Alkisah Rakyat ~ Cerita ini meriwayatkan yang mulia Sri Sultan Hamengku Buwana I. Sesudah pembagian negara di desa Giyanti, maka yang mulia pergi ke barat dengan seluruh keluarga dan pengikutnya. Di dekat gunung Gamping, beliau melihat tempat yang rindang dan nyaman, kemudian berhenti di situ. Yang mulia memerintahkan para prajuritnya serta para pengiring agar membangun Pesanggrahan. Pesanggrahan itu terletak di sebelah barat gunung kecil yang namanya disebut Telaga Maka mulailah pembangunan Pesanggrahan di Nggamping itu.
Dalam pelaksanaan pembangunan Pesanggrahan di Nggamping itu, Yang Mulia hanya selalu memikirkan mana tempat yang tepat untuk ditempati selama-lamanya sampai se anak-cucunya. Tiap hari dan tiap malam, pikirannya hanya terpusat pada rencana akan membangun sebuah Keraton; manakah tempat yang baik untuk tempat Keraton itu. Ada hiburan sedikit, ialah dibangunnya pesiraman (pemandian). Sesudah jadi, Pesanggrahan itu diberi nama Ambarketawang atau Gamping. Demikian juga kemudian membangun pemandian, pemandian, yaitu yang letaknya dari Ambarketawang naik ke selatan agak ke barat sedikit, berada di atas puncak gunung Gamping yang Selatan ada memancar sumber airnya yang sangat jernih.
Tempat itu dibangun, diberi kolam untuk pemandian, dan dinamakan Banyutemumpang. Sampai sekarang, air dari tempat itu masih dipergunakan oleh orang-orang yang bertempat tinggal disekitar tempat itu. Pada masa Sultan I, tidak boleh sembarang orang mempergunakan air dari Banyutemumpang itu untuk mandi, kecuali bila ada ijin dari beliau.
Pada waktu dilaksanakan pembangunan, setiap saat Baginda selalu mengawasi orang-orang yang melaksanakan pembangunan itu, pertama-tama golongan blandhong, kedua kelompok mergangsa, ketiga kelompok gowong, dan keempat golongan undhagi. Keempat kelompok itu, semuanya golongan tukang kayu, semuanya menggarap pekerjaan kayu.
Yang menjadi keinginan beliau, undhagi diperintahkan mengukir, balok penghubung, tiang. Sedang gowong, margangsa, sendiri-sendiri pekerjaannya. Gowong pekerjaannya memasah (mengetam) kayu yang besar-besar. Merangsa itu pekerjaannya membuat gawang gawang, pintu-pintu. Undhagi pekerjaannya mengukir barang-barang yang banyak dipergunakan oleh Sri Sultan sendiri, misalnya tempat tidur, dengan ukiran berhiaskan ular naga, dan barang-barang ukiran yang lain dari kayu.
Setiap hari, Baginda menyaksikan para Abdidalem melakukan pekerjaannya. Adapun Abdidalem blendhong, kebanyakan dari Gunung Kidul, tempat pohon-pohon jati. Pekerjaan blandhong itu menebang pohon sesudah digergaji lalu diusungnya ke kota diserahkan kepada Abdidalam gowaong, margangsa dan undhagi.
Begitulah setiap hari Baginda senantiasa membuat ukir-ukiran untuk hiasan di dalam rumah. Maka sekarang dapat kita saksikan, bangsal-bangsal Keraton itu tiang-tiangnya berukir, blandar juga berukir; semuanya serba berukir. Termasuk jenis kesenian yang sampai sekarang belum ada tandingannya.
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Ngayojakarta tiap hari senantiasa memikirkan rencananya untuk membangun Keraton. Maka tiap malam pada hari yang baik, Misalnya malam Selasa Kliwon atau malam Jumat, beliau selalu berjalan-jalan, mencari-cari, meneliti, manakah tanah yang tepat untuk mendirikan Kedhaton. Apakah tanah Gamping itu, yang tempatnya memang enak, wilayahnya luas, tanahnya berpasir, dan ada sungainya; pemandangan untuk melihat pegunungan-pegunungan ke arah utara sangat luas, mulai dari gunung Sumbing ke arah timur, Merapi, yang semuanya dapat nampak jelas dan indah.
Sejak dahulu, Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Ngayojakarta itu gemar sekali berhibur di sungai. Pada suatu hari pada hari malam Jumat, malam Sukra, beliau berjalan, diikuti oleh abdi dua orang. Beliau berjalan di sepanjang sungai, yaitu sungai Bedog. Di sebelah timur Gamping ada sebuah sungai, namanya Sungai Bedog. Beliau menyusuri sepanjang sungai itu, memudik, ke arah utara. Sebenarnya untuk meneliti, manakah tanah yang baik untuk membangun Kedhaton. Ternyata seluruh daerah yang dilalui di sepanjang Sungai Bedog itu, kurang sesuai untuk membangun Keraton.
Sementara itu, diceritakan tentang adanya seseorang yang tetruka (membuka tanah baru) di desa Gancahan. Orang itu ingin sekali dapat bersua dengan Ingkang Sinuwun. Berhari-hari orang itu tidak pernah tidur di rumahnya. Ia mendapat wisik (ilham) dari lahan, disuruh pergi ke sungai untuk mengail; itulah jalannya dia akan dapat bertemu dengan Ratu Ngayogja. Begitulah, Kyai dari Gancahan, namanya Kyai Jamba, pada waktu jam 11 malam, berjalan di sepanjang sungai dengan membawa pancing. Sebenarnya dia belum pernah mancing. Kali ini dia memancing, sebenarnya hanya untuk memenuhi perintah di dalam ilham yang diterimanya itu. Sesampai di sebelah barat Gancahan, yaitu di sungai Bedog, Ia berjongkok di dekat kedhung (bagian sungai yang dasarnya sangat dalam). Di sana dia memancing.
Pancingnya tidak diberi umpan, dimasukkan begitu saja ke sungai. Tak lama kemudian dimakan ikan wader atau badher. Pancing itu ditariknya dan kenaikannya, lalu dimasukkan lagi, dapat ikan lagi. Sementara itu ada seseorang yang berdiri di dekat Kyai itu sedang memancing.
“Aneh sekali kau memancing, Pak?" orang itu bertanya.
“Bagaimana anehnya?” tanya Kyai Jamba. Saya memakai pancing biasa. Saya masukkan ke dalam air, kalau dimakan ikan lalu saya tarik dan ikan tertarik juga ke atas. Mana yang aneh”.
“Biasanya, orang mengail itu pada kailnya diberi umpan, sedangkan kamu itu, memancing tanpa dipasangi umpan, padahal setiap kai dimasukkan ke dalam air tentu dapat ikan. Mengapa sampai terjadi begitu?”.
“Saya tidak tahu, mas” jawab Kyai Jamba. “Itu adalah kehendak ikan-ikan itu sendiri menggigit pancingku”.
Kanjeng Sultan berpikir sambil tersenyum: “Orang apakah ini, orag kok aneh” lalu bertanya kepada orang yang memancing itu:
“Maksudmu itu apa, Pak? Mengapa kamu malam-malam begini mencari ikan? Apakah perlunya?”
“Ketahuilah, mas. Besok pagi adalah tepat tingalannya (hari lahir) raja saya, maka saya akan selamatan”.
“Mengapa kamu menyelamati Rajamu, apakah kamu sudah kenal?” Tanya orang datang itu.
“Belum” jawab Kyai Jamba.
“Belum pernah bertemu dengan dia?” tanya orang itu.
“Belum” jawab Kyai Jamba. “Saya belum pernah berjumpa dengan Raja saya”.
“Ternyata kamu belum pernah kenal dan belum pernah berjumpa dengan Rajamu, Pak. Mrngapa kamu menyhelamati?” tanya orang itu.
“Saya menyadari saya tinggal di desa ini. Raja saya menguasai wilayah ini” kata Kyai Jamba. “Itulah sebabnya, maka saya mengadakan selamatan untuk keselamatan dan kesejahteraan Raja saya seturun-turunnya, agar selamat dalam menguasai negara”.
Mendengar jawaban demikian itu, maka orang yang bertanya itu mengangguk-anggukkan kepala. Sementara itu, Kyai Jamba berkata lagi: “Sebenarnya saya mancing ini sambil akan menemui Raja saya itu". “Jadi kamu ingin bertemu dengan raja mu itu Pak?" tanya orang itu.
“Ya, saya ingin sekali berjumpa dengan beliau”.
“Kalau benar-benar ingin berjumpa, mengapa tidak mencarinya?”
“Tidak usah” kata Kyai Jamba. “Saya tak usah mencarinya”.
“Lalu bagaimana?”.
“Dengan berdiam diri sambil memancing di dekat kedung ini, saya berharap dapat berjumpa dengan beliau” kata Kyai Jamba. “Saya telah mendapat ilham, bahwa saya dapat berjumpa dengan Raja saya. Siapa tahu, Raja saya datang ke tempat ini, jadi saya dapat berjumpa dengan beliau. Hanya saja, saya ini orang desa; tentu saja bahasa saya tak dapat halus. Saya malu kalau harus omong-omong dengan Raja”.
Orang yang berbicara dengan Kyai Jamba itu, sebenarnya ialah Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan. Mendengar kata-kata Kyai Jamba itu, beliau tertawa, lalu bertanya: “Kamu itu anak siapa, pak?”
“Oh, saya ini tidak keruan. Siapa bapak saya tidak keruan, saya tidak tahu. Adapun ibu saya, yang saya ketahui hanyalah bahwa dia berasal dari desa Kepundhung” kata Kyai Jamba.
“Dari Kepundhung? Namanya siapa?” tanya beliau.
“Yang saya ketahui, orang memanggilnya Nyai Cumbring” kata Kyai Jamba. “Cumbring itu nama kakak perempuan saya. Kata orang, saya dan Cumbring itu seibu, tetapi lain bapak. Adapun bapak saya, katanya Sinuwun Pakubuwana pertama di Kartasura. Dahulu, ketika masih bergelar Pangeran Puger, dianya minta kiriman besar dari ibu saya. Biyung (ibu) saya melayani. Akhirnya, lahirlah saya ini. Setelah saya menjadi besar, saya dibawa ke kota untuk menghadap bapak saya, tetapi bapak saya telah tiada, sedang yang menjadi Raja ketika itu ialah Ingkang Sinuwun Prabu Mangkurat”.
“Lalu bagaimana?” tanya beliau.
“Oleh Baginda, saya diperintah begini: “Pergilah kau ke arah barat. Bukalah dea di dekat kali Bedog. Suatu ketika kelak anak-anakku ada yang akan sampai ke sana. Bantulah anak-cucuku di sana. Itulah sebabnya maka saya sampai ke sini, melaksanakan apa yang diperintah oleh Ingkang Sinuwun”.
Mendengar urutan cerita demikian itu, Kanjeng Sultan tersenyum, lalu duduk di dekat Kyai Jamba. Katanya kemudian:
“Paman, terus-terang saja, yang kau nanti-nantikan itu sebenarnya tidak lain saya ini. Saya inilah Raja Ngayojakarta Hadiningrat. Saya ini dahulu bernama Raden Mas Sujana. Baru saja saya ditetapkan menjadi Raja, dengan gelar Sinuwun Hamengku Buwana. Saya membutuhkan bantuan paman, untuk mencarikan tempat yang cocok untuk membangun Keraton.
Kyai Jamba, lengkapnya Kyai Wirajamba, menjadi senang hatinya setelah tahu bahwa Raja yang diharp-harap itu kini telah ada di depannya. Ingkang Sinuwun lalu diajak pulang ke tempat tinggalnya di desa Gancahan. Di sepanjang jalan beliau menyaksikan padi terlantar tidak terpelihara. beliau bertanya:
"Pman, padi yang terlantar di sepanjang jalan itu punya siapa?”.
“O, Gusti. Padi itu padi saya”, jawab Kyai Wirajamba.
“Mengapa sudah dipetik tetapi hanya ditinggalkan saja?”.
“Biar kering dahulu, Gusti. Kelak bila telah kering anak-anak akan mengangkutnya pulang ke rumah saya” kata Wirajamba.
“Kalau diambil orang bagaimana?” tanya Jeng Sultan.
“Bila memang ada orang yang membutuhkannya, biarlah mereka mengambil secukupnya.”
“Kamu senang sekali memberi dana, paman” sabda Sinuwun.
“Kalau begitu, namamu saya tambah dengan Dana, jadi namamu menjadi Wirajambadana”.
“Ya, Sinuwun” kata Kyai Wirajamba.
Sesampai dirumah, Kanjeng Sultan tidak mau disediakan makan dan minum. Sementara itu, Kyai Wirajamba lalu berkata: “Di sebelah tenggara dari desa tempat tinggal saya ini ada sebuah mbel (lumpur, rawa) besar di sebelah timur sungai Winaga. Kalau Baginda dapat menimbun mbel itu, tempat itu untuk apa saja baik ".
Kanjeng Sultan lalu dipersilahkan memandang ke arah selatan. Di desa Pacethokan, tampak ada cahaya memancar ke atas, yang di dalam bahasa Jawa disebut "sak sada lanang”. Sultan lalu bertanya kepada Kyai Wira Jambadana:
“Apakah yang nampak di sana itu dahulu bekas pesanggrahan Sukawati, paman?”.
“Bukan, Sinuwun. Nggarjitawati itu terletak di sebelah barat sungi, padahal itu ada di sebelah timurnya” kata Kyai Jamba. “Sudahlah Sinuwun daerah mbel (lumpur) itu saja tuan perintahkan ditimbun. Daerah itu terus ke selatan adalah baik, tepat sekali untuk mendirikan Keraton”.
“Baiklah, paman” kata Baginda, lalu pamit kembali ke tempatnya. Setelah kepergiannya ke desa Gancahan, beberapa hari kemudian beliau memerintahkan para abdidalem dan rakyat, menimbun daerah lumpur yang ditunjukkan oleh Kyai Jamba itu. Kepada salah seorang hambanya, Sinuwun memerintahkan:
“Kali Nanga ini alirkanlah ke barat, sebab tanah di sebelah selatannya ini akan kudirikan Keraton”.
“Ya, Sinuwun” jawab yang diperintah.
“Bendunglah tepat di bawah pohon bendha itu” perintah Baginda. Dengan bahasa Jawa, perintah Baginda itu diucapkan begini: (“Le, kali kuwi bendungen ngisor bendha. Aja lali. Ngisor lupa. Di bawah bendha, lho, le”). Dari kalimat itu, maka kali yang dibendung itu sampai sekarang terkenal disebut: Bendhalole. Adapun letak bendungan di bawah pohon bendha itu, tepatnya di sebelah barat Tugu.
Diceritakan, terlaksanalah proyek besar-besaran, menimbun daerah luas yang berlumpur itu, hingga tanahnya menjadi rata dan kering. Daerah yang ditimbun itu sampai di desa Pacethokan. Adapun tanah yang dipergunakan untuk menimbun daerah itu diambilkan tanah dari Gunung Andha. Daerah yang dahulu berbentuk bukit yang dinamakan Gunung Andha, sekarang sudah menjadi rata, sama tingginya dengan tanah di sekelilingnya. Tanah bekas letak Gunung Andha itu, sekarang adalah rumah Kepatihan. Tanah di sebelah selatan Komplek Kepatihan itu, dahulu berwujud rawa, berlumpur. Itulah yang ditimbun sampai memanjang ke selatan, sampai yang sekarang terdapat pasar Beringharja, terus ke alun-alun, Ke Keraton, dan terus ke selatan.
Itulah sebabnya, Maka pasar yang terletak di utara alun-alun Yogyakarta itu sampai sekarang dinamakan Pasar Beringharja, berasal dari kata kata: mber-ring-harjo, jember-garingharjo, maksudnya: dahulu daerah itu jember (lembab dan menjijikkan), setelah ditimbun menjadi garing (kering) dan akhirnya menjadi harjo (ramai, baik).
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to "Asal Mula Beringharjo"
Post a Comment