Nongko Doyong

Alkisah Rakyat ~ Dahulu ibukota Kabupaten Gunung Kidul terletak di desa Semingkar, Kelurahan Sambipitu, Kecamatan Patuk, kurang lebih 15 KM jauhnya dari Kota Wanasari, dengan bupatinya Tumenggung Wiranegara. Karena dirasa kurang tepat, maka Sri Sultan hamengkubuwana ke-1, itu yang waktu itu masih bersemayam di Amabarketawang, Gamping, memerintahkan Tumenggung Wiranegara, cara agar memindahkan ibukota Kabupaten Gunung Kidul ke arah timur, yaitu di atas tanah hutan yang tumbuh pohon besar yang berdiri miring, atau Nongko Doyong tersebut. 


Tumenggung Wiranegara segera memerintahkan rakyatnya untuk babat alas tersebut. Tetapi karena ternyata hutan yang ada pohon Nongko Doyong tersebut sangat keramat, maka tidak berhasil bahkan timbul banyak korban dari orang-orang yang mengerjakan babat alas tersebut. Karenanya untuk berhasilnya tugas babat alas, oleh Tumenggung Wiranegara segera diadakan sayembara, siapapun yang dapat dan berhasil membuka hutan Nongko Doyong tersebut, akan diberikan hadiah kalenggahan atau kedudukan. 

Seorang Rangga yang bernama Puspawilaga, yang berkedudukan sebagai Bupati Anom (Bupati Muda) cukup dikenal sebagai orang yang sakti mandraguna, berani, brangasan, gila pangkat dan kekayaan. Tetapi menghadapi sayembara Babad Alas yang ternyata cukup gawat tersebut, Rangga Puspawilaga menjadi ragu-ragu juga. Dia melihat adanya korban yang sudah cukup banyak itu. Dia tidak berani menerima akibatnya, apalagi kalau akibatnya mengenai dirinya sendiri. 

Seorang Demang bernama Wanapawira dari Desa Payaman, yang sebenarnya tidak berkeinginan untuk memasuki sayembara, oleh kakak perempuannya yang bernama Mbok Niti, dia dibujuk -bujuknya untuk mau memasuki sayembara tersebut. Mbok Niti membujuk adiknya itu tidaklah didasarkan atas nafsunya akan adanya hadiah kedudukan, tetapi karena kesadarnnya wajib berbakti pada Pangeran Mangkubumi, yang sekarang menjadi Sri Sultan Hemengku Buwana ke I.

Seperti diketahui, bahwa Mbok Niti adalah bekas seorang prajurit wanita pengikut Pangeran Mangkubumi dalam perang Giyanti. Dia memiliki pusaka tumbak yang bernama Kyai Muntab, yang terkenal saktinya. Rupanya jiwa kepahlawanan yang wajib selalu berbakti kepada Pangeran Mengkubumi dan kebetulan belumlah terlepas dari tubuhnya yang sebenarnya sudah mulai tua itu.

Akhirnya tergugah pula kesadarannya Ki Demang Wanapawira. Atas petunjuk Mbok Niti, Ki Demang segera bertapa di bawah pohon Nongko Doyong. Di dalam bertapanya itu, dia selalu banyak mendapatkan gangguan dan godaan-godaan. Tetapi Ki Demang tetap tabah dan tidak mundur setapak pun. Dengan didahului suara-suara dan angin kencang, kemudian muncullah penuggu hutan Nongko Doyong tersebut, yang berwujud seorang wanita, mengaku bernama Nyai Gadung Mlathi. 

Nyai Gadung Mlathi berkata: “Kau ku izinkan membuka hutan ini, tetapi pohon Nongko Doyong itu jangan kau rusakkan. Karena pohon itu sebenarnya tempat persemayaman saya”. Sesudahnya Nyai Gedung Mlathi menghilang. Ki Demang Wanapawira bergegas memberitahu Mbok NIti, apa hasil yang telah didapatnya dalam bertapa itu. Setelah mendengar pemberitahuan adiknya, Mbok Niti segera menyarankan kepada adiknya, agar cepat-cepat melaksanakan rencana membuka hutan Nongko Doyong. Karena jelas bahwa adiknya sudah mendapatkan ijin dari penunggu hutan dan pohon Nongko Doyong, yang berarti adiknya mendapatkan bantuan besar pula.

Karena itulah Ki Demang segera berangkat dan mulai membuka hutan Nongko Doyong. Pelaksanaan membuka hutan ternyata berjalan dengan lancar, tanpa adanya gangguan. Tinggal sebagian kecil saja yang belum terselesaikan. Bersamaan dengan itu, kebetulan pasar Deda Seneng, yaitu desa tempat kediaman Rongga Pspawilaga, sedang pasaran, tentu saja cukup ramai pasar itu. Pasar Seneng juga dinamakan Pasar Kawah, sekarang termasuk wilayah Kelurahan Siraman.

Seorang dar cantik bernama Rara Sudarmi, anak Panji Hardjadiura desa Semanu, waktu itu sedang pergi berbelanja di pasar, dengan seorang emban pengiringnya bernama Mbok Semi. Tentu saja kecantikan gadis Rara Sudarmi tersebut menjadikan banyak lelaki dan wanita pada menaruh perhatiannya, lebih-lebih bagi lelaki yang memang berhidung belang. Salah seorang lelaki di antaranya, adalah seorang pengikut Rongga Puspawilaga yang thuk-is. Karena itu begitu melihat adanya dara canti di tengah Pasar Seneng, dia segera memberitahu Rongga Puspawilaga, tentu saja dengan harapan akan dapat menyenangkan Bendaranya, dan akan mendapatkan hadiah.

Setelah mendengar keterangan dari pengikutnya tentang Rara Sudarmi, Rongga Puspawilaga dengan bergegas menuju ke pasar dan kemudian mengikutinya, yaitu sewaktu Rara Sudarmi meninggalkan pasar akan pulang. Di tengah jalan di dekat alas Nongko Doyong, Rongga Puspawilaga mulai berani mengganggunya. Kemudian dengan sikap yang tidak menyenangkan, dan kelihatan mengagung-agungkan pangkat dan kekayaannya, dia meminta agar Rara Sudarmi mau dijadikan isterinya.

Sejak melihat pertama kalinya Rara Sudarmi sudah tidak enak hatinya, juga dia sama sekali tidak merasa senang. Karenanya walau dengan rasa takut, Rara Sudarmi menolak lamaran di tengah jalan itu. Rongga Puspawilaga merasa tersinggung harga dirinya, dia mulai marah. Dia muali ingin memaksakan lamarannya, disertai dengan sikap sombongnya yang berlebih-lebihan. Dia semakin bertambah kurang ajar.

Untunglah Mbok Semi selalu berada di saming Rara Sudarmi, sehingga dengan caranya sendiri, dia dapat selalu menghindarkan tangan jahil lelaki tersebut. Sesaat sewaktu lelaki tersebut lengah, dengan bantuan Mbok Semi, Rara Sudarmi berhasil melarikan diri. Dengan tergopoh-gopoh Rara Sudarmi berlari menuju ke arah pohon Nongko Doyong. Setelah mengetahui bahwa gadis tersebut lari Rongga Puspawilaga segera menyusulnya, disertai dengan teriakan-teriakan memanggilnya.

Pembantu Rongga Puspawilaga yang sejak semula haya duduk-duduk di temapat yang agak jauh sambil merokok, karena membayangkan pasti akan mendapatkan hadiah dari Bendaranya, mendengar teriakan-teriakan Rongga Puspawilaga terkejut, dia segera bangkit dan menyusulnya. Melihat dan mendengar Rongga Puspawilaga mengejarnya dengan berteriak-teriak, Rara Sudarmi semakin mempercepat larinya. Dan semakin ketakutan. Mbok Semi berlari di belakang Rara Sudarmi, mulai berteriak-teriak pula minta tolong.

Tetapi jarak antara lelaki pengejar dan gadis tersebut semakin bertambah dekat saja. Lelaki tersebut mengejar dan ketawa-ketawa seperti orang gila. Sedangkan gadis tersebut nafasnya semakin tersengal-sengal, kakinya mulai agak sulit diajak lari cepat, sebentar-sebentar terus sandung-sandung batu, untung saja tidak sampai jatuh. Beberapa saat kemudian kaki gadis tersebut benar-benar tersandung batu, dengan teriakan minta tolong, Rara Sudarmi terguling disebelah gerumbul. Mbok Semi cepat-cepat berusaha menolongnya dengan berteriak-teriak minta tolong yang semakin keras.

Rongga Puspawilaga melihat gadis yang dikejarnya terjatuh, malahan ketawanya semakin lebar. Karena dia melihat gadis calon mangsanya itu pasti sudah tidak akan dapat berkutik lagi. Tetapi dia menjadi agak terkejut, karena melihat gadis tersebut walaupun belum berhasil berdiri, tetapi tangan kanannya telah siap dengan sebuah patrem, di mana perlu tentu akan ditusukkan ke dadanya sendiri untuk bunuh diri, atau barangkali dengan sebuah patrem tersebut garis itu akan melawannya. Sedangkan Mbok Semi masih berusaha membangunkan momongannya. 

Masih dengan ketawa-ketawa Rongga Puspawira ga mendekat dengan pelan-pelan. Tetapi mendadak saja dia menghentikan langkahnya, dengan pandangan kaget. Dari belakang grumbul tersebut muncullah seorang lelaki muda dan gagah, yang diikuti oleh beberapa orang. Dialah Demang Wanapawira dari desa Payaman, yang waktu itu sedang mengerjakan tugasnya babat alas, dengan beberapa orang pengikutnya. Rongga Puspa wilaga mengenal Demang yang masih pemuda itu, tetapi sejak dahulu memang dia tidak menyukainya. Karena Ki Dmang sering bertentangan pendapatnya dengan Rongga Puspawilaga, apalagi kalau bicara tentang wanita dan kesusilaan. 

Padahal Demang muda tersebut adalah Demang yang berkedudukan di bawahnya, Tetapi dia sering menentangnya. Itulah yang tidak disukainya. Harga dirinya merasa direndahkan oleh Demang Wanapawira. Rongga Puspawilaga bertanya, kenapa demang itu berada ditempat ini, dia lupa bahwa Ki Demang sedang mengerjakan babat alas Nongko Doyong. Ki Demang menjawab apa adanya. Dia tambahkan, bahwa dia datang karena mendengar teriakan wanita yang meminta pertolongan, tentunya dia menemukan halangan atau bahaya.

Rongga Puspawilaga berkata, bahwa wanita muda tersebut adalah selirnya sendiri, karenya Ki Demang jangan mencampuri urusanya. Tetapi sebelum ki-demang mengucapkan kata-kata pertanyaannya, emban Mbok Semi telah menyahut, bahwa itu tidak betul. Rara Sudarmi adalah anak Ki Demang Semanu yang sebenarnya sedang berjalan menuju pulang, Tetapi telah dikuntit dan diganggu oleh lelaki tersebut. Ki Demang Wanapawira bertanya kepada Rara Sudarmi, sewaktu Ki Rongga Puspawilaga mau berkata dan Rara Sudarmi membenarkan keterangan yang diberikan emban pemomongnya itu. 

Dengan menarik nafas panjang, Ki Demang memandung Rongga Puspawilaga, karena sebelumnya dia sudah cukup mengenal siapa sebenarnya Rongga Puspawilaga, yang juga atasannya itu. Rongga Puspa wilaga menyangkal keterangan Mbok Semi. Percekcokan terjadi, karena saling membenarkan tindakan masing-masing. Masing-masing merasa tidak bersalah, walaupun Ki Demang sudah dapat menduga, siapakah sebenarnya yang bersalah. Karenanya akhirnya Ki Demang Dengan hormat nya tetapi tegas, bahwa diminta Dengan hormat nya, agar Ki Rongga tidaklah berusaha mengganggu lagi Rara Sudarmi. Kalau memang ingin, agar langsung saja melamar pada orangtuanya.

Mendengar ucapan dan sikap Ki Demang, Rara Sudarmi timbul kepercayaannya, bahwa Ki Demang Mungkin orang yang benar-benar dapat diharapkan sebagai pelindungnya, karenanya Dia segera bergeser berdiri dibelakang Ki Demang. Sebaliknya Rongga Puspawilaga, begitu mendengar permintaan Ki Demang, yang walaupun benar tetapi baginya terasa bernada mengejek, dia merasa direndahkan martabaknya, terutama karena di depan gadis calon mangsanya. 

Tetapi karena dia merasa hanya berdua dengan pengikutnya, padahal Ki Demang dengan beberapa orang yang tidak kurang dari sepuluh atau dua belas orang, dimana masing-masing ada yang membawa kapak pethel, linggis dan alat-alat lainnya untuk orang yang sedang membuka hutan, maka diam-diam hatinya merasa kecut juga. Karenanya walaupun masih berkata-kata dengan kasar dan kerasnya, tetapi tidak disertai dengan tanda-tanda mau menyerang. Bahkan dengan dendam yang membara Rongga Puspawilaga akhirnya meninggalkan tempat itu, dengan diiringi pengikutnya.

Melihat kepergian Rongga hidung belang tersebut, Rara Sudarmi bernafas panjang dan merasa lega. Dengan tidak sadar dia cukup meyakinkan, karena Ki Demang adalah orang yang hidup sederhana. Dia tidak pernah berfikir hidup untuk menumpuk kekayaan harta benda. Dia lebih banyak memberikan perhatiannya pada peningkatan hidup batiniah serta kepentingan masyarakat sekitarnya.

Karena itulah timbul rasa khawatirnya, sedih dan bingung. Dia belum tahu benar tentang sifat dan keinginan Ki Panji Harjadipura, orang tua Rara Sudarmi. Kalau saja orang tua Rara Sudarmi lebih melihat dan mengharapkan kedudukan dan kekayaan, tentu saja lamaran  Rongga Puspawilaga lah yang akan diterima. Untuk dirinya sangat tipis kemungkinan berhasilnya memperistri Rara Sudarmi. Dalam kesedihan dan kebingungannya itu itu Ki Demang berjalan sampai di bawah pohon Nongko Doyong. Akhirnya dia bersemedi di tempat itu, dan ingin meminta pertolongan Nyai Gadung Mlathi, penunggu pohon Nongko Doyong.

Ternyata berhasil Harapan Ki Demang. Nyai Gadung Mlathi muncul di hadapannya, serta menanyakan masalah yang menjadikan dirinya begitu bersedih hati. Ki Demang segera menjelaskan Segala peristiwa dan masalah yang telah dihadapinya, juga hal-hal yang menjadikan dirinya begitu sedih. Setelah penjelasan Ki Demang selesai Nyai Gadung Mlathi menyatakan kesediaannya untuk membantu. Selain itu memberikan nasehatnya, agar bila ternyata Rongga Puspawilaga juga mengajukan lamaran maka Rara Sudarmi harus minta diadakan sayembara. Sayembara itu berwujud sayembara memanah dengan 5 anak panah. Siapa yang dapat mengenai lebih banyak, dialah yang akan menjadi suaminya. Sedangkan tempat dilaksanakan sayembara memanah tersebut haruslah di bawah pohon Nongko Doyong. Selesai mengutarakan kata-katanya, Nyai Gadung Mlathi menghilang. 

Dengan bergegas Ki Demang segera pulang, dan memberitahukan apa yang telah didapatnya dari Nyai Gadung Mltahi. Mbok Niti ikut bergembira pula. Dia segera menyarankan, agar adiknya segera saja Berangkat mengajukan lamaran ke Semanu, dan juga memberitahukan masalah sayembara tersebut kepada Rara Sudarmi. 

Kalau waktu pulang mengantar Rara Sudarmi, Ki Demang dalam keadaan lesu dan kebingungan, maka kali ini kepergiannya dengan segala kegembiraannya, walaupun hatinya sisa-sisa rasa cemas sedikit-sedikit masih juga timbul. Langkahnya terasa lebih ringan dan cepat. Karena itulah dalam waktu yang dirasa lebih pendek, Ki Demang sudah sampai di rumah Ki PanjiHarjadiura di Semanu. Walaupun kedatangannya kali ini tidaklah sendirian, tetapi dengan beberapa orang sebagai wakil keluarga, sebagaimana layaknya upacara melamar, hanya dalam bentuk yang sangat sederhana dan secukupnya saja. 

Dalam kesempatan yang ada, Ki Demang memberitahukan pada Rara Sudarmi tentang kemungkinan lamaran yang datang dari  Rongga Puspawilaga. Bila benar terjadi Rara Sudarmi supaya meminta, agar pemilihan calon suami tersebut didasarkan dengan sayembara memanah. Siapapun yang dapat memanah lebih banyak dengan masing-masing membawa 5 anak panah dia lah yang menang dan akan mendapatkan dirinya sebagai istrinya. Sedangkan tempat dilaksanakannya panahan tersebut adalah di bawah pohon Nongko Doyong. Rara Sudarmi semula ragu-ragu karena jauh sebelumnya dia sudah mendengar bahwa Rongga Puspawilaga adalah orang yang sakti dan pandai menggunakan banyak macam senjata. Tetapi setelah dia diberitahu, bahwa dalam hal ini Ki Demang akan dibantu oleh Nyai Gadung Mlathi penunggu hutan Nongko Doyong, hatinya menjadi lega. Walaupun sedikit sedikit masih timbul juga rasa cemas.

Dua tiga hari kemudian setelah Ki Demang meninggalkan Semanu, datanglah utusan lamaran dari rongga Puspa wilaga dengan membawa bermacam-macam barang hantaran yang serba mahal dan indah. Ki Panji Harjadipura, ayah Rara Sudarmi, tidak berani memutuskan menolak begitu saja, karena dia juga sudah tahu siapakah Rangga Puspawilaga itu. Tetapi untuk menerimanya dia juga tidak sampai hati, karena dia juga sudah tahu hubungan yang ada antara rasul Army dengan Ki Demang Wanapawira. Karena itu akhirnya dia menyerahkan jawabannya kepada anaknya sendiri yaitu Rara Sudarmi.

Dari Rara Sudarmi akhirnya didapat juga jawaban tersebut, dikarenakan ada 2 pelamar, maka dia tidak langsung memilih salah seorang tetapi dia mengadakan sayembara memanah, siapapun yang menang dialah calon suaminya. Mendengar jawaban Rara Sudarmi yang cukup jelas, utusan segera kembali dan meninggalkan Semanu, untuk segera dapat menyampaikan hasil lamaran itu.

Dengan gembira Penuh tawa cekakakan, Rongga Puspawilaga menerima jawaban Rara Sudarmi dari utusan yang dikirimkannya. Karena dia begitu yakin akan kemampuannya berolah senjata, khususnya dalam hal memanah. Sehingga baginya berarti Rara Sudarmi yang cantik itu sudah pasti akan berada di tangannya. Pada hari yang telah ditentukan, Rongga Puspawilaga dan Ki Demang Wanapawira telah hadir di bawah pohon NOngko Doyong. Keduanya telah siap dengan panah selengkapnya di tangan masing-masing.

Sebagai kehormatan terhadap Rongga Puspawilaga yang berkedudukan lebih tinggi, maka dia disuruh memilih memanah lebih dahulu atau yang belakangan. Karena begitu yakin akan kepandaiannya memanah, dan juga begitu besar keinginannya akan memamerkan keahliannya, maka dengan sombongnya dia memanah lebih dahulu. Dengan Gayanya yang di bikin-bikin, Rongga Puspawilaga mulai melontarkan anak panahnya. Panah pertama ternyata meleset tidak mengenai sasaran. Dia kaget, para penontonnya juga keheranan, walaupun hatinya merasa senang, karena umumnya sudah muak melihat tingkah lakunya. 

Disusul kemudian anak panah yang kedua, dan gagal. Disusul lagi anak panah yang ketiga, tidak juga berhasil. Dia mulai kelihatan gugup, disamping keheranan tidak mengerti. Kenapa sasaran yang tidak begitu jauh sulit dikenai, padahal jarak sejauh itu sudah biasa dilakukan. Bahkan yang lebih jauh lagi dia sudah membiasakannya. Dengan lebih berhati-hati dia mulai melontarkan anak panah yang keempat, ternyata kali ini juga tidak berhasil. Suara penonton mulai terdengar gamrenggeng, walaupun tidak ada yang berteriak-teriak senang. Disusul dengan anak panah yang penghabisan, dan meleset jauh dari sasaran. Suara penonton semakin gamrenggeng ramai seperti suara tawon. 

Dengan wajah yang merah biru karena kemarahan dan malu, dia membanting gendewanya, dan berjalan minggir. Tampilah Ki Demang Wanapawira ke depan dengan gandewa di tangan. Anak panah pertama dilontarkan dengan segala ketenangannya. Ternyata berhasil menancap pada sasaran. Seketika terdengar teriak-teriak para penontonnya. Rara Sudarmi yang juga menyaksikan lomba memanah tersebut kalau sewaktu melihat anak panah Rongga Puspawilaga gagal semua, wajahnya sudah menjadi cerah, begitu melihat anak panah Ki Demang Wanapawira yang pertama berhasil, wajahnya menjadi semakin padang. 

Sebaliknya wajah Rongga Puspawilaga Semakin jadi merah biru. Giginya mulai bersuara gemeretak. Matanya mulai memerah. Anak panah yang kedua telah dilontarkan dari ganndewanya ternyata menancap tepat pada sasarannya. Teriak penonton semakin bertambah ramai. Tepuk tangan mulai terdengar pula. Sasaran bergoyang lagi karena anak panah yang ketiga tepat mengenainya. Kemudian disusul lagi anak panah yang keempat. Anak panah kelima menancap tepat mengakhiri lontaranya. Ternyata semua anak panah Ki Demang tidak ada yang meleset, kelima-limanya tepat mengenainya. 

Sehingga teriakan para penonton benar-benar membahana dibarengi dengan suara tepukan tangan yang tak henti-hentinya. Rara Sudarmi hati dan kegembiraannya seperti akan meledak. Ki Demang sendiri sesaat tak dapat bergerak. Dia menarik nafas lega. Diam-diam dia berterima kasih kepada Nyai Gadung Mlathi yang telah membantunya, sampai dia benar-benar berhasil memenangkan sayembara memperebutkan Rara Sudarmi yang dicintainya. 

Sebaliknya Rongga Puspawilaga wajahnya benar-benar mengerikan, sebentar-sebentar berubah warna, dari merah ke biru, kemudian berubah lagi dari biru ke hitam, begitu berubah-ubah tak karuan. Giginya gemeretuk sedangkan nafasnya tersengal-sengal seperti orang habis berlari cepat. Dengan cepat segera meninggalkan dengan membawa dendam yang membara dan rasa malu yang tak terhapuskan, kecuali dengan darah Ki Demang Wanapawira saingannya. 

Tidak lama sesudahnya Rara Sudarmi berhasil dipersunting Ki Demang Wanapawira sebagai pertanda kemenangannya dalam sayembara memanah. Begitu sampai di rumahnya di Desa Seneng, Rongga Puspawilaga telah mengambil satu keputusan yang menentukan, yaitu Rara Sudarmi harus direbutnya, sedangkan Ki Demang harus mati. Tetapi karena dia cukup sadar, bahwa rencana itu tidak boleh gagal, maka dia minta bantuan pada saudaranya seperguruan, yang bernama Ki Demang Reksa Atmaja dari Desa Pundong (wilayah Kabupaten Bantul) untuk diajaknya menyerang Desa Piyaman, merebut Rara Sudarmi dan membunuh Ki Demang Wanapawira.

Ki Demang Reksaatmaja yang karena adanya ikatan seperguruan itu mau atau tidak wajib membantunya, Itulah satu kewajiban. Sayangnya dia tidak mau melihat dan mengerti, salah atau benarkah tindakan saudara seperguruannya itu, yaitu Rongga Puspawilaga. Hanya dalam waktu yang singkat, Ki Demang Reksa Atmaja telah sampai di Desa Seneng dan bertemu dengan Rongga Puspawilaga. Perundingan segera diselenggarakan untuk menentukan hari penyerangan tersebut dengan disertai pula penasehat Ki Rrongga Puspawilaga. Penasihat Ki Rongga menyatakan, karena hari yang telah ditentukan tersebut Dina (hari keberuntungan) berada di sebelah utara, maka penyerangan sebaiknya dilakukan dari arah Barat Daya. Persetujuan segera dicapai. 

Pada hari yang telah ditentukan, pasukan dari Desa Seneng berangkat dengan secara melingkar menuju ke desa Piyaman. Pasukan tersebut dibagi dua bagian, satu dibawah pimpinan Ki Demang Reksa Atmaja, dan sebagian lagi dipimpin Ki Rongga Puspawilaga. Kedua pasukan tersebut berjalan secara berurutan, sedangkan kedua pimpinan tersebut dengan menaiki kuda. Setelah sampai di sebuah hutan (sekarang disebut/menjadi Desa Walikan), pasukan berbalik ke arah Timur Laut, menuju ke Desa Piyaman. Mbok NIti yang bekas prajurit Pangeran Mengkubumi, waktu itu sedang menenun di dalam rumah. Karena mendengar suara-suara ramai, dia segera keluar rumah.

Walaupun masih jauh Mbok Niti sudah dapat menentukan, bahwa rombongan cukup besar tersebut adalah pasukan bersenjata. Bahkan dia berhasil mengamatinya pula, bahwa salah seorang yang rupanya pimpinannya, yang menaiki kuda tersebut adalah Ki Rongga Puspawilaga. Dasarnya Mbok Niti bekas seorang prajurit wanita yang baik, maka dengan mengingat watakm dan sifat Ki Rongga, serta peristiwa-peristiwa yang telah mendahuluinya, dia dapat mengambil kesimpulan dugaan, tentu pasuka Rongga Puspawilaga tersebut akan menyerang ke desanya, merebut Rara Sudarmi, yang telah menjadi isteri adiknya. Karenanya dia segera berbalik masuk rumah, mengambil pusaka saktinya yaitu tumbak Kyai Muntab. Pak Niti suaminya, diminta segera memberitahu adiknya, agar segera mempersiapkan diri menghadapi serangan Rongga Puspawilaga.

Mbok Niti dengan tumbak pusaka Kyai Muntab segera menyusup dengan sembunyi-sembunyi menuju ke arah Ki Demang Raksa Atmaja untuk mencegatnya. Sewaktu Ki Demang Reksaatmaja lewat di depan tempat persembunyiannya, maka tumbak Kyai Muntab segera dilancarkan langsung ke arah lambungnya (pinggang). Begitu tumbak dicabutnya, Mbok Niti segera lari kembali menyusup gerumbul-gerumbul di sekitarnya, kembali ke arahn rumahnya. Sekali tusuk Ki Demang Reksaatmaja yang sama sekali tidak menduganya lengah, menjeritlah dia, dan terguling dari kudanya.

Kudanya kaget karena mendengar jeritan dan darah yang mengucur ke tubuhnya, dia lari tidak terarah, menumbuk-numbuk barisan. Maka gegerlah pasukan tersebut. Pasukan yang berada di sekitar Ki Demang juga tidak menduganya, karena sesaat mereka malahan diam mematung. Sehingga tidak sempat mengejar larinya Mbok Niti. Begitu sadar pertama-tama yang mereka perhatikan adalah ki Demang Reksaatmaja yang telah tergeletak di tanah, dan sudah tidak bernyawa lagi. Rongga Puspawilaga keheranan melihat kegegaran barisannya. Lebih-lebih sewaktu melihat kuda tunggangan Ki Demang Raksaatmaja lari nubras-nubras merusak barisan, dan tubuhnya penuh dengan darah merah. 

Barulah diketahui, setelah kedatangannya laporan dari seorang prajurit yang mengatakan, bahwa Ki Demang Reksaatmaja telah mati ditusuk tumbak seorang wanita yang tak dikenal, dan orangnya sempat lari bersembunyi di grumbul-grumbul yang cukup lebat. Rongga Puspawilaga sudah dapat menduga, tentu wanita pembunuh tersebut di pihak Demang Piyaman, karena itu marahnya tak dapat ditahannya lagi. Watak brangasannya timbul meninggi sampai ke ubun-ubun.  Rongga Puspawilaga teriak sesumbar: “Hai, orang-orang Piyaman, menyerah lah!!! Dan kau teman perempuan, serahkan Rara Sudarmi ke Desa Seneng!!! Kalau tidak ku penggal kepala mu, kuhancurkan Piyaman!!!" 

Mbok Niti mendengar, dia segera mencari adiknya. Ki Demang Wanapawira waktu itu sedang berada di bawah pohon pakel (tempat tersebut sekarang disebut atau dinamakan desa Pakel Jaluk). Ki Demang juga mendengar sesumbar Ki Rongga. Dia diam mematung dan keheranan, bisiknya: “Istri kok diminta?!” Dia tidak dapat mengerti keinginan Ki Rongga yang tidak sopan itu. Mbok Niti datang, dan melihat keadaan adiknya. Dia sudah dapat menduga jalan fikiran Ki Demang. Dia harus mampu membakar semangat juang adiknya. Dalam mempertahankan kebenaran dan keadilan.

Karenanya Mbok Niti segera memberitahu adiknya, bahwa Desa Piaman akan dihancurkan. Adiknya dianggap sebagai Demang perempuan. Karenanya istrinya yaitu Rara Sudarmi diminta menyerahkannya ke Desa Seneng. Bujukan bujukan yang terus dilancarkan Mbok Niti, akhirnya berhasil menembus sudut-sudut hatinya. Ki Demang Wanapawira bangkit kejantanannya, bangkit harga dirinya sebagai seorang lelaki. Tumbak Kyai Muntab yang berdarah dan di tangan Mbok Niti, disahutnya sambil berlari ke arah datangnya pasukan Rongga Puspawilaga yang sedang mendatangi Desa Piyaman. Mbok Niti segera memanggil suaminya, Pak Niti, dengan menyuruh agar Rara Sudarmi diusingkan ke gua di luar desa, dan supaya membawa bekal termasuk yang penting padi. Mbok Niti segera pergi menyusul adiknya.

Sedangkan Pak Niti segera mengajak Rara Sudarmi dengan diikuti beberapa orang mengungsi ke arah gua di luar desa (gua tersebut sekarang disebut dan dinamakan Gua Pari/Padi). Dalam pelariannya yang tergesa-gesa dengan berlari-lari itu, sampai-sampai gelung rambung Rara Sudarmi terlepas (udar). Desa tempat terlepasnya gelung tersebut sekarang disebut desa Gelung. Rongga Puspawilaga dalam kemarahannya yang memuncak, melarikan kudanya ke arah Desa Piyaman. Sedangkan pasukannya yang hanya berjalan kaki tertinggal di belakang.

Sewaktu kuda Ki Rongga baru akan memasuki desa, mendadak saja Ki Demang Piyaman telah muncul di depannya, dengan tumbak berdarah di tangannya. Sebelum Rongga Puspawilaga sadar benar dengan siapa dia berhadapan, mendadak saja tumbak berdarah di tangan Ki Demang Piyaman telah menerobos ke depan, mengenai mulut kuda, tetapi karena meleset malahan langsung menancap di dada Rongga Puspawilaga, sehingga jatuh terguling dan mati seketika, kebetulan di bawah pohon asem, tempat tersebut sekarang menjadi Desa Ngasem Raden.

Begitu melihat musuhnya jatuh mati dan berdarah, Ki Demang bengong sendiri kebingungan. Karena dia sebenarnya tidak bermaksud membunuhnya. Sebentar dia melihat ujung tumbaknya berdarah, sebentar lagi melihat ke mayat musuhnya. Dia tidak tahu lagi, bagaimana dia harus memberikan laporan kepada Tumenggung Wiranegara, Bupati Gunung Kidul yang berada di samping itu. Mbok Niti telah ampai pula di tempat itu. Dia sempat melihat sikap adiknya yang bengong kebingungan, dan dia dapat pula menebak, apa yang telah difikirkan adiknya.

Karenanya dia segera menyuruh adiknya, agar Ki Demang segera lapor ke Temanggung Wiranegara di samping itu, bahwa Bupati Anom Rongga Puspawilaga mengamuk di desa Piyaman dan dengan membakari rumah penduduk. Setelah mendengar laporan Ki Demang Piyaman tentang mengamuknya Rongga Puspawilaga, dengan membakari rumah-rumah penduduk itu Tumenggung Wiranegara segera saja mengumpulkan pasukannya, dan diberi perintah untuk menangkap Bupati Anom Rongga Puspawilaga hidup ataupun mati, dan dia sendiri memimpin pasukan dengan didampingi Ki Demang Wanapawira.  Sepeninggal adiknya Mbok Niti segera memanggil beberapa orang, disuruhnya membakar beberapa warung di dalam pasar Piyaman, dan nanti bila Temanggung Wiranegara datang supaya pada berteriak-teriak Dengan mengatakan Rongga Puspawilaga mengamuk, secara berulang-ulang.

Begitu Tumenggung Wiranegara sampai di desa Piyaman, asap kebakaran Masih jelas kelihatan. Sedangkan suara-suara teriakan Rongga Puspawilaga masih ramai pula di sana-sini. Mendadak muncul Mbok Niti dihadapan Tumenggung Wiranegara melaporkan bahwa Bupati Anom Rongga Puspawilaga mati dikeroyok penduduk. Setelah mendengar laporan Mbok Niti dengan hati-hati, wajah Tumenggung Wiranegara berubah menjadi cerah. Karena dia sendiri juga sudah tahu, bagaimana watak dan sifat Rongga Puspawilaga yang hanya selalu melihat keuntungan dan kepentingan pribadinya sendiri, melupakan kepentingan dan kesejahteraan penduduknya. 

Tumenggung Wiranegara segera meninggalkan Desa Piyaman dan akan segera pula melaporkan tentang kematian Rongga Puspawilaga ke kehadapan Sri Sultan Hamengkubuwono ke I, di Keraton Ngayogyakarta. Juga telah selesainya babat alas Nongko Doyong, yang ditangani oleh Ki Demang Wanapawira dari Piyaman itu. Sri Sultan hamengkubuwana ke I setelah mendengarkan laporan tersebut, memberitahukan, bahwa besok pada hari Jumat Legi yang akan datang, beliau akan berkunjung ke alas Nongko Doyong, dan menetapkan tempat itu sebagai Ibu Kota Kabupaten GUnung Kidul yang baru.

Seperti yang diberitahukan, maka pada hari Jumat lagi, tanggal 1 Januari 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana I meresmikan dan menetapkan alas Nongko Doyong diganti namanya jadi Wanasari, sebagai kota Kabupaten Gunung Kidul yang baru. Sedangkan Ki Demang Wanapawira dinaikkan pangkatnya menggantikan kedudukan Bupati Anom Rongga Puspawilaga yang telah mati. Bahkan nantinya setelah Tumenggung Wiranegara meninggal, Ki Demang menggantikan pula kedudukan Bupati Gunung Kidul. 

Sumber Keterangan.

  1. Bapak Hadisumarta lahir tanggal 11 Juni 1921, di kota Wanasari, Seorang pendeta agama Buddha. Pernah menjadi Anggota Kavaleri Militer Belanda, Zaman Jepang Heiho, Komandan Divisi Laskar Rakyat Gunung Kidul, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Gunung Kidul, Anggota BPH (Badan Pembantu Harian) Pemda Kabupaten Gunung Kidul, Pendiri Guru Taman Siswa Gunung Kidul, Pendiri Guru KPA/KPAA Negeri Gunung Kidul, alamat Desa Siraman II, Kelurahan Siraman Kecamatan Wanasari. Tokoh kebudayaan Gunung Kidul. 
  2. Bapak Prajasindhuwidjaja, lahir tanggal 16 juni 1909 di Natayudan Kodya Yogyakarta, Pegawai Pamong Praja Gunung Kidul kedudukan Wedana Ekonomi, Camat pindah-pindah, sekarang pensiun, alamat: Jln. Natayudan I Kodya Yogyakarta. Tokoh kebudayaan dan karawitan di Gunung Kidul.

Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta


loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Nongko Doyong Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Nongko Doyong Sebagai sumbernya

0 Response to "Nongko Doyong"

Post a Comment

Cerita Lainnya