Alkisah Rakyat ~ Yang akan saya tuturkan ialah sejarah Kanjeng Ratu Pembayun. Di dalam sejarah, Kanjeng Ratu Pembayun itu putra baginda Kanjeng Panembahan Senapati. Putra yang laki-laki bernama Raden Rangga, dan yang perempuan yaitu Putri sulungnya, bernama Kanjeng Ratu Pembayun.
Sejarah Kanjeng Ratu Pembayun terjadi di zaman Mataram, pada waktu Kanjeng Panembahan Senapati bertahta sebagai raja Mataram yang pertama. Pada waktu itu Kanjeng Panembahan Senapati merasa bahwa keadaan negeri Mataram belum tentram. Hal tersebut Lalu dibicarakan dengan Ki Ageng Juru Mertani.
Beliaulah yang selalu memberikan petunjuk-petunjuk pada masa Kanjeng Panembahan Senapati bertahta. Kanjeng Panembahan Senapati terus berdaya upaya dan mempertinggi keprihatinan, yang akhirnya dapat diketahuinya bahwa di sebelah barat daya Negeri Mataram ada seorang penguasa bernama Ki Ageng Mangir, yang bermaksud akan memberontak.
Kanjeng Panembahan Senopati lalu berunding dengan pamannya Ki Ageng Juru Mertani, Bagaimana caranya menumpas pemberontakan yang membahayakan ketentraman itu. Kesaktian Ki Ageng Mangir tidak boleh diremehkan, karena memiliki senjata pusaka, ialah sebuah tombak yang sangat ampuh, dinamakan Baruklinthing.
Di dalam perundingan itu akhirnya dikemukakan suatu cara untuk menaklukkan pemberontakan tersebut. Cara itu bukannya dengan kekerasan, melalui melainkan yang halus. Kanjeng Ratu Pembayun dipanggil, diikut sertakan di dalam perundingan dengan pamanda itu. Setelah mendengar persoalan yang menyebabkan keprihatinan baginda raja ayahnya, sangatlah terharu Perasaan hati Kanjeng Ratu Pembayun.
Negara tidak tentram karena adanya seorang pemberontak yang sangat sakti ialah di Ageng Mangir. Hasil perundingan itu, maka Kanjeng Ratu Pembayun menyanggupi melakukan tugas yang dibebankan kepadanya, untuk membela kerajaan dan menunjukkan baktinya kepada Ayahanda.
Menuruti siasat di Ageng Juru Mertani, dibentuklah suatu rombongan dhalang. Penyamaran rombongan dhalang yang dibentuk itu sangatlah rapi, sehingga orang lain tidak mengetahui bahwa itu hanya samaran, penyamaran yang mengemban suatu tugas rahasia. Atas pelaksanaan rencana tersebut, hati Kanjeng Panembahan Senapati merasa ragu-ragu, karena rasa kasih terhadap putrinya, yang dengan suka rela menyediakan dirinya menerima tugas rahasia yang berat itu. Kanjeng Panembahan Senapati memberi pesan kepada putrinya agar senantiasa ingat dan waspada. Setelah dirasa cukup pesan-pesan baginda raja, maka Knajeng Ratu Pembayun lalu menggabungkan dirinya ke dalam rombongan dhalang.
Di tempat yang dituju dapatlah rombongan dhalang itu mempergelarkan pertunjukan kesenian yang sangat menarik perhatian para penontonnya. Ternyata Ki Ageng Mangir juga tertarik hatinya kepada pergelaran kesenian itu. Beliau memuji kemahiran Ki Dhalang. Kecuali itu juga ada perasaan tertarik kepada waranggananya (biduanita). Biduan itu dirahasiakan oleh Ki Dhalang. Tidak dikatakan terus terang bahwa sebenarnya putri sulung Baginda Raja Kanjeng Panembahan Senapati melainkan diakui sebagai anaknya sendiri.
Hal itu menggembirakan Ki Ageng Mangir yang merencanakan akan mengambilnya sebagai istri. Segalanya telah terjadi atas kehendak Tuhan. Kanjeng Ratu Pembayun menjadi istri Ki Ageng Mangir Wanabaya. Betapa besar rasa bangga hati Kanjeng Panembahan Senapati, mempunyai seorang anak yang sangat besar tekadnya, sadar sebagai putri raja akan membantu menumpas musuh kerajaan. Padahal seorang putri, tidak lain ialah Kanjeng Ratu Pembayun.
Lama-kelamaan soal penyamaran Kanjeng Ratu Pembayun itu terbuka juga. Ki Ageng Mangir akhirnya tahu juga, bahwa isteri yang diambilnya dari rombongan dhalang itu, sebenarnya Putri Kanjeng Panembahan Senapati. Setelah tahu tentang keadaan sesungguhnya, Ki Ageng Mangir pun tidak dapat berbuat lain, karena bagaimanapun juga Kanjeng Ratu Pembayun itu istrinya, padahal telah mengandung.
Kejadian selanjutnya mereka menghadap Baginda Raja, pertama Karena Kanjeng Ratu Pembayun telah lama tidak menghadap ayahnya, kedua karena kini kedudukan Ki Ageng Mangir Wanabaya telah menjadi menantu Baginda dan akan menyatakan baktinya kepada ayah mertua. Waktu berangkat ke Mataram, senjata pusakanya di bawah serta. Sesampai di daerah Mataram, beliau diberi nasehat agar para pengiring tidak usah semua turut masuk. Semua senjata pusaka tidak diperbolehkan dibawa, karena kalau dibawa akan kurang baik akibatnya. Pula agar kelihatan setianya kepada mertua, dinasehatkan Ki Ageng Mangir menghadap Raja tanpa pasukan pengiring dan tanpa senjata pusaka. Ki Ageng Mangir tak dapat berbuat lain. Diturutinyalah nasehat itu, lalu Beliau bersama istrinya menghadap Kanjeng Panembahan Senapati.
Niat Ki Ageng Mangir memang akan menunjukkan baktinya kepada mertua. Beliau bersama-sama dengan isterinya, menghadap baginda raja. begitulah menurut babad. Ketika itu keraton ada di sebelah selatan pasareyan Kota Gede, yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Dalem. Sekarang bahkan untuk makam besar. Pada waktu Ki Ageng Mangir menghadap mertua itu, Baginda Raja Kanjeng Panembahan Senapati bersemayam di Keraton Plered, Kota Gede.
Ketika Ki Ageng Mangir “ngabekti” (bersujud) di dekat kaki Baginda dan mencium lutut baginda, baginda meghindar dan kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan ke batu tempat baginda duduk. Ki Ageng Mangir meninggal oleh pusaka baginda, keris yang diberi nama Kanjeng Kyahi Sengkelat, ialah pusaka Kerajaan Mataram sejak jaman Keraton Pajang.
Tentu saja Kanjeng Ratu Pembayun sangat terkejut. Sama sekali tidak diduga bahwa suaminya akan dibunuh sedemikian rupa. Tentu saja Kanjeng Ratu Pembayun menjadi sangat sedih atas meninggalnya Ki Ageng Mangir. Untuk menghibur kesedihan Kanjeng Ratu Pembayun, maka baginda lalu memanggil Ki Ageng Karang Lo. Kanjeng Ratu Pembayun lalu diserahkan kepada Ki Ageng Karang Lo.
Ki Ageng Karang Lo sangat kasih kepada Kanjeng Ratu Pembayun, sebab memang sejak Kanjeng Ratu Pembayun masih kecil. Ki Ageng Karang Lo telah biasa mengasuhnya. Kini, Kanjeng Ratu Pembayun itupun diserahkan oleh baginda raja kepadanya, bukan sebagai anak asuhan, melainkan menjadi isterinya. Sampai saat meninggalnya, Knajeng Ratu Pembayun tetap tinggal di Karang Lo. Bahkan setelah meninggal, beliau itupun dimakamkan di makam Karang Lo. Nyai Riya Adisara diperintah oleh baginda mendampingi Kenjeng Ratu Pembayun tinggal di Karang Lo.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to "Kanjeng Ratu Pembayun"
Post a Comment