Alkisah Rakyat ~ Konon, kabarnya peristiwa terjadinya daerah Lendah adalah berhubungan dengan proses perkembangan ajaran agama Islam di daerah pulau Jawa; terutama daerah Jawa Selatan. Kejadian ini, sangat erat hubungannya dengan nama seorang Tokoh penyebar agama Islam yaitu, Syech Jangkung.
Adapun tentang nama asli Syekh Jangkung ini, orang yang empunya cerita tidak begitu jelas mengetahuinya, kecuali daerah asal dan kerabat yang menurunkannya.
Di dalam dongeng rakyat yang hidup dikalangan masyarakat setempat Syeh Jangkung dituturkan sebagai keturunan, Jaka Tingkir yang setelah menjadi Sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Cepatnya sejangkung ini adalah cucu daripada Jaka Tingkir. Sebagai keturunan Jaka Tingkir, Syeh Jangkung pun pada masa mudanya tidak ubahnya seperti kakeknya. Kenakalannya dan kesaktiannya sangat dikenal di kalangan rakyat Pajang.
Setelah dewasa, sek Jangkung mempunyai niat untuk memperdalam ilmu pengetahuannya, baik Ilmu untuk memperoleh kesaktian maupun ilmu-ilmu keagamaannya. Untuk menuruti kata hatinya itu, Syeh Jangkung pergi ke Kudus, dan kepada Sunan Kudus lah sejangkung ingin memperoleh pengetahuan yang diinginkan. Selama belajar pada Sunan Kudus Syeh Jangkung menampakan kecakapannya, keterampilan dan kegesitannya. Dengan demikian boleh dikatakan bahwa semua ilmu pengetahuan yang diinginkan itu hampir semuanya telah dikuasainya.
Akan tetapi pada suatu hari, yaitu pada waktu dalam dialog antara guru dengan muridnya, terjadilah suatu perdebatan diantara keduanya itu. Tentu saja dalam perdebatan yang terjadi ini, masing-masing baik guru maupun muridnya sama-sama mempertahankan pendapatnya. Sikap sang murid terhadap gurunya ini, di Anggaplah oleh Sang Guru suatu penghinaan terhadap dirinya. Oleh sebab itu, untuk menjaga martabat Sang Guru, murid itu diusirnya dan sebagai hukumannya simori dimasukkan ke dalam "Kaskus ".
Kemudian dan tidak diketahui bagaimana caranya, Syekh Jangkung murid Sunan Kudus dapat melarikan diri dari hukuman itu. Sebagai orang hukuman sejangkung menjadi seorang buronan. Dalam pelariannya sebagai buronan, sejangkung akhirnya memasuki Daerah atau wilayah Semarang, yaitu di daerah Wiyana. Di daerah Wiyana ini, sejangkung bertanya dan kemudian mendirikan tempat pengajian untuk menyebarkan ajaran agama Islam.
Selanjutnya dalam tugas penyebaran agama Islam, sejangkung bertemu dengan seorang pendeta yang berasal dari Krendetan (Purworejo) bernama: Kyai Projaguna. Dalam pertemuan itu, Syeh Jangkung minta kepada Kyai Projaguna dua buah kelapa yang sebuah untuk bibit dan yang satu lagi akan digunakan untuk perahu. Kemudian dengan perahu itu seks Jangkung mengembara menuju daerah seberang yaitu Palembang.
Setibanya sek Jangkung di Palembang, bersamaan dengan timbulnya malapetaka yaitu wabah penyakit yang mengurung daerah itu. Wabah itu sangat ganas, sehingga mengakibatkan banyak korban di antara sebagian besar penduduk.
Kedatangan Syekh Jangkung di Palembang, yang kemudian bersemadi itu, secara kebetulan diketahui oleh penduduk di daerah setempat. Oleh penduduk itu, apa yang dilihatnya kemudian dilaporkan kepada sang Baginda penguasa kerajaan Palembang.
Oleh Sri Baginda, Syeh Jangkung kemudian dipanggil untuk menghadap. Setelah menghadap kemudian sejangkung ditanya tentang asal-usul dan maksud kedatangannya. Dari hasil pembicaraan itu ia dituduh oleh Baginda, sebagai penyebab timbulnya malapetaka itu. Kemudian sang Baginda, memerintahkan kepada sek Jangkung untuk memberantas wabah, dengan suatu pernyataan, apabila seks Jangkung dapat berhasil memberantas wabah itu akan diambil sebagai menantu, akan tetapi seandainya gagal, akan dijatuhi hukuman mati. Ternyata dengan kesaktian yang dimilikinya Syekh Jangkung berhasil meredakan wabah yang menyerang penduduk Palembang kemudian sejangkung dikawinkan dengan salah seorang putri Palembang. Sebagai hasil perkawinan itu lahirlah seorang Putra yang diberi nama Laden Mukmin.
Setelah beberapa lama tinggal di Palembang Syech Jangkung, merasa menjadi beban istrinya. Oleh sebab itu beliau mempunyai keinginan untuk pergi berkelana melanjutkan tujuannya untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Dalam pengembaraannya itu, beliau sampai di pesisir utara Jawa yaitu Cirebon.
Bersamaan dengan datangnya Syech Jangkung itu, di Cirebon sedang terjadi peperangan antara Cirebon dengan Banten. Kedatangan beliau di Cirebon diketahui oleh Sultan Cirebon yang kemudian dipanggil menghadap. Dalam pembicaraan itu Syech Jangkung, diangkat sebagai Senapati. Dan apabila beliau berhasil mengalahkan pasukan Banten, akan diangkat sebagai menantu Baginda. Ternyata apa yang diinginkan oleh Sultan Cirebon disanggupi oleh Syech Jangkung.
Dalam pertempuran itu itu hanya dengan memakai senjata Batok ( tatempurung) yang diperolehnya dari Kyai Projaguna , maka hancurlah pasukan Banten. Akhirnya dengan kemenangan itu Syech Jangkung diangkat menjadi menantu Sultan. Dari Hasil perkawinan ini, lahirlah pula seorang Putra dan diberi nama Raden Wilopo.
Seperti halnya di Palembang, setelah beberapa saat di Cirebon, Syech Jangkung pun akhirnya meninggalkan anak istrinya di Cirebon, karena tujuan untuk menyebarkan agama Islam. Di dalam penyebaran ini, Syech Jangkung akhirnya sampai Tiaga Krapyak ini daerah Mataram. Mataram pada waktu itu diperintah oleh Sultan Agung. Di Tiaga Krapyak inilah Syeh Jangkung kemudian melakukan kebiasaannya bersemadi. Kemudian datanglah pemburu seorang Abdi Mataram di daerah dimana sejangkung bersemadi. Kedatangan si pemburu, dikarenakan oleh adanya suara binatang. Setelah sampai di tempat dimana suara terdengar si pemburu tidak melihat seekor binatang pun kecuali seorang yang sedang bertapa, yang tidak lain adalah Syech Jangkung.
Selanjutnya pemburu itu menghadap kepada Sultan untuk melaporkan peristiwa yang dilihatnya di Tiaga Krapyak itu. Mendengar laporan pemburu itu, Sultan Agung segera mendatangi tempat tersebut untuk membuktikan laporan sang pemburu. Sesampainya di tempat tersebut, Sultan Agung melihat suatu kenyataan Seperti apa Yang dilaporkan oleh pemburu itu.
Setelah melihat adanya seorang petapa, Sultan kemudian segera menghampirinya. Oleh sang Petapa Sultan Agung dipersilahkan duduk. Dalam pertemuan itu, terjadilah dialog antara Sultan Agung dengan Syech Jangkung. Hasil daripada Dialog itu, akhirnya Sultan Agung mengakui bahwa ilmu yang dimiliki Syceh Jangkung lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki olehnya. Oleh sebab itu, Sultan Agung kemudian mengangkat Syceh Jangkung sebagai saudara tua. Untuk lebih mempererat tali persaudaraan itu, makam Syeh Jangkung dikawinkan dengan kakak perempuannya yang bernama R.A. Retno Jumali.
Syahdan menurut tutur kata yang mempunyai cerita beberapa lama kemudian tersiarlah berita bahwa Mataram akan di Serang oleh Mesir. Selanjutnya Sultan Agung bersama Syceh Jangkung pergi ke Mesir dengan maksud untuk melihat situasi kerajaan Mesir, terutama kekuatan pasukannya. Dalam memata-matai itu, Sultan Agung dan Syceh Jangkung menyamar sebagai pencari belalang di alun-alun kerajaan Mesir. Kedatangan kedua pahlawan dari Mataram, diketahui oleh seorang pegawai yang bernama Iman Sofingi. Kemudian Iman sofingi menghampiri dan menanyakan kepada kedua pencari belalang itu, tentang asal-usul dan maksud kedatangannya.
Mendengar pertanyaan Iman Sofingi, kedua pencari belalang itu menjawab mereka berasal dari Mataram, kedatangannya ke Mesir untuk mencari belalang, Sebab di Mataram kehabisan belalang. Setelah mendengar jawaban kedua orang dari Mataram itu, oleh iman sSofongi dihadapkan kepada raja.
Telah dihadapkan kepada sang raja, kedua orang itu memperoleh keterangan, bahwa memang benar Raja Mesir mempunyai maksud untuk menyerang kerajaan Mataram. Selanjutnya sang raja menanyakan kepada kedua orang itu tentang ciri Sultan Agung dan juga kesaktiannya. Maka di Jelaskanlah oleh salah seorang pencari belalang itu bahwa ciri-ciri Sultan adalah seperti salah seorang diantara kedua orang itu yang sebenarnya adalah Sultan Agung sendiri. Demikian juga tentang kesaktiannya.
Kedua orang itu menyarankan kepada raja Mesir bawa sebelum menyerang Mataram lebih dahulu mencoba di antara mereka. Dalam mengaduh kesakitan itu ternyata yang maju Syceh jangkung. Untuk melawan Raja Mesir, Syeh Jangkung dengan menggunakan kopiah. Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh Syceh Jangkung dan karena kekalahan ini, Raja mengurungkan niat untuk menyerang Mataram. Dan akhirnya kedua orang itu mengaku bahwa dirinya adalah Sultan Agung sendiri dan Syech Jangkung.
Dengan kemenangannya atas Mesir, Sultan Agung mempunyai maksud kelak setelah meninggal agar jenazah dimakamkan di tanah Mesir. Akan tetapi niat itu tidak disetujui oleh Raja Mesir, sebab apabila Sultan Agung dimakamkan di Mesir orang Mataram tidak lagi mempunyai sesembahan (=pepunden= Jawa) . Untuk tidak mengecewakan kemauan Sultan Agung, maka Raja Mesir memberikan Segenggam tanah Mesir yang kemudian tanah itu dilemparkan ke Tanah Jawa. Dan setelah kebetulan tanah yang dilemparkan itu jatuh di wilayah Kerajaan Mataram, yaitu di desa Imogiri oleh sebab setelah Sultan Agung wafat dimakamkan di Imogiri.
Setelah dirasa cukup keperluannya di Mesir, kemudian Sultan Agung dan Syceh Jangkung kembali ke Mataram. Sesampainya di Mataram, oleh Sultan Agung, Syceh Jangkung diharapkan untuk tinggal di Keraton. Akan tetapi permintaannya dengan sangat menyesal ditolak oleh Syceh Jangkung, dengan alasan supaya Syceh Jangkung dapat lebih leluasa mengamalkan ajaran agama Islam.
Untuk melaksanakan maksudnya Syceh Jangkung memohon kepada Sultan Agung agar diberi tanah di daerah sebelah barat Sungai Praga. Permohonan itu dikabulkan kemudian setelah itu, Syceh Jangkung berangkat ke tempat yang telah dipilihnya yang akan dijadikan tempat pertapaannya. Di pertapaan ini, Syceh Jangkung oleh para murid-muridnya disebut dengan nama Kyai Landoh. Disebut dengan nama ini karena Syech Jangkung mempunyai seekor kerbau kesayangannya bernama kebo landoh, yaitu kerbau yang tanduknya ke bawah, dan digunakan sebagai kendaraannya. Menurut cerita orang, kerbau ini adalah kerbau jadi-jadian. Pada mulanya kerbau itu adalah kerbau biasa yang artinya mempunyai tanduk sebagaimana mestinya seekor kerbau yang lainnya. Akan tetapi oleh Syceh Jangkung/Kyai Landoh, tanduk itu kemudian dipuntir ke bawah. Pada akhirnya Syech Jangkung mengatakan pada murid-muridnya dalam bahasa sebagai berikut:
"Suk nek ana rejaning jaman, papan iki dak jenengi Landoh”.
(”kelak di kemudian hari, daerah ini akan saya beri nama Landoh”).
Dari kata lando inilah, maka akhirnya berubah nama menjadi Lendah.
Perlu diketahui pula bahwa Kyai Landoh (Syech Jangkung) selama menyebarkan ajaran Agama Islam mempunyai pegangan sebagai pusaka yang berwujud: Al-Qur’an, Kudi Rancong dan Batok bolu. Ketiga pusaka ini masih dihormati oleh penduduk setempat sebagai benda keramat/ pusaka yang melindungi keselamatan rakyat setempat. Dan menurut pusaka-pusaka satu tahun sekali pada bulan Sura dibersihkan; antara lain Al nya-Qur’annya dibaca di sekitar makam Kyai Landoh. Kecuali itu, beliau mempunyai istri 3 orang yang dengan Setia mengikuti jejaknya. Adapun istri-istri itu ialah: 1. R.A Retna Jumali, 2. R.A Retna Dumilah, 3. R.A Retna Diluwih.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to "Asal Mula Nama Daerah Lendah, Kulon Progo"
Post a Comment