Si Kabayan dan Filsafat Kerakusan ~ Si Kabayan sedang ngobrol sama Pak Guru di warung kopi' Pak Kumis Brewos," di jalan Jenggot. Seperti Pak Kiyai, Pak Guru ini banyak membuka mata dan hati Si Kabayan mengenai pelbagai macam persoalan hidup. Hari ini Si Kabayan mempertanyalan soal "kerakusan" yang sekarang nampaknya banyak dibicarakan dan ditulis orang dimana-mana dengan nada keprihatinan terhadap gejalanya. Dia ingin tahu pendirian Pak Guru terhadapnya.
"Ada filsafatnya, Kabayan," kata Pak Guru. "Istilah 'kerakusan' itu erat sekali hubungannya dengan istilah 'self interest' atau 'kepentingan diri sendiri” yang merupakan salah satu dari ketiga nilai dasar dari filsafat kapitalisme Adam Smith. Nilai dasar yang kedua adalah 'Competition', yaitu 'persaingan' kalau bahasa Indonesianya. Dan yang ketiga ialah 'survival of the fittest' artinya, yang kuat: pasti menang, hidup enak, mewah-melimpah. Yang lemah pasti kalah, hidup konyol, mati konyol. Nah, filsafat ini dipergawat lagi oleh filsafat Francis Bacon. (Ah, siapa pula orang ini, pikir Si Kabayan) yang memuncak pada suatu kebenaran, bahwa 'Knowledge is Power' (Pengetahuan adalah Kekuasaan). Dengan demikian, persaingan antara kerakusan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang salah satu cabangnya menjurus ke pembikinan dan penggunaan senjata-senjata jahanam demi kemenangan dalam persaingan 'self interest' dan kerakusan. Ngerti uraianku ini, Kabayan?"
Si Kabayan pungak-pinguk. Ngerti tak ngerti. Dan seperti biasa dia ingin dengar pendapat Pak Kiyai juga. Dia bergegas ke rumahnya di komplek pondok pesantrennya, dekat mesjid.
"O, soal itu, Kabayan? Bacalah kitab-kitab suci, Taurat, Injil dan Al-Quran. Semuanya mengutuk dan mengharamkan nafsu kerakusan itu. Tiap agama besar mengharamkannya. Menganggapnya dosa besar. Jadi kamu janganlah rakus, Kabayan: mau hidup enak sendiri, mementingkan diri sendiri, tidak ingat sama kepentingan sesama hidup. Nah, Kabayan, sikap hidup seperti itu dianggap dosa besar oleh agama. Pokoknya kamu jangan sekali-kali rakus.
"Tidak ada bahannya untuk saya rakusi. Bah. Kiri-kanan kerempengan melulu kok."
Pada saat itu, Si Kabayan teringat pada Ki Silah, tetangganya yang menurut penilaiannya bersikap hidup seperti yang telah dirumuskan oleh Pak Guru dan Pak Kiyai. Serta-merta dia melepaskan kakinya dari lipatan bersilanya, menodorkan kedua belah tangannya, bersalaman, lalu bergegas ke rumah tetangganya. Dia ingin berdebat, dan meyakinkan si kaya, rakus dan kikir itu, bahwa filsafat hidupnya tidak benar.
"O, kamu datang berkunjung ini ingin berdebat, Kabayan?" kata Ki Silah yang lagi duduk bersantai-santai di tengah rumahnya di atas sebuah kursi goyang dengan selebar badannya dan segendut perutnya. Lalu mereka berdebat. Dan pada satu ketika Ki Silah memotong kalimat Si Kabayan yang bicaranya seolah lagi kemasukan semangat ahli dakwah.
"Eh, ngomong apa kamu ini, Kabayan? Kok bilang dosa bertaubat, dan hukuman di akherat segala macam?!" Dan Ki Sila ketawa bercekakakan.
"Memang benar. Rakus itu dosa besar, Ki Silah. Dan dosa besar harus berat hukumannya; seberat perut gendut budayut si pelakunya. Dan bertaubatnya pun harus 1001 kali bersujud saban tengah malam selama hidupnya sampai akhir hayatnya."
"Kata siapa itu, Kabayan?"
"Kata otak sehatku (menunjuk ke kepala dan rasa keadilanku menunjuk ke dadanya). Tegasnya, menurut pendirianku sendiri dengan berdasarkan pendirian agamawi bah, dicampurkan galaukan dengan uraian ilmiah-filsafat Pak Guru yang bergelar Pehade."
Ki Silah ketawa terbahak-bahak. "Wah-wah-wah. Gawat nih!" katanya. "Kamu kok kayak Raja Jimbul saja. Kabayan Main hakim-hakiman. Hahaha! Gua geli nih!"
Si Kabayan bengong. Apa yang lucu, pikirnya.
"Dengarkan aku, Kabayan," kata Ki Silah, kembali tenang. "Kamu debat kusir. Ngawur. Kata dosa, kata taubat, kata hukuman segala macam itu kan istilah-istilah yang berkaitan dengan mesjid, gereja, klenteng, sinagog, biara! Tegasnya, urusan kepercayaan, agama , kerohanian, keakheratan, yang abstrak-abstrak, yang dikaitkan dengan Tuhan. Padahal kita kan lagi berbicara tentang soal kerakusan sebagai motor persaingan di dunia nyata ini yang semata-mata berurusan dengan isi perut, duit, materi, alias duniawi tok! Atau istilah menterengnya, urusan sekuler, Kabayan. Tahu? Dan kamu harus sadari, Kabayan, bahwa dunia materi mempunyai hukum-hukumnya sendiri yang jelas didasari oleh ketiga nilai dasar yang teori filsafatnya kamupun nampaknya sudah tahu atau sekurang-kurangnya pernah dengar dari Pak Guru bukan?"
"Yang aku tahu persis, KI Silah ialah bahwa kerakusan adalah dosa dan dikutuk oleh setiap agama, karena tiap agama menganjurkan kasih sayang, bantu-membantu, tolong-menolong, dan hidup rukun dan damai diantara sesama umat manusia. Bukan saling gebukin, saling banting, saling bantai Jelas, toh? Tegasnya, kerakusan adalah bertentangan mutlak dengan anjuran agama-agama."
"Memang jelas bertentangan, Kabayan." Dan Ki Silah tiba-tiba kecewa bercekakakan lagi; membikin Si Kabayan bengong bin kaget. Kenapa dia ketawa, pikirnya lagi. Apa yang lucu? Ini kan soal serius. Soal filsafat. Soal agama. Soal sikap hidup dunia akherat. Akhirnya, Si Kabayan ciut semangatnya untuk mengubah keyakinan tetangganya itu.
Dia tidak mau ngomong lagi. Mukanya membrengut, seperti jeruk purut yang masam-mentah. Menggerutu. Buang-buang waktu gua, ngomong sama tembok tak berontak. Cih! Lalu dengan tiba-tiba dia angkat kaki, lekas-lekas pulang saja. Kerakusan rupanya sifat manusia yang tak kan hilang dari muka bumi, pikirnya. Malah kini nampaknya tambah mengerikan akibatnya.
Ngeri! Ngeri! pikirnya, sambil bergegas pulang kerumahnya. Tapi begitu sampai di rumah dia tiba-tiba ketawa terbahak-bahak seperti Ki Silah barusan.
"Lho! Ada apa, Kang Kabayan? Kenapa ketawa?" sambut Si Iteung, nongol dari dapur. "Apa yang lucu?"
"Sangat lucu ini, Iteung, Ngomong-ngomong sama Ki Silah barusan, Akang teringat akan sebuah dongeng klasik dari zaman sekolah dulu."
"Dongeng apa, Kang?"
"Mengenai kerakusan, Iteung. Ceritanya begini; Kerakusan itu selalu radikal cara manifestasinya. Selalu main habis-habisan. Tidak suka main tanggung-tanggung, setengah-setengah. Konon ada dua ekor serigala yang sama rakus sama radikal. Mereka bersaingan. Adu kekuatan, adu kekuasaan. Akhirnya, saling telan badan mereka sampai habis-habisan, sehingga dari kedua badan itu seujung ekornya pun tidak ada yang nampak tersisa. Habis-kikis. Dua- duanya hilang lenyap; ditelan bulat-bulat, masuk ke dalam perut saingannya masing-masing. Hahaha! Lucu nggak, Iteung?!"
"Jadi yang menang, siapa Kang Kabayan? Iteung mah jadi bingung. Akang bingung juga?" "Kiamat, Iteung. KIamat! Itulah yang menang..."
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan dan Filsafat Kerakusan"
Post a Comment