Alkisah Rakyat ~ Pada suatu ketika di zaman kejayaan kerajaan Pajang, Baginda Raja pajang mendengar berita yang tersiar bahwa Putra angkatnya yang bergelar Penembahan Senapati bermaksud akan memberontak, dan akan menobatkan diri menjadi raja di Mataram. Baginda Sultan pajang lalu memanggil putranya, yaitu pangeran benawa dan Adipati Tuban dititahkan oleh Baginda Sultan pajang untuk meneliti Apakah ada tanda-tanda atau gerakan yang mencurigakan, yang membuktikan bahwa Penembahan Senapati benar-benar akan memberontak.
Maka berangkatlah Pangeran Benawa beserta Adipati Tuban membawa pengawal prajurit pilihan, dari pajang dan dari Tuban.
Sementara itu, Panembahan Senapati yang kini ada di bumi Mataram, mendengar berita bahwa akan kedatangan tamu agung dari Pajang, lalu mempersiapkan penyambutan secara meriah dan besar-besar, seperti layaknya menyambut tamu agung. Para penduduk wilayah Mataram disuruhnya menghormati kedatangan tamu agung itu di sepanjang jalan. Sedang Panembahan Senopati dengan para hambanya menjemput kedatangan tamu itu, dan menantinya di desa Radhulawang. Penembahan Senapati mengendarai seekor gajah.
Sesampainya di Desa Randhulawang, Pangeran benawa disambut dengan mesranya oleh Panembahan Senapati. Kedua orang saudara angkat itu lalu berpelukan, karena merasa rindu, telah lama mereka tidak saling berjumpa.
Setelah “bange-bange” memenuhi rangkaian adat istiadat, maka Pangeran Benawa lalu menjelaskan tentang kepentingannya datang ke Mataram, ialah diutus oleh Ayahanda Baginda Sultan Pajang, untuk membuktikan benar tidaknya berita yang sampai di Keraton Pajang, bahwa di Mataram Panembahan Senapati membangun benteng yang tebal dan kuat, dan mempersiapkan kekuatan angkatan perang, untuk “”mbalela” dan akan menjadi raja.
Mendengar penjelasan demikian itu, Panembahan Senapati lalu tersenyum, seraya katanya:
“Yang menyusun berita sedemikian itu, dan Ayahanda Sultan sendiri, tentu saja maklum, bumi Mataram ini adalah milik Baginda Sultan. Silakan Dimas Pangeran menyaksikan sendiri keadaan di Mataram, Apakah ada tanda-tanda persiapan pemberontakan yang saya siapkan ".
Pangeran Benawa merasa lega mendengar penjelasan yang diberikan oleh Panembahan Senapati itu. Sedikitpun Pangeran bahwa tidak memiliki rasa curiga terhadap Panembahan Senopati. Sebaliknya, Adipati Tuban, di dalam hatinya tumbuh rasa curiga. Penyambutan secara hangat dan meriah yang dipersiapkan oleh pihak Panembahan Senapati itu, dinilainya hanya merupakan semu, hanya nampak luarnya saja, untuk mengelabui pihak Pajang. Menurut dugaan Adipati Tuban, dibalik semua kemesraan dan kemeriahan itu, sebenarnya tersembunyi bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengancam ketentraman Pajang. Dibalik senyuman Panembahan Senapati itu, sebenarnya terkandung rasa permusuhan yang membara dan dalam waktunya nanti pastilah Panembahan Senapati akan menggerakkan angkatan perangnya untuk menyerang pajang. Demikian dugaan Adipati Tuban.
Sesampainya di pusat Negeri Mataram, tamu agung itu dijamu dengan sangat mewah dan meriah serta serba lezat. Untuk memeriahkan suasana, lalu dipertontonkan lah wayang kumaha, dan sebagai puncak keramaian penyambutan tamu agung dari Pajang itu diselenggarakan “tayuban”.
Sementara menyaksikan pertunjukan pertunjukan itu, Adipati Tuban lalu berkata kepada Panembahan Senapati:
"Saya mendengar berita, bahwa Kakanda menciptakan tarian baru. Apakah anak-anak muda dari Mataram telah pandai menarikannya? "
"Belum "jawab Panembahan Senapati. "Mereka baru belajar. Sepandai-pandainya anak-anak dari Mataram, Tentu saja tidak akan mampu menyamai anak-anak dari Keraton Pajang dalam hal tari menari ".
“Saya membawa anak muda yang mahir, Beksa Tameng juga mahir Beksa Lawung sudah terkenal mampu mengalahkan orang-orang dari tujuh negeri " kata Adipati Tuban.
“Sudah selayaknyalah demikian "kata Panembahan Senapati. Kadipaten Tuban memang sudah terkenal sejak dulu akan kemahiran orang-orangnya dalam bidang kesenian. Beda halnya dengan Mataram maklumlah, Mataram ini sebuah desa yang baru tumbuh, jadi orang-orangnya pun belum menguasai kesenian yang tinggi ".
Adipati Tuban lalu memerintahkan pengikut-pengikutnya maju ke tengah-tengah arena kesenian, disuruhnya mempertontonkan kemahiran mereka dalam tari menari dan memainkan tameng serta tombak.
Sementara itu, Raden Rangga, Putra Panembahan senapati dengan Putri Kalinyamat juga hadir di dalam pesta keramaian menyambut tamu agung dari Tuban itu. Menyaksikan orang-orang Tuban yang sedang bergaya di tengah-tengah arena pertunjukan dengan lagak yang sangat Sombongnya, panas lah hatinya. Berangsur-angsur Raden Rangga meninggalkan tempat duduknya yang semula di belakang ayahandanya, perlahan-lahan mendekati ayahandanya lalu secara berbisik-bisik dia memohon agar diizinkan tampil ke tengah arena untuk menari. Karena asyiknya menyaksikan berbagai macam pertunjukan itu, Panembahan Senapati sama sekali tidak menghiraukan permohonan putranya. Berkali-kali Raden Rangga membisikan permohonannya ke dekat telinga ayahandanya, mendesak-desak agar diizinkan ikut menari. Lama-kelamaan Panembahan senapati merasa jengkel, diganggu oleh desakan-desakan putranya itu, akhirnya beliau dengan besarnya membentak dan menyuruh Raden Rangga menjauh.
Mengetahui gelagat yang demikian itu, Adipati Tuban berkata: "Kakanda, rupa-rupanya Ananda Raden Rangga ingin ikut menari. Biarlah dia belajar kenal dengan para pengikutku orang-orang Tuban itu ". Lalu katanya kepada Raden Rangga "Silakan, “ngger”, menarilah. Ambilah perlengkapan mu menari. 7 tunjukkanlah kemahiranmu”.
Raden Rangga merasa memperoleh kesempatan segera dia menyuruh “punakawannya” mengambil tombak dan tamengnya. Yang disuruh melaksanakan perintah itu. Sebentar kemudian, Punakawan itu datang dengan membawa tombak dan tameng. Tombak itu ternyata sangat besar. Tangkainya saja sebesar pohon on nhjur.
Itu di panggul dua orang. Tamengnya terbuat dari baja seberat satu ”dacin”.
Setelah menerima tombak dan tameng itu, mulailah Raden Rangga menari di tengah-tengah arena, bersama-sama dengan orang-orang dari Tuban, yang juga membawa senjata mereka masing-masing, memamerkan kemahiran mereka memainkan senjata.
Ternyata kemahiran Raden Rangga dalam hal menari dan memainkan senjata, melebihi kemahiran orang-orang Tuban. Orang-orang Tuban memberi isyarat agar orang-orang yang menusukkan senjatanya ke tubuh Raden Rangga. Yang di beri isyarat melaksanakannya. Secara bersama-sama, orang-orang Tuban itu lalu menusukkan senjata mereka ke tubuh Raden Rangga; ada yang menusuk dari arah depan, ada yang dari belakang, dan ada pula yang dari samping, kanan dan kiri. Berbagai macam senjata ditusukkan ke tubuh Raden Rangga, ada tombak, ada keris, parang dan sebagainya, namun kesemuanya itu tidak mengganggu atau merusak kan keindahan gerak tarian Raden Rangga. Orang-orang Tuban menjadi semakin panas hatinya. Kemudian Raden Rangga diberi kesempatan untuk membalas serangan.
Sekejap Raden Rangga menoleh kearah ayahandanya, Panembahan Senapati, mohon persetujuannya. Dari tempat duduknya, Panembahan Senapati mengangguk perlahan, tanda menyetujui. Setelah memperoleh persetujuan dari ayahandanya itu, maka Raden Rangga lalu meletakkan tameng dan tombak, yang sejak tadi dipergunakannya untuk menangkis setiap serangan senjata dari orang Tuban.
Tiba-tiba seorang penari dari Tuban maju sambil menusukkan Kerisnya ke arah lambung Raden Rangga,, tetapi secepat kilat Raden Rangga mengelak, Seraya tangan kirinya menyambar muka si penyerang itu.
Setiap orang yang menyaksikan pertunjukan itu itu menjadi tercengang. Muka penari dari Tuban itu mengelupas kulitnya kena sambaran tangan Raden Rangga. Dari luka itu tersembur darah, dan orang itu pun lalu terpelanting jatuh tersungkur di tengah-tengah arena, tak bergerak-bergerak lagi. Teman-temannya berkumpul mengerumuninya, tetapi orang itu sudah tak dapat ditolong lagi; dia telah mati. Seketika keramaian itu menjadi geger.
Menyaksikan peristiwa sedemikian itu, Adipati Tuban cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya, lalu meninggalkan keramaian itu tanpa pamit, terus kembali ke Pajang. Para pengikutnya tidak ketinggalan, kesemuanya lalu meninggalkan Mataram seketika itu juga.
Pangeran Benawa merasa tidak enak mengetahui sikap adik iparnya yang meninggalkan sopan santun itu, lalu cepat-cepat minta diri, menyusul Adipati Tuban.
Sepeninggal tamu-tamu dari Pajang, hati Panembahan Senapati merasa tidak enak. Tidaklah mustahil, sesampai di Pajang, kentu Adipati Tuban itu akan melaporkan yang bukan-bukan. Memang sudah sejak lama Adipati Tuban menyimpan bibit rasa tidak senang terhadap Panembahan Senapati. Tetapi apa boleh buat. Segalanya telah terlanjur.
Tidak dapat disangkal lagi, memang Raden Rangga bersifat sombong, “brangasan”, senang menonjolkan kemampuan dan kelebihan. Ini disadari oleh ayahandanya, Panembahan Senapati. Setiap orang, tua muda besar kecil takut kepada Raden Rangga, bukan hanya karena dia Putra Panembahan Senapati, melainkan karena memang dia memiliki kemampuan melebihi para pemuda sebayanya, melebihi orang kebanyakan. Raden Rangga adalah seorang pemuda yang "sakti mandraguna ".
Panembahan Senapati menyesali peristiwa yang baru saja terjadi itu. Sebenarnya tidak ada tempatnya lah Raden Rangga memamerkan kemahiran dan kemampuannya sedemikian rupa didepan para tamu dari Pajang itu. Karena sifatnya yang berangasan itulah, maka Raden Rangga tidak dapat lebih sabar lagi menyaksikan kan ke sombongan para pengikut Adipati Tuban yang berlagak dengan Sombongnya di arena pertunjukan.
Peristiwa yang terjadi di arena pertunjukan itu adalah salah satu dari sekian banyaknya peristiwa yang menunjukkan kenakalan Raden Rangga, yang sangat merisaukan hati ayahandanya, Panembahan Senapati. Berbagai cara dilakukan oleh ayahandanya untuk memberikan ajaran dan didikan kepada putranya itu, tetapi rupa-rupanya tidak ada yang mempan.
Suatu ketika, ada rombongan orang-orang “mbarang yang” mempertontonkan pertunjukan yang menakjubkan; sulap, sihir, “ujung”, main pedang, “umbul sela” ditadah dengan dadanya. Orang-orang dari berbagai Desa berkumpul menyaksikan pertunjukan itu dengan kagumnya. Mendengar berita tentang pertunjukan itu, Raden Rangga lalu ikut pula menonton dengan menyamar sebagai rakyat biasa tidak ubahnya dengan para pemuda sebayanya.
Sementara pertunjukan sedang berlangsung, Raden Rangga lalu maju ke tengah-tengah arena, Seraya berkata: "Saya ikut main, kang. Dua belah tangan saya ini akan saya rentangkan, lalu tariklah orang 10, 5 orang sebelah kiri dan 5 orang lagi sebelah kanan. Kalau kalian menang nanti ku beri upah uang ".
Orang yang mbarang itu penasaran, lalu menuruti tawaran Raden Rangga. Lima orang memegangi tangan kiri Raden Rangga, dan 5 orang lagi memegangi tangan kanannya, lalu mereka itu bersama-sama menariknya. Ternyata Raden Rangga benar-benar memiliki kekuatan yang luar biasa; sedikitpun dia tidak tergerak oleh tarikan 10 orang itu, bahkan dengan sentakan kekuatan tenaganya, Raden Rangga memutarkan badannya, dan kesepuluh orang itupun terpelanting berjatuhan tunggang-langgang. Dua orang diantara mereka marah merasa dipermainkan, lalu cepat-cepat bangkit bermaksud akan menyerang Raden Rangga dengan pukulan dan tendangan. Oleh Raden Rangga, dua orang penyerang itu direnggut nya dengan 2 belah tangannya, lalu kedua-duanya dibanting bersama-sama yang mengakibatkan kedua orang itu meninggal dunia seketika itu juga.
Para anggota pengamen yang lain dan para penonton pertunjukan itu, semuanya menjadi ribut, Tetapi setelah mengetahui bahwa yang menyebabkan terbunuhnya 2 orang itu adalah Raden Rangga Putra Panembahan Senapati, mereka tidak dapat berbuat lain kecuali hanya membungkam. Peristiwa itu tidak diperkarakan.
Mendengar berita itu, Panembahan Senapati semakin sedih hatinya. Setelah berulangkali putranya menimbulkan huru-hara, oleh sikapnya yang sombong dan menonjolkan kemampuan dan kelebihannya.
Suatu ketika Kanjeng Sunan Kalijaga datang menemui Kanjeng Panembahan Senapati lalu sabdanya: “Kalau dibiarkan berlarut-larut, Putra Raden Rangga itu kelak hanya akan menjadi penghambat. Dia senantiasa hanya akan mencemarkan namamu dan akan menggagalkan cita-citamu menjadi raja besar di tanah Jawa ini. Ketahuilah, dengan sikap putramu Raden Rangga yang selalu Menonjolkan kejantanannya dan senang berbuat sewenang-wenang mau menang sendiri, serta kesenangannya berbuat onar itu, para penjahat dan pengacau merasa mendapat angin baik. Kalau hal demikian itu dibiarkan berlarut-larut, ketentraman Negeri akan terancam, dan niatmu akan mendirikan kerajaan besar yang tentram damai pasti akan tergoyahkan. Maka kau harus dapat menentukan pilihan. Salah satu harus kau korbankan, anakmu si Raden Rangga itu, ataukah negeri yang akan kau bina itu. Kalau kau mengutamakan kejayaan dan ketentraman Negeri beserta rakyatnya, maka kau harus rela mengorbankan putramu itu ".
Panembahan Senapati lalu memohon pertolongan Kanjeng Sunan Kalijaga, Bagaimana caranya menentramkan negerinya dari segala macam ancaman kekacauan dan keunairan yang menggelisahkan hati rakyat. Soal Raden Rangga, karena ternyata dialah yang juga menjadi penyebab kepunahan dan kerusakan itu, Panembahan Senapati rela mengorbankannya.
Setelah ternyata Panembahan Senapati bersikap demikian, lalu Kanjeng Sunan Kalijaga melemparkan sebatang tongkat ke tanah. Atas kesaktian Kanjeng Sunan Kalijaga, tongkat itu seketika berubah wujudnya menjadi seekor ular yang sangat besar dan ganas. Ular itu merayap keluar, lalu menetap di sebatang pohon beringin besar di atas Telaga di Desa Suwaja. Kehadiran ular besar itu menimbulkan kepanikan pada penduduk disekitarnya.
Berita tentang adanya seekor ular yang menakutkan hati penduduk itu, akhirnya didengar oleh Raden Rangga. Lagi-lagi Raden Rangga bermaksud akan menonjolkan keberanian dan kejantanannya. Dengan lagak yang sombong dia pergi menghampiri tempat persembunyian ular besar yang menakutkan penduduk itu. Setelah dijumpainya, ular itu lalu ditangkap kepalanya akan disobek mulutnya. Si ular meronta-ronta. Tubuh Raden Rangga dililitnya kuat-kuat. Tetapi karena Raden Rangga memiliki kekuatan yang luar biasa, maka lilitan ular itu tidaklah melumpuhkannya, bahkan dengan mudahnya Raden Rangga dapat melepaskan dirinya dari lilitan ular yang sangat besar itu. Tubuh ular itu lalu di hempas hempas kan ke batu besar di tepi telaga itu. Dengan sisa kekuatannya yang hampir habis, ular besar itu lalu menggigit tubuh Raden Rangga, dan menyemburkan bisanya. Raden Rangga menjadi semakin marah. Tubuh ular itu direnggut renggutkan dengan tangannya, sehingga tubuh ular itu menjadi terputus-putus, dan pada akhirnya ular itu pun mati. Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Talegat.
Menyaksikan akhir perkelahian itu, maka para penduduk menyambutnya dengan sorak-sorai. Ini ular yang menakutkan hati penduduk itu pun telah lenyap, dan Raden Rangga yang pada saat-saat sebelum itu sangat ditakuti dan dijauhi oleh rakyat banyak karena kesewenang-wenangan dan kesombongannya, kini mereka soraki sebagai pahlawan.
Akibat dari gigitan ular yang mengandung bisa itu, maka Raden Rangga lalu jatuh sakit, dan akhirnya meninggal. Dengan meninggalnya Raden Rangga, maka para penjahat dan pengacau Negeri merasa sedih, karena merasa kehilangan pahlawan dan pelindungnya, akhirnya mereka lalu meninggalkan kebiasaannya berbuat jahat dan menimbulkan kekacauan yang meresahkan hati masyarakat.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to "Raden Rangga"
Post a Comment