Alkisah Rakyat ~ Pada suatu hari Ki Wanabaya punya hajat (mengadakan pesta). Ketika dalam kesibukan pesta itu, istrinya minta pisau untuk membuat sudhi (wadah dari daun pisang). Oleh Ki Wanabaya, diberilah dia sebuah pisau, au dengan pesan jangan sampai diletakkan di atas pangkuan. Tetapi di luar kesadarannya, pisau itu diletakkan di atas pangkuannya, dan tiba-tiba tangkai pisau itu hilang lenyap.
Istri KI Wanabaya menjadi bingung. Mencarinya sana kemari, tak juga berhasil menemukannya. Orang-orang lain ditanyainya, tetapi tak ada yang mengetahui. Mereka turut sibuk mencari tangkai pisau yang hilang itu, tetapi tidak juga dapat diketemukan.
Setelah pesta selesai, Ki Wanabaya pergi bertapa di Gunung Merapi. Selama ditinggalkan suaminya bertanya itu, Nyi Wanabaya mengandung. Berbulan-bulan telah lewat, dan pada saatnya, Nyi Wanabaya melahirkan kandungannya. Alangkah heran serta terkejutnya orang-orang yang mengetahui, waktu Nyi Wanabaya itu melahirkan. Ternyata yang dilahirkannya itu bukannya bayi manusia, melainkan bayi ular.
Orang-orang yang menyaksikan menjadi takut. Ular yang baru saja lahir itu lalu ditutupinya dengan sebuah jembangan. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, dan bulan berganti bulan, dan anak ular yang dikurung di bawah jembangan itupun makin bertambah besar. Akhirnya, karena jembangan itu besarnya tetap padahal ular itu terus-menerus bertambah besar, sehingga ruangan di dalam jembangan itu tidak cukup lagi menampung ular itu di dalamnya. Dan karena terdesak terus oleh tubuh ular yang semakin bertambah besar itu, maka jembangan itu lalu pecah.
Dengan pecahnya jembangan itu, maka si ular lalu dapat dengan leluasa keluar dari dalamnya. Kepada Nyi Wanabaya, ular itu bertanya:
“Ibu, siapakah ayahku, dan dimanakah dia?”
Karena dia merasa yang melahirkan ular itu, dan suaminya ialah Ki Wanabaya, maka berkatalah ia: “Kau itu anakku, nak. Dan Ayahmu bernama Ki Wanabaya. Sekarang Ayahmu itu sedang bertapa di Gunung Merapi."
“Aku akan mencari dia” kata ular itu.
“Kalau akan mencari ayahmu, pergi lah ke Gunung Merapi”.
Berangkatlah ular itu, dari tempat tinggalnya, menuju ke Gunung Merapi. Tubuh ular itu sangat besar, tanah yang dilalui oleh ular itu terbentuk saluran yang sangat besar dan panjang, menuju ke Gunung Merapi, seperti jalur saluran yang digali.
Saluran yang terbentuk dari tanah yang dilalui oleh ular itu, akhirnya terbentuklah sebatang sungai, ialah kali Progo.
Sampai di Gunung Merapi, dicarinya lah orang yang sedang bertapa. Akhirnya, diketemukan lah ki Wanabaya, yang sedang bertapa di Gunung Merapi. Kepada Ki Wanabaya, ular itu berkata:
“Saya datang ke sini perlu mencari ayah saya”.
“Dimanakah ayahmu?” tanya Ki Wanabaya.
“Ayah saya bertapa di Gunung Merapi ini” jawab ular itu.
“Namanya siapa?”
“Namanya Ki Wanabaya” kata ular.
“Aku ini Ki Wanabaya” kata Ki Wanabaya.
“Kalau begitu kau ini ayahku” kata si ular.
“Nanti dulu” kata Ki Wanabaya. “Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa ayahmu itu bernama Ki Wanabaya?”
“Ibuku” kata ular itu, yang lalu menceritakan dari awal sampai akhir. Diceritakannya sejak ibunya menerima pisau dari Ki Wanabaya, yang diletakkan di atas pangkuannya dan lalu hilang lenyap. Hilangnya tangkai pisau itu menyebabkan ibunya mengandung, dan lahirnya berwujud ular.
“Saya inilah yang dilahirkan oleh Nyi Wanabaya” kata si ular. “Kalau begitu, kau ini ayahku, karena kau adalah suami ibuku”.
“Nanti dulu” kata Ki Wanabaya. “Aku bersedia mengaku kau anakku, asal kau mampu memenuhi syarat yang kutentukan”.
“Apakah syarat itu?” tanya si ular.
“Kalau kau mampu melingkari gunung Merapi ini dengan tubuhmu, maka aku mau mengaku bahwa kau anakku” kata Ki Wanabaya. “Sebaliknya, bila kau gagal melingkari gunung ini dengan tubuhmu sehingga ujung kepalamu menyinggung ujung ekormu, maka kau tak akan kuterima sebagai anakku”.
Si Ular menyanggupi syarat yang dikemukakan oleh Ki Wanabaya. Mulailah dia melingkarkan tubuhnya pada Gunung Merapi. Ular itu sangat besar dan sangat panjang. Gunung Merapi yang sangat besar itu dilingkari dengan tubuhnya. Kurang sedikit sekali ular itu berhasil melingkari Gunung Merapi. Ujung kepalanya hampir menyinggung ujung ekornya. Untuk menutup kekurangan itu, maka dikeluarkannya lidahnya.
“Pintar sekali akal ular itu” pikir Ki Wanabaya. “Kalau ujung lidah itu dapat menyentuh ujung ekornya, maka berarti berhasillah ular itu melingkari gunung.”
Di dalam hati, Ki Wanabaya tidak senang mengakui ular itu anaknya. Syarat yang dikemukakan itu, sebenarnya hanyalah siasat agar si ular gagal mengemukakan tuntutannya memaksa dia mengakuinya sebagai anaknya. Dengan pikiran demikian, maka cepat-cepat Ki Wanabaya memotong lidah ular itu.
Lidah yang dipotong itu, kemudian menjadi senjata pusaka Ki Wanabaya. Selanjutnya, kelanjutan riwayat ular tersebut, menimbulkan suatu cerita rakyat tentang asal-mula Rawa Pening. Yang disebut Rawa Jembangan, ialah tempat ular itu ditutup dengan jembangan sehingga jembangan itu pecah. Itulah asal-mula nama Rawa Jembangan.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to "Asal Mula Rawa Jembangan"
Post a Comment