Alkisah Rakyat ~ Tersebutlah pada masa sesudah Majapahit runtuh, ada dua orang keturunan Brawijaya IV ya yang pergi mengembara masing-masing bernama Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan. Kedua orang pengembara ini gemar bertanya guna mendapatkan wahyu. Selain daripada itu mereka adalah murid daripada Sunan Kalijaga dan pada saat itu mereka telah menjadi ulama. Pada suatu hari perjalanan mereka telah sampai di suatu tempat di daerah Gunung Kidul. Berkatalah Ki Ageng Giring III di sana:
“Sudah cukup lama aku bertapa, oleh karena itu akan ku akhiri sekian saja tapaku itu, dan untuk selanjutnya aku ingin menetap di sini ".
Mulai saat itu Ki Ageng Giring III membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal. Lama-kelamaan penduduk di sana makin banyak karena beberapa orang pendatang dari tempat lain ikut menetap di situ sehingga tempat itu menjadi sebuah desa. Oleh karena yang pertama kali bertempat tinggal di situ Ki Ageng Giring III maka untuk selanjutnya tempat itu dinamakan Desa Giring. Sementara itu Ki Ageng Pemanahan, tempat seperjalanan Ki Ageng Giring menetap di desa Banglampir yang letaknya tidak jauh dari Desa Giring.
Suatu hari Ki Ageng Giring menerima kunjungan gurunya yaitu Sunan Kalijaga. Dalam pertemuan itu Sunan Kalijaga telah bersabda: “Jebeng ngalora, ing kono aku nyelehake sepet lak wenehi tanda sada. Sada itu bakal tuwuh dadi wit klapa. Lan ing woh wit klapa itu ana wahyune kraton. Sapa sing ngombe banyi degan iku, besuk kang bakal nurunake ratu”. Kata-kata itu bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut: "Anakku Pergilah ke arah utara, disana aku meletakkan sabut yang telah saya beri tanda lidi, disana aku kelak akan tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa. Di dalam buah dari pada pohon kelapa itu terdapat Wahyu Keraton. Barangsiapa minum air daripada buah kelapa itu, dialah kelak yang akan menurunkan raja ".
Mendengar Sabda gurunya itu Ki Ageng Giring III sangat senang karena mempunyai harapan Bahwa kelak di antara keturunannya ada yang akan menjadi raja. Setelah gurunya pulang Ki Ageng Giring III lalu menuju ke tempat yang telah ditunjuk itu. Tempat itu lalu diberi nama desa Sada (=lidi). Sabut tersebut kemudian tumbuh menjadi sebatang pohon kelapa.
Setiap waktu Ki Ageng Giring datang ke desa Sada untuk merawat pohon kelapa yang telah tumbuh dengan subur itu. Pada suatu hari ketika pohon kelapa itu telah berbuah Sunan Kalijaga datang lagi menemui Ki Ageng Giring III. Kemudian sabdanya:
" Anakku, sekarang telah tiba waktunya buah pohon kelapa yang kau pelihara itu berisi wahyu. Pergilah ke sana dan petiklah buah itu! "
Ki Ageng Giring III segera pergi kesana menjalankan perintah gurunya itu. Wahyu yang disebutkan oleh Sunan Kalijaga itu jatuh pada jam 3.00 pagi. Ki Ageng Pemanahan yang ketika itu bertempat tinggal di Banglampir mengetahui juga bahwa ibu itu telah tiba. Maka beliau dengan cepat pergi ke Giring.
Tersebutlah Ki Ageng Giring III yang telah sampai di desa Sada. Beliau lalu memanjat pohon itu terus memetik dengan ( kelapa muda) yang telah berisi wahyu tersebut sesudah itu dibawa pulang. Sampai di rumah dengan itu lalu dikupas kemudian ditaruh di sebuah tempat yang disebut pengeret. Menurut pesan Sunan Kalijaga, sebelum meminum air tersebut Ki Ageng Giring III harus bersih jasmani maupun rohani nya. Oleh karena itu Ki Ageng Giring III bermaksud akan sesuci dahulu. Maka Pergilah beliau mandi ke sebuah sungai.
Pada saat Ki Ageng Giring sedang mandi di sungai datanglah Ki Ageng Pemanahan ke rumahnya. Ketika beliau melihat dengan yang terletak di pengeret diambilnya dengan itu sambil berkata kepada Nyai Ageng Giring:
“Mbakyu dengan ini akan saya minum”.
“Yayi, jangan kau minum karema dengan tiu milik kakakmu. Bagaimana nanti jika aku yang dimarahi”, demikian jawab Nyai Ageng Giring.
“Mbakyu jangan takut,” bujuk Ki Ageng Pemanahan.
“Nanti apabila Kangmas Ki Ageng Giring marah, sayalah yang bertanggung jawab”.
Ki Ageng pemanahan terus meminum air dengan tersebut hingga habis, sesudah itu beliau lalu mohon diri akan pulang. Pada saat Ki Ageng Pemanahan minum air dengan tadi maka Ki Ageng Giring III yang sedang mandi di sungai hatinya merasa tidak enak, beliau merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres di rumahnya. Mandinya dipercepat agar segera bisa pulang. Tatkala beliau tiba di rumah, Ki Ageng Ppemanahan baru saja meninggalkan tempat itu. Beliau terus menuju ke pangeret tempat meletakkan degan tadi. Setelah mengetahui bahwa degan tersebut tidak ada di tempatnya semula, beliau lalu bertanya kepada istrinya.
“Nyai, dimanakah degan yang saya taruh di sini tadi? Adakah orang lain yang mengambilnya?” Dengan hati cemas menjawab Nyai Ageng:
“Tadi ketika Ki Ageng sedang pergi, yayi Pemanahan telah datang ke sini. Ketika ia melihat degan tersebut terus diambil dan mengatakan akan diminum airnya. Sebetulnya sudah saya larang tetapi dia nekat, ia terus minum air kelapa itu”.
Mendengar jawaban istrinya itu Ki Ageng Giring III terus berdiam diri, hatinya sangat kecewa. Untuk memarahi istrinya beliau tidak sampai hati. Tiba-tiba timbullah niat untuk mengejar Ki Ageng Pemanahan yang menurut Perkiraannya belum jauh dari tempat itu. Segera berlarilah Ki Ageng Giring III ke arah rumah Ki Ageng Pemanahan. Perkiraan itu betul juga karena ternyata tidak lama kemudian beliau berhasil mengejar Ki Ageng Pemanahan. Setelah bertemu Ki Ageng Giring III lalu bertanya:
“Dimas, apakah engkau telah meminum air degan di rumahku? "
“Betul kangmas,” jawab Ki Ageng Pemanahan. “Oleh karena sangat haus maka saya minumlah air degan itu”.
Ki Ageng Giring III menghela nafas kemudian berkata kepada Ki Ageng Pemanahan: “Rupanya memang sudah ditakdirkan Tuhan bila Dimas akan lebih dahulu menurunkan Raja Dimas, Aku punya permintaan Bagaimana jika pengganti raja pertama nanti keturunanku ".
Ki Ageng pemanahan tidak menjawab rupanya beliau tidak menyetujui usul itu. Maka Ki Ageng Giring III lalu meminta lagi:
"Jka Dimas belum menyetujui keturunanku menjadi raja kedua bagaimana jika raja ketiga yang keturunanku ".
Karena Ci Ageng pemanahan tetap diam saja maka Ki Ageng Giring III berturut-turut minta yang ke-4, ke-5, ke-6, dan akhirnya ada permintaan ke-7 baru dijawab sebagai berikut: “Ya, terserah nanti kepada kehendak Tuhan”.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to "Ki Ageng Giring "
Post a Comment