Alkisah Rakyat ~ Di kawasan Condet Jakarta Timur, sekitar abd ke-20 terkenal seorang tokoh yang merupakan warga asli Jakarta bernama Entong Gendut. Entong Gendut adalah tokoh yang selalu berusaha membela kaum petani yang tertindas karena kebiadaban tuan tanah.
Pada saat itu, para tuan tanah sangat merajalela, mereka meminta agar pajak yang dibayar oleh petani naik dua kali lipat. Alasannya, hasil panen mulai membaik dan kualitasnya meningkat.
Karena tidak sanggup membayar pajak, para petani meminta agar dikenakan biaya sewa tanah saja. Namun, permintaan itu ditolak, jika ada petani yang tidak setuju, mereka disuruh pindah ke gunung.
Para tuan tanah juga mewajibkan petani untuk bekerja bakti tanpa bayaran, para petani sangat menderita. Tetapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya berani membicarakan para tuan tanah secara diam-diam.
“Sungguh terlalu para tuan tanah ini, seenaknya saja menyuruh kita bekerja tanpa bayaran. Memangnya kita binatang. Binatang saja jika disuruh kerja harus dikasih makan. Masa kita yang manusia diperlakukan lebih rendah dari binatang, boro-boro diberi makan. Yang ada kita bakalan kena semprot kalau kerja kita tidak becus.” Ujar salah seorang petani.
Petani yng lain menimpali, “Betul mereka hanya mementingkan dirinya sendiri. Sampai kapan kita harus begini? Bagaimana jika kita melakukan protes saja?”
“Setuju! Kita bakar saja sawahnya,” ujar petani yang lain. “Ya, betul.......betul...! “ ujar yang ikut menimpali.
Tuan tanah mengetahui para petani mulai berani berindak. Ia lalu mengabulkan permintaan petani agar menghilangkan pajak dan menggantinya dengan sewa tanah.
Namun, penghasilan para petani sangat sedikit sehingga mereka tidak sanggup membayar sewa. Hal ini membuat para tuan tanah bertindak semakin kejam. Jika petani tidak mampu membayar, mereka akan merampas barang-barang milik petani.
Apabila para petani tidak memiliki barang untuk disita, mereka harus menjual rumahnya. Tuan tanah akan membeli rumah mereka dengan harga yang amat murah.
Rumah yang biasa dijual oleh para petani biasanya sudah sangat reyot. Rumah tersebut tidak bermanfaat bagi tuan tanah, mereka lalu menyuruh para mandor untuk membakar atau menghancurkan rumah itu. Hal ini membuat para petani semakin menderita.
Pada bulan Februari 1916, terjadi peristiwa, ada perkara antara tuan tanah dan seorang petani bernama Taba. Perkara ini sampai dibawa ke pengadilan. Pengadilan memutuskan bahwa Taba wajib membayar 7,2 gulden kepada tuan tanah.
Taba tidak mampu membayar karena tidak punya uang. Akhirnya seluruh harta benda dan rumahnya disita oleh tuan tanah. Tuan tanah hanya membayr 4 ½ gulden untuk rumah Taba.
Para petani dan warga sekitar sangat marah, mereka datang ke lokasi penyitaan dan memprotes aksi itu. Mereka berteriak-teriak marah menentang perlakuan yang tidak adil yang diterima oleh Taba.
Namun, para penyita tidak memperdulikan teriakan warga, tidak ada pemimpin yang mau membela nasib rakyat miskin. Para pemimpin hanya mementingkan nasib orang-orang kaya yang bisa menguntungkan mereka.
Pada saat kejadian. Entong Gendut sedang berada di sana. Ia menyaksikan peristiwa itu, hatinya membara penuh amarah. Ia mengertakkan giginya. Ingin rasanya menyerang orang-orang yng menyita rumah Taba. Tetapi, ia tak berdaya, jika itu dilakukannya, ia pasti dijebloskan ke dalam penjara.
Entong Gendut lalu mengumpulkan seluruh warga dan para petani. Saudara-saudara, tindakan para tuan tanah sudah kelewat batas. Mereka semakin semena-mena terhadap kita. Kita tidak bisa diam saja. Kita harus segera bertindak melawan mereka, ujar Entong Gendut.
Salah seorang warga menyahut. “Tapi apa yang akan kita lakukan. Jika kita menyerang mereka, sudah pasti kita kalah, mereka memiliki banyak kaki tangan yang siap menghajar jika kita berani melawan.”
“Itu benar, oleh karena itu kita harus membekali diri dengan ilmu bela diri agar mampu melawan para kaki tangan itu,” ujar Entong Gendut.
Para warga dan petani setuju, mereka akan berlatih silat agar dapat melawan para tuan tanah. Entong Gendut akan melatih mereka karena dulu ia adalah seorang pendekar. Ia dibantu oleh dua orang kawannya, Maliki dan Modin.
Semula jumlah petani dan warga yang ikut serta hanya sedikit. Namun, kabar tentang perkumpulan Entong Gendut menyebar ke berbagai pelosok Condet, akhirnya jumlah pengikutnya menjadi bertambah banyak hingga ratusan orang.
Suatu hari, para warga mengadakan acara hiburan gratis berupa pertunjukkan tari topeng, warga Condet ramai memenuhi acara ini. Acara digelar tidak jauh dari rumah Lady Rollison, seorang wanita Belanda.
Kebetulan di rumah mewah itu juga sedang diadakan pesta bagi orang-orang Belanda. Para warga melempari mobil para tuan tanah yang lewat di depan mereka. Hal ini menyebabkan para tuan tanah menjadi geram dan mencari tahu dalang dibalik penyerangan ini.
Kabar tentang Entong Gendut dan pengikutnya sudah tersebar luas. Para tuan tanah melapor kepada komandan polisi agar menangkap Entong Gendut.
Wedana Meester Cornelis yang memerintah pada saat itu mendatangi Entong Gendut di rumahnya, ia dikawal oleh komandan polisi dan pasukannya.
Entong Gendut, saya Wedana Meester Cornelis, saya beserta komandan polisi ingin menemuimu. Segeralah keluar atau pintu rumahmu akan kami dobrak. Ujar Wedana Meester Cornelis.
“Tunggu sebentar, Wedana saya mau salat dulu,” ujar Entong gendut dari dalam.
Tidak lama kemudian, Entong Gendut keluar berpakaian serba putih. Di pinggangnya terselip golok. Tangannya memegang tombak panjang dan dibelakangnya berdiri pasukan pengikutnya.
“Entong Gendut, sebaiknya kau segera menyerahkan diri atau kami akan berlaku kasar terhadapmu,” ujar Wedana Meester Cornelis.
“Aku tidak mau menyerahkan diri, aku tidak akan tunduk kepada kalian atau pada para tuan tanah itu. Mereka telah menindas rakyat miskin yang tidak berdosa,” ujar Entong Gendut.
Kemudian dari semak-semak di depan rumah Entong Gendut pengikutnya yang lain keluar. Mereka semua bersenjata golok dan tombak. Jumlah pasukan Entong Gendut menjadi sangat banyak.
Entong Gendut meneriakkan perintah untuk menyerang. Pertarungan pun terjadi, pasukan Entong Gendut sangat bersemangat, mereka menyerang dengan membabi buta.
Komandan polisi lalu mendapat kiriman pasukan. Pasukan Entong Gendut menjadi lemah, banyak dari mereka yang terluka, bahkan tidak sedikit yang tewas.
Peluru komandan polisi menembus dada Entong Gendut, darah segar mengalir membasahi tubuhnya. Ia tergeletak tak berdaya.
Polisi segera mengikat tangan Entong Gendut dan membawanya ke rumah sakit. Namun ia meninggal ketika dalam perjalanan.
Pasukan Entong Gendut yang tersisa melarikan diri, para polisi terus mengejar mereka. Mereka yang tertangkap dijebloskan ke dalam penjara.
Pesan Moral
Sikap Entong Gendut yang sangat menjunjung tinggi rasa persaudaraan baik untuk dicontoh. Ia tidak mau melihat sesamanya menderita karena ketidakadilan. Oleh karena itu, ia berusaha untuk melawan para penindas. Meskipun pada akhirnya ia tewas, namanya akan selalu dikenang sepanjang masa.
0 Response to "Entong Gendut"
Post a Comment