Si Kabayan Mau Dagang Kucing ~ Kata pak Kiyai, Manusia adalah gudang tanda tanya. Sukar dimengerti. Kini dia ramah, kemarin dia menempeleng. Kini dia munafik, kemarin dia tulus dalam ketaatan. Kini dia berkhianat, kemarin dia jilat-jilat pantat. Dan besok?! Wallahualam! Kalau kucing mudah dipegang ekornya. Tapi omongan orang? Janjinya? Sikap dan gerak-geriknya?
Kata pak Guru; Manusia adalah teka-teki bernapas. Sukar diterka. Sukar diperhitungkan. Itulah, maka ilmu-ilmu sosial, humaniora, apalagi ilmu politik, lebih sukar dari pada ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu alam. Atom dan nuklir mudah dipelajari dan dimengerti. Tapi manusia yang merekayasanya sampai dapat membikin bom-bom jahanam untuk saling hancurkan habis-habisan, itulah maha teka-teki yang sangat sulit difahami.
Kata Si Kabayan; Manusia dalam bentuk mertuaku merupakan sebuah kranjang penuh bunyi-bunyian yang cerewet kayak Mak Comblang. Sebaliknya kata Sang Mertua, Manusia dalam bentuk menantuku, Si Kabayan, merupakan sebuah tong sampah tak berekor.
Pagi ini sang mertua membentak-bentak lagi; "Hey Kabayan! Kamu ini malas banget. Kerjamu cuma duduk melulu di sudut rumah, sehingga tulang buntutmu tidak bisa tumbuh memanjang seperti ekor kucing. Carilah pekerjaan, atau berusahalah apa saja. Jualan, kek. Cangkul-cangkul kek. tau jadi satuan keamanan (satkam) kek jaga keamanan desa. Itu lebih bagus. Kamu bisa banyak jalan-jalan, keliling desa. Tulang buntutmu pasti bakal tumbuh memanjang seperti ekor kucing. Lebih mudah bagiku untuk memegangnya dari pada kata-kata janjimu.
Si Kabayan paling benci kalau dituduh malas. Itu melukai kehormatan jati diriku, pikirnya. Aku tidak malas. Aku manusia yang berjiwa kerja. Aku getol. Cuma ini zaman brengsek. Zaman pengangguran. Lalu katanya:
"Eh, Ayah Nyi Iteung yang kucintai, jangan mentang-mentang lidah tak bertulang dan bibir tak dijahit, menuduh suami Nyi Iteung yang setia ini, sebagai orang yang malas, tidak mau kerja. Jangan, pak Mertua! Jangan salah tuduh. Pujangga Jawa yang kondong, bernama Ronggowarsoyo, eh indah, bahwa katanya, kalau di zaman edan tidak ikut edan, pasti bakal ora kedumen. Kalau dalam basa Sunda, artinya; moal kabagean makmak-mekmek beteg beuteung. Tapi saya tidak mau ikut edan, Pak. Saya mau jujur. Dan bekerja pun mau jujur, tanpa maling dan menjalankan ilmu kodok, menjilat-jilat keatas, menyikut-nyikut ke kiri dan ke kanan, dan menendang-nendang ke bawah, supaya bisa naik ke atas. Tidak, Pak! Yang namanya Si Kabayan ini mau jujur seperti Mahatma Gandhi atau Kiyai Semar, sesepuh para sinatria Pandawa Lima. Putranda menantu Bapak ini haram menjadi kodok. Cuma cialatnya sekarang, mana ada pekerjaan? Dimana-mana pengangguran melulu. Konon kata pak Guru, itu akibat 'iptek' yang kian hari kian canggih, tapi tidak becus memberi pekerjaan, malah membikin lapangan kerja tambahan ciut dan sumpek. Pekerjaan yang di masa lalu harus dikerjakan oleh seratus orang, sekarang cukup dilayani oleh satu-dua mesin dan komputer saja atau robot. Cukup. Itu kan gila! Sedang sementara itu, manusia berbiak terus. Masuk akal. Banyak nganggur tentu banyak waktu yang harus diisi. Tambah getol mencetak keturunan, seperti marmot. Akibatnya, jumlah mulut dan perut yang minta isi, membengkak juga, dan terus menerus. Ya, mau apa kita, Pak?! Ngerti, Pak Mertua?!"
"Tak peduli, Kabayan! Aku tak peduli soal 'iptek' dan pencetakan keturunan yang tambah sibuk dan tambah getol itu. Aku tak peduli. Itu bukan urusan kamu pula. Urusan kamu adalah cari isi perut dan bayar hutang-hutang kamu dengan duit; bukan dengan janji-janji yang tidak bisa aku pegang semudah ekor kucing."
Esoknya, Si Kabayan tiba-tiba menghilang. Tiga hari tidak ada kabar beritanya. Sang mertua dan seluruh desa geger. Banjir desas-desus. Si Kabayan diculik? Si Kabayan dimakan buaya? Si Kabayan pergi bertapa dalam gua setan? Si Kabayan loncat ke dalam godogan timah, karena bosan menganggur dan bosan ditagih hutang oleh mertuanya? Orang saling tanya. Kabar angin memenuhi suasana masyarakat desa. Cuma Si Iteung tenang-tenang saja. Ketawa berkikikan dalam kerongkongannya, ditahan-tahan jangan sampai keluar mulut, akut kedengaran orang lain. Akhirnya, ditanya oleh ayahnya dan diwawancarai oleh wartawan "Sinar Harapan Desa."
Kata Si Iteung; "Kang Kabayan mau buka perusahaan dagang kucing. Sekarang dia lagi keliling, cari dan ngumpulkan stok komoditinya di desa-desa dan di kota."
Hah?! Dagang kucing?! Ayah Si Iteung kaget". Dagang kucing kan tidak lumrah, Iteung. Siapa yang mau beli? Apa modalnya?"
"Kata Kang Kabayan, modalnya tiada masalah, Bapak Cuma bunyi 'miaaaw-meng-meng- eeoong', lalu dipegang ekornya, lalu dimasukkan ke dalam karung. lalu dijual. Dapat duit. Itu saja. Dan kata Kang Kabayan, Bapak tak usah takut Kang Kabayan akan pinjam duit lagi sama Bapak."
"Wah, ini berita penting," kata wartawan desa itu. "Lebih penting dari berita tentang orang yang menggigit ekor anjing gila. Lalu, Mbak Iteung, apakah Bung Kabayan ada amanatnya barangkali yang disampaikan kepada Mbak?"
"O, ada Bung," jawab Si Iteung, bisik-bisik ke dalam telinga sang wartawan. "Ada, Kata Kang Kabayan, dia mau menjual kucing itu kepada ayah juga. Katanya, supaya ayah pun bisa dipegang ekornya juga. Ayah, kata Kang Kabayan suka ngawur, kalau lagi cerewet. Tidak bisa dipegang ekornya".
Bisik-bisik Si Iteung itu kedengaran juga oleh ayahnya. Lalu katanya kepada sang wartawan; "Hey, anak muda! Tulislah dalam Surat Keputusan Anda itu, bahwa menantuku itu, sukar dipegang ekornya. Dia sering bilang tidak mau ikut edan. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apakah waras otak yang mau jualan kucing?"
Sore itu juga surat keputusan desa itu memuat tebal-tebal di halaman mukanya sebuah kepala berita yang berbunyi; "Dua makhluk tak berekor saling tuduh tidak bisa dipegang ekornya."
Dan sore itu juga pak Kiyai dan pak Guru sama-sama membaca surat keputusan itu. Mereka sama-sama ketawa. Sama-sama geleng-geleng kepala. Sama-sama berseru; "Aiiih, dasar manusia! Selalu ada-ada saja yang lucu." Lalu mereka tambahkan kepada definisi mengenai manusia itu; Monyet yang seperti manusia adalah langka. Tapi manusia seperti monyet bukan kuda yang bertanduk.
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
"Tak peduli, Kabayan! Aku tak peduli soal 'iptek' dan pencetakan keturunan yang tambah sibuk dan tambah getol itu. Aku tak peduli. Itu bukan urusan kamu pula. Urusan kamu adalah cari isi perut dan bayar hutang-hutang kamu dengan duit; bukan dengan janji-janji yang tidak bisa aku pegang semudah ekor kucing."
Esoknya, Si Kabayan tiba-tiba menghilang. Tiga hari tidak ada kabar beritanya. Sang mertua dan seluruh desa geger. Banjir desas-desus. Si Kabayan diculik? Si Kabayan dimakan buaya? Si Kabayan pergi bertapa dalam gua setan? Si Kabayan loncat ke dalam godogan timah, karena bosan menganggur dan bosan ditagih hutang oleh mertuanya? Orang saling tanya. Kabar angin memenuhi suasana masyarakat desa. Cuma Si Iteung tenang-tenang saja. Ketawa berkikikan dalam kerongkongannya, ditahan-tahan jangan sampai keluar mulut, akut kedengaran orang lain. Akhirnya, ditanya oleh ayahnya dan diwawancarai oleh wartawan "Sinar Harapan Desa."
Kata Si Iteung; "Kang Kabayan mau buka perusahaan dagang kucing. Sekarang dia lagi keliling, cari dan ngumpulkan stok komoditinya di desa-desa dan di kota."
Hah?! Dagang kucing?! Ayah Si Iteung kaget". Dagang kucing kan tidak lumrah, Iteung. Siapa yang mau beli? Apa modalnya?"
"Kata Kang Kabayan, modalnya tiada masalah, Bapak Cuma bunyi 'miaaaw-meng-meng- eeoong', lalu dipegang ekornya, lalu dimasukkan ke dalam karung. lalu dijual. Dapat duit. Itu saja. Dan kata Kang Kabayan, Bapak tak usah takut Kang Kabayan akan pinjam duit lagi sama Bapak."
"Wah, ini berita penting," kata wartawan desa itu. "Lebih penting dari berita tentang orang yang menggigit ekor anjing gila. Lalu, Mbak Iteung, apakah Bung Kabayan ada amanatnya barangkali yang disampaikan kepada Mbak?"
"O, ada Bung," jawab Si Iteung, bisik-bisik ke dalam telinga sang wartawan. "Ada, Kata Kang Kabayan, dia mau menjual kucing itu kepada ayah juga. Katanya, supaya ayah pun bisa dipegang ekornya juga. Ayah, kata Kang Kabayan suka ngawur, kalau lagi cerewet. Tidak bisa dipegang ekornya".
Bisik-bisik Si Iteung itu kedengaran juga oleh ayahnya. Lalu katanya kepada sang wartawan; "Hey, anak muda! Tulislah dalam Surat Keputusan Anda itu, bahwa menantuku itu, sukar dipegang ekornya. Dia sering bilang tidak mau ikut edan. Tapi apa yang terjadi sekarang? Apakah waras otak yang mau jualan kucing?"
Sore itu juga surat keputusan desa itu memuat tebal-tebal di halaman mukanya sebuah kepala berita yang berbunyi; "Dua makhluk tak berekor saling tuduh tidak bisa dipegang ekornya."
Dan sore itu juga pak Kiyai dan pak Guru sama-sama membaca surat keputusan itu. Mereka sama-sama ketawa. Sama-sama geleng-geleng kepala. Sama-sama berseru; "Aiiih, dasar manusia! Selalu ada-ada saja yang lucu." Lalu mereka tambahkan kepada definisi mengenai manusia itu; Monyet yang seperti manusia adalah langka. Tapi manusia seperti monyet bukan kuda yang bertanduk.
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan Mau Dagang Kucing"
Post a Comment