Alkisah Rakyat ~ Kanjeng Panembahan Senapati bermaksud akan mencari wahyu kerajaan. Dari wangsit yang diterima dari Hyang Agung, Panembahan Senapati disuruh melaksanakan tapa ngrame. Yang dimaksud dengan tapa ngrame ialah: Si Pertapa itu wajib menyediakan dirinya untuk menolong orang lain di dalam pergaulan masyarakat ramai, harus senantiasa bersedia menolong setiap orang yang memerlukan pertolongan; kalau bersua orang yang susah harus menghiburnya, kalau bertemu dengan orang yang terlampau berat membawa beban harus membantu membawakannya; kalau ada orang sakit harus mengusahakan obatnya demi sembuhnya si sakit.
Selanjutnya, Panembahan Senapati sampai di muara sungai. Di sana beliau bertemu dengan orang yang sedang memancing. Kanjeng Panembahan Senapati lalu bertanya pada orang itu:
“Kamu sedang mencari apa, kak?”.
“Mencari ikan” jawab orang yang ditanya.
“Sudah memperoleh berapa?”
“Aduh, gusti. Sudah semalam suntuk saya bersusah payah memancing di sini, tetapi baru mendapat satu ekor”.
“Baiklah. Bagaimana kalau ikan itu saya beli?”
“Silahkan, gusti”.
“Saya beli satu ece, ya pak?”
“Silahkan”.
Terlaksana, ikan itu dibeli oleh Raja. Setelah diterima, maka ikan itupun lalu dilepaskan ke laut. Begitu selesai melepaskan ikan itu ke laut, muncullah Kanjeng Sunan Kalijaga, menghampiri Kanjeng Panembahan Senapati, menyuruh agar Kanjeng Panembahan Senapati bertapa lagi, yaitu tapa mbathang di laut. Tapa mbathang dilaksanakan dengan menghanyutkan diri di air, seperti halnya bthang atau bangkai yang hanyut, tidak bergerak-gerak. Kanjeng Panembahan Senapati melaksanakan suruhan itu.
Sementara sedang melaksanakan tapa mbathang itu, Panembahan Senapati merasa punggungnya ada yang menyinggung-nyinggung. Yang menyinggung punggung Kanjeng Panembahan Senapati itu, tidak lain ialah ikan yang dahulu ditolong, sewaktu dibeli dari si tukang mancing lalu dilepaskan ke laut. Mengetahui bahwa Kanjeng Panembahan Senapati sedang tapa mbathang terapung-apung di permukaan air laut, maka ikan itu menghampiri beliau, dan menyinggung-nyinggung punggung beliau. Merasa ada sesuatu yang menyinggung-nyinggung punggungnya, maka Kanjeng Panembahan Senapati berkata:
“Hai. Siapakah yang menyinggung-nyinggung punggungku?”
“Saya, gusti” jawab si ikan.
“Kau siapa?” tanya beliau.
“Saya, ikan yang dahulu gusti selamatkan dari tukang mancing dan lalu gusti melepaskan lagi ke laut ini”.
“Lalu, apa maksudmu menyinggung-nyinggung punggungku? Apakah kau akan memakan aku?”
“Aduh, gusti” kata si ikan. “Sama sekali tak ada maksud saya akan memakan gusti”.
“Maksudmu?”
“Maksud saya akan membalas budi baik gusti”.
“Bagaimana caramu?”
“Silahkan, gusti naik ke atas punggung saya. Dengan telentang di atas punggung saya, gusti akan tahan lama mengadakan tapa mbathang”. Kanjeng Penambahan Senapati lalu naik di atas punggung ikan itu. Dengan beban Kanjeng Panembahan Senapati di atas punggungnya, maka ikan itu berenang-renang, mengelilingi lautan luas, hingga merata. Setelah selesai mengelilingi luas lautan itu, maka Panembahan Senapati dibawanya kembali ke muara tempat berangkat semula.
Tiba di muara, ternyata Kanjeng Sunan Kalijaga telah menanti mereka. Begitu turun dari punggung ikan, Kanjeng Sunan Kalijaga menghampiri Kanjeng Panembahan Senapati. Satu kali lagi Kanjeng Suanan Kalijaga menyuruh beliau bertapa. Kanjeng Panembahan Senapati disuruhnya mengadakan tapa satu tahun lamanya.
Betapapun beratnya perintah itu, Kanjeng Panembahan Senapati bersedia juga melaksanakan, demi kokohnya beliau memegang tampuk pemerintahan kerajaan, dan demi kesejahteraan anak-cucunya kelak. Kanjeng Panembahan Senapati lalu meninggalkan pesan kepada ikan itu, disuruhnya tetap tinggal di pinggir laut itu, di mjara itu lagi.
Ikan itu melaksanakan apa yang dipesankan oleh Kanjeng Panembahan Senapati. Dia tetap berdiam diri saja di muara itu, tidak pergi ke mana-mana, sampai Kanjeng Panembahan Senapati selesai bertapa.
Orang-orang di pedesaan Grogol Mancingan, biasa menggembalakan ternaknya di tepi laut. Pada suatu hari, sementara mereka mengembala binatang mereka, mereka melihat sesuatu ada di muara. Sesuatu benda itu wujudnya seperti kayu. Mereka lalu menghampiri benda berwujud kayu itu. Yang dilihat mereka berwujud seperti kayu itu, sebenarnya ikan, yang dahulu pernah menggendong Kanjeng Panembahan Senapati waktu tapa mbathang. Ikan itu tetap berdiam diri di tempat itu, tidak bergerak sedikit jua, sehingga tubuhnya berlumut. Orang-orang berkerumun menghampiri ikan yang sudah nampak seperti batang kayu itu. Dengan enaknya mereka membacok-bacok tubuh ikan itu, sehingga sirip dan insang ikan itu habis.
Setelah genap satu tahun Kanjeng Panembahan Senapati melaksanakan tapanya, kembalilah beliau ke muara, tempat ikan yang dipesannya itu menanti dengan setianya. Kedatangan beliau ke tempat itu, bersama-sama dengan kedatangan Kanjeng Sunan Kalijaga. Mengetahui keadaan ikan yang sangat menyedihkan karena tubuhnya rusak dibacok-bacok oleh orang-orang desa Grogol Mancingan itu, maka Knajeng Panembahan Senapati menegurnya:
“Hai ikan, mengapa tubuhmu menjadi rusak begitu?”
“Aduh, gusti. Tubuh saya menjadi rusak semacam ini, karena perbuatan orang-orang dari desa Grogol Mancingan. Tubuh saya ini di bacok-bacok. Maka dari itu, gusti, saya mengutuk orang-orang itu, orang-orang yang telah menyiksa saya ini, hendaknya mereka itu ditimpa penyakit gudhig dan kudis”.
“Kasihan sekali nasibmu itu” sabda Kanjeng Panembahan Senapati.
“Beginilah nasib saya ini, gusti!” Kata ikan itu. “Badan saya sekarang telah menjadi rusak semacam ini, sehingga saya tidak diterima lagi untuk bergaul dengan teman-teman saya. Alangkah celakanya nasib saya”.
“Kau tidak usah khawatir” kata Kanjeng Panembahan Senapati. “Perkara kau tidak diterima berkumpul dengan teman-teman sebangsamu, janganlah kau khawatir. Kau tidak usah kembali bergabung dengan mereka. Kau saya sediakan tempat di muara sungai Progo. Di sanalah tempatmu. Untuk makanmu, kau ku ijinkan memakan rakyatku yang lewat di sana. Tetapi saya batasi, dalam satu tahun hanya tiga kali kau boleh mengambil rakyatku untuk makanmu. Hanya tiga orang saja dalah satu tahun. Tidak boleh lebih”.
Diceritakan, Nyai Rara Kidul tertarik hatinya kepada Panembahan Senapati. Mengetahui bahwa pada waktu itu Kanjeng Panembahan Senapati sedang ada di tepi samudera maka berusahalah ia menghampirinya, lalu membujuknya agar Kanjeng Panembahan Senapati mau memperisteri dia. Kanjeng Sunan Kalijaga mengingatkan kepada Kanjeng Panembahan Senapati:
“Hati-hatilah kau menghadapi Nyai Rara Kidul. Kalau kau terkena jeratnya, maka kau akan gagal menurunkan Raja”.
Kanjeng Panembahan Senapati mematuhi kata-kata Kanjeng Sunan Kalijaga. Nyai Rara Kidul ketika menggoda Kanjeng Panembahan Senapati itu, wujudnya memang menarik hati. Dasar dia itu mempunyai kesaktian luar biasa. Dia dapat mengubah dirinya dalam wujud yang bagaimanapun juga. Waktu dia datang menghampiri Knajeng Panembahan Senapati itu, dia berwujud wanita yang sangat cantik. Kalau tidak diperingatkan oleh Knajeng Sunan Kalijaga, tentu saja Panembahan Senapati akan tergelincir dan terpikat oleh kecantikan wajah itu. Tetapi, karena sudah diperingatkan, maka waspadalah Kanjeng Panembahan Senapati.
Akan menolak kemauan Nyai Rara Kidul itu dengan terang-terangan, tak sampai hatilah Panembahan Senapati. Aka dilaksanakanlah penolakan secara halus. Kepada Nyai Rara Kidul, Kanjeng Panembahan Senapati minta agar dibawakan wjud gelombang bantheng. Kalau Nyai Rara Kidul mampu mewujudkan alun bantheng, maka Knajeng Panembahan Senapati bersedia memperisteri dia.
Dasar Nyai Rara Kidul itu memiliki kesaktian luar biasa, maka apa yang diminta oleh Kanjeng Panembahan Senapati itu, dia mampu memenuhinya, betapapun beratn dan muskilnya. Nyai Rara Kidul lalu membawa alun bantheng dari tengah samudera, dibawanya menepi. Cara dia membawa gelombang bantheng itu, dibungkusnya di dalam “kemben” (kain pengikat dan penutup dada). Dibawanya gelombang bantheng itu ke darat. Sesampainya di darat, dilepaskannya di depan Kanjeng Panembahan Senapati. Maka terjadilah yang disebut Segarayasa.
Dengan demikian terkabullah permintaan atau tuntutan Kanjeng Panembahan Senapati, dengan dibuatkannya segara dengan gelombang bantheng itu. Sebenarnya, tuntutan yang dikemukakannya itu hanyalah siasat akan membatalkan niat Nyai Rara Kidul minta diperisteri. Akan menolaknya dengan tipu daya, dengan mengajukan tuntutan agar dibuatkan gelombang bantheng itu.
Nyai Rara Kidul akhirnya merasa diperdaya oleh Kanjeng Panembahan Senapati. Begitu mengetahui hal itu, marahlah dia, lalu gelombang bantheng yang tadi dibawa dari tengah samodra dipegangnya lagi, dan dihempaskan dengan kerasnya. Karena kerasnya Nyai Rara Kidul menghempaskan “alun bantheng” itu, sehingga pecahlah. Dari pecahan itu, terjadilah padepokan Gadhing Kedaton dan Gadhing Lumbung. Kedua-duanya terletak di wilayah Kretek, di sebelah selatan kota Yogyakarta dekat pesisir selatan.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to "Asal Mula Pesanggrahan Gading Kedaton"
Post a Comment