Alkisah Rakyat ~ Pada jaman dahulu hiduplah dua orang kembar laki-laki yang ajaib. Anak pertama bernama Indra Pitaraa, sedangkan adiknya bernama Siraapare. Mengapa disebut ajaib? Karena mereka masing-masing lahir bersama keris ditangan kanannya.
Ketika mereka sudah besar, keris itu menjadi senjata ampuh bagi mereka. Bahkan keris itu menjadi sumber kenakalannya. Ada taman, mereka tebas, bertemu dengan hewan, manusia juga dibunuhnya. Penduduk negeri itu merasa gelisah atas perbuatan kedua anak kembar ini. Kedua orang tuanya merasa sangat malu melihat perilaku anak-anaknya itu.
Karena tak tahan atas perilaku anaknya. Akhirnya pada suatu hari kedua orang tuanya menyuruh mereka untuk merantau ke hutan belantara. “Sebaiknya kalian pergi saja merantau. Penduduk negeri ini merasa gelisah dan resah atas perbuatan kalian, kata ibunya kepada Indra Pitaraa dan Siraapare.
Usul ibunya disambut dengan baik oleh kedua anak kembar itu, maka lalu dibuatkan bekal secukupnya. Bekal mereka itu terdiri atas tujuh buah ketupat, tujuh butir telur, tujuh ruas tebu dan dua belah kelapa tua. Tebu untuk pengganti air minum, dan tempurung kelapa untuk penutup kepala mereka.
Setelah selesai persiapan bekal mereka, kemudian berangkatlah kedua anak itu ke hutan belantara. Indra Pitaraa berjalan di depan, sedangkan adiknya Siraapare mengikuti dari belakang.
Perjalanan mereka sungguh melelahkan. Setiap hari melewati gunung dan lembah. Setiap melewati satu gunung, Siraapare selalu minta istirahat. Indra Pitaraa menuruti saja keinginan adiknya itu.
Akhirnya, adiknya dipangku sampai tertidur. Mereka makan setelah adiknya bangun dari tidurnya. Masing-masing makan satu biji ketupat, satu butir telur, dan satu ruas tebu. Begitu seterusnya sampai puncak gunung yang ke enam.
Setelah sampai pada puncak gunung yang ke tujuh, kakaknya, Indra Pitaraa sudah kelelahan karena belum pernah istirahat. Pada saat itu ia minta kepada adiknya agar bergantian. Kali ini dialah yang istirahat, kini giliran adiknya yang memangku kakaknya sampai tertidur. Ditengah-tengah tidur lelah, tiba-tiba datang angin topan yang sangat keras. Siraapare segera membangunkan kakaknya, “Kak! Bangunlah, Kak! Lihatlah angin topan telah menerpa kita.” Indra Pitaraa seketika terbangun.
Dengan sekejap mengambil keputusan. “Sebaiknya kita menyimpulkan tali pinggang agar kita tidak terpisah bila diterbangkan oleh angin”, kata Indra Pitaraa. Dengan cepat mereka menyimpulkan bersama tali pinggang mereka. Pada saat itu pula angin topan datang menerjang kedua bersaudara itu. Merek tak ubahnya bagai dua lembar daun kering yang diterbangkan oleh angin ke angkasa, mengikuti arah angin bertiup. Tanpa disadari, ketika mereka sudah berada diangksa, tiba-tiba tali pinggang mereka terputus. Seketika mereka terpisah di angkasa. Kakaknya hinggap di negeri Takluk dan adiknya hinggap di negeri perang. Setiap hari Siraapare berperang. Karena mempunyai keris ajaib, ia segera memenangkan pertempuran. Negeri Perang menjadi aman. Siraapare diangkat menjadi raja.
Sementara itu Indra sibuk dengan burung garuda dan ular yang hampir menghabiskan penduduk Negeri Takluk. Pada waktu Indra Pitaraa tiba di negeri itu tak seorangpun yang berani keluar dari persembunyiannya. Karena itu negeri menjadi sunyi-sepi, rumah-rumah kosong semua.
Tak berapa lama berjalan, ia melihat sebuah rumah yang indah. Di rumah itulah ia masuk. Akan tetapi, di dalam rumah itu tidak ada seorangpun yang tinggal. Di ruang tengah ada sebuah gendang, rupanya Indra Pitaraa juga hobi menepak gendang. Ditepaknyalah gendang itu. Ia kaget ketika dari dalam gendang itu terdengar suara orang, “Jangan memukul gendang itu nanti burung garuda datang memakanmu.” Karena tidak melihat siapa-siapa, maka Indra Pitaraa terus saja menepak gendang itu. Namun, suara orang itu tetap saja melarang Indra Pitaraa, tetapi Indra Pitaraa tidak merasa puas, akhirnya penutup gendang itu dirobek dengan kerisnya.
Ternyata didalam gendang itu ada seorang gadis yang cantik jelita. “Jangan keluarkan aku! Aku takut pada burung garuda Lihat negeri ini sudah sepi akibat keganasan burung garuda yang memakan manusia.” Tutur sang gadis itu.
Indra Pitaraa tersenyum seraya berkata. “Jangan takut, tidak apa-apa, biarlah aku yang menghadapi burung garuda itu. Kapan burung garuda itu datang?.
Kalau sudah mendung, itulah tandanya burung garuda mau hinggap di atas pohon Mangga Macan, kata sang gadis itu.
Tak lama kemudian langit mendung, benar juga, burung garuda telah melayang-layang menuju pohon Mangga Macan.
Setelah hinggap di atas dahan pohon mangga, Indra Pitaraa langsung melompat ke tanah. Burung garuda senang sekali melihat manusia. “Ah! ada makanan yang lezat yang menjemputku,” kata burung garuda dalam hatinya.
Dengan gerakan cepat luar biasa burung itu meluncur menyambar Indra Pitaraa. Ketika burung garuda sampai di tanah, Indra Pitaraa sudah bertenger didahan pohon mangga. Burung garuda menyambarnya didahan pohon mangga, Indra Pitaraa sudah berdiri di tanah, begitu seterusnya.
Setelah dirasa cukup, Indra Pitaraa mengeluarkan kerisnya dalam waktu singkat burung garuda telah tewas dan dipotong-potong oleh krisnya. Penduduk merasa sangat berterima kasih atas keberanian pemuda itu. Sebagai balas jasanya, Indra Pitaraa dikawinkan dengan putri raja. Yang tak lain adalah gadis yang bersembunyi di dalam gendang tadi.
Hal ini diketahui Indraa Pitaraa pada saat dia kembali ke rumah si gadis dan pada saat itu ibu-ibu sedang merias si gadis dalam gendang sebagai pengantin wanita.
Kini Indra Pitaraa melanjutkan perjalanannya. Tidak berapa lama kemudian tibalah ia disebuah negeri yang ditaklukkan ular. Dia merasa heran ketika tiba di sebuah rumah.
Ada beberapa orang yang ada di dalam rumah, mereka sedang merias seorang putri jelita yang amat cantik. Anehnya semua orang yang hadir di situ menangis.
Indra Pitaraa bertanya, “Ada apa kiranya? Mengapa kalian menangis?”
Orang-orang yang ada di rumah itu menjawab, kami menangisi putri kami ini. Hari ini gilirannya akan dibawah ke gua ular besar. Jika tidak dibawah kesana, ular besar itu akan datang kemari.
Indra Pitaraa hanya tersenyum, seraya berkata, “Kalian tak usah ragu, tak perlu anak itu ditangisi lagi. Tidak apa-apa, biarkan ular itu datang kemari.”
Tidak lama kemudian, ular besar itu mulai keluar dari goanya. Panjangnya sudah puluhan meter dan besarnya sebesar batang kelapa. Ular itu datang marah-marah karena anak yang dijanjikan terlambat dibawakan.
Kini akan aku habiskan manusia seisi kampung ini, kata ular besar, penduduk semakin takut.
Rumah yang pertama dikunjungi adalah rumah tempat putri tadi. Di rumah itu masih ada Indra Pitaraa. Dialah yang maju menemui ular raksasa itu. Si ular raksasa itu terheran-heran melihat seorang pemuda dengan tenang dan tegar berdiri menghadapinya, segera terjadi pertempuran seru.
Demikianlah, ular itu yang menyerang pertama kali. Sungguh ajaib. Berkali-kali ular memagut dan menelannya, tetapi Indra Pitaraa tetap saja tegar, keluar masuk di perut ular. Setelah beberapa jam si ular merasa kelelahan.
Kini giliran Indra Pitaraa untuk menyerang ular. Dengan sekejap saja, ular itu sudah terpotong-potong dengan kerisnya. Daging ular itu terhambur sampai satu hektar tanah. Maka dengan matinya ular besar itu, negeri tersebut menjadi aman. Tentram dan sentosa.
Sebagai balas jasa kepada Indra Pitaraa, penduduk negeri itu sepakat untuk menobatkan Indra Pitaraa sebagai raja negeri itu.
Selama pemerintahannya, penduduk negeri itu semakin hidup makmur, bahagia, aman dan sentosa.
Suatu waktu Siraapare mengembara kesana-kemari. Tak disangka-sangka ia tiba di sebuah negeri yang ternyata negeri itu adalah negeri Indra Pitaraa. Di situlah mereka bertemu kembali. Kemudian mereka berunding untuk kembali ke kampung halamannya mereka sudah lama meninggalkan orang tuanya dan kini mereka ingin melepas rindu menengok orang tuanya.
Maka, pulanglah mereka dan masing-masing membawa istrinya.
Kedua orang tua mereka sebenarnya sangat menyayangi mereka, setelah mereka pergi meninggalkan rumah kedua orang tuanya mereka tenggelam dalam kesedihan, mereka menangis berhari-hari.
Bahkan menurut cerita rakyat setempat digambarkan bahwa sedemikian sedihnya kedua orang tua itu sehingga sejak kedua anaknya pergi mereka terus menangis dengan telungkup diatas bantal, demikian lamanya mereka menangis, air matanya membasahi bantal setiap hari sehingga biji kapuk dalam bantal itu sampai tumbuh dalam hidung mereka. Tidak seorangpun mampu membangunkan kedua orang tua itu.
Ketika kedua anak mereka masuk ke dalam rumah, kedua anak itu merasa terharu melihat keadaan orang tuanya.
“Ayah, ibu….! Ini kedua anak kembarmu telah kembali.” Mendengar suara anak yang sangat dirindukannya sepasang suami-istri itu kaget, segera mereka bangun.
“Siraapare….!” Pekik sang ayah. Indra Pitaraa……!” seru sang ibu.
“Benar aku, aku adalah anak kalian,” jawab kedua anak muda itu sembari memeluk kedua orang tuanya bergantian.
Kini setelah kedua anaknya kembali ke rumah dengan membawa istri masing-masing, gembiralah kedua orang tua mereka. Lebih-lebih setelah mengetahui perubahan sikap anak-anaknya yang kini menjadi baik dan tidak liar sepeti dulu.
Kembalinya anak kembar itu di rayakan dengan pesta meriah selama tujuh hari, tujuh malam.
Sumber: Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara oleh M. Yudhistira
0 Response to "Cerita Si Kembar Indra Pitaraa dan Siraapare"
Post a Comment