Si Kabayan Ingin Si Iteung Cantik ~ Ketika nglencer ke kota, Si Kabayan seharian suntuk berdiri depan sebuah salon kecantikan. Dia memperhatikan keluar-masuknya teman-teman sejenis Si Iteung. Yang ketika masuk paras mukanya lumayan saja, keluar kemudian sudah disunglap menjadi cantik lebih dari lumayan. Yang sudah cantik lebih dari lumayan ketika masuk, cantiknya menjadi luar biasa ketika keluar. Tapi ada juga yang sudah luar biasa cantiknya, ketika keluar membikin Si Kabayan lari, takut bungaok yang serba ketebalan "make up"nya. Lalu bergegas pulang ke kampung. Takut bungaok yang serba ketebalan "make-up"-nya. Lalu bergegas pulang ke kampung.
"Iteung, Iteung," katanya penuh semangat kepada istrinya. "Tadi di kota Akang melihat ada satu toko yang bisa bikin perempuan yang jelek menjadi cantik. Luar biasa. Lalu akang ingat sama kamu, Iteung. Kamu juga bisa dibikin cantik oleh toko itu. Kita ke sana, yu!"
"Ah, Kang Kabayan suka ada-ada saja. Saya kan sudah dilahirkan seperti gini, masa kok bisa dibikin cantik."
"O, itu tiada masalah, Iteung. Toko itu bisa menyunglap kamu menjadi seorang ibu yang ayu. Itu bisa, Iteung. Akang lihat sendiri tadi. Yang lebih jelek dari kamu, dalam sekejap mata sudah bisa disunglap menjadi seperti bintang pelem. Apalagi kamu yang sekurang-kurangnya tidak kalah sama bintang lenong, bisa meningkat, bisa dibikin seperti raden ayu. Hayu! Kita pergi besok ke toko itu, yah?"
"Ah, malu Kang Kabayan. Saya kan orang kampung yang miskin dan tidak nyakolah, buta huruf. Basa Malayu saja nggak bisa. Apalagi basa engkoh yang pake oeh-oeh itu. Toko itu kan punya oeh-oeh. Dan yang ke sana itu kan ibu-ibu yang kaya-kaya dan ayu-ayu. Ah, saya mah tahu diri, Kang Kabayan, Iteung mah malu."
"Eh, jangan kamu merendahkan diri, Iteung. Biar miskin, kita juga manusia, tahu? Kita juga sama seperti mereka. Tidak ada bedanya."
"Ada! Kan Kabayan. Ada bedanya! Beda besar," kata Si Iteung tegas. "Mereka kan punya duit. Kita kerempengan."
"Iteung! Dengar! Ingatlah! Akang ini punya darah seni. Membutuhkan yang indah-indah; yang cantik-cantik. Darah seni Akang sudah mulai bosan, setiap kali narik napas, setiap kali mengedipkan mata, yang kulihat cuma bunga yang kering dan peyot."
Tapi Si Iteung biarpun disindir sebagai bunga yang sudah kering dan peyot, tetap ngotot, tidak mau diajak ke toko sunglap itu. Namun akhirnya dia toh mau juga, walaupun tetap segan dan menggerutu. Soalnya, karena Si Kabayan mengacam dengan kata-kata sambil menunjuk-nunjuk ke arah matanya sendiri.
"Lihat nih, Iteung. Lihat mata Akang ini. Ini mata seni, tahu! Mata seni Akang! Yang membutuhkan keindahan dan kecantikan! Lihatlah! Nah, sepasang mata seni ini bisa berobah menjadi sepasang mata keranjang yang liar! Tuhan! Yang liar! Jangan main-main, Iteung ! Ini bukan masalah enteng! Ini masalah berat! Gawat."
Sampai di depan salon, Si ITeung segan masuk. Ditarik tangannya oleh Si Kabayan. Begitu masuk, pemilik salon segera menyambut. Mukanya menampakkan senyum ramah dan tangannya mengasongkan sekepal wang ratusan kepada Si Kabayan, yang menolak dengan kata-kata; "O, maaf, Tauke. Kami bukan pengemis. Saya datang ke sini ini, bawa istri saya, supaya dibikin tambah cantik, seperti ibu-ibu yang ayu-ayu itu Boleh, toh?"
"O, boleh, boleh, Maaf, ya. Maaf. Oeh kta..." Lalu si oeh yang baik hati dan dermwan itu memanggil seorang pegawainya "pramugeulis" ahli kecantikan supaya mengerjakan apa yang biasa dikerjakannya untuk membikin wajah seorang langganan menjadi lebih cantik.
Si Iteung gelisah. Belum pernah dia duduk di atas kursi depan kaca sederetan dengan ibu-ibu yang menurut seleranya sudah cantik-cantik semuanya, tapi toh masih ingin lebih cantik. Entahlah, kenapa? Apa alasananya? Untuk apa? pikirnya. Kalau aku jelas. Karena aku dipaksa oleh Kang Kabayan. Malah diancam. Mata seninya bisa berubah menjadi mata keranjang yang liar, katanya; seperti babi hutan. Itu kan bahaya. Aku bisa terlantar, kalau Si Mata Keranjang itu ngablu, lalu ambil bini lain, dan aku diceraikan. Terlantar. Nasib wanita yang bodoh macam aku. Tidak punya kepandaian, kecuali melayani suami dan buruh numbuk padi. Mana aku bisa hidup, tanpa Kang Kabayan penjamin hidupku. pakah ibu-ibu yang sudah begitu ayu-ayu itu pun ketakutan juga seperti aku, kalau-kalau mata seni para suaminya akan berubah menjadi mata keranjang juga yang liar? Jadi jangan kalah saingan. Tingkatkan saja kecantikan diri di toko sunglap ini. Mungkin tidak. Tidak seperti aku. Mereka tampaknya pinter-pinter. Terpelajar. Dan sudah cantik-cantik. Mata seni suami mereka tak kan bosan menatapnya, mengelus-elusnya. Suami mereka tak kan menjadi babi hutan yang liar. Tapi wallauhualam. Laki-laki, sih. Demikianlah pikir Si Iteung berlanjut-lanjut.
Tiba-tiba diluar salon kedengaran suara anjing yang bergonggong melolong-lolong seolah kesedihan.
"Entah ada apa anjing itu?" kata pegawai pramugeulis itu yang sedang mengecat rambut Si Iteung dengan warna pirang meniru rambut wanita bule, kehendak mata seni Si Kabayan. "Entah kenapa? Tiap sebentar dia menggonggong, melolong-lolong seperti itu. Sedih amat kedengarannya."
"Mungkin, ya Dik. dia memang lagi sedih," kata Si Iteung. "Mungkin dia menangis nasibnya sebagai seekor betina, yang takut ditinggalkan jantannya, satu-satunya penjamin hidupnya. Takut mata seni si jantan menjadi mata keranjang yang liar. Cuma kasihannya dengan binatang, ya Dik, dia kan tidak bisa membikin wajahnya tambah cantik, karena toko sunglap seperti yang ada di dunia manusia, tidak ada di dunia mereka. Maklum binatang toh? Yah, rupanya memang demikianlah nasib anjing betina itu. Hidupya bergantung pada penjamin dari luar dirinya sendiri." Pegawai pramugeulis itu pungak-pinguk. Tidak mengerti. Ngomong apa orang desa yang mau disunglap jadi cantik seperti ibu-ibu yang kaya-kaya dan ayu-ayu itu, pikirnya.
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan Ingin Si Iteung Cantik"
Post a Comment