Alkisah Rakyat ~ Di desa kelahiranku, Tataaran, ada sebuah pohon besar yang lazim disebut orang di kampungku kayuwangko. Memang pohon itu adalah pohon atau kayu yang sangat besar dan umumnya pun sudah ratusan tahun.
Di bawah pohon ini terdapat mata air yang sangat besar dan airnya sangat jernih, mata air itu disebut orang uluna, artinya “bagian kepala”. Di bagian yang agak jauh terdapat suatu pemandian yang disebut Ranowangko.
Orang tua melarang anak-anak pergi dekat-dekat ataupun membuat ribut di sekitar pohon tersebut. Tempat itu dianggap sangat keramat dan dilarang melakukan hal-hal yang dianggap tidak sopan. Kalau itu toh terjadi, roh-roh nenek moyang yang ada akan marah dan akan mengirimkan kutukan berupa penyakit, malapetaka, bencana alam dan lain-lain.
Tempat itu disebut juga kewewayuan (tempat yang angker). Apabila ada seseorang yang ingin mendapat insprasi, dia dapat datang ke tempat ini mohon pada “penunggu” yang mendiaminya. Sering pula ada persembahan berupa ayam ekor putih dan lain-lain dibawa serta.
Pada siang hari, orang dilarang mandi-mandi di Ranowangko dan apabila melewati tempat ini kita diminta untuk memberi salam dengan menyapa “Ehm, ehm.” Katanya, para “penunggu” pohon dan air sedang beristirahat dan tidak boleh diganggu pada siang bolong.
Zaman pun berubah dan teknologi canggih mulai masuk ke desa-desa, termasuk desa Tataaran. Suatu waktu, pohon ini entah dibakar entah sengaja ditebang oleh orang. Muncullah banyak kritik dari orang-orang tua yang mengatakan bahwa opo telah murka karena lah manusia. Timbullah malapetaka seperti kekeringan, banjir, dan penyakit perut (muntaber). Katanya para opo yang menunggu pohon dan air itu marah dan menimbulkan bencana tersebut.
0 Response to "Ranowangko Dan Kayuwangko"
Post a Comment