Si Kabayan Jual Kalong ~ Pikir Si Kabayan, kenapa nasib manusia itu begitu berbeda-beda? Padahal kebutuhannya kan sama saja, Makan, minum, tidur, kerja, main-main, punya rumah, punya pakaian, punya teman sehidup - semati macam Si Iteung, punya anak biarpun suka nakal macam Si Bego, pokoknya punya keluarga yang semuanya sama dibutuhkan oleh setiap mauluk macam aku. Tapi kenapa tetanggaku, Ki Silah yang sudah kaya, kok tambah kaya saja sekarang. Dan tambah rakus dan kikir pula. Baru saja dia dapat warisan sawah dan sejodoh kerbau bule dari ayahnya, lurah yang baru meninggal, karena perutnya ditusuk tanduk oleh salah seekor dari kerbau bule itu. Tambah bergudang kekayaan Ki Silah. Tapi mana pernah si kikir itu kasih wang jajan kek sama Si Bego. Atau sekedar upah untuk tambah-tambah wang belanja sama Si Iteung, kalau Si Iteung diminta bantu-bantu menyuci atau bersih-bersih gedung kediamannya. Tak pernah atau jarang sekali. Padahal Si Bego dan Si Iteung sering disuruh-suruhnya. Dasar jiwa modalis. Maunya, orang ini harus berbakti kepadanya, dengan sikap "sepi ing pamrih, rame ing gawe."
Si Kabayan sering iri hati terhadap nasib Ki Silah yang selalu hujan rezeki itu. Padahal dia cuma tukang catut. Cuma mencatutnya di gelanggang gede. Sedang aku dan Si Iteung, bekas pejuang yang mau hidup jujur, nyatanya kerempengan selalu, pikirnya. Apakah ini yang disebut "nasib" itu? Yang kata orang, harus kita menerimanya dengan ketawakallan dan pasrah sabar saja? Tapi tidak, pikir Si Kabayan selanjutnya. Manusia harus memperbaiki keadaan nasibnya sendiri. Harus banyak akal. Harus pinter. Pagi ini Si Kabayan menunggu Ki Silah lewat ke tempat dia berdiri di bawah pohon randu yang kebetulan ada seekor kalong sedang tidur bergantung pada sebatang dahannya.
"Eh, Ki Silah," kata Si Kabayan ketika tetangganya itu lewat, "aku ini butuh duit untuk bayar wang sekolah Si Bego, anak kami. Dia diancam akan dilepas dari sekolahnya, kalau aku tidak bayar wang sekolahnya. Aku tidak mau Si Bego bodoh. Kalau bodoh dia akan jadi makanan orang pinter. Aku tidak mau itu terjadi. Jadi, dia harus terus sekolahnya." Ketika melihat Si Kabayan, Ki Silah sebenarnya sudah mau lari, takut dimintai duit. Tapi Si Kabayan cepat memegang kainnya dari belakang sampai kedodoran. Untung tidak ada orang lain, karena Ki Silah tidak biasa pakai celana dalam. Lebih irit menurut perhitungannya.
"Dengarlah, Ki Silah! Aku bukan mau minta duit kepadamu. Aku cuma mau jual ikat kepala yang kujemur itu, tuh pada dahan pohon randu nitu." Ki Silah tengadah, melihat kain ikat kepala warna hitam yang menurut kata Si Kabayan sedang dijemur pada dahan pohon randu itu.
"Dengarlah, Ki Silah. Ikat kepala itu, kain batik buatan luar negeri, yang warnanya berlatar hitam. Model terakhir zaman modern sekarang ini, yang sedang ramai dipakai oleh menak-menak, para pejabat tinggi, dan para hartawan di kota-kota besar."
"Berapa?" tanya Ki Silah yang wajahnya menjadi bringasan mendengar kata-kata Si Kabayan itu. Memang, walaupun dia banyak duit, tetangga Si Kabayan itu merasa dirinya kurang lengkap karena dia tidak punya titel apa pun, baik titel kemenakan "Raden" atau titel kesarjanaan "propesor". Bahkan diploma ngetik pun dia tidak punya. Jadi, dia merasa gengsinya kurang sempurna. Aku mesti beli ikat kepala yang merupakan ciri kelas elite itu, pikirnya. Aku jangan kalah gengsi oleh siapa pun di wilayah kabupaten ini, ya, bahkan di wilayah seluruh propinsi. Aku harus dikenal sebagai tokoh yang menyilaukan setiap mata.
Tanpa adu tawar lagi, Ki Silah segera merogoh kantong bajunya, memindahkan seikat lembaran duit dari dalamnya ke tangan Si Kabayan. Begitu menerima duitnya, Si Kabayan cepat-cepat bergegas dari sana, pura-pura dipanggil ke balai desa, kantor pak Lurah. Dan Ki Silah langsung memanjati pohon randu untuk mengambil ikat kepala yang lagi dijemur itu. Tangannya segera menjulur ke arah ikat kepala yang latarnya hitam itu. Begitu tangan itu mau menjangkau, kalong itu cepat-cepat terbang ke angkasa bebas - lepas.
"Kurang asem! Si Kabayan!" kata Ki Silah. "Dia berani menipu aku! Memperlakukan aku sebagai anak kecil yang bloon! Masa kura-kura dibilang ikat kepala model menak. Cih!"
Sejak itu, Si Kabayan tambah yakin bahwa nasib harus ditingkatkan tarafnya dengan menggunakan akal. Cuma Pak Kiyai memperingatkan dia, "Asal jangan akal bulus, Kabayan! Nanti kamu jadi bungaok!"
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan Jual Kalong"
Post a Comment