Si Kabayan Cari Jalan Ke Surga

Si Kabayan Cari Jalan Ke Surga ~ Konon, Si Kabayan masih awal remaja ketika cerita ini terjadi. Dia masih ingusan. Masih suka nakal. Pada suatu hari, dia berengsot-engsot memanjati pohon enau untuk mencuri air tuak dari sadapannya. Pak Kiyai, pemilik pohon itu kebetulan mau pergi ke kota, lewat di sana. Tengadah ke atas. Melihat pantat anak ingusan sedang berengsot-engsot naik keatas, dan tangannya sudah mengulur hendak menjangkau sadapan. Segera berseru ke atas:


"Hey, Kabayan! Kamu mau curi air tuak dari pohonku, yah?" Si Kabayan menjawab ke bawah, "Ah tidak, Abah. Saya cuma lagi cari jalan ke surga, Abah! Konon, kata sahibul-hikayat, surga itu adanya di langit!"

"Turun, Kabayan! Turun! Tahu apa sahibul hikayat itu. Dia cuma tahu ngibulin hikayat! Ayo! Turun dari pohonku itu! Itu bukan jalan ke surga, tolol! Itu jalan untuk langsung terjun ke neraka dengan tulang lehermu patah! Ayo! Turun!"

Akhirnya, Si Kabayan turun.

"Itu Abah!" kata Pak Kiyai." Abah akan tunjukkan jalan ke surga yang kamu cari itu." Lalu kiyai modern yang berpakaian perlente dengan berdasi dan berkopiah beldu hitam itu bergerak dari sana, diikuti oleh Si Kabayan, yang mengintil seperti anak kambing di belakang pantat induknya.

Pak Kiyai masuk kantor polisi. Si Kabayan kaget. Takut melihat seragam - seragam dan kumis-kumis yang seram. Mau lari. "Saya tidak curi apa-apa, Abah., saya cuma cari jalan ke surga. Ini kan jalan ke neraka."

"Syukurlah, Kabayan. Kamu sudah tahu jalan ke neraka. Baiklah. Abah akan tunjukkan jalan ke surga, sekarang. "Dan kiyai yang berpakaian perlente itu bergerak lagi dari sana, Diikuti lagi oleh kambing dungu yang bernama Si Kabayan itu. Lalu mereka bergerak melalui sawah, ladang dan perkebunan teh, kopi, karet dan bermacam - macam tanam-tanaman lainnya. Keluar dari sana mereka masuk beberapa gedung besar-besar dan tinggi-tinggi yang penuh dengan bangku-bangku, meja-meja, beribu-ribu buku-buku dan bermacam-macam alat-alat yang Si Kabayan tidak pernah lihat di kampungnya. Dia bengong, karena di rumah Bapak Lurah dan Bapak Camat pun tidak ada alat-alat aneh dan deretan buku-buku seperti itu. Lalu Pak Kiyai menerangkan.

"Nah, gedung-gedung itu, Kabayan, adalah sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, dan universitas-universitas. Dan bangsal-bangsal yang enuh dengan bermacam-macam alat yang aneh-aneh itu adalah apa yang dinamakan laboratorium. Pernah dengar? Tidak? Dan tempat ribuan buku itu namanya perpustakaan atau 'library'. Pernah dengar? Belum pernah?!"

Si Kabayan memanggut-manggut selaku anak kambing mengangguk-anggukkan kepalanya, mencari tetek induknya. Kemudian mereka bergerak lagi menuju bangunan-bangunan yang besar-besar yang membikin mata Si Kabayan setengah meloncat dari kelopaknya. Dia kaget dan ketakutan melihat mesin besar-besar yang berisik bergerojak-gerojak, memecahkan teliganya.Lebih berisik dari bunyi bebek-bebek, kodok-kodok, dan ayam-ayam dan anjing-anjing dan domba-domba berbarengan. Dan dia kaget, mau lari, takut ada kebakaran, karena melihat atap-atap bangunan-bangunan itu mengeluarkan asap dari cerobong-cerobong yang lebih kental dan lebih tidak enak baunya dari asap rokok kretek yang keluar dari mulut dan lobang hidung calon mertuanya, ayah gadis desa yang lincah bernama Si Iteung,

"Nah, bangunan-bangunan ini namanya pabrik Kabayan, dan daerah ini disebut daerah industri," kata Paka Kiyai yang berpakaian perlente itu. Keluar dari bangunan-banginan raksasa itu mereka melanjutkan langkahnya, masuk daerah pertokoan dan pasar raya yang bising dengan orang-orang yang menawarkan barang-barangnya.

"Nah, Kabayan, kita sekarang sudah setengah selesai menempuh jalan ke surga itu. Lewat jalan ini manusia sekarang sudah bisa mewujudkan kemajuan dalam ilmu pengetahuan, teknologi, kesejahteraan dan kemakmuran duniawi. Tapi jalan ini tidak lengkap. Karena tidak lengkap tidak sempurna. Karena ini tidak sempurna, bisa berobah jurusannya, berbelok ke arah neraka. Bukan ke surga yang murni dan sempurna."

Si Kabayan melompat ke udara, selaku anak kambing yang kaget mendengar bunyi ledakan petasan. "Apa?" katanya "Berbelok ke arah neraka? Bagaimana mungkin. Abah?"

"Dengarlah, Kabayan. Tidaklah kamu lihat tadi bahwa diantara bangunan-bangunan yang diisi dengan mesin-mesin raksasa itu ada yang spesial sedang bikin senjata-senjata berat, termasuk bom-bom atom, nuklir, kemikal, dan bom-bom jahanam lainnya? Kamu lihat tah?"

Kambing ingusan itu pungak-pinguk lagi. Membutuhkan keterangan lebih jauh. Maka kata Pak Kiyai yang berkopiah hitam dan berdasi itu.

"Begini, Kabayan. Manusia itu bisa pinter menghitung bintang, mengukir langit. loncat ke bulan. Tapi pinternya itu bisa menjadi keblinger."

"Keblinger?! apa itu, Abah?"

"Begini, Kabayan, Kalau orang pinter-keblinger, jalan ke surganya terpotong di pertengahan jalan ini; lalu seperti Abah sudah bilang barusan, jalannya berbelok jadi menjurus ke arah nereka."

"Kenapa, Abah?!"

"Karena tiap otak yang keblinger dikuasai oleh perut yang rakus, dan oleh rasa takut kalah oleh saingannya yang sama-sama keblinger otaknya. Ngerti?. Akibatnya, Kabayan, si otak-otak itu saling berbalapan cari senjata yang lebih mutlak tenaga destruktrifnya kalah. Mereka saling saingi dalam kerakusan, dan dalam ketakutan kalah. Lalu saling atasi persiapannya untuk saling binasa-membinasakan. Jadi jelas bahwa otak-otak yang keblinger itu tidak menempuh jalan ke surga, bukan? Mereka berbalapan menuju sasaran mereka bersama, yaitu neraka. Ngerti?! Tapi baiklah, Kabayan, kita teruskan perjalanan kita, karena jalan kita itu tidak lengkap; tidak sempurna. Bisa ikut terbawa kesasar oleh otak-otak yang pinter - keblinger itu."

Mereka berjalan lagi. Mereka masuk ke suatu daerah, dimana beberapa gedung yang bermacam-macam bentuknya berdiri berdampingan. Juga interiornya bermacam-macam. Ada pemujaan yang indah-indah; tapi ada juga polos sederhana saja, tanpa hiasan apa-apa. Pokoknya, bentuk lahirnya berbeda-beda. Tapi yang sama adalah suasana kesucian dan kesyahduannya. Sama-sama sangat meresap. Biarpun Cuma kambing ingusan, namun Si Kabayan bisa menangkap semuanya itu. Dia senang. Secara aman, nyaman dan tenang di dalamnya.

"Nah, Kabayan," kata Pak Kiyai. "Di dalam gedung-gedung inilah kita menghadap dan bertemu dengan Tuhan yang memerintah kita harus hidup rukun dan damai, harus saling bantu, saling kasih sayangi, harga-menghargai dan kerjasama untuk kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan, serta kebahagian dan keselamatan hidup bersama di dunia maupun di akherat, Ngerti? Nah, sekarang sudah lengkaplah peta perjalanan ke surga yang kamu cari itu. Kabayan. Sudah lengkap dan sempurna! Tapi baru petanya saja. Perjalanannya masih harus kamu tepuh. Dan untuk itu kamu harus mempunyai suatu pedoman. Dan pedoman itu harus kamu cari sendiri dalam perjalanan itu. Pedoman yang baik akan membawa kamu ke surga. Yang tidak baik ke neraka. Ngerti?"

Ngerti, Abah. Terima kasih."

"Nah, kalau sudah ngerti, tentu kamu ngerti juga bahwa memanjati pohon enau untuk mencuri air tuak sadapan orang lain itu, bukan jalan yang menjurus ke surga. Betul, tidak?"

Si Kabayan ketawa-ketawa kecil, seperti lagi sakit gigi. Lalu menggeleng-gelengkan kepalanya selaku kambing bloon kemasukan tawon di telinganya. Hehehe, mbeheheh-mbeheheh bunyi ketawanya. Dan tba-tiba berseru; "Aku mah ogah! Tidak mau pinter-keblinger! Apalagi blonn kebkinger! Tidak mauuuu!"

Pak Kiyai yang berdasi dan berkopiah hitam itu mengangguk-angguk sambil mengucapkan; "Alhamdulillah! Domba muda yang mau mencuri sadapanku dan pura-pura cari jalan ke surga itu, kini sudah punya peta yang benar untuk sampai di surga itu. Amieen! Amieen!"

Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Si Kabayan Cari Jalan Ke Surga Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Si Kabayan Cari Jalan Ke Surga Sebagai sumbernya

0 Response to "Si Kabayan Cari Jalan Ke Surga"

Post a Comment

Cerita Lainnya