Alkisah Rakyat ~ Tahun 1921 Masehi buat daerah Yogyakarta yang pada waktu itu masih di dalam penjajahan Belanda lazim pemerintahan kelurahan terbentuk baru, dari pemerintahan desa yang dikepalai dengan istilah Bengkel Tua: dirombak menjadi pemerintahan kelurahan yang dikepalai oleh lurah Desa (glondong). Dari tahun berjalan ke tahun, menjelang tahun 1924.
Pada waktu itu, rata-rata di desa-desa masih berkembang perjudian, tanda (tayub) dan lain sebagainya semua bersifat pemborosan.
Tetapi di salah satu desa (pendukuhan), ialah desa Kleben termasuk kelurahan Keceme yang mulai tahun 1946 setelah kelurahan-kelurahan dalam daerah Yogyakarta digabungkan sampai sekarang, termasuk dalam kelurahan Caturharjo, Kapanewon Sleman.
Salah seorang bapak dari pegawai desa kelurahan Keceme tadi berhasrat besar akan mendirikan masjid, terletak di desa Kleben tersebut.
Benar harus diakui, bahwa usaha pendirian masjid pada waktu itu sungguh berat biayanya, lebih-lebih di dalam Desa itu khususnya dan dalam Kelurahan Keceme umumnya dapat dikata masih amat sedikit sekali saudara-saudara yang beribadat agama Islam.
Tetapi berkat usaha dari seseorang pegawai Desa itu yang tidak pantang mundur, akhirnya dapatlah terlaksana cita-cita pendidikan sebuah masjid, pada tahun 1926, dengan kenyataan, masjid tadi berdiri sampai sekarang yang dipromotori oleh pegawai desa tersebut dengan tawakal, bernama bapak Surodeksono desa Kleben yang sekarang sudah almarhum. Sebab sebabnya ia mendirikan masjid ialah:
- Iya menginginkan di dalam kelurahan Keceme tersebut agar dapat beribadah pada tiap-tiap hari Jum’at secara berjamaah ( ibadah bersama-sama).
- Di desa klaben itu ada suatu tempat (pekarangan), menurut kata orang-orang tua waktu itu terdapat bekas masjid, Siapa yang membuatnya Masjid itu semua tidak tahu, hanya berturut-turut keterangan dari nenek moyang, bahwa dulu Dulunya ada masjidnya, tetapi masjid tersebut bukanlah bikinan dari orang, tetapi masjid itu: Mesjid Tiban.
Dari bapak-bapak dan kakek-kakek yang sampai pada tahun 1921, 1925, dan 1926 sudah tidak dapat dibuktikan dengan sebuah bukti, ialah: yang berwujud candi-candi dari jerambah Masjid Tiban itu, dari batu, itu yang candi-candi itu untuk dipasang guna pembangunan masjid yang sampai sekarang ini dan satu dua buah candinya sampai kini masih ada, terletak dimuka masjid dan di belakang masjid.
- Kata orang-orang, sebelum masjid yang sekarang ini berdiri kurang lebih satu tahun, orang-orang di sekitar Desa Kleben sebagian besar melihat suatu benda yang besarnya kurang lebih sebesar buah kelapa yang tergolong besar, benda masih antara jam 3 malam berkitar-kitar di atas desa, dengan sinar yang sangat terang, jatuh di halaman masjid sekarang ini. Kata pendapat orang, bahwa itu adalah: “Wahyu”.
- Betul, kemauan dan hasrat yang besar dari almarhum Bapak suruh ke sono tadi, masjid dapat berdiri pada tahun 1926 dengan dihadiri oleh tokoh-tokoh ulama ( Kyai-kyai) dari daerah Yogya, Kedu, Salatiga dan lain-lain daerah, tak ketinggalan dari para pejabat dari Pangreh Praja setempat pada waktu itu.
- Di sebelah barat masjid ini ada sebuah kuburan, nama kuburan ini ialah kuburan "Migis”. Mungkin nama "Migis” ini dari kata: “Misigis”.
- Sampai antara kira-kira tahun 1920 jarang benar orang berani lewat di tempat bekas Masjid Tiban itu sebab lain dari keadaan yang rungkut, juga pemandangan cukup menegakkan bulu kuduk orang.
- Terang, sampai sekarang, rakyat umum menyakinkan, bahwa berdirinya Masjid sekarang ini berada di bekas: Masjid Tiban, kata orang, bukan bikinan manusia.
Sumur Tiban
Sampai sekarang pun, semua rakyat di desa sekitar Keceme menamakan adalah Sumur Tiban.
Letak dan Bentuknya Sumur Tiban.
- Letak sumur ini, sebelah utaranya pagar pekuburan Migis, sisi Barat, ada jarak 10 meter dari masjid ke antara jarak 25 meter.
- Bentuknya sumur kecil, garis tengahnya antara 90 cm.
- Dalam air kurang lebih 1,50 meter.
- Di atas sumur, masih terdapat sebuah batu, yang bentuknya seperti bonang: Menurut keterangan yang mempunyai pekarangan sekarang, batu mana dahulunya adalah 3 buah, ( Bonang atau kempul).
Cerita orang: Mulai dahulu sampai sekarang, air sumur tersebut tidak ada yang menggunakan, melainkan khusus digunakan oleh seorang saja yang bernama: Kaki (Ki Dowo). Lagipula, air di dalam sumur itu, walaupun di masa kemarau yang panjang umumnya semua sumur berkurang airnya, tetapi sumur Tiban itu tetap isinya. Sebaliknya dimasta hujan isi dari sumur itu sama saja juga.
Siapa saja dari pengunjung lain dari penduduk Kelurahan Caturharjo bila umpama datang di desa Kleben dan sekitarnya suka menanya Dimanakah tempat Sumur Tiban, saudara pengunjung tersebut akan mendapat jawaban Dimana arah tempat Sumur Tiban itu.
Tempat Sumur Tiban ini, dan jarak jauh Balai Desa Caturharjo kurang lebih 15 menit jalan kaki menuju ke barat.
Kaki Dowo (Ki Dowo)
Apa sebabnya nama perseorangan dan seseorang menulis rangkaikan dalam cerita bekas masjid dan Sumur Tiban itu?
Karena: Ki Dowo ini buat di Desa Keceme sampai sekitar desa agak jauh, tergolong ada keistimewaannya, yang lain dari pada manusia di situ pada umumnya, pun juga ada sangkut pautnya dengan adanya Sumur Tiban tadi.
Kaki ( KiKi Dowo): Orang-orang di desa Kleben, Keceme, dari sekitarnya yang umurnya antara 70 tahun, sama menerangkan masih sama ingat tentang Ki Dowo tersebut, karenanya sedikit-sedikit ia dapat menceritakan tentang adanya Ki Dowo.
Sifat bentuk Ki Dowo
Sesuai dengan nama panggilan ini, sebab kata orang, badannya tetap tinggi.
Menempatnya:
Tempat tinggal Ki Dowo itu di sebuah rumah bentuk gubuk (rangon) terletak di dekat Sumur Tiban tersebut di atas, gubuk mana beratap daun bambu. Ia hidup sebatang kara, karena ia tiada beristri dan berkeluarga lainnya. Iya bertempat tinggal di tempat itu, sudah menjadikan suatu keganjilan, sebab: Tempat lain yang lebih baik dan agak ramai di zaman itu masih banyak, padahal ini justru memilih tempat yang rungkut, dekat kuburan, kata orang-orang Walaupun di waktu siang pada masa itu, jarang benar anak-anak yang sudah dewasa lalu di sekitar tempat Ki Dowo, sebab dengan keadaannya memang menakutkan.
Pekerjaan Ki Dowo
Pekerjaannya Ki Dowo adalah menyadap (nderes) kelapa. Ia jarang benar (dapat dikata) tiada sama sekali berbaju, dan tidak pernah minum air teh, biasanya minum air mentah dari sumur Tiban tersebut.
Kata Orang:
Pernah ia baru menyadap (nderes) tersambar petir (bledeg) sehingga pohon kelapanya nampak terbakar, tetapi Ki Dowo tidak merasa sakit sedikitpun dan tidak gugup dari pemanjatannya, justru berkata: “Mengko tak medun, nek wis aku leren, nek arep nyamber, (nanti saya turun dulu, jika saya telah istirahat, kalau akan menyambar)”. Di bawah ia lalu tiduran dengan nampak enaknya.
Makannya (madang)
Cerita orang: Jika menanak nasi, harus sejumlah 10 (sepuluh) beruk beras kurang lebih 10 kg. Lauk-pauknya harus 50 biji ikan asin (gereh) buntung. Beras 10 kg, gereh 50 biji (50 biji gereh besar), setelah masak, dimakan sekaligus, habis sama sekali seketika itu juga. Apa imbangan nya? yang ajaib ini? Imbangannya: Iya rata-rata satu tahun sekali makan, jadi ia tidak seperti sembarang orang.
Seperti penulis terangkan, bahwa tempat Ki Dowo berdiam jarang orang-orang berani berkunjung, lebih-lebih pada waktu malam. Pernah Pada suatu hari masih nampak sinar matahari yang sudah akan terbenam di sela-sela Gunung, orang bernama Dipowikromo pada waktu itu sekira umur 50 tahun, diajak lah oleh Ki Dowo berkunjung ke rumah Ki Dowo yang kecil itu. Mulai sore Pak Dipowikromo sudah mengajukan pertanyaan kepada Ki Dowo, pergi atau tidak malam itu nanti? Sebab, bila Ki Dowo pada malam itu tidak akan pergi, Pak Dipowikromo akan tidur di situ. Jawaban dari Ki Dowo: Tidak, akan pergi ke mana? Sudahlah tidur di sini saja. Akhirnya pak Dipowikromo tidur di situ pada malam itu. Apa yang terjadi? Pada kira-kira jam 2 malam, Pak Dipowikromo yang baru tidur dengan pulas nya, ia dibangunkan oleh seorang kakek nampaknya dengan hidungnya keluar ingusnya nya (umbel) yang setropong panjangnya kira-kira 20 cm (teropong: sebesar cabang bambu yang berlobang). Kakek-kakek itu berkata dengan menawarkan kepada Pak Dipowikromo yang maksudnya: Apabila pak Dipowikromo suka mengganti ingus yang sepanjang itu, Pak Dipowikromo akan menjadi kaya raya. Tetapi Pak Dipo wikromo sama sekali tidak dapat menjawab, hanya badan Pak Dipowikromo menjadi gemetar dengan rasa ketakutan, ia meninggalkan tempat itu dengan merangkak-rangkak (mbarangkang) kembali ke rumahnya dengan rasa yang amat ketakutan. Pak Dipowikromo insyaf, bahwa malam itu waktu ia sudah tidur, ditinggal Pergilah oleh Ki Dowo sampai semalam suntuk kiranya.
Bersamaan dengan hidupnya Ki Dowo itu, pimpinan pemerintahan Kabupaten Sleman yang memangku jabatan Bupati ialah almarhum (mendiang) Bendoro Tumenggung Mangunjoyo ayahanda R.M. Suwondogeni Kepala Bagian Lalu lintas Infeksi Polisi Yogyakarta yang sekarang bertugas di Sumatera.
Kata orang: Istilah Ndoro Enggung Mangunjoyo (yang mestinya Bendoro Raden Tumenggung Mangunjoyo, kerap betul Ki Dowo dipanggil menghadap di ndalem Kabupaten secara perseorangan kekeluargaan, menurut berita umum pada waktu itu ia dipanggil menghadap di ndalem Kabupaten tadi, untuk Bendoro Tumenggung Mangunjoyo, Ki Dowo tadi dimintalah ilmunya dari jasmaniah Pak Dowo, beralih bagi beliau Kangjeng Mangunjoyo.
Kata orang, setelah selang beberapa bulan yang ilmunya beralih kepada Bendoro Tumenggung Mangunjoyo, tidak lama lagi Ki Dowo lalu meninggal dunia, meninggalkan dunia yang fana ini menuju ke alam baka, dan jenasahnya dikubur di perkuburan Bendo (Keceme), tetapi nama Ki Dowo sampai sekarang masih tetap dikenal oleh masyarakat.
Sekian cerita: Sumur, menjadi Sumur Tiban, dan Ki Dowo. Terimakasih.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
Alhamdulillaaah
ReplyDelete