Si Kabayan dan Lintah Darat ~ "Bukan Islam saja, Kabayan," kata Pak Kiyai. "Juga agama Kristen dan Yahudi sama-sama mengharamkan makan riba itu. Memang jahat. Pikiran saja, bagaimana jahatnya si pemakan riba alias rentenir itu; atau lebih tepat suka disebut juga lintah darat."
"Memang lintah darat mereka itu. Abah," kata Si Kabayan. "Darah saya pun sekarang sedang disedot oleh seekor lintah. Setiap kali si lintah yang besar kepalanya dan rakus duit itu datang menagih ke rumah, dan saya tidak bisa lunasi hutang saya, maka bunganya dia naikkan seenak perutnya. Badan saya serasa penyek ditindisi pelat besi puluhan lapis. Dan satu lapis itu berarti lima puluh persen. Bayangin! Puluhan lapis kali lima puluh persen! Itu baru bunganya saja. Belum pokoknya. Jelas, dia tidak gubris larangan agama itu. Dia tidak takut neraka. Bukan begitu, Abah?"
"Memang. Kabayan. Dia tidak takut neraka. Malah dia suka bikin neraka bagi orang lain. Tapi itu soal tangung jawab dia diakherat nanti. Cuma Kabayan! Seberani-beraninya manusia, dia selalu dibayangi oleh rasa takut. Takut apa saja. Misalnya, sang pahlawan yang berani mati dalam pertempuran pun, dia berani demikian itu, karena dia takut negaranya, bangsanya, anak -bininya dijajah dan dihancurkan oleh musuhnya. Misal lain. Si Bedegul berani mencuri dan menipu, karena dia takut kelaparan dan hidup sengsara, tidak disegani dan ditakuti orang.
Dan tempo hari, Si Iteung berani mencakar mukamu, karena dia takut kamu memadu dia dengan Nyi Ecoh, janda muda itu. Pokoknya, Kabayan, berani dan takut itu merupakan dua sifat manusia yang sejoli, yang nengkel seperti benalu dalam jiwa setiap manusia. Juga dalam jiwa si lintah darat kamu itu. Disamping dia berani menentang larangan agama itu, dia pasti punya rasa takut akan sesuatu, yang entah apa; harus kamu cari dan ketahui, Kabayan."
Hari ini Si Kabayan tahu bahwa si lintah darat itu akan datang lagi ke rumahnya untuk kesekian kalinya menagih. Dia ingat kata-kata Pak Kiyai. Maka tiba-tiba mengkilatlah dalam otaknya suatu akal yang cerah. Segera diceritakan kepada istrinya. Dan Si Iteung segera berjingkrak-jingkrak, ketawa bercekikikan. Lalu segera memandikan Si Kabayan dengan seember air tuak. Sudah itu Si Kabayan berguling-guling di atas sehamparan kapuk sehingga seluruh badannya putih dengan kapuk. Kemudian dari merangkak ke dalam sebuah kurungan ayam yang ditutupi dengan sehelai kain. Mukanya ditutupi dengan kedok merah merupakan wajah wayang golek, Si Cepot, anak Semar.
Tidak lama kemudian Si Lintah Darat datang untuk menagih.
"Kang Kabayan tidak ada di rumah, Tuan," kata Si Iteung.
"Lho! Ke mana dia? Dia kan tahu, akan datang untuk menagih. Ke mana dia pergi?!"
"Menghadap tuan besar kepala polisi, Tuan?"
"Menghadap tuan besar kepala polisi?! Ada apa?!"
"Melaporkan bahwa dia baru menangkap seekor burung yang aneh bin ajaib. Dan akan dipersembahkan kepadanya."
"Aneh bin ajaib bagaimana?" Lintah darat itu ingin melihatnya. Tapi Si Iteung segera melarangnya.
"Jangan Tuan! Jangan! Tuan besar kepala polisi sudah memerintahkan kami bahwa burung ajaib itu tidak boleh dikasih lihat sama orang lain, sebelum paduka tuan besar sendiri melihatnya."
Tapi si lintah darat itu malah menjadi tambah ingin tahu. Lalu kurungan ayam itu diangkatnya. Tapi begitu diangkat kurungannya, Si Kabayan yang badannya penuh kapuk itu lari sambil mengepak-ngepakkan kedua belah tangannya selaku burung mengepak-ngepakkan sayapnya. Dia berteriak-teriak; Wekwekwek! Barakataktak -botak! Lalu menghilang.
"Aduh, Tuan!" kata Si Iteung sambil pura-pura menangis. "Aduh! Apa nanti kata paduka tuan besar kepala polisi?! Tentu saya mesti bilang berterus-terang kepada Kang Kabayan bahwa burung itu lepas karena Tuan. Dan Kang Kabayan tentu akan melaporkannya kepada paduka tuan besar kepala polisi. Wah, entah bagaimana paduka tuan besar yang galak seperti macam teler itu akan memarahi dan menghukum Tuan. Pasti tak kan tanggung-tanggung. Pasti Tuan bakal bocok-bocok digebukin, dan digantung dengan kaki ke atas. Semua siksaan itu sakit. Tidak sehat, Tuan. Kasihan anak-bini Tuan! Juga kasihan badan Tuan sendiri yang sudah lama bukan pemuda lagi." Dan Si Iteung pura-pura nangis lagi, melolong-lolong.
Mendengar kata-kata dan tangisan Si Iteung itu, si lintah darat yang berani menentang larangan agama itu, menjadi sangat ciut, ketakutan. Mukanya yang kehitam-hitaman menjadi hampir seputih kapuk karena pucatnya. Dan suaranya gemetar seperti bergerotoknya bunyi jendela loncer tertiup angin kencang. Dan dia menangis, membujuk-bujuk; "Jangan, Nyi Iteung! Nyai geulis! Jangan bilang sama kakangmu dan tuan besar! Jangan! Hutang Tuan Kabayan, sobat kentalku itu, sekarang sudah kuanggap lunas. Nama Tuan Kabayan akan aku coret dari daftar nama orang-orang yang punya hutang! Segel hutangnya nanti akan kirimkan ke sini. Bakar saja sampai jadi abu, ya." Dan setelah mengucapkan kata-kata itu dia lari terbirit-birit, takut dikejar polisi dan digebukin paduka tuan besar kepalanya.
Dasar kunyuk, si monyet gila duit, pikir Si Kabayan kemudian, perintah Tuhan dia berani melanggarnya, tapi sama makhluk sejenis dia lari terkencing-kencing dalam celana, ketakutan. Cih !
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan dan Lintah Darat"
Post a Comment