Alkisah Rakyat ~ Cerita ini merupakan kelanjutan dari cerita Ki Ageng Paker, yang diceritakan gemar sekali memelihara burung perkutut. Burung perkutut Prabu Brawijaya yang hilang, ditemukan oleh Ki Wongsoyudo, yang dikenal pula dengan sebutan Ki Ageng Paker. Tanpa mengharapkan imbalan apa-apa, burung perkutut itu dikembalikan kepada pemiliknya.
Sang Prabu Brawijaya yang bertahta di Majapahit, sangat menghargai sikap Ki Wongsoyudo. Sikap Ki Wongsoyudo sedemikian itu bukan karena mengetahui bahwa yang dihadapinya itu adalah raja besar dari Majapahit. Sama sekali dia tidak tahu, bahwa dia berhadapan dengan Sang Prabu Brawijaya sebab waktu mencari burung perkututnya itu, sang Prabu Brawijaya menyamar sebagai rakyat biasa, dan mempergunakan nama samaran Ki Diponolo.
Sebelum kedatangan Ki Diponolo ke rumah Ki Wongsoyudo telah banyak orang yang pada datang, dengan maksud akan menukar burung perkutut yang baru diketemukan oleh Ki Wongsoyudho itu dengan harta kekayaan yang mahal-mahal. Ternyata Ki Wongsoyudo tidak lekas silau terhadap harta kekayaan.
Waktu pada akhirnya Ki Diponolo datang ke rumahnya dan mengatakan keinginannya akan memelihara burung perkutut temuan itu, itu dengan sukarela Ki Wongsoyudo memberikannya, tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Mengapa maka demikian? Karena pada malam harinya menjelang kedatangan Ki Diponolo ke rumahnya, Ki Wongsoyudo bermimpi bahwa orang itulah yang berhak memiliki burung perkutut temuan itu.
Senang sekali Sang Prabu Brawijaya mendapatkan kembali burung perkutut kesayangannya yang telah hilang. Sebagai imbalan, kepada Ki Wongsoyudo diberikan-nya anjing Kesayangan yang dibawanya dari Majapahit. Sambil menyerahkan Anjing itu kepada Ki Wongsoyudo, berkatalah Ki Diponolo:
“Kakang, terimalah anjing kesayanganku ini. Anggaplah ini sebagai ikatan persahabatan antara aku dengan kakang. Dan aku berharap kapan-kapan kakang datang ke rumahku. Bila kakang akan mantu, kabarilah aku”.
“Bagaimana aku dapat datang ke rumahmu?” tanya Wongsoyudo. “Aku belum pernah ke sana”.
“Datanglah ke pusat kota Majapahit” kata Ki Diponolo.
“Berilah tanda yang mudah ku ingat untuk mencari rumahmu” kata Ki Wongsoyudo.
“Rumah yang menghadap halaman paling luas diseluruh pusat kota Majapahit, itulah rumahku” kata Ki Diponolo, yang sebenarnya ialah Sang Prabu Brawijaya. Setelah berkata begitu, berangkatlah beliau, meninggalkan rumah Ki Wongsoyudo.
Beberapa tahun berselang setelah kunjungan Ki Diponolo mengambil burung perkutut dari rumah Ki Wongsoyudo, keluarga Ki Wongsoyudo mempunyai rencana akan mengawinkan anak gadisnya. Berhubungan dengan akan kawinnya anak gadisnya itu, Ki Wongsoyudo bermaksud akan mengundang kenalan barunya, ialah Ki Diponolo.
Pada suatu hari Berangkat lah Ki Wongsoyudo ke arah timur, tujuannya ialah ke ibu kota Majapahit. Untuk penunjuk jalannya, diajak lah anjing pemberian Ki Diponolo yang ditinggalkan padanya. Anjing itu membimbing dia pergi, mencari rumah tempat tinggal Diponolo. Anjing itu membawa Ki Wongsoyudo sampai di sebuah alun-alun yang sangat luas. Di tengah-tengah alun-alun itu, tertanam lah dua pohon beringin yang rindang daunnya.
“Rupa-rupanya ini alun-alun Keraton" begitu pikir Ki Wongsoyudo. Dia berhenti di bawah pohon beringin di tengah alun-alun itu. Si anjing terus berjalan, menuju ke Sitihinggil, dan terus masuk ke dalam keraton.
Berkali-kali ku Wongsoyudo memanggil anjing itu agar kembali dan jangan masuk ke dalam Keraton, tetapi Si anjing tak mau kembali. Si Wongsoyudo mengira anjing itu tersesat akan pulang kembali ke rumah tuannya, yaitu Ki Diponolo. Sama sekali dia tidak menduga, bahwa pemilik anjing itu, sebenarnya ialah pemilik keraton itu pula, ialah Sang Prabu Brawijaya.
Akan terus berjalan mengikuti anjing itu masuk ke dalam Kraton, Ki Wongsoyudo tidak berani, takut akan diusir para prajurit yang menjaga pintu Kraton itu. Jadinya, ia hanya duduk termenung di bawah pohon beringin. Akan pulang kembali ke rumahnya, tujuannya akan berkunjung ke rumah Ki Diponolo belum terlaksana. Akan meneruskan perjalanannya, dia tak tahu ke arah mana dia harus berjalan, sebab anjing penunjuk jalannya kini tersesat masuk ke dalam Kraton.
Di dalam Kraton, Sang Prabu Brawijaya melihat anjing kesayangannya datang, lalu bertanya kepada pengawal.
“Hai, pengawal. Lihatlah ke alun-alun saya! Siapakah orangnya yang tadi bersama-sama dengan anjing itu?”. Baginda telah menduga, bahwa Ki Wongsoyudo takut akan terus masuk ke dalam istananya.
Pengawal yang diperintah itu segera pergi keluar, menengok ke alun-alun. Dilihatnya ada seorang laki-laki duduk termenung di bawah pohon beringin di tengah alun-alun. Segeralah pengawal itu melaporkannya kepada Baginda Raja. Sang Prabu memerintahkan pengawal memanggil orang laki-laki itu.
“Ampun. Saya tidak berbuat jahat” kata Ki Wongsoyudo, waktu para prajurit pengawal kerajaan mengajak dia masuk ke dalam kraton. “Saya hanya sekedar duduk-duduk di bawah pohon beringin ini. Saya sama sekali tidak bermaksud jahat. Apabila saya dipersalahkan mengotori pohon beringin ini, saya minta maaf. Saya bersedia membersihkannya, asal saya jangan dihukum”.
Para prajurit itu sama sekali tidak mempedulikan kata-kata Ki Wongsoyudo. Perintah Baginda Raja, mereka harus membawa orang itu menghadap Baginda. Itu sajalah yang mereka lakukan, tak usah mendengarkan Bagaimana ucapan orang itu. Entah benar atau salahkah orang itu, bukan merupakan urusan bagi para prajurit.
“Ampun, sinuwun. Hamba tidak bermaksud berbuat jahat” kata Ki Wongsoyudo sambil menyembah, ketika telah sampai di depan Baginda Raja.
“Kakang Wongsoyudo” sabda Baginda, dan Ki Wongsoyudo menjadi sangat terkejut, mengapa Baginda Raja telah mengenal namanya. Rasa-rasanya dia pernah mendengar suara itu, suara yang pernah juga memanggil dia kakang.
“Tengadahkan mukamu, kakang Wongsoyudo” sabda Baginda lagi. “Pandanglah aku. Kau pernah mengenal aku, bukan?”.
Perlahan-lahan Ki Wongsoyudo mengangkat mukanya, memandang Baginda Raja. Benar apa yang dipikirkannya tadi. Dan benar pula yang dikatakan oleh Baginda tadi. Suara itu pernah dikenalnya. Dan wajah itu pernah pula dikenalnya. Tetapi, pada waktu Ki Wongsoyudo mengenalnya dahulu, bukannya suara dan wajah Baginda Raja, melainkan suara dan wajah Ki Diponolo.
“Ampun sinuwun” kata Ki Wongsoyudo tiba-tiba, sambil menyembah. “Kalau dahulu hamba tahu bahwa yang datang ke rumah hamba dahulu itu sinuwun, hamba tentu tidak akan seenaknya menerima kedatangan sinuwun”.
“Kau tidak perlu takut, kakang” sabda Baginda. “Sama sekali tidak ada kurangnya penerimaanmu kepadaku pada waktu aku berkunjung ke rumahmu dahulu. Aku tetap sahabatmu, seperti pada waktu kau mengenal aku pertama kali. Mari kita sama-sama makan, untuk memeriahkan pertemuan kita ini”.
Ki Wongsoyudo diajak makan bersama-sama Baginda Raja. Tentu saja sikap Ki Wongsoyudo nampak kaku dan canggung. Dasar orang desa, miskin, belum pernah hidup di tengah kota. Kini makan bersama-sam dengan Baginda Raja.
Sekali makan, Baginda Raja bertanya tentang kabar berita keluarga Ki Wongsoyudo di rumah. Selanjutnya sampailah pada pokok persoalan, keperluan Ki Wongsoyudo datang berkunjung, maksudnya akan memberitahukan bahwa dia akan mantu, mengawinkan anak perempuannya. Sedianya akan mengundang sahabatnya, ialah Ki Diponolo, tetapi kini niat itu diurungkan, karena yang dihadapinya bukannya Ki Diponolo, melainkan Baginda Raja.
“Sayang sekali, aku tak dapat menghadiri pestamu itu, kakang”, sabda Baginda, maafkanlah aku. Bukannya karena aku melupakan persahabatan antara kau dengan aku, tetapi karena kesibukan urusanku. Baiklah kakang Wongsoyudo. Terimalah ini sumbanganku”, sambil bersabda begitu itu, Baginda Raja menyerahkan dua butir buah waluh yang besar-besar kepada Ki Wongsoyudo. “Tetapi ingatlah baik-baik, kakang. Waluh ini jangan kau pecah di tengah perjalanan. Bukalah setelah sampai di rumah”.
Wongsoyudo menerima dua buah waluh itu, lalu pamit pulang ke rumahnya. Di dalam hati Ki Wongsoyudo itu menggerutu:
“Apa ini. Sumbangan kepada mantu kok buah waluh. Apa umum. Padahal dia itu Raja yang kaya raya. Mengapa bukannya menyumbang mas-picis raja-brana, jadi dapat kupergunakan untuk biaya mantu sehingga dapat meriah”.
Di sepanjang perjalanan dari pusat Kota Majapahit menuju ke rumah tempat tinggalnya, Ki Wongsoyudo tak habis-habisnya menggerutu. Buah waluh dua buah yang besar-besar itu terasa merepotkan Dia berjalan. Akan dijinjing tangkainya terlampau kecil. Akan dikandut terlampau besar. Akan dibuang saja di jalan, nanti tak ada buktinya bahwa dia telah sampai ke tempat kenalannya dan pulang membawa oleh-oleh. Akan dibelah untuk dimakan dan untuk pengobatan haus, Ingat pesan Baginda Raja, jangan dipecah, kecuali setelah sampai dirumah.
Ketika sampai di desa Tegalgendhu ( kini dikenal dengan nama Kota Gede), hari telah malam, dan Ki Wongsoyudo mencari tempat menginap, esok harinya bru akan meneruskan perjalanannya pulang ke rumah.
Didapatinya sebuah rumah yang dihuni oleh seorang wanita janda. Janda itu menerima Ki Wongsoyudo menginap di rumahnya. Untuk menjamu tamunya yang baru saja Berjalan jauh, janda itu menanak nasi. Sayang bahan untuk disayur tidak ada, padahal hari sudah malam, tak ada orang berjualan. Kebetulan dilihatnya tamunya itu membawa buah waluh, lalu si janda memberanikan diri minta waluh itu untuk disayur.
Ki Wongsoyudo sama sekali tidak keberatan, buah waluh nya yang sebuah diserahkan kepada janda itu untuk disayur. Nanti gampang mencari gantinya sebelum sampai di rumah, begitu pikirnya, sebab memang begitu nyatanya, buah waluh bukannya buah yang aneh bagi masyarakat di desanya. Buah itu banyak ditanam orang di ladang-ladang di sekitar desanya.
Janda menerima buah waluh itu, lalu di bawahnya ke dapur. Waktu buah itu dibelah, Alangkah terkejutnya si janda. Waluh itu bukannya sembarang waluh. Ternyata didalamnya penuh berisi emas intan berlian, yang tentu saja nilainya sangat tinggi. Cepat-cepat mas intan berlian itu disembunyikannya, lalu buah waluh itu dimasak sayur, kemudian dihidangkan kepada tamunya.
Selesai makan, Ki Wongsoyudo terus saja tidur dengan lelapnya. Dia merasa dirinya sangat capek karena perjalanan jauh, maka waktu ada kesempatan untuk melepaskan lelah, cepat sekali dia tertidur. Sama sekali dia tak merasa, bahwa harta kekayaan milik Nya berupa Emas Intan dan berlian diambil oleh si janda, karena dia sama sekali tidak tahu bahwa buah waluh pemberian Baginda Raja Majapahit itu diisi dengan mas intan dan berlian. Kalau dia tahu isinya, tentu tak akan diperbolehkannya walau Itu diminta oleh janda itu. Lagipula, kalau dia tahu bahwa waluh itu berisi harta kekayaan yang besar nilainya, niscaya dia tak terus-menerus menggerutu dan mengomel saja.
Keesokan harinya, Berangkat lah Ki Wongsoyudo meneruskan perjalanannya, pulang ke rumah. Sesampai dirumah, belum sempat Nyi Wongsoyudo menanyakan tentang kabar beritanya di perjalanan, Ki Wongsoyudo melontarkan keluhannya: "Sial!" .
“Sial bagaimana, Pak?" tanya Nyi Wongsoyudo kepada suaminya. “Bagaimana? Dapat ketemu rumahnya adhi Diponolo?”.
Ki Wongsoyudo lalu menceritakan pengalamannya selama berpergian, dari mulai berangkat sampai pulang kembali ke rumahnya. Pada akhir ceritanya, Ki Wongsoyudo melemparkan buah waluh yang tinggal sebuah itu begitu saja ke lantai rumahnya, sambil katanya: "Inilah pemberian Sang Prabu Brawijaya, yang dahulu menyamar sebagai Ki diponolo".
Waluh yang dijatuhkan itu pecah. Isinya berhamburan. Ternyata isi waluh itu penuh dengan mas intan dan berlian. Melihat itu, Nyi Wongsoyudo tercengang. Belum pernah dia melihat Kekayaan sebanyak itu. Cepat-cepat dia mengumpulkan harta benda itu, lalu disimpannya baik-baik. Sedangkan Ki Wongsoyudo, tiba-tiba berteriak: “Auh! Satunya lagi!”.
“Kenapa yang satunya lagi, pak?” tanya Nyi Wongsoyudo.
Ki Wongsoyudo menceritakan, bahwa dari Majapahit dia dibekali buah waluh dua buah, yang besar dan beratnya sama. Tentu kedua-duanya berisi harta kekayaan seperti yang dipecah di rumah itu.
“Lalu, yang satu lagi sekarang ada dimana, pak?" tanya Nyi Wongsoyudo.
“Tadi telah kuceritakan, bahwa aku menginap di rumahnya seorang janda di desa Tegalgendhu" kata Ki Wongsoyudo. “Dan waluh yang sebuah telah dipecah oleh janda itu, dimasak sayur untuk lauk makan”.
Baik Ki Wongsoyudo maupun Nyi Wongsoyudo, kedua-duanya yakin, bahwa buah waluh yang sebuah lagi, yang dimasak sayur oleh janda itu, itu tentu juga berisi emas intan berlian, seperti yang dibelah nya di rumah. Semula mereka bermaksud akan pergi ke Tegalgendhu, untuk meminta kembali mas intan berlian, kalau tidak boleh seluruhnya, setidak-tidaknya sebagian pun jadilah. Setelah dipertimbangkan lebih lanjut, niat itu dibatalkan. Memang telah tergaris nasibnya, keluarga Ki Wongsoyudo hanya kebagian harta kekayaan yang termuat di dalam satu buah waluh, meskipun semula diterimanya dua buah waluh berisi harta karun.
Diceritakan, si janda Tegalgendhu, yang dahulu ketamuan Ki Wongsoyudo, dengan tiba-tiba menjadi kaya raya. Harta kekayaan yang didapatkan dari dalam buah waluh itu, itu dipergunakan untuk membangun rumahnya, membeli tanah untuk anak-cucunya, dan sebagian terbesar dipergunakannya untuk berdagang. Berkat kepandaiannya berdagang, harta kekayaan itu berkembang menjadi berlipat ganda.
Itulah sebabnya, maka anak-cucu si janda Tegalgendhu, yang sekarang terkenal dengan kerabat Tegalgendhu, tergolong pada kelompok orang kaya-kaya, dan mata pencarian utama mereka ialah berdagang, wanita mereka ialah pihak yang memegang peranan dalam pengendalian perekonomian keluarga mereka.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to "Asal Mula Kekayaan Tegalgendhu"
Post a Comment