Asal Mula Desa Kewayuhan

Alkisah Rakyat ~ Raja Majapahit I mempunyai seorang anak yang masih kecil. Pada suatu hari, ketika anak kecil itu sedang didulang (disuapi nasi) oleh ibunya, baginda raja berkata: “Anak itu nanti kalau sudah kenyang, mesti berkicau seperti burung".

Karena kesaktian Baginda Raja Majapahit, mata apa yang diucapkan itu benar-benar terjadi. Anak kecil itu benar-benar menjadi burung, lalu terbang. Burung itu burung inyil-inyil. Terbang meninggalkan ibu bapaknya, meninggalkan Keraton, lalu terbang kemana-mana.

Dengan sangat sedih nya, Baginda Raja Majapahit Lalu pergi mencarinya. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan bagindaraja berjalan, mencari Kian kemari, namun belum juga dapat menemukan anak kandungnya yang kini telah berubah wujud menjadi burung, bahkan telah meninggalkan Keraton.

Di salah satu tempat di wilayah Kerajaan Majapahit, tinggallah seorang Kyai, bernama Kyai Bathok Bolu. Pada suatu hari, Kyai Bathok Bolu kedatangan seorang tamu, entah saudaranya, entah kenalannya. Pada waktu tamu datang itu, Kyai Bathok Bolu sedang menyadap kelapa. Melihat Kyai Bathok Bolu sedang menyadap kelapa itu, si tamu lalu minta legen (air gula). Oleh Kyai Bathok Bolu, kamu itu diberi apa yang diminta, lalu tamu itu mengatakan bahwa air gula itu segar sekali rasanya: “Segar sekali rasanya air gula ini. Alangkah nyamannya bila dimakan bersama-sama dengan menir (beras lembut) dan katul (bekatul). Dhi (dik), kapan-kapan datanglah ke rumahku, nanti saya beri menir dan katul”. Selesai bertamu, pulanglah tamu itu, meninggalkan rumah Kyai Bathok Bolu.

Beberapa hari kemudian, berangkatlah Kyai Bathok Bolu itu itu ke tempat tinggal kenalannya yang pernah datang ke rumahnya dahulu. Kepergian Kyai Bathok Bolu itu ditemani oleh anak laki-lakinya. Di bawahnya air gula, kesenangan kenalannya itu. Rumah yang dicari didapatkannya, dan dirumah kenalannya itu, Kyai Bathok Bolu dan anak laki-lakinya menginap barang dua tiga malam. Pada waktu minta izin untuk pulang, oleh kenalannya itu diberi menir dan katul.

Pada suatu hari, anak si Kyai Bathok bolu mendengar kicau burung inyil-inyil, dan ingin sekali memelihara burung itu. Kepada ayahnya ia minta ijin untuk menangkap burung itu, dan ayahnya mengijinkannya. Setelah mendapat ijin, maka anak itu lalu menangkap burung itu. Pada waktu itu, Kyai Bathok Bolu dan anak laki-lakinya itu sedang sakit mata. Burung inyil-inyil itu hinggap di pohon pati urip. Anak laki-laki Kyai Bathok bolu berhasil menangkap burung itu, lalu dielus-elus dan didulang (disuapi). Adapun yang dipergunakan untuk menyuap ialah menir dan katul yang dikunyah kan dahulu, agar lunak. Begitu memberi makan kepada burung itu, maka sakit mata si anak menjadi sembuh dalam seketika. ia sendiri menjadi heran, lalu katanya kepada ayahnya:

"Pak. Mataku jadi sembuh dan dapat melihat, setelah menyuapi burung inyil-inyil ini. Cobalah, pak. Suapilah burung ini, biar mata Ayah juga menjadi sembuh". Kyai Bathok bolu menuruti kata-kata anak laki-lakinya. Dikunyahnya menir dan takul secukupnya, lalu disuapkan ke mulut burung itu. Benar kata anak itu. Mata Kyai Bathok bolu menjadi sembuh juga, kini kedua-duanya dapat melihat. Mereka berdua bergirang hati. Burung itu lalu dibawa pulang, dirawat dan dipelihara baik-baik. Dibuatkan juga kurungan.

Baginda Raja Majapahit, yang pergi kesana kemari mencari anak kesayangannya, Pada suatu hari sampai di rumah Kyai Bathok Bolu. Kyai itu beristri Wayuh (lebih dari seorang) maka desa tempat tinggal Kyai Bathok Bolu itu disebut desa Kewayuhan, dari kata wayuh.

Sesampai di rumah Kyai Bathok Bolu, bertanyalah Baginda Raja:

“Kang. Kedatangan saya kesini ini sebenarnya perlu mencari burung kesayangan saya yang hilang, ialah burung inyl-inyil”.

“Burung inyil-inyil?” kata Kyai Bathok Bolu. “Anak saya baru saja mendapatkan burung inyil-inyil”.

“Bolehkah saya melihatnya, kakang?” tanya Baginda Raja Majapahit, yang kedatangannya di rumah Kyai Bathok Bolu itu menyamar sebagai rakyat biasa. Dan oleh Kyai Bathok Bolu, baginda itu diantarkan ke tempat kurungan. Setelah dengan teliti mengamati burung inyil-inyil di dalam kurungan itu, yakinlah Baginda, bahwa burung itu tidak lain adalah anaknya sendiri.

“Benar kakang. Burung ini benar burungku” kata Baginda.

“Bagaimana kalau burung ini ku bawa pulang?”

“Silahkan kalau anak saya boleh” kata Kyai Bathok Bolu. Anaknya lalu dipanggil, dan dimintai persetujuannya, burung inyi-inyil itu diminta oleh tamunya. Ternyata anak itu memperbolehkannya. Dengan senang hati, Baginda Raja Majapahit yang menyamar sebagai rakyat biasa itu, membawa pulang burung  inyil-inyil. Sebelum meninggalkan rumah Kyai Bathok Bolu, berkatalah Baginda:

"Kalau sewaktu-waktu Kakang ada perlu, datanglah ke rumah saya".

“Memang tidak lama lagi saya ada perlu" Kata Kyai Bathok Bolu. 

“Perlu apa, kakang?” tanya tamunya.

“Akan mantu. Mengawinkan anak saya ini”.

“Oh, kalau begitu, datanglah ke rumahku. Aku akan memberi bantuan biaya”.

“Bagaimana saya dapat ke sana?” tanya Kyai Bathok Bolu.

“Biarlah anjing saya ini saya tinggalkan di sini” kata tamunya.

“Anjing ini akan dapat menunjukkan jalan ke rumahku. Ikutilah ke mana dia pergi. Tentu dapat sampai ke rumahku.”

“Benar, beberapa hari kemudian, berangkatlah Kyai Bathok Bolu, dengan tujuan akan mengunjungi rumah kenalan barunya. Anjing yang ditinggalkan oleh tamunya di rumahnya itu, yang namanya Kudus, digunakan untuk penunjuk jalan. Dahulu tentu saja belum ada jalan raya yang bagus seperti sekarang ini. Jadi mereka itu berjalan melalui jalan jalan desa, kadang-kadang menuruni jurang dan mendaki bukit, serta menembus hutan.

Akhirnya, sampailah Kyai Bathok Bolu beserta Kudus si anjing itu, di ibukota Majapahit. Dengan tanpa ragu-ragu anjing Kudus yang diikuti itu terus berjalan, menuju ke alun-alun di tengah kota. Sampai di alun-alun, bukannya berhenti atau berbelok, melainkan terus menuju ke Sitihinggil. Kyai Bathok Bolu ragu akan terus mengikuti anjing itu. Iya mengira Kalau anjing itu tersesat. Tetapi ia ingat akan pesan tamunya si pemilik anjing itu, disuruh terus aja mengikutinya. Itulah sebabnya, maka meskipun dengan cemas dan ragu, dia mengikuti juga kemana Anjing itu berjalan. Iya pun berjalan menuju ke Sitihinggil. Belum sampai menginjakkan kakinya di lantai sitihinggil, pengawal Kerato menahan dia.

Sementara itu, di dalam istana, Baginda Raja Majapahit melihat anjingnya, si Kudus datang. Baginda yakin, pastilah Kyai Bathok Bolu pun datang pula. Maka Baginda lalu menyuruh pengawalnya pergi ke alun-alun, memanggil orang yang tadi bersama-sama datang dengan anjingnya itu. Kyai Bathok Bolu dibawa masuk ke Keraton menghadap Baginda Raja. Tentu saja ia merasa takut.

Di keraton Majapahit itu, Kyai Bathok Bolu menginap selama tiga hari. Pada hari yang pertama dan kedua Kyai Bathok Bolu disuguhi makan minum sepantasnya. Tetapi pada hari yang ketiga, ternyata tidak diberi makan. Tentu saja ia merasa lapar, lalu menggerutu:

"Keterlaluan, aku sebagai tamu di sini sama sekali tidak disuguhi makanan, hingga lapar. Biarlah saya pamit pulang saja" maka Kyai Bathok Bolu lalu pamit, sedang Baginda Raja lalu berkata:

“Baiklah Kakang, kalau kau akan pulang. Seperti yang pernah aku janjikan, Aku akan memberimu sumbangan untuk sekadar Membantu biaya penyelenggaraan perkawinan anak laki-laki mu itu. Nah. Terimalah ini, bawalah pulang".

Kyai Bathok Bolu menerima pemberian Baginda Raja Majapahit yang katanya untuk sumbangan itu. Apakah yang diterimanya? Tidak lain ialah buah waluh dua buah. Di dalam hati, Kyai Bathok bolu mengeluh dan menggerutu: "Apakah umum, sumbangan untuk pesta perkawinan kok waluh.” Tetapi di depan Baginda Raja, dia tidak berani berkata apa-apa. Bahkan minta tambahan bekal untuk persediaan di dalam perjalanan pulang itu, dia sama sekali tidak berani. 

Dengan membawa 2 buah waluh itu, Kyai Bathok Bolu berjalan, menuju ke arah rumahnya. Jauh sekali terasa. Lebih-lebih lagi, setelah ternyata yang diterima dari Baginda itu hanya buah waluh, bukannya harta benda atau uang, yang dapat dibelanjakan, untuk biaya pestanya.

Sampai di desa Kotagede, Kyai Bathok Bolu merasa lapar dan haus. Mampirlah dia di sebuah warung. Dia ingin makan dan minum di warung itu, tetapi untuk itu dia harus membeli, Padahal sama sekali ia tidak punya uang sepeserpun, sebab dari Baginda Raja tidak dibekali uang. Yang dimilikinya hanyalah dua buah waluh. Maka kepada pemilik warung itu, Kyai Bathok Bolu berkata, kalau boleh Iya minta makan dan minum secukupnya, sedang sebagai imbalannya, dia menyerahkan waluh yang dibawahnya itu sebuah. Pemilik warung itu ternyata menyetujui. Maka Kiai Bathok Bolu lalu makan dan minum dengan lahapnya, karena perutnya terasa lapar dan haus. 

Waluh yang sebuah ditinggalkannya di warung itu, sebagai pengganti harga makan dan minum yang diterimanya. Sedang waluh yang sebuah lagi di bawahnya pulang. Sesampai dirumah, waluh itu dibelah. Alangkah tercengangnya dia beserta seisi rumah. Ternyata isi waluh itu menyimpang dari kebiasaan. Dari dalam waluh yang dibelah itu keluar lah: kundhi (alat untuk membuat cowek, kuali dan sebagainya).

Sedang waluh yang sebuah lagi, yang diberikan kepada pemilik warung untuk penukar makan dan minum itu, setelah dibelah, ternyata isi harta benda yang serba mahal, emas picis raja Brana (emas intan yang mahal nilainya).

Itulah asal-mulanya, maka orang-orang di desa Kewayuhan, sampai sekarang keahliannya ialah membuat grabah: cowek, kuali, pengaron, dan sebagainya, tak dapat membuat yang aneh-aneh. Sedangkan orang-orang kotagede, semuanya karya raya, berkat harta kekayaan mas-intan yang banyak sekali termuat dalam waluh dahulu itu.

Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta


loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Asal Mula Desa Kewayuhan Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Asal Mula Desa Kewayuhan Sebagai sumbernya

0 Response to "Asal Mula Desa Kewayuhan"

Post a Comment

Cerita Lainnya