Si Kabayan Di Tegur Pak Kiyai ~ Bulan puasa. Si Kabayan lagi merokok di belakang kakus balai desa. Dilihatnya pak Kiyai datang mau menemui Pak Lurah. Cepat-cepat Si Kabayan menyembunyikan rokoknya di bawah kopiah yang sedang dipakainya. Sialan Pak Kiyai malah berhenti sebentar untuk menyampaikan "alaikumsalam" dan menanyakan "apa kabar" kepada Si Kabayan. Dilihatnya dari bawah kopiah Si Kabayan keluar asap rokok. Cepat dia bertanya: "Eh, Kabayan! Kepalamu itu kebakaran."
Si Kabayan cepat-cepat membuka kopiahnya, mengambil rokok kreteknya yang tingal setengahnya. Lalu katanya, malu-malu. "Ini Bah, rokok ini, saya isap ketika saur tadi. Lupa memadamkannya." Lalu dia lari ke pancuran memadamkan kebakaran rambutnya. Sejak itu Si Kabayan selalu mengelak dan sembunyi di belakang pohon, atau merengkak ke kolong rumah orang, kalau dari kejauhan dia lihat akan berpapasan jalan dengan pak Kiyai.
Tapi masih dalam bulan puasa itu juga, Pak Kiyai pergi ke kota naik becak. Ketika mau bayar, tukang becak tidak punya wang kembalian. Lalu Pak Kiyai pergi ke sebuah warung nasi untuk menukarkan wang dengan recehan. Warung nasi itu sudah biasa kalau bulan puasa ditutupi depannya dengan kain lebar supaya orang yang makan di dalamnya tidak kelihatan orang dari luar. Begitu Pak Kiyai menyingkakan kain penutup rasa malu itu ke samping, tampaklah Si Kabayan lagi lahap makan sop buntut.
"Eheh. eheh, maaf Abah, kali ini saya betul-betul lagi melatih diri untuk menahan nafsu, sesuai dengan maksud puasa, bukan? Pagi ini nafsu saya untuk berpuasa itu sangat menyala-nyala dan mendesak-desak. Saya harus tahan dan matikan nafsu itu. Alhamdulillah berhasil, berkah doa dari Abah, saya telah berhasil menundukkan nafsu berpuasa itu di warung nasi ini."
Pak Kiyai tersenyum. Lalu katanya; "Eh, Kabayan yang budiman. Lain kali tahanlah nafsu munafik saja. Nafsu untuk berpuasa jangan ditahan-tahan, apalagi dimatikan. Jangan! Biarkanlah saja merajalela sampai tamat sebulan suntuk."
Sejak itu, Si Kabayan tambah malu, karena disindiri munafik. Kalau mau berpapasan di jalan tidak lagi sembunyi di kolong rumah orang, melainkan lari saja jauh-jauh. Ke hutan. Tapi pada suatu hari toh ketemu juga.
Pak Kiyai; "Sudah lama Anda tidak kelihatan bersembahyang Jumat di mesjid, Kabayan. Kenapa?"
Lantang juga Si Kaabyan menjawab: "Ah segan, Abah. Terlalu banyak orang-orang yang munafik yang datang sembahyang di mesjid itu. Saya tahu, banyak di antara mereka yang datang ke mesjid itu, hanya karena bapak pejabat atasannya suka datang. Tapi kalau bapak atasannya itu tidak datang, mereka pun absen, tidak kelihatan batang hidungnya. Mesjid setengah kosong. Abah pun kan tahu itu."
"Tapi, Kabayan, mesjid itu kan lega tempatnya. Tidak akan kepenuhan kalau para munafikin itu bertambah jumlahnya dengan satu orang lagi. datanglah saja."
Wah, kali ini tambah jelas bagi Si Kabayan bahwa Pak Kiyai menuduhnya sebagai seorang "munafikin." Akhirnya, dia ingin tahu, apa sebenarnya arti istilah itu. Lalu dia datang ke rumah pak Kiyai. Gembira sekali pak Kiyai melihatnya, seolah seekor domba yang tersesat kembali ke kandangnya.
"Begini, dombaku," kata pak Kiyai sambil tersenyum ramah. "Tuhan itu maha melihat, maha mendengar, maha tahu. Jangan dikira sehelai kain lusuh yang bau trasi itu bisa menutupi penglihatan Tuhan terhadap orang yang sedang sarapan dengan sop buntut di warung nasi sesudah dia ikut saur di rumah. Jangan mengira Tuhan itu tidak melihat bahwa rokok yang membakar rambut orang itu adalah rokok yang baru saja dinyalakan dan dihisap, jadi bukan rokok yang lupa dimatikan ketika saur. Pokoknya, Kabayan, Tuhan itu maha tahu. Dia hadir dimana-mana, menyaksikan segala gerak-gerik kita, karena Dia sangat dekat sama kita. Lebih dekat dari pada urat leher kita. Tegasnya, kalau Anda sendirian, lagi nongkrong di kakus misalnya, sebetulnya Anda tidak sendirian. Anda berdua. Yang kedua adalah Tuhan. Kalau kita sedang berduaan seperti sekarang ini, sebenarnya kita tidak berduaan. Kita bertiga. Yang ketiga adalah Tuhan. Ngerti?! Pokoknya, Kabayan, jangan lagi bersikap seperti seekor domba yang munafik, yang berpura-pura ini-itu, sebab Tuhan maha tahu, menyaksikan segala gerak-gerikmu."
Maka Si Kabayan pun mengangguk-angguk selaku domba yang mengerti. Lalu bersujud di hadapan pak Kiyai, mohon maaf berjuta maaf. Lalu membuka kopiahnya, minta doa restu dari Abah supaya kepalanya yang botak bekas kebakaran itu, cepat ditumbuhi lagi dengan rambut yang tebalnya seperti bulu domba yang budiman.
Maka pak Kiyai pun meraba-raba kepala sang domba yang setengah gosong itu sambil mendoainya. Dan sejak itu domba itu selalu ingat bahwa Tuhan selalu menyaksikan gerak-geriknya lahir-batin.
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan Di Tegur Pak Kiyai"
Post a Comment