Si Kabayan dan Sastra Kontekstual ~ Pada usia anatara 60-an tahun dan kuburan, Si Kabayan merasa jiwanya sudah matang dan dewasa. Tapi seringkali dia suka hanyut terbawa arus rasa nostalgia - romantika ke zaman ketika dia masih remaja putra dan jatuh cinta sama gadis remaja putri yang "tubuhnya sedang-sedangnya tumbuh - merekah, kesana sekuntum bunga melati, segar-kekar, merekah diam-diam, tersembunyi diantara semak-semak liar bertumbuhan di halaman penduduk desa Malakeudeu, nun di atas lereng Gunung Cikuraya, daerah pengungunan Tanah Priangan, Si Jelita."
Demikianlah Si Kabayan melukiskan gadis desa remaja putri yang dia juluki dalam surat-surat cintanya sebagai "Kekasih Akang, Nyai Iteungsari Ratna Dewi". Dan kalau sekarang dia sebagai kakek-kakek 60-an tahun mengenangkan kembali wajah "bunga melati nan cantik jelita" itu wajah bintang film Mae West, yang kesohor akan kebahenolan buah d*danya itu seringakali ikut terbayang-bayang dalam mata khayalnya.
Dalam suasana nostalgia seperti yang sekarang dia sedang nikmati itu dia tiba-tiba terhela oleh ilham untuk mengungkapkan kembali emosi asmaranya dalam bentuk puisi. Kemudian dia kasih lihat hasil karyanya itu kepada Pak Guru, antaranya sajak berikut.
Nyai Iteungsari, Kekasihku
Diam-diam cinta telah masuk
Merasuk ke dalam kamar tidurku
Naik ke ranjang berkelambu
Cinta bilang, dikirim oleh Nyai Iteungsari
Kanda bahagia, api cuma separo
Di samping cinta kanda bersepi diri
Kanda butuh peluk ciummu juga
O, Iteung sayang
Janganlah lama-lama dinda biarkan
Kanda bersepi diri
Dalam pelukan cintamu doang...
Pak Guru tersenyum, Katanya; "Aku suka sajakmu ini Kabayan. Terasa sekali api nafsu s*ksmu mendidih dalam kesepian ranjangmu. Nampak tanganmu gerayangan mencari - cari buah d*da Si Iteung. Akhirnya, cuma memeluk bantal guling. Cialat. Tapi sajakmu sangat manusiawi universal. Kalau lagi muda, tiap laki-laki, termasuk aku sendiri, nafsu s*ksnya yaaa, begitulah, kayak kuda. Akan tetapi, Kabayan, kritikus 'Sastra Kontekstual' pasti bakal ngetawain sajakmu itu habis-habisan, karena apa? Karena menurut anggapan kritikus jenis itu sajak bebas seperti ini adalah hasil pengaruh selera budaya berjuis Barat, yang katanya, telah dicekokkan ke dalam sastra budaya modern kita."
"Wah, jenis makhluk apa lagi sang kritikus itu, Pak Guru? Namanya kok mengerikan banget?"
"Terus terang, Kabayan, aku pun kurang mengerti teori estetikan sang kritikus itu. Namanya memang sangat mentereng; sangat ilmiah kedengarannya; pasti takkan kesampaian oleh jangkauan otakmu yang terkurung dalam batas-batas horison pengetahuan umum masyarakat desa Malakeudeu. Entahlah. Tapi konon, sang kritikus itu tidak setuju dengan nilai-nilai dan selera burjuis Barat. Nilai-nilai dan selera sastra kita harus diikat hanya oleh nilai-nilai waktu dan tempat. Tapi waktunya yang kapan? Sekarang? Kemarin? Zaman Raja Jimbul? Dan tempatnya? Di kakus? Di Malakeudeu? Di Jakarta, London, luar angkasa, neraka? Entahlah, Kabayan. Aku nggak ngerti deh."
Begitulah keterangan Pak Guru, menjelaskan pandangan kritikus sastra kontekstual itu kepada Si Kabayan. Si Kabayan pungak-pungik; bertanya-tanya dalam hatinya apa maksudnya semuanya itu. Pak Guru pun tidak bisa memberi keterangan lebih jauh. Akhirnya, Si Kabayan menegaskan sikapnya. Ah, peduli amat si kritikus itu, pikirnya. Masa bodoh. Aku tidak mau dikomando oleh siapa pun jendral-jendral sastra itu! Titik! Aku akan menulis atas dasar hakekat sastra saja, yaitu daya-daya ilham, khayal kreatif dan selera aku sendiri. Daya-daya itulah komendan-komendan sastraku. Dan tulisanku adalah mutlak urusan aku sendiri. Bukan urusan siapa pun, sekalipun dia seorang kritikus profesional. Kalau doyan, telanlah! Kalau tidak doyan, muntahkanlah! Habis perkara! Titik!
Dan Si Kabayan pun di ilhami terus oleh semangat nostalgia-romantikanya itu. Pagi ini, sehabis sembahyang subuh, dia hanyut terbawa arus kenangan ke zaman revolusi, ketika sebagai pemuda dia sama-sama berjuang dengan Si Iteung yang kemudian menjadi istrinya. Dia asyik menulis beberapa sajak, antaranya sebagai berikut:
Kami, rakyat bergerilya
Di hutan, disawah ladang
Dor-dor-dor! menembak musuh
Bum-bum-bum! Jeguuur! mortir membalas.
Kampung hangus, mayat rakyat berserakan
Kami rakyat bergerilya.
Di tangan kanan, bedil dan granat
Di tangan kiri, panji-panji dan semboyan.
Merdeka, atau mati!
Hancurkan imperialisme - kapitalis!
Demi Masyarakat Adil-Makmur! Merdeka!
Demi Sama rata, sama rasa!..... Merdeka!
Demi Rakyat Murba-Bahagia! .... Merdeka!
Sorak-sorai, Sugih duit, Punya Mobil
Tiba-tiba terdengar suara Si Iteung berseru-seru dari dapur. "Kang! Kang Kabayan! Mana beras itu? Sudah beli? Si Bego brengsek! Merengek-rengek terus. Minta sarapan." Si Kabayan seolah direnggutkan dari alam masa lalu yang penuh semangat perjuangan dan harapan, terpelanting kembali ke alam nyata yang keras kerempengan. Cepat-cepat dia bergegas ke rumah tetangganya, Ki Silah.
"Aiiih!" kata Ki Silah. "Kerjamu cuma pinjam duit melulu, Kabayan. Merogoh ke dalam saku bajunya Nih! Sedekah! Tak usah gagah-gagahan pakai istilah pinjam segala macam Toh kamu takkan bayar kembali. Aku tahu! Itu kebiasaan kamu. Tapi kini aku sedekahkan saja duit ini; seperti juga hutang-hutang kamu yang dulu-dulu yang juga belum kamu bayar. Semuanya kusedekahkan saja. Rela dan ikhlas. Tuhan Maha Pemurah. Alhamdulillah! Selama ini Dia telah melimpahi aku dengan banyak rezeki. Maka sangat adillah kiranya, kalau aku sekali-sekali memberi juga sedekah kepada sesama hidup yang nasibnya kurang cerah bercahaya seperti kamu ini."
Dan dengan suara patah-patah sedih dia meneruskan; "Aku ini, seperti kamu juga, Kabayan, sudah mencapai TOP (Tuli, Ompong, Pikun). Sudah waktunya aku bertaubat kepada Tuhan atas segala dosa yang telah aku perbuat selama hidup ini. Sebentar lagi aku akan mengucapkan 'pileuleuyan' dan 'goodbye' kepada hidup di alam fana ini, masuk pintu gerbang akherat. Itulah namanya hidup. Awal akhir harus berakhir."
Hurseeh! Si Kabayan bersorak dalam hatinya, Si Kaya kikir ini sudah sadar, pikirnya. Dia kenal tetangganya itu sudah dari zaman perjuangan. Jiwa pencatutnya sudah beroperasi dari zaman itu, dan berkembang terus sejalan dengan bertimbunnya kekayaannya. Tapi kini jiwanya itu rupanya akan dikubur mendahului jasadnya. Hurseeh! Dan sambil mengepal duit sedekah yang cukup untuk beli beras sekarung, untung, Si Kabayan lari ke toko Cina di tikungan jalan. Untung, pikirnya, tetanggaku sudah mulai ingat sama Tuhan dan nasib rakyat kecil. Aku perlu abadikan dia dalam sebuah sajak. Maka tengah malam itu juga Si Kabayan bercucuran keringat dingin, asyik menggubah sebuah sajak yang dia harapkan akan memuaskan kritikus kontekstual. Sajakku ini kan jelas buka cekokkan selera sastra-budaya berjuis Barat, pikirnya. Ini selera aku sendiri, kok, penganggur di desa non burjuis Malakeudeu.
Titel sajaknya, Alhamdulillah.
Dipersembahkan kepada
Ki Silah, Ex-Modalis-Sekularis
Sarang kerakusan, palit dan kikir
Kini, berwujud Manusia Baru!
Modalis Berwajah Manusiawi
"Alhamdulillah!" Keluar dari mulut, Pak Guru dan Pak Kiyai, ketika esoknya Si Kabayan memperlihatkan sajaknya kepada mereka.
Kata Pak Guru; "Slogan aslinya berbunyi 'Capitalism with a human face.' Sekarang mulai terdengar gemanya, terutama di kalangan kaum kapitalis ex-komunis di Rusia."
Pak Kiyai menegaskan; "Itu baru di bidang ekonomi, Kabayan. Tapi 'Wajah Manusiawi' harus nampak di segala bidang kegiatan hidup umat manusia."
Dan Si Kabayan cepat-cepat menambah; "Dan khususnya harus memancar dari setiap wajah umat manusia! Kalau tidak. "Wajah Setani' akan terus merusak keindahan wajah pergaulan hidup antar sesama umat manusia di muka bumi ini."
Maka ketiga tokoh lanjut usia itu, sang Filosof-Ilmuwan, sang Kiayai Modern, dan sang Manusia Lucu, saling berpelukan dalam kegembiraan penuh harapan, disambut oleh Si Iteung sang Ibunda Tabah Setia, dan Si Bego, sang Angkatan Penerus dan Penyempurna, berbarengan menyerukan; Alhamdulillah! Salam ! Wahai! Manusia! Manusiawi...!!!.
Surat Wasiat Si Kabayan
Esoknya, Si Kabayan datang lagi ke rumah Pak Kiyai, membawa keluhannya tentang kehilangan harapannya untuk melawat keluar negeri itu.
"Tapi Kabayan," kata Pak Kiyai ditengah-tengah keluhan. "Beli lotre itu memang belum tentu kamu bakal narik. Apalagi duitnya hilang, dipakai keperluan lain. Jadi kepenasaran mau nonton hal-hal yang maksiat itu pun ternyata tidak bisa dilaksanakan. Soal gituan memang tidak bisa dipastikan Kabayan. Tapi lain perkara, soal masuk liang kubur. Itu pasti. Tidak bisa dielakkan. Karena begitu, Kabayan, apakah kamu sudah mempersiapkan warisan atau wasiat yang akan kamu berikan keada ahli waris kamu?"
"O, itu tiada masalah, Bah. No problem. Harta kekayaan yang saya akan wariskan kepada Si Iteung dan Si Bego, kan cuma sebuah kandang domba yang dikenal oleh seluruh masyarakat desa Malakeudeu, sebagai rumah kediaman Si Kabayan dan keluarga. Di samping itu, pekarangannya pun cuma selebar popok orok, di mana cuma ada sebuah sumur dan sebuah gubug reyot yang tugasnya sebagai semacam celengan, atau nama sopannya, sesuai dengan jiwa rasa ketimuran yang halus, disebut juga 'wismatitinja.' Yah, cuma itu saja harta milik saya, Abah. Tiada artinya apa-apa."
"Memang, Kabayan. Harta kekayaanmu tak banyak artinya atau harganya. Dibawah nilai 'lumayan.' Tapi barang kali kamu ada wasiat berupa sepatah dua kata pesanan atau wasiat yang mungkin lebih banyak artinya bagi seorang janda dan seorang anak yatim yang akan kamu tinggalkan nanti. Dan siapa tahu, mungkin surat wasiatmu itu akan punya arti 'lumayan' juga bagi orang-orang sekampungmu, di desa Malakeudeu itu, sehingga mereka bakal memberi tambahan pada peribahasa yang berbunyi: 'Macan mati meninggalkan belangnya; orang mati meninggalkan jasanya'; ditambah dengan kalimat 'Si Kabayan mati, meninggalkan surat wasiatnya'. Nah, itu kan penting, Kabayan. Tidak setiap wasiat orang dijadikan peribahasa. Nah, Kabayan, apakah ada wasiat yang Abah maksudkan itu?
Si Kabayan merenung sebentar, lalu katanya; "Belum ada, Bah. api saran Abah itu mengilhami saya; saya akan tulis di rumah nanti. Dan nanti, Bah, kalau saya sudah mati, tolong Abah kasihkan surat wasiat saya itu kepada Si Iteung dan Si Bego."
Esok harinya, Si Kabayan sudah berkunjung lagi ke rumah Pak Kiyai, membawa surat wasiat yang telah ditulisnya dalam suasana kesepian tengah malam. Segera dibaca oleh Pak Kiyai. Abah tersenyum-senyum, karena Si Kabayan minta supaya surat itu dibaca sebagai tulisan prosa gaya liris. Dan baru boleh dibaca oleh Si Iteung dan Si Bego sesudah dia meninggalkan alam fana ini, masuk ke alam baka. Si Kabayan berdiri tunduk menunduk, ketika Pak Kiayi membaca Surat Wasiatnya itu. Suara Abah serius. Bunyinya sebagai berikut:
"Untuk Nyai Iteung Ratna Dewi dan Asep Bego Kabayan putra Preambul."
Kata Pak Guru; Manusia diciptakan sebagai makhluk yang bebas untuk menggunakan akal pikiran dan akal budinya. Tapi terhambat-hambat oleh kebodohan, kepecikan, ketahyulan, dan kekolotan jiwa non-demokaratis yang takut terhadap kebebasan berpikir, berpendirian, dan menyatakannya.
Kata Pak KIyai; Manusia diciptakan dengan tugas untuk mewakili Tuhan di muka bumi ini. Tapi terhambat-hambat oleh godaan-godaan iblis dan gerombolan setan-setannya.
Kata Si Kabayan; Muka bumi alam diciptakan oleh Tuhan Maha Pencipta sebagai bola raksasa yang bopeng, berpuncak-puncak, berlembah-lembah, berlobang-lobang, bolong-bolong. Manusia menciutkan bola raksasa itu menjadi hanya sebuah bola kecil yang disebut "global village." Agar serupa dengan wajah bola kecil yang bopeng tidak rata itu, manusia sebagai penghuninya menciptakan suatu masyarakat dunia yang juga bopeng, tidak rata, berpuncak-puncak, berlembah-lembah.
Kata Si Kabayan selanjutnya; Manusia diciptakan sebagai satu-satunya jenis makhluk yang bisa ketawa dan bisa menangis. Dia pun satu-satunya jenis makhluk yang sadar bahwa yang berada di puncak-puncak lebih sering ketawa meraih-ruah, sedang yang melata di lembah-lembah lebih sering menangis diam-diam merintih-rintih.
Nyai Iteungsari Ratna Dewi, bejo kesayangan Akang! Asep Bego Kabayan Putra, harapan dan andalan Papih.
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan dan Sastra Kontekstual"
Post a Comment