Cerita Puteri Tanglung Bagian 3

Alkisah Rakyat ~ Atau juallah hamba kepada musuh, nanti tentu Tuanku akan mendapat imbalan emas yang banyak. Hamba kalau dibunuh mati, dibuang jauh, kalau digantung tinggi. Namun ketahuilah bahwa yang benar pasti hamba ajukan. Hamba memang tak ada menjemput Tuanku, tapi bukankah Burung Junai telah datang ke temat Tuanku? Mengeapa Tuanku tak hendak berbalik bersama Burung Junai? Nah, ketika itulah hamba mempunyai kesimpulan untuk dapat melakukan sekedar berbenteng dada berpagar betis. Itulah sebabnya hamba menyertai Tuanku Puteri Tanglung ke medan perang. Kalau kecil hutang hamba akui, besar hamba hadapi. Hamba telah salah membawa tunangan Tuanku ke medan perang. Yang jelas kembalilah dahulu kita ke istana rumah nan gedang." 


"Kalau engkau hendak kembali, kembalilah !" terdengar menyelang Puteri Bungsu. "Engkau sudah bertohok perang, tapi aku belum! Mengapa orang yang belum bekerja disuruh balik? Siapa yang diharapkan untuk ke tengah medan? Aku tunggal bagai Matahari. Selamat. Yang bungsu tak beradik, yang tua tidak berkakak. Anak Bungsu tak beradik, yang tua tidak berkakak. Anak bungsu pemutus ambin, anak tua jolong bertimang. Berdunsanak pun aku tidak, hanya kerislah yang menemani kemana aku pergi. Esok, asal batu biar tenggelam, asal sabut biar terapung." Selamat Bujang termenung mendengar kata-kata Puteri Tanglung. Ia tahu kata-kata itu sindiran belaka yang ditujunya ialah tunangannya Malin Bungsu. Sedang mereka berkeadaan begitu musuh tak berani mendekat, terpukau tak tentu apa yang dibuat. Ketiga orang tersebut berdiam diri tak ada yang hendak berbicara. Tapi kemudian terdengar jualah suara Selamat Bujang memecah kesunyian.

"Tuanku Puteri Tanglung'" kata Selamat Bujang kepada Puteri Tanglung. "Kalau Tuanku masih hendak memakai hamba dengar malah kata hamba, tapi nyampang Tuanku tak hendak memperdulikan hamba lagi buang hamba sekarang juga. Carilah oleh Tuanku. Selamat lain akan ganti hamba." Puteri Tanglung termenung. Malin Bungsu termenung. Selamat Bujang memperhatikan kedua orang itu. Sungguh tak pantas kedua orang ini berjarak dalam ketidakrukunan, demikian dalam pikiran Selamat. Takkan mungkin salah seorang dapat hidup dengan tenteram tanpa yang satu mendampingi. Diam-diam Selamat mengakui betapa agungnya kedua tuannya itu.

"Berbaliklah kita dahulu Tuanku!" kata Selamat pula, Maka berbaliklah ketiga orang itu ke istana rumah nan gedang. Musuh pun dihalau dengan sorak, lalu beramuk sesama mereka. Sesampai di istana Selamat Bujang disuruh pula mengambil limau purut sundai gading. Setelah limau diperoleh diserahkan kepada si Kembang Manis untuk dimasak dan diramu. Ramuan limau dibawa pulalah ke tepian untuk alat mandi. Malin Bungsu. Maklumlah ia akan menghadapi peperangan besar nanti melawan Sutan Geliga Matahari. Sesudah beristirahat di istana selama tujuh hari itu, dan badan sudah bersih karena sudah mandi berlimau tadi, ketika perut sudah kenyang karena selesai makan, bersiap-siaplah Malin Bungsu untuk maju ke gelanggang.

"O, bunda Ensu serta Pak Ensu menghampirilah sebentar katanya kepada kedua orang tua Puteri Tanglung. "Kalau ada kata-kata hamba yang terlanjur, mana yang terminum dan yang termakan, yang terhabiskan selama ini, hamba minta direlakan. Segala kesalahan hamba mohon Bunda Ensu serta Pak Ensu maafkan, maklumlah hamba hendak bersegera ke medan perang. Musuh telah mengoyak-ngoyak negeri kita." Malin Bungsu mencium kedua orang tersebut, sementara pada saat itu gerak pun datang, angkutan tiba, maka melangkah ia tersisurut terus berputar menuju ke halaman. Ditengadahkannya muka ke langit, kemudian ditekukannya ke bumi lalu memberi salam. Bumi yang diakui bapak, langit yang diakui ibu. Ketika ia selesai memberi salam. Selamat Bujang telah berada disampingnya dan langsung bertanya.

"Maaf hamba Tuanku," katanya dengan hormat. "Tuanku hendak pergi kemana gerangan."

"Aku hendak ke ujung pedang' Jawab Malin Bungsu singkat sambil tersenyum memandang kepada Selamat Bujang.

"Kalau demikian biarkanlah hamba di pangkal pedang" kata Selamat Bujang bersemangat.

Selamat Bujang melangkah dengan tak ragu-ragu. Ia kemudian melentik sebentar dan tiba-tiba tubuhnya sudah berada di udara menyisi-nyisi awan putih. Tepat di pangkal pedang ia bagai jantung pisang meluncur ke tanah. Belum lagi jejak kakinya bergemerincingan  bunyi ujung-ujung besi bertemu dengan kerisnya. Dikibaskannya pedang di leher, lalu diayunkannya keris berputar-putar rubuhlah prajurit-prajurit Sutan Geliga Matahari. Selamat berpacu dengan kecepatan musuh-musuhnya memainkan senjata. Ia kadang terlihat kadang tidak. Tubuhnya berkelebat kesana kemari. Kadang-kadang tubuhnya serupa layang-layang, kadang serupa bayang-bayang.

Dipihak lain Malin Bungsu dengan sigapnya melayang-layang, di udara menyisi-nyisi awan putih. Di ujung pedang ia telah hinggap ditanah mengamuk sejadi-jadinya. Raungnya terdengar bagaikan bunyi petus tunggal, mengoyak-ngoyak udara, menghantam-hantam tanah. Tanah retak disana-sini, retak bercabang sembilan. Prajurit-prajurit Sutan Geliga Matahari melolong berjerangkangan ke dalam celah rengkahan tanah. Bunyi yang dahsyat itu mengejutkan para dewa di kayangan, gempar mambang dan peri di rimba, tergagau ungko di gunung, berkelepasan anak siamang yang sedang dalam timangan induk mereka. Dunia bagaikan melenggang bergoyang-goyang disebabkan kehebatan Malin Bungsu. Dalam pada itu diatas kapal seingat akhir bulan telah terbangun Datuk Berderai Besi, Datuk Berderai Besi ini ada mempunyai gendang pulut-pulut tang bertabuhkan selaguri. Bila gendang ini dipukul, bunyinya dapat menghidupkan orang yang sudah mati. Mati seorang hidup kembali berdua. Ulat-ulat yang memutih dibingkai-bingkai manusia pun akan berubah menjadi manusia. Itulah kekeramatan gendang pulut-pulut yang bertabuhkan selagoguk Putih, peliharaan Datuk Berderai. Si Pungguk Putih dikatakan manusia bukan, dikatakan binatang bukan pula. Tapi sifat-sifatnya lebih banyak menyerupai manusia. Ia inilah pemukul gendang pulut-pulut selagori tersebut. Hebatnya, kalau si Pungguk Putih tidak mati, Datuk Berderai Besi pun belum akan mati.

Tak disangka peperangan telah berlangsung setahun si kembang barat, semusim durian masak, setahun enggang mengeram. Usahakan habis tentara Sutan Geliga Matahari, bertambah banyak dari semula. Puteri Tanglung termenung memikirkan kehebatan pihak Sutan Geliga Matahari. Tambahan pula ia telah amat kasihan melihat tunangannya, sedang musuh bertambah banyak juga. Maka dibulatkannya pikirannya, berhubunganlah ia dengan dewa penunggu Ambang Pintu Langit. Diperbuatnya pula seperti yang dulu-dulu, dipanggilnya Burung Junai. Dalam waktu yang tidak terlalu lama datanglah Burung Junai yang dipanggilnya. Setelah burung itu tiba diceritakannyalah segala sesuatu tentang nasib yang menimpa negeri Pantai Air Emas. 

"Kalau itu yang Ibunda Ensu katakan," jawab Burung Junai, "Berilah hamba beristirahat sebentar, menghilangkan peluh, menghabiskan rasa capai. Kalau tentang si Pungguk Putih serahkanlah kepada hamba untuk membunuhnya." Jadi berangkatlah Burung Junai menuju kapal seingat akhir bulan kepunyaan Datuk Berderai Besi yang ditunggu si Pungguk Putih. Burung Junai sesampai di sana hinggap sekali dipinggir kapal. Kapal terhereng kelihatan akan tenggelam namun Burung Junai cepat membubung ke udara sehingga kapal tak jadi tenggelam. Begitu dilakukannya berulang-ulang. Puas berbuat demikian beralih saling hempas menghempaskan dengan si Pungguk Putih. Mereka berpalun-palun di udara sampai tinggi sekali menyisi-nyisi awan putih. Setelah sampai hari ketujuh malam Burung Junai menghempaskan Pungguk Putih telah mati Datuk Berderai Besi cepat-cepat naik keatas perahu kecil lalu lari tak tentu tujuan diatas laut biru. Burung Junai mengejarnya dan dengan sekali cotok saja berlobanglah perahu kecil tadi sehingga Datuk Berderai Besi pun matilah. Kapal seinggsut yang tertinggal itu pulalah yang menjadi sasaran Burung Junai. Kapal itu tertunggit dan cepat sekali mencelucus masuk laut tak timbul-timbul lagi. Burung Junai pun terbanglah kembali ke kayangan.

Masuk tahun kedua peperangan sudah nampak akan berakhir. Medan peperangan nampak sudah semakin sepi. Arungan bangkai batas pinggang, hingga lutut arungan darah. Laut sudah merah sebelah digenangi darah. Hulubalang-hulubalang sudah penuh, rakyat tak terkira pula. Yang tinggal seorang-seorang telah terpikir-pikir, untuk apa gunanya berperang lagi. Disabung benar nyawa semata-mata untuk kepentingan Sutan Geliga Matahari, yang beruntung hanya dia sendiri. Maka rakyat yang masih tersisa itu habis berlarian menyelamatkan diri. Mana yang berani habis mati digasak Malin Bungsu berdua dengan Selamat Bujang. Tinggallah sekarang Sutan Geliga Matahari. Maka gilirannyalah kini yang dikejar Malin Bungsu. Sampai ditangan pesenggerahannya ditepuk anak tangga oleh Malin Bungsu dipanggilnya raja negeri Gunung Selasih Hitam itu.

"O' Sutan Geliga Matahari," seru Malin Bungsu dari bawah."Engkau janganlah menganggap sebagai seorang raja lagi. Rakyatmu tak ada, hulubalangmu pun demikian. Turunlah engkau segera. Dibawah kita dapat menguji lentik tapak layang kita masing-masing. Kita dapat menguji mana yang lebih laju antara perahu kita. Dibawah kita dapat memepat leher nan panjang, supaya dapat memangkas bahu nan bidang."

"Berhati sabarlah dahulu engkau dibawah!" jawab Sutan Geliga Matahari. "Jangan harapkan engkau dapat menikam bangkai, karena kemana akan perginya. Jangan harap membelah gunung, gunung tegak ditempatnya juga. Tunggulah sebentar aku hendal merokok makan sirih dahulu. Tak berapa lama sesudah itu Sutan Geliga Matahari menyembulkan kepalanya. Berangsur-angsur tubuhnya yang tinggi besar terdorong keluar dan hinggap ditanah. Ia telah siap untuk menghadapi lawannya Malin Bungsu. Segala macam senjata bergantungan dipinggangnya, dibahu, dan sebilah pedang panjang tergenggam dengan kokoh di tangannya. Malin Bungsu surut setapak sepalintang. Terjadilah perkelahian yang amat menegangkan.

Gayung-menggayung, tikam-menikam. Sesekali tubuh kedua lelaki itu melambung ke angkasa. Siang, malam ada yang lalai, belum ada yang kena-mengena. Satu saat terhenti Malin Bungsu dalam keraguan, sesat keliru dalam melangkah. Hendak mara jalan terlampau, hendak surut jalan telah hilang. Sutan Geliga Matahari, tak menyia-nyiakan kesempatan yang  baik itu, lalu ditikamnyalah Malin Bungsu. Tikamannya lurus mengarah lurus ke hulu hati. Tikaman itu berderet dua tangan kanan menikamkan keris panjang, tangan kiri menikamkan keris pendek. Keris pendek ke hulu hati tadi, keris panjang ke rahang gigi. Tikaman itu rupanya tak terelakkan oleh Malin Bungsu. Terdengar bunyi berdengking tandanya keris tertakik batu sendi, terhunjam kesarang karang. Berkat semangat besi keris tertusuk ke pangkal. Untung saja keris bertuah, kalau tidak tentulah patah.

"Mana engkau raja Sutan Geliga Matahari!" kata Malin Bungsu mengejek. "Besi banyak yang elok-elok, besi buruk yang tuan bawa ke tengah medan. Besi yang tuan tusukan tak mampu mengoyak kulit, tak hendak meminum darah, tak hendak menyantap daging, serta tak hendak menarah tulang, besi tak memutus urat. Lupakah gerangan tuan membawa besi yang elok-elok?" ucapnya. Ucapan Malin Bungsu sangat menyakitkan hati orang biasa tetapi bukan demikian dengan Sutan Geliga Matahari, ia tak terpancing sedikit jua pun. Malahan dibalasnya dengan ucapan biasa saja.

"Tikamanku telah terarah, Malin'" jawab Sutan Geliga Matahari. "Tapi kulitmu benar yang bersahabat dengan senjataku."

"Mungkin juga," jawab Malin Bungsu pula. "Yang jelas kalaulah bukan karena kebal, takkan hendak aku ke tengah medan."

Sebentar kemudian kedua lelaki itu telah terlibat dalam pertarungan kembali. Kali ini telah menghabiskan waktu tiga hari tiga malam. Saat itu Malin Bungsu menghambur mundur beberapa tombak dari musuhnya. Ia pun berpantun memperingati Sutan Geliga Matahari.
Ambil bemban penyirat dapat digalas
Ampelam tepi belukar
Kalau kini aku membalas
Hendaknya Tuan jangan gusar."
Begitu habis pantun diucapkan Malin Bungsu, terdengar guntur membahana. Jamban di tepian nampak melintang, merintik hujan panas. Tajuk datar Sutan Geliga Matahari tegak menjeronjong. Kemudian terdengar lagi tambahan pantun Malin Bungsu.
"Kalau tak salah perasaan singkat-singkat guru berkain
Bunyi tentuang telah bersilatah
Ingat-ingat malah guru bermain
Bunyi beruang telah berpadah-padah."
Sutan Geliga Matahari nampak terpancing juga dengan pantun Malin Bungsu yang terakhir ini. Rasa marah nampak telah bertengger dalam dirinya. Ia lalu berkata mencoba menandingi ucapan Malin Bungsu.

"Kematian katamu anak muda." katanya, "belum tentu apakah untukku atau untukmu." Kemudian raja Gunung Selasih Hitam tersebut diam sesaat. Mungkin mencari-cari tambahan kata yang akan diucapkannya. "Kalau aku hidup engkau mati. Kalau engkau akan diucapakannya. "Kalau aku hidup engkau mati. Kalau engkau hidup aku yang mati. Nasib jugalah yang menentukan. Sekarang jangan lagi  banyak cakap."

Hari saat itu sedang tengah hari, sedang bundar benar bayang-bayang, sedang senyap orang dirumah. Sutan Geliga Matahari tiba-tiba sasat dalam melangkah. Hendak mara jalan sudah terlampau, hendak surut jalan lah hilang pula. Lalu tertegun kaki kiri, tersandung kaki kanan; tergagau pendekat masa itu, tikam. Malin Bungsu pun tiba. Terkilat tikam tandanya akan tiba, lalu ditangkis oleh Sutan Galiga Matahari dengan cankai panjang. Tapi tikaman itu menyusur terus ke lengan baju, berhenti dihulu hati. Terdengarlah bunyi jangat terkoyak. Dilihat luka tidak terlalu dalam hanya seukuran butir padi. Malin Bungsu menghambur surut sekayu kain. Dilihatnya tapak tangannya basah oleh darah.

"Aku tidak akan menambahnya menjadi dua, Pendekar!"Terdengar seru Malin Bungsu. "Tikam kedua sama dengan menikam bangkai."

"Aku belum luka," jawab Sutan Geliga Matahari parau.

"Kalau belum luka jangan bersuara," balas Malin Bungsu mempercundang lawannya. 

Sutan Geliga Matahari memaksa dirinya untuk tegak. Tapi saat itu bisapun naik. Dari mulutnya mendesah darah tertumpah. Tubuhnya mulai hitam sebelah. Ketika sempoyongan akan rebah dipancunglah sekaligus oleh Malin Bungsu dengan pedangnya. Kepala yang telah terpisah dari badan saat akan menggulir jatuh ke tanah disewai Malin Bungsu dengan ujung pedangnya berbalik berputar-putar ke udara tersangkut di dahan beringin sebelah atas sekali. Badannya yang terkapar ditanah dihumbankan pula oleh Malin Bungsu ketengah laut.

"Telanlah oleh kalian ikan lumba-lumba!" desis Malin Bungsu mengatup-ngatupkan mulutnya. "Cencang pula olehmu hiyu parang. tiap olehmu ikan timah-timah. Itula kiriman dari Malin Bungsu."

Sesudah mengucapkan kata-kata tersebut Malin Bungsu cepat-cepat berlari menuju pesenggerahan Sutan Geliga Matahari. Disana masih ada menunggu Raja Kecik Imbang Laut, adik kandung Sutan Geliga Matahari yang sudah tewas.

"Wahai Tuan yang bersembunyi diatas!" kata Malin Bungsu. 

"Lah sebuah kepala jatuh. Kalau lagi ada orang dapat mendengar kata-kataku, turunlah ke tanah!".

"O. Malin Bungsu," Jawab Raja Kecik Imbang Laut pelan.

"Ini masih ada sisa yang masih utuh. Tapi tinggal sedahan kecil. Sungguhpun demikian dahan yang tersisa benar-nenar tak sembarangan."

"Turunlah cepat!" seru Malin Bungsu pula.

"Ya, tunggu sebentar!" sahut Raja Kecik.

Raja Kecik Imbang Laut nampak muncul dimuka pintu. Mukanya lurus menancap ke muka lawannya. Keris panjang dan keris pendek tersisip dipinggangnya. Sesampai ditanah ia segera melontarkan kata-kata bersayap kepada Malin Bungsu. "Lihatlah! Inilah Raja Kecik Imbang Laut, Malin' Senjata yang beruntung bersembilu jangan engkau hadapkan kepadaku, tak ada gunanya."

"Bagus!" jawab Malin Bungsu sabar, "Namun aku berharap agar engkau suka tunduk kepada kami. Berpihaklah Tuan kepada kebenaran. Sunguh mati, aku amat tertarik akan ketampananmu. Lihatlah jambangmu yang menganggumkan itu. Ketahuilah olehmu bahwa aku tak mempunyai adik."

"Berpantang aku menyerah di medan perang, Tuan Raja," jawab Raja Kecik mempelihatkan keras hatinya. "Apalah artinya hidup, kalau itu berupa tawanan orang."

"Sungguh mati," jawab Malin Bungsu ingin meyakinkan lelaki musuhnya yang keras hati itu. "Aku tidak akan menyebutmu tawanan, apalagi memperlakukanmu demikian. Engkau karena muda dariku akan keperlakukan sebagai adik dan selamanya akan kupanggil demikian pula."

"Tuan Baginda!" kata Raja Kecik. "Aku yang bersisa ini ibarat asam masih tertinggal. Nanti engkau sendiri yang akan teraniaya. Yang musuh akan tetap sebagai musuh."

"Engkau sunguh keras hati, Raja Kecik!" kata Malin Bungsu, "Namun demikian aku berharap kita berkelahi jangan menggunakan senjata."

"Aku setuju," balas Raja Kecik. Lalu kedua lelaki itu meletakkan semua senjata mereka.

Perkelahaian pun dimulailah. Sembar menyambar, tangkap menangkap, hempas-menghempaskan menjadi tontonan yang menarik. Namun setelah tujuh hari tujuh malam belum ada yang lalai, belum ada yang kalah dan yang menang. Mereka berkelahi siang malam tak henti-hentinya. Tetapi memasuki hari yang kedelapan, Malin Bungsu sesat langkah. Kesempatan baik itu di sia-siakan oleh Raja Kecik, ditangkapnya empu kaki Malin Bungsu. Tubuh Malin Bungsu terangkat keatas berputar-putar mengitari kepala Raja Kecik. Makin lama putaran itu makin cepat, sehingga yang nampak hanya sebuah bulatan yang kabur mendengung-dengung menyibak udara yang berhembus. Bagai bersiul lubang hidung, bagai bergenggang lubang telinga Malin Bungsu disongsong angin. Keadaan itu berlangsung tiga hari tiga malam. Dan pada hari yang ketiga tubuhnya dihempaskan oleh Raja Kecik dengan derasnya. Malin Bungsu anehnya masih tertawa terbahak-bahak juga, serta siulan yang tak henti-henti disenandungkannya. Raja Kecik membawanya pula ke sebuah pulau, disana dihempaskannya ke sebuah batu karang yang bersegi.

Batu karang tersebut gempil. Malin Bungsu tertawa terbahak-bahak, sambil berpantun-pantun jua. Raja Kecik makin mempererat jepitan tangannya pada empu kaki Malin Bungsu. Dijinjingnya pula tubuh lawannya itu ketengah lapangan tempat tumbuh sebatang komang. Dihempaskannya tubuh Malin Bungsu  kepangkal komang itu, berjatuhan daun selaranya. Gelak Malin Bungsu makin menjadi-jadi. Dibawanya pula ke kepala negeri, disana dihempaskannya pula, namun Malin Bungsu tertawa terbahak-bahak juga, siulnya mendayu-dayu. Bertemu dengan meriam dihempaskan, hancur lebur lumpang batu, Tak terasa waktu sudah berjalan dua kali tujuh hari, terhitung semenjak dihempaskan tadi. Pada waktu itu juga menggeliatlah Malin Bungsu dan seketika itu juga terlepaslah empu kakinya dari jepitan tangan Raja Kecik Imbang Laut. Bagaikan kilat, tegak Malin Bungsu dengan kokohnya, bagai tak terjadi apa-apa atas dirinya.

"Untung benar gigiku tak ada yang retak atau patah, Raja Kecik," kata Malin Bungsu sambil tertawa. Raja Kecik tak lagi berkata sepatah pun. Malin Bungsu bersiul-siul merdu. Perkelahian segera pula dimulai. Intip-mengintip langkah. Sudah habis pula tujuh hari tujuh malam. Saat itu sesatlah langkah  Raja Kecik. Dieratkannya jepitan tangannya, terasa bagai dijepit kilang besi, memercik darah dibulu-bulu roma Raja Kecik. "Tidakkah engkau tunduk!" tanya Malin Bungsu. Berbaliklah engkau ke kebenaran, Raja Kecik."

"Beruntung benar aku tunduk ditengah medan," terdengar jawaban Raja Kecik. "Putuskan genting, hilang juga yang kata namun kalau akan tunduk aku tak hendak juga. Lebih baik mati, bagai semut kerangga menggigit. Kalau batu biar dia tenggelam, kalau sabut biar dia terapung."

"Pusingan ini yang engkau kehendaki rupanya, Raja Kecik," seru Malin Bungsu hilang kesabarannya. Lalu dipusingkannyalah tubuh Raja Kecik diatas kepalanya. Dipusingnya tujuh hari tujuh malam. Sedang kencang dihantamkannya ke tanah sebanyak tiga kali. Raja Kecik terkekekeh-kekeh, siulnya mendayu-dayu. Kemudian ditarik diterbangkan oleh Malin Bungsu sampai ke bintang sana, lalu seperti kilat cepatnya dihentikannya tubuh Raja Kecik ketanah. Yang lebih dahulu bagian kepala. Begitulah dilakukan Malin Bungsu berulang-ulang, naik turun, selama tiga hari tiga malam. Namun Raja Kecik tertawa terkekeh-kekeh jua, siulnya mendayu-dayu, serta pantun tidak berkeputusan. Dibawa kebatu, dihempaskan pula disitu. Batu hancur berkeping-keping. Dibawah ke tengah padang luas, dihempaskan ke batang kemang besar, jatuh seleranya. Dibawa ke dalam negeri, dihempaskan pula ketugu batu. Dihempaskan lagi ke batang  kelapa gading, lumut batang kelapa gading. Dihempaskan ke rumah gedang, jatuh atap-atap buruk, berderau pinggan digarang. Sekarang dikangkangkan kaki kirinya sebelah lagi ditariknya keatas. Tapi tak terkoyakkan.

Cukup tujuh hari, tujuh malam  berkatalah Raja Kecik kepada Malin Bungsu. "Raja Muda Malin Bungsu'" kata Raja Kecik." Lepaskanlah aku! Umpama kayu hingga disitulah besar batangnya, rimbun daunnya. Tidak akan rampak lagi, tidak akan rimbun lagi. Hingga itulah rampak rimbunnya."

Mendengar kata Raja Kecik itu, dibawanyalah musuhnya ke balai negeri. Tiba disana dilepaskan oleh Malin Bungsu. Setelah dilepaskan nampak Raja Kecik tersandar lunglai. Malin Bungsu bergegas berusaha memberi pertolongan. Diurut, ditawar-tawarinya,.Tapi makin ditawari dan diobati, makin menjadi lemah tubuh Raja Kecik. Tiba-tiba pula muncul Puteri Tanglung dari atas rumah hendak membantu mengobati. Tapi tak tertolong lagi. Kulit Raja Kecik memang tak gores sedikitpun, namun rupanya tulangnya didalam hancur mengapur. Raja Kecik pun meninggal saat itu. Dipancunglah kepalanya oleh Malin Bungsu lalu dilemparkannya keatas beringin sungsang; serta badannya dibuang kelaut. Selesai itu, Malin Bungsu beserta Selamat Bujang pergi menuju negeri Gunung Selasih Hitam, negeri Sutan Geliga Matahari yang telah tewas berdua dengan saudaranya Raja Kecik Imbang Laut.

Bertemu dengan rumah besar kecil dibakar mereka. Semua binatang hangus terbakar, kucing, anjing, itik, angsa, kerbau, jawi, semuanya pupus hapus. Satu-satunya yang tertinggal ialah rumah gedang Sutan Geliga Matahari. Rumah itu mereka bakar tetapi tiada, dimakan api. Setelah ditengok ke atas, nampak makanan sedang terhidang, masih dalam keadaan panas. Malin Bungsu dan Selamat Bujang termenung merasa heran. Di rumah itu tidak bertemu seorang wanitapun. Kalau ada seorang puteri, mana, tiada kelihatan. Setelah mencari meneliti kesana kemari bersualah seorang anak perempuan kecil sedang berayun dibuaian, lagi dalam bedungan. Anak perempuan kecil itu pun diambilnya dan dibawa balik  ke negeri Pantai Air Emas. Rumah Gedang Sutan Geliga Matahari, itu pun dibakarlah, hanguslah dimakan api. Peperangan sudah berakhir, negeri kembali aman tenteram. Rakyat yang tadi terkurung di rumahnya, sudah bebas bepergian.

Ladang, huma, sawah, serta kebun sudah mulai dikerjakan kembali. Jalan-jalan sudah ramai kembali. Anak-anak muda sudah pula terdengar senda guraunya. Maka telah tiba saatnya Puteri Tanglung dan Malin Bungsu dipertemukan dalam ikatan suami istri. Semenjak itu mereka hidup berbahagia sampai akhir hayat. Malin Bungsu diangkat menjadi raja negeri Pantai Air Emas.


Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Puteri Tanglung Bagian 3 Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Puteri Tanglung Bagian 3 Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Puteri Tanglung Bagian 3"

Post a Comment

Cerita Lainnya