Alkisah Rakyat ~ Pada masa penjia pergi, penjajahan Belanda, di pelabuhan Batavia terdapat sebuah pasar ikan yang dipenuhi oleh para pedagang dan perahu-perahu layar yang besar. Setiap hari, pasar itu selalu ramai dan penuh sesak dengan pembeli. Mereka senang berbelanja di sana karena ikan-ikan yang dijual masih sangat segar.
Namun, kegiatan mereka sering terganggu dengan kehadiran seorang preman yang sangat ditakuti oleh para pedagang dan pembeli, preman itu bernama Angkri.
Perawakannya sangat menyeramkan, wajahnya sangar dan berewokan, ia selalu mengenakan pakaian serba hitam. Di pinggangnya terselip sebilah golok. Jika ada yang melawan, ia tak segan-segan melayangkan goloknya. Kemana pun ia pergi dua orang anak buahnya selalu mengikuti dari belakang. Mereka adalah Madun dan Bai.
Madun dan Bai sangat patut kepada Angkri, mereka sering disuruh merampas hasil dagangan penjual ikan. Bila gagal mereka akan dimarahi dan diperlakukan dengan kasar oleh Angkri.
“Dasar bodoh, Gitu aja nggak becus., apa mesti gue yang harus ngerjain sendiri? Hah?” ujar Angkri. “Maaf Bang, para pedagang sedang sepi penghasilan. Kabarnya ikan-ikan lagi sulit ditangkap.” Ujar Madun.
“Huh, alasan saja lo, bilang aja lo berdua emang nggak sanggup. Untung hari ini gue lagi sabar. Kalau nggak ni golok sudah nebas leher lo, lo pasti !” ujar Angkri seraya mengayunkan goloknya.
“Ampun Bang, ampun.” Ujar Madun dan Bai. “Ya udah, ayo ikut gue, kita cari makan,” ujar Angkri. “Baik Bang,” ujar Madun dan Bai.
Mereka lalu menuju sebuah warung makan yng terletak tidak jauh dari pelabuhan. Ketika mereka bertiga masuk, semua orang di dalam warung menunduk ketakutan. Pemilik warung segera mengantarkan seteko air dan tiga buah gelas kepada mereka. Kemudian ia juga membawakan tiga piring nasi lengkap dengan lauk-pauk yang istimewa.
Setiap makan di warung, mereka tidak pernah membayar, pemilik warung tidak berani melawan karena takut kepada Angkri.
Setelah kenyang, mereka kembali beraksi memeras para pedagang. Menjambret para pembeli, atau mencuri barang-barang di kapal.
Di pelabuhan ada sebuah kapal layar milik tuan Opsinder, di gudang kapal itu, tersimpan barang-barang pecah belah, perhiasan, dan kain-kain sutra yang sangat mahal. Angkri bermaksud untuk mencuri benda-benda tersebut.
Ia dan kedua anak buahnya mengendap-endap masuk ke dalam kapal ketika para awak kapal sedng beristirahat. Mereka bertiga membagi tugas. Angkri dan Bai masuk ke dalam kapal, sedangkan Madun berjaga diluar, merek berhasil menjarah barang-barang berharga di dalam kapal itu
Setelah berhasil, mereka langsung kabur sebelum para awak kapal terbangun. Mereka berlari menuju rumah seorang warga yang terletak tidak jauh dari pelabuhan mbil lagi, sekarang gue mau cari kapal dulu. Besok kami mau berangkat ke Sumatera,” ujar Angkri.
Pak Ocin berpikir, barang-barang yang akan dititipkan Angkri kepadanya pasti adalah hasil curian. Ia tidak mau mengambil risiko, ia takut dirinya akan ikut terlibat jika Angkri tertangkap.
“Maaf Angkri, rumah gue terlalu kecil, barang-barang lo nggak muat diletakkan di sini,” ujar pak Ocin.
“Kurang ajar lo, pak Ocin. Lo berani nolak perintah gue ya. Nggak usah khawatir, barang-barang ini bukan hasil curian,” ujar Angkri berbohong.
“Bukan begitu, Angkri, lo bisa lihat sendiri kalau rumah gue sempit. Lagi pula barang-barang lo pastilah barang berharga. Jika hilang, gue nggak akan mampu untuk menggantiknnya,”ujar pak Ocin.
“Huh, lo memang cari-cari alasan aja. Lo belum pernah ngerasain kibasan golok gue, ya?” ujar Angkri seray mengeluarkan goloknya.
Istri serta anak perempuan pak Ocin berteriak ketakutan, menantu pak Ocin, Kasun, berusaha untuk membela mertuanya. Akhirnya pertarungan antara Angkri dan Kasun pun terjadi.
Angkri, Madun dan Bai mengoroyok Kasun. Kasun pun babak belur, Angkri dan anak buahnya kemudian bergegas pergi, mereka harus segera mencari kapal untuk pergi ke Sumatera.
Keluarga pak Ocin melaporkan perbuatan Angkri dan buahnya kepada Bek Kasan, kakak Kasun, Bek Kasan kemudian membawa mereka ke kantor polisi agar polisi menangani masalah itu.
Sementara itu, pemilik kapal, tuan Opsinder sangat marah. Gudang tempat penyimpanan barang berharganya telah dimasuki orang. Barang-barangnya juga telah hilang. Ia pergi ke kantor polisi dan melaporkan kejadian itu.
Di kantor polisi, ia bertemu dengan keluarga pak Ocin. Tuan Opsinder mendengar laporan pak Ocin kepada polisi. Ia lalu bertanya barng apa saja yang dibawa oleh Angkri dan anak buahnya.
Barang-barang yang disebut oleh pak Ocin ternyata sama dengan barang berharga milik tuan Opsinder yang hilang. Mereka langsung memastikan bahwa pelakunya tidak lain adalah Angkri.
Para polisi tidak menyia-nyiakan waktu, mereka segera mengejar ketiga preman itu ke pelabuhan. Kebetulan Angkri dan dua anak buahnya belum berangkat ke Sumatera. Mereka masih menunggu kapal di pelabuhan, melihat polisi datang mereka langsung berpencar dan melarikan diri.
Barang-barang curian yang mereka bawa memperlambat lari mereka. Madun dan Bai berhasil diringkus dan tinggal Angkri.
Ketika akan ditangkap Angkri masih berusaha melawan, namun Angkri dapat dikalahkan karena sendirin. Para polisi memborgolnya, tiga penjahat itu segera dibawa ke kantor polisi.
Madun dan Bai dijatuhi hukuman penjara beberapa tahun, sedangkan Angkri dijatuhi hukuman gantung karena perannya yang lebih berat dalam setiap tindak kejahatan.
Semenjak itu, pasar di pelabuhan Batavia sudah aman, tidak ada lagi preman yang suka merampas hasil jualan para pedagang dan makan di warung tanpa membayar. Para pedagang dan pemilik warung dapat berjualan dengan tenang.
Pesan Moral
Perbuatan yang jahat pasti akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Inilah yang dialami oleh Angkri. Perbuatannya yang semena-mena terhadap para pedagang membuatnya harus mendapat hukuman gantung.
0 Response to "Angkri Preman Pasar Ikan"
Post a Comment