Alkisah Rakyat ~ Pada zaman dahulu kala adalah seorang anak muda, Galoran namanya. Iya tidak pernah bekerja di sawah seperti lazimnya anak muda desa. Maklumlah, pada waktu kecilnya ia sangat dimanjakan orang tuanya yang kaya raya, karena memiliki tanah persawahan yang luas. Galoran termasuk orang yang disegani di desanya karena derajat dan kekayaannya. Pada waktu orang tuanya telah meninggal, semakin boroslah cara hidupnya. Bersenang-senang, berpesta ria, makan minum dan memuaskan hawa nafsu. Sebab tidak bekerja dan cara hidup yang boros, akhirnya habislah kekayaan peninggalan orangtuanya. Sekalipun ia sudah tidak punya, namun tidak mau juga ia bekerja. Waktu dihabiskan dengan berjalan-jalan saja.
Iba orang Kampung melihat nasib anak muda itu. Tetapi setiap kali ada yang menawari pekerjaan, maka jawab Galoran: “mau aku turut bekerja kepadamu asal diberi makan yang cukup dan waktu tidur yang memusakan”. Satu dua hari Galoran turut bekerja, tetapi akhirnya hanya makan dan tidur sajalah yang diperbuatnya. Berganti-ganti orang kampung memberi pekerjaan, namun tidak ada pula yang sampai jadi. Akhirnya dipungut Lah iya oleh seorang janda yang berkecukupan, untuk dijadikan teman hidupnya. “Pucuk dicinta, ulam tiba ". Demikian pikir Galoran.
Adapun janda tersebut mempunyai seorang anak perempuan, Jambean mamanya. Ia sangat rajin dalam bekerja. Tenunannya dikenal di seluruh dusun. Disamping itu ia gemar berjualan. Karena rajin dan hemat, maka akhirnya Jambean dan ibunya dapat hidup berkecukupan.
Sejak Galoran menjadi ayah tiri Jambean, timbulnya keretakan dalam rumah tangga, Galoran sangat membenci anak tirinya sebab berani juga kadang-kadang Jambean menegur Ayah tirinya, agar suka membantu bekerja untuk keperluan rumah tangga. Apalagi bila Galoran memboros, tentu Ia mendapat teguran dari anak tirinya. Rasa benci Galoran terhadap anak tirinya itu akhirnya menjelma dalam rencana pembunuhan. Diasahnya parangnya tajam-tajam lalu Pergilah Iya kepada istrinya. Maka katanya: "Hai Nyai!, Kau tahu betapa kurang ajarnya Jambean kepadaku. Berani ia menasehati orang tua! Patutkah itu? "
“Sabar, Kak!” Demikian istrinya membujuk. “Jambean tidak bermaksud buruk terhadap Kakak ".
“Ah. Omong kosong!” bentak Galoran dengan melotot matanya. “Tahu aku, mengapa ia berbuat begitu kasar terhadapku. Dihinanya dengan semena-mena dengan maksud agar aku pergi meninggalkan rumah ini! Senang ia kalau aku cerai dengan kau, Nyai”.
“Jangan berkata yang demikian itu, Kak! Aku yakin bahwa Jambean tidak bermaksud demikian. Ia hanya menginginkan agar kakak suka membantu bekerja”. Begitulah usaha sang isteri meredahkan amarahnya.
“Buaknkah aku sudah bekerja!” bentak Galoran. “Pendeknya engkau sekarang tinggal memilih antara satu atau dua: anak atau suami. Jika kamu mempertahankan anak, maka cerailah kita. Tetapi apabila kamu masih mencintai suami, maka Jambean harus lenyap. Pikirlah! Kuberi waktu untuk memberi keputusan”. Demikian Galoran mengancam.
Berat nian beban yang harus dipikul oleh ibu Jambean. Tak sanggup ia memberi keputusan karena sangat bingung hatinya, maka menangislah ibu Jambean siang dan malam. Maka ratapnya: “Terlalu amat, Jambean, ayahmu itu! Sampai hati juga menyiksaku. Jambean, Jambean, marilah nak, kemari. Bagaimana akan daku ini!”.
“Sebentar, Mak, sebentar. Tinggal sedikit saja, tenunanku selesailah sudah!”, demikian jawab Jambean pada waktu mendengar keluhan ibunya itu. Setelah pekerjaan menenun selesai, pergilah Jambean mendapatkan Ibunya. “Mengapa emak menangis saja?” tanyanya dengan iba.
“Yah!” keluh ibunya. “Sampai hati juga ayahmua menyiksaku”, katanya. Maka diceritakanlah kepada Jambean segala rencana ayah tirinya.
“Oh…. itu mak, yang menyebabkan emak bersedih hati. Sudahlah! Jangan emak khawatir. Aku rela mak menuruti kehendak ayah! “Tetapi… tetapi…, bagaimana dapat terjadi Jambean!” kata emaknya kebingungan.
“Tenangkan hatimu Mak! Aku sanggup berkorban. Percayalah! Yang benar juga akhirnya yang akan memetik kebahagiaan. HAnya aku pesan Mak. Nanti apabila aku sudah dibunuh ayah, janganlah mayatku ditanam. Buang saja di bendungan!”
Jadilah Jambean disembelih ayah tirinya. Kepala dan batang tubuh Jambean menjadi seekor udang dan kepalanya berubah menjadi siput. “Keong” demikian orang di daerah Jawa menyebutnya.
Tersebutlah di Desa Dadapan ada dua orang janda bersaudara, Mbok Rondo Sambaga nama yang tua dan Mbok Rondo Sembadil nama yang muda. Kedua janda itu hidupnya sangat melarat, pekerjaan mereka sehari-hari mencari kayu dan daun talas di hutan.
Pada suatu hari pergilah Kedua saudara itu ke hutan untuk mencari daun talas. Sampai di Bendungan tertariklah mereka kepada udang dan siput yang menarik merangkak-rangkak. "Alangkah indahnya siput dan udang ini! "teriak Mbok Rondo Sambega. “Lihatlah Sembadil, betapa indah warna kulitnya. Kuning keemas-emasan! Ingin aku memeliharanya ". “Akupun ingin juga ". demikian Sembadil menyambungnya. “Kita bawa saja udang dan keong emas ini pulang, kak!".
Maka dipungutnya udang dan siput itu dibawahnya pulang, lalu dimasukkan dalam tempayan. Setiap hari udang keong itu diberi makan. Amat senang mereka kepada binatang piaraannya. Sejak Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil memelihara keong dan udang emas itu selalu bergembiralah hatinya. Kegairahan kerja nya bertambah-tambah hingga makin lama makin senanglah hidup mereka. Hal itu diketahui pula oleh orang-orang tetangga. “Sungguh mengherankan ", demikian orang-orang mempercakapkan. “Sejak Sambega dan Sembadil memelihara keong dan udang emas, semakin berkecukupan hidupnya. Keong dan udang bertuah rupa-rupanya ".
Adapun Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil sendiri merasa heran juga. Bertambah-tambah heran mereka, ketika pada suatu waktu tatkala mereka datang kembali dari pekerjaannya, melihat segala sesuatunya telah siap. Perabot perabot rumah tangga ada dalam keadaan teratur rapi dan masak-masakan pun tersedia pula. “Siapakah gerangan yang mengerjakan ini semua? "demikian tanya ke dua orang saudara itu keheran-heranan. “Sungguh ajaib!" pikir mereka. Begitulah setiap kali kedua orang janda itu pulang dari bekerja, tentu segala kebutuhan rumah tangga telah selesai diatur dan disajikan. Timbullah keinginan dalam hati Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil, untuk mengetahui siapa gerangan yang mengerjakan sekalian itu.
Pada suatu hari, seperti biasanya mereka pergi meninggalkan rumah, pura-pura akan pergi ke pekan. Sebenarnya mereka menyelinap di belakang rumah, karena ingin benar akan mendapatkan orang yang menyiapkan segala keperluan rumah tangganya apabila mereka pergi bekerja.
Saat yang dinanti-nantikan akhirnya tibalah pada waktu dari dalam dapur terdengar suara berisik, kedua saudara itu mengintip dari celah-celah dinding. Betapa tercengangnya Mereka melihat bahwa ada seorang gadis cantik keluar dari tempayan tempat mereka memelihara keong dan udang emas itu. “Tentu dia jelmaan si Keong Emas dan udang emas ", bisik Mbok Rondo Sambega kepada adiknya. “Mari jangan terlambat. Kita tangkap saja iya agar jangan merupakan diri lagi menjadi keong dan udang. Tentu ia bidadari dari kayangan yang mendapat kutuk Dewata ", jawab Mbok Rondo Sembadil. Kedua saudara itu memasuki dapur perlahan-lahan, lalu ditangkap nyalah gadis yang sedang asyik menyalakan api untuk keperluan memasak.
“Ayo ceritakan lekas, nak, siapa gerangan engkau itu!" Demikian Mbok Rondo Sambega mendesak dengan gembira. “Bidadarikah kamu?” Dengan takjim nya Jambean menjawab: “Bukan Mak. Saya ini manusia biasa yang karena dibuang orang tua saya lalu menjadi keong dan udang".
“Siapa namamu dan dari mana asalmu? " Mbok rondo Sembadil menyelidikinya. “Sudahlah Mak, sebut saja saya Keong Emas, seperti engkau menyebut saya sebelum saya menjelma kembali menjadi manusia. Dan apabila emak masih suka, ingin juga saya tetap tinggal di rumah emak ini untuk mendapat perlindungan”.
Dengan segala senang hati kedua janda bersaudara itu mengambil si Keong Emas sebagai anak. Orang-orang di seluruh dusun mengetahuilah sudah bahwa Keong dan udang emas piaraan Mbok Rondo telah berubah menjadi manusia. Sejak itu Keong Emas bekerja membantu kedua janda bersaudara yang dahulu hidup dalam keadaan yang sangat melarat itu. Pekerjaan bakunya ialah menenun. Makin lama makin terkenallah hasil tenunannya di seluruh negeri dan kedua janda bersaudara itu bertambah hari bertambah kaya.
Akhirnya kain tenunan Keong Emas itu terkenal di ibu kota kerajaan. Setiap orang ingin memiliki kain tenun buatan Keong Emas. Sang Raja yang masih muda tertarik juga akan kain tenun macam itu.
Pada suatu hari Sang Raja ingin meninjau rumah si Keong Emas untuk mengetahui dengan mata kepala sendiri bagaimana cara menenun kain yang demikian halusnya. Pergilah beliau hanya diiringi oleh seorang pegawai istana meninggalkan Keraton dan menyamar sebagai seoramg saudagar kain. Tahulah akhirnya Sang Raja siapa si Keong Emas itu. Amat tertarik hati Sang Raja akan kecantikan dan kerajinan kerja si gadis jelita.
Setelah Raja kembali ke istana, maka dititahkannyalah untuk membawa si Keong Emas serta kedua orang janda itu masuk Keraton. Kepada Mbok Rondo Sambega dan Mbok Rondo Sembadil Raja bertitah bahwa beliau ingin mengambil Keong Emas sebagai permaisuri. Betapa senangnya hati kedua orang janda itu.
Demikianlah Keong Emas hidup berbahagia sebagai permaisuri Raja. Sekalipun ia telah menjadi seorang prameswari, namun ia tidak melupakan tugas kerjanya, menenun kain yang bagus-bagus. Berkenan juga ia memberi pelajaran bertenun kepada sekalian anak muda-muda di ibu negeri.
Adapun perihal Galoran dan isterinya, sepeninggal Jambean dahulu semakin melarat hidupnya karena sangat boros. Akhirnya segala harta bendanya habislah sudah. Kedua mereka itu terpaksa hidup meminta-minta, mengembara dari desa ke desa. Entah bagaimana nasib kedua mereka itu akhirnya tiada orang yang mengetahuinya.
Sumber: Ceritera Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta
0 Response to " Jambean Si Keong Emas"
Post a Comment