Alkisah Rakyat ~ Desa Gedangan terletak kurang lebih 9 km di sebelah timur kota Wonosari, termasuk kecamatan Karang maja Maja Kabupaten Gunung. Satu hal yang menarik dari Desa ini ialah adanya pertunjukan yang disebut "cingcing goling”. Pertunjukan itu sampai sekarang masih berlangsung, diadakan 1 tahun sekali setiap habis panen. Maksud semula mengadakan pertunjukan ini ialah untuk mengingat perjalanan pelarian Majapahit yang melarikan diri ke daerah Gunung Kidul.
Sebelum pelarian Majapahit itu datang, Desa Gedangan sudah dihuni manusia. Sekitar abad 15 penduduk disana berjumlah kurang lebih 25 kepala keluarga. Mereka adalah anak cucu dari Kyai Brojonolo, Honggomolo, Nolodongso. Ketiga orang inilah merupakan cikal bakal desa Gedangan sekarang. Semasa hidupnya di jadikan sesepuh dan sangat disegani oleh anak cucunya karena tingkah laku mereka yang sering membimbing, memberi petunjuk, menasehati dan mengajarkan berbagai pengetahuan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila pada masa itu penduduk hidup senang, tentram dan damai. Mereka saling tolong-menolong. Mata pencaharian pokok di sana pada waktu itu adalah bertani. Hasilnya melimpah cukup untuk makan penduduk bahkan boleh dikatakan melebihi. Keadaan serupa ini menyebabkan Desa Gedangan terkenal sampai ke desa lain. Penduduk desa di sekitarnya banyak yang meniru cara penghidupan orang Gedangan. Berkat bimbingan ke-3 sesepuh tersebut di atas itu pula maka pada masa itu tidak hanya bidang lahiriah saja ja yang maju tetapi juga dalam bidang keagamaan. Penduduk rajin menjalankan perintah agamanya yaitu agama Hindu dan Buddha.
Demikianlah gambaran penghidupan penduduk Gedangan sebelum kedatangan para narapraja Majapahit. Tersebutlah keadaan di Majapahit yang sedang menghadapi keruntuhan karena mulai masuknya pengaruh Islam ke sana. Keadaan itu merupakan salah satu sebab yang mendorong beberapa narapraja meninggalkan negerinya. Di antara mereka itu ada yang sampai ke Gunung Kidul. Dalam pelajaran sejarah disebutkan bahwa salah seorang bangsawan Majapahit yang bernama R. Patah setelah mendirikan kerajaan Demak. Beliau adalah penyebar agama Islam. Maka untuk meluaskan pengaruhnya itu beliau menentang Majapahit yang waktu itu beragama Hindu dan Buddha. Dalam peperangan tersebut para bangsawan Majapahit ada yang begitu saja takluk dan mau menerima agama baru itu, tetapi ada pula sebagian yang tetap bertahan. Mereka yang tidak mau takluk itu terpaksa meninggalkan negerinya. Ada yang pergi ke timur Ada pula yang pergi ke arah barat. Yang ke timur sampai di Bali dan Lombok. Sedang yang menuju ke arah barat, di antaranya ada 2 orang yang sampai di Gedangan.
Dalam menempuh perjalanan antara Majapahit hingga Gedangan, banyak sekali rintangan yang mereka hadapi. Di sepanjang jalan, yang sebagian besar pada waktu itu masih berwujud hutan, mereka sering diganggu penjahat yang sedang berkeliaran mencari mangsa. Padahal rombongan pengungsi itu disamping membawa harta benda yang mahal, juga membawa putri-putri cantik yang terdiri dari istri dan saudara kedua bangsawan tersebut. Akan tetapi berkat kesetiaan kedua bangsawan tersebut serta keampuhan benda pusaka nya yang bernama nama "Cemeti" maka para penjahat itu tidak ada yang berani mengganggu. Dengan demikian selamatlah perjalanan mereka dari gangguan penjahat. Walaupun begitu masih ada rintangan lagi yang sulit ditempuh. Namun akhirnya semua kesulitan itu bisa diatasi. Menurut cerita tatkala sedang menempuh perjalanan itu mereka dalam keadaan tergesa-gesa karena takut ditangkap musuh. Mereka berjalan seperti lari.
Para putri, karena takut terpisah dari rombongan Nya maka agar bisa cepat sambil berjalan menarik kainnya lebih ke atas (dalam bahasa Jawa disebut cincing). Para penjahat yang melihat hal itu menjadi longo karena terpesona akan kecantikan para putri yang sedang lewat itu. Dalam hati mereka berkata: "Selama hidupku baru kali ini melihat wanita secantik itu ". Diantaranya Lalu ada yang berguling-guling ke tanah, seperti orang gila. Mungkin dari kata cincing dan guling inilah timbul perkataan baru "cincing- guling ". Kemudian “cincing an-guling” dipakai untuk menyebut sejenis tarian yang digubah setelah sampai ke Gedangan. Tarian ini digubah sedemikian rupa sehingga lakonnya bisa menggambarkan tatkala Sang Putri Majapahit sedang berhadapan dengan penjahat. Tarian ini dibawakan oleh 25 orang pria. Mereka ada yang bertindak sebagai wanita dan ada yang bertindak sebagai pria. Yang bertindak sebagai wanita memerankan Putri Majapahit, sewaktu menari menaikan kainnya. Sedang yang bertindak sebagai pria memerankan penjahat dalam membawakannya ada adegan berguling ke tanah sesuai dengan peran yang dibawakan.
Kedatangan mereka di Gedangan diterima baik oleh pinisepuh setempat yaitu Nyai Brojonolo, Honggonolo, dan Nolodongso. Hal ini bisa terjadi karena para pendatang itu beragama Hindu dan Budha jadi sama dengan penduduk Gedangan. Disamping itu penduduk menganggap bahwa keturunan bangsawan pantas dimuliakan. Kemudian mereka menetap di Gedangan, setiap hari bergaul dengan penduduk di sana. Mereka saling tolong-menolong, jika ada kesulitan diselesaikan bersama. Hal ini menyebabkan kedudukan Desa Gedangan semakin kuat.
Walaupun telah menjauh dari Majapahit rupanya kedua narapraja itu masih dibayangi rasa kecemasan. Mereka khawatir apabila persembunyiannya itu diketahui oleh Raden Patah. Seandainya hal itu terjadi tentu mereka akan ditangkap. Untuk menyelamatkan diri dari kemungkinan itu mereka lalu berganti nama dengan maksud supaya tidak dikenal. Yang satu lalu menamakan diri Kiai Gedangan nama ini kemudian dipakai untuk memberi nama desa tersebut. Sedang yang lain bernama Kyai Tropoyo. Ternyata Kyai Gedangan dan Kyai Tropoyo mempunyai kelebihan dalam bidang ilmu pertanian dan pemerintahan. Penduduk lalu meminta supaya mereka berdua mau menjadi pemimpinnya. Permintaan itu mereka terima dengan senang hati. Selanjutnya mereka mengangkat ketiga pinisepuh Gedangan menjadi pembantunya. Dalam setiap kesempatan mereka selalu mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan yang belum diketahui oleh penduduk.
Sebagai tanda kasih sayang maka setiap habis panen penduduk datang ke rumah Kyai Gedangan dan Kyai Tropoyo untuk menyerahkan bulu bekti, yaitu pemberian yang berupa hasil bumi.
Kyai Gedangan dan Kyai Tropoyo sangat terharu mendapat perlakuan yang begitu baik itu. Mereka lalu berpikir bagaimana cara membalas kebaikan tersebut sebagai tanda terima kasihnya kepada penduduk. Keduanya bermaksud ingin memberi Sesuatu yang bermanfaat kepada semua penduduk di situ, baik untuk saat itu maupun untuk saat-saat mendatang. Maka bersemadilah mereka, untuk memohon petunjuk kepada Hyang Widi. Kemudian diperolehnya Ilham yang menganjurkan supaya pemberian itu diwujudkan dalam bentuk bendungan.
Maka dimulailah pembuatan bendungan di sungai Kedung Dawang letaknya dekat Desa Gedangan. Pekerjaan itu dibantu oleh penduduk Gedangan. Karena mereka bekerja dengan sungguh-sungguh maka dalam waktu yang sangat singkat Bendungan itu telah jadi sehingga bisa untuk mengairi sawah di sekitar daerah itu. Meskipun pembuatan Bendungan itu telah selesai namun Kyai Tropoyo merasa belum puas. Beliau Masih memikirkan cara bagaimana supaya air itu bisa mengalir ke tengah Desa Gedangan. Sebab hal ini Jika terlaksana akan besar sekali faedahnya. Gagasan ini lalu disampaikan kepada Kiai Gedangan. Ketika sedang berunding, tiba-tiba teringat lah kepada salah seorang teman mereka dari Majapahit bernama Kyai Yudapati. Beliau adalah seorang yang sakti, bertempat tinggal di desa Pupukan, Kecamatan Ponjong daerah Gunungkidul. Keduanya bersepakat untuk minta bantuan kepada Kyai Yudapati, maka Kyai Gedangan lalu pergi ke Pupukan untuk menyampaikan maksudnya. Permintaan itu disanggupi oleh Kyai Yudapati. Maka pada Sore harinya Kyai udah Pati berangkat ke Gedangan, membawa tongkat saktinya. Setelah sampai tongkat itu ditancapkan di atas bendungan kemudian ditarik sampai ke tengah desa. Waktu tongkat itu ditarik, ujungnya masih terus menyentuh tanah sehingga bekas tarikan itu meninggalkan goresan. Sampai di tengah desa, yaitu tempat menghentikan tongkat tadi, beliau lalu menanam pohon keluwih. Pekerjaan ini selesai waktu fajar menyingsing. Sebelum meninggalkan tempat itu berpesan: "Pekerjaan ini ku akhiri sekian, terserah anak-cucu yang akan meneruskan ". Dan bekas goresan tongkat tadi berubah menjadi sungai.
Sekarang penduduk Gedangan telah mempunyai bendungan dan aliran air yang mengalir ke tengah desa. Maka gembiralah Kyai Honggowongso cs. bersama penduduknya. Untuk menggambarkan kegembiraan itu mereka mengadakan selamatan dan sajian untuk dipersembahkan kepada Hyang Widi sebagai tanda rasa terima kasih. Selamatan ini diadakan di Bendungan Sungai Kedungdawang. Selanjutnya selamatan semacam ini diadakan lagi pada setiap tahun berikutnya, pada waktu habis panen. Pada kesempatan itu selalu disertai pertunjukan "cingcing-goling". Para penari cingcing-goling yang terdiri dari 25 orang pria setelah selesai mengadakan pertunjukan lalu diberi berbagai makanan. Makanan itu dimasukkan ke dalam suatu tempat yang disebut "panjang-ilang ", terbuat dari daun kelapa muda, jumlahnya 25 buah. Jumlah 25 ini sesuai dengan jumlah kepala keluarga desa Gedangan pada masa itu.
Menurut kepercayaan, apabila mengadakan selamatan semacam ini maka sediaannya tidak boleh memakai tempe kedelai. Disamping itu bagi wanita yang sedang hamil dilarang melihat pertunjukan "cingcing-goling". Adapun asal mula larangan itu dapat dituturkan sebagai berikut: Pada waktu Bendungan itu sedang dibuat ada seorang wanita membersihkan kedelai akan dibuat tempe. Wanita tersebut sedang dalam keadaan menstruasi. Hal ini diketahui oleh Kyai Tropoyo. Oleh karena itu beliau lalu berpesan supaya tidak menyajikan tempe kedelai jika mengadakan selamatan untuk Bendungan tersebut. Selanjutnya waktu Bendungan tersebut sedang dikerjakan ada seorang wanita meninggal karena melahirkan anak. Maka Kyai Tropoyo lalu mengemukakan pesannya yang kedua itu, dan apabila pesan ini dilanggar yang bersangkutan akan menemui malapetaka. Menurut cerita pada waktu itu pernah kejadian ada seorang wanita hamil yang melanggar pesan tersebut, ketika sampai di rumah wanita itu lalu miskram.
Kyai Gedangan dan kyai Tropoyo tidak mempunyai keturunan karena mereka tidak berputra. Setelah wafat Kyai Gedangan dimakamkan di dekat Desa Gedangan. Sedang Kyai Topoyo hilang musnadi Bendungan Kedungdawang, Kyai Yudapati dimakamkan di sebelah tenggara Desa Gedangan.
Meskipun ketiga narapraja Majapahit tersebut sudah tiada lagi namun selamatan dan pertunjukan cingcing-goling masih terus diselenggarakan oleh penduduk setempat. Jika mengadakan selamatan mereka tidak lupa membuat sajian untuk ketiga tokoh tersebut. Demikianlah asal mula tarian "cingcing-goling" di Gedangan yang sampai sekarang masih dapat kita lihat pada tiap-tiap selamatan yang serupa.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to "Asal Mula Pertunjukkan Cincing Guling Di Gedangan"
Post a Comment