah hari pesta pernikahannya. Berita ini cepat tersebar ke seluruh pelosok kampung.
Mengetahui bahwa pinangannya diterima, I Laurang urang langsung keluar dari kulit kepompong udangnya. Sesudah itu pergilah ia bercukur. Maka orang-orang jadi heran melihatanya. Orang yang tak mengenalnya bertanya pada teman I Laurang. “Siapa orang yang sedang bercukur itu?” Berkatalah temannya, “Dia adalah I Laurang, orang yang akan dinikahkan dengan putri raja.” Semua orang tercengang. Kiranya orang yang bernama I Laurang itu sangat tampan tidak buruk seperti udang.
Ketika pesta pernikahan berlangsung, sang putri bungsu dan ke enam kakaknya terkejut melihat ke tampangan I Laurang.
Sungguh bertolak belakang dengan berita yang didengarnya bahwa I Laurang itu buruk rupa seperti udang. Sang putri Bungsu bersyukur mendapat suami yang tampan, sedangkan keenam kakaknya iri hati. Karena didorong oleh rasa iri, keenam kakaknya bersepakat. “Kita celakakan saja si Bungsu, lalu suaminya kita ambil.”
Pada suatu waktu berkatalah I Laurang pada istrinya. “Oh Dinda Saya sesungguhnya ingin pergi berdagang. Akan tetapi saya khawatir meninggalkan Dinda karena kakak-kakakmu sangat iri padamu.” Sang Putri Bungsu hanya mengangguk.
“Dinda,. ambillah buah pinang dan telur ini. kemana pun engkau pegi diajak , kakakmu, bawalah selalu barang ini,” pesan I Laurang pada istrinya.
Setelah suaminya pergi, sang Putri Bungsu diajak oleh kakaknya untuk bermain ayun-ayunan di tepi laut. Si bungsu memang berhati lunak dan bersih. Ia tak pernah curiga pada saudaranya, apa lagi membencinya. “Nah, sekarang kamu akan ku ayun. Dik”, bujuk kakaknya.
Baiklah kak, tapi pelan-pelan ya…. Kata si Bungsu. Begitu ia berayun, kakaknya beramai-ramai mendorong ayunan itu sekeras-kerasnya hingga si Bungsu ketakutan. Hentikanlah kak, kepalaku sudah pusing, perasaanku sudah tak enak….. hentikanlah, teriak adiknya makin ketakutan. Tetapi sang kakak yang sudah dirasuki rasa iri dan benci, tidak memperdulikan permohonan adiknya. Diayunnya makin keras. Tak lama kemudian terpentallah tubuh si Bungsu ke laut akhirnya tenggelam. Semua kakak si bungsu bersorak penuh kepuasan. Puas melihat adiknya mampus.
Oleh karena itu tersiarlah berita, bahwa Laurang meninggal karena terjatuh dari ayunan akhirnya masuk ke dalam laut.
Karena kekuasaan Tuhan, ketika tenggelam si Putri Bungsu mengingat pesan suaminya. Maka diambilnya buah pinang dan ditancapkan ke dasar laut, sedangkan telurnya dipecahkannya ke dasar laut, lama-kelamaan pecahaan itu membesar. Masuklah si bungsu kedalamnya untuk berlindung.
Beberapa bulan kemudian, buah pinang tadi tumbuh menjadi pohon yang besar dan tinggi sehingga melebihi permukaan laut.
Pada suatu waktu tiba-tiba ada seekor ayam jantan yang besar terbang ke atas pohon pinang itu dan bertengger di atasnya.
Apabila ada perahu yang lewat, ayam itu terus berkokok. Bunyi kokoknya, “Kuk kuruyuk, di manakah Abangku I Laurang? Bunga Putih nama perahunya.” Demikianlah selalu yang dilakukan ayam itu. Bila ada perahu yang lewat, ia berkokok menanyakan I Laurang bersama perahunya yang bernama Bunga Putih.
Ketika dilihatnya ada perahu putih yang hendak lewat, berkokoklah ayam itu menanyakan I Laurang dan perahunya. Dari atas perahu itu ada sesorang yang menjawab tak kalah kerasnya. “Sayalah I Laurang, yang melayarkan perahu Bunga Putih.”
Wah, langsung saja ayam itu terbang melayang ke perahu sambil menangis. Terus menerus menangis I Laurang heran dan memperhatikan dengan seksama. Ia berpikir sejenak, ia curiga, lalu mulutnya komat-kamit dan berteriak. “Menjelmalah hei Ayam! Saya ini I Laurang.
Akhirnya, menjelmalah ayam itu menjadi seorang putri yang cantik jelita. Dialah putri Bungsu. Oleh karena itu, dipeluknya istrinya dengan penuh kasih sayang. Kemudian istrinya bercerita mengapa sampai ia ada di sini, di tengah laut.
Pada saat perahu putih akan sampai ke pantai, I Laurang berkata pada istrinya. “Dinda, bersembunyilah dalam peti itu. Kuberi kau jarum besar. Siapa saja yang memikul peti ini, tusuklah pundaknya.”
Begitu perahu merapat, berlarian pula keenam kakak si Putri Bungsu menyambut I Laurang. Mereka semua gembira melihat I Laurang datang. Maka berkatalah I Laurang. “Ada peti di sini. Siapa saja yang sanggup memikulnya ke istana dialah yang kawin dengan saya.”
Mereka semua berlomba-lomba ingin memikulnya lebih dahulu. Si Sulung yang lebih dahulu memikul. Baru saja sampai di atas pundaknya, terus dihempaskannya kembali. Sebab rasanya ada yang menusuk pundaknya. Terasa sakit sekali. Adik berikutnya segera memikul peti itu. Tidak begitu lama diangkatnya, dihempaskannya peti itu. Ia juga tak mampu menahan rasa sakit di pundaknya.
Walhasil, semuanya sudah mencoba. Ada seorang yang mencoba menahan pukulan sampai di depan istana, tetapi ia juga tak tahan karena darah sudah berlumuran di badannya akibat ditusuk dengan jarum oleh si Bungsu dalam peti.
Akhirnya tak seorang pun yang mampu memikul peti itu ke dalam istana. Setelah semua barang lainnya termasuk peti itu berada di istana. I Laurang menganjurkan pada semua yang ada di situ. “Mungkin lebih baik kita buka saja peti ini, apa sebabnya peti terasa berat dan menusuk kalau diangkat?” Salah seorang pengawal raja membukanya. Begitu peti itu terbuka, maka langsung melompat keluarlah sang Putri Bungsu. Semua kakaknya tercengang melihat adiknya berada di situ. Dikiranya adiknya sudah meninggal. Berlarianlah mereka semua. Ada yang berlari ke pintu, ada yang melompat ke dapur, ada yang melompat ke tanah, dan ada pula yang melompat ke sumur.
Yang melompat ke pintu, dialah yang bertugas menarik dan membuka pintu, yang melompat ke dapur, dialah yang memasak. Yang melompat ke tanah dia yang menumbuk padi lesung, dan yang melompat ke sumur, dia pula yang akan mengambil air. Semua kakaknya mempunyai tugas masing-masing. Semuanya sudah menjadi pelayan dari si Putih Bungsu, karena si Bungsulah yang klak menggantikan ayahnya menjadi Raja.
Kesimpulan
Cerita ini merupakan dongeng karena peristiwa ini tidak pernah terjadi. Namun, di balik cerita ini terdapat hikmah yang sangat baik. Pertama, Bersikap patuh dan hormatlah kepada orang tua agar dapat selamat dan bahagia dalam menjalani hidp ini.
Kedua. Hindarilah sifat iri hati dan dengki karena sifat ini dapat mendatangkan kerugian dan malapetaka.
Ketiga, Jika Tuhan menghendaki, manusia dapat selamat dari martabatnya yang mengancamnya. Oleh karena itu, kita perlu banyak berdoa dan memohon keselamatan pada-Nya.
Sumber: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Selatan oleh H. Abdul Muthalib
0 Response to "I Laurang Manusia Udang"
Post a Comment