Cerita Puteri Tanglung Bagian 1

Alkisah Rakyat ~ Tersebutlah pada zaman dahulu sebuah negeri yang bernama Pantai Air Emas, diperintah seorang raja yang amat bijaksana dan dikasihi rakyat banyak. Baginda mempunyai seorang permaisuri yang sedang hamil dan bersiap-siap menunggu kelahiran anaknya. Kalau nanti anak yang dikandung permaisuri selamat lahir ke dunia, berarti apa yang didambakan mereka selama ini terkabul juga. Perihal permaisuri hamil tersebut, cepat diketahui oleh rakyat seisi negeri Pantai Air Emas. Tentu saja rakyat turut bergembira bersama-sama raja mereka. Yang sudah lama ditunggu-tunggu datang jua. Permaisuri raja, yang sedang dalam hamil itu, bernama Tanglung Bungsu. Seorang pemuda yang sehat, gagah serta tampan, disamping itu pula, mempunyai ilmu yang tinggi. Seorang lelaki dubalang yang disegani oleh lawan dan kawan. Mendengar permaisuri  telah hamil dan sedang menunggu-nunggu kelahiran, kemenakannya tadi datang ke istana yang sudah tak asing lagi baginya.


Melihat kemenakannya sudah datang Permaisuri Tanglung Di Bulan menyongsongnya  dengan rasa gembira. Selama ini anak lelaki tersebut dianggapnya anaknya sendiri. Apalagi permaisuri belum mempunyai anak seorang pun.

"Lama benar engkau tak datang-datang Malin." sapa Tanglung Di Bulan. "Aku, engkau lihat sendirilah, mana mungkin dapat berkunjung ke tempatmu."

"Maafkan hamba, Ensu Tanglung," jawab Malin Bungsu. "Hamba makanya lama tak datang karena sibuk berguru berlatih ilmu perang dan ilmu berkelahi."

"Ya, aku sudah mendengarnya! Itu memang yang sebaik-baiknya yang harus engkau lakukan, Nak!" jawab  permaisuri.

"Bunda Ensu!" kata Malin Bungsu pula. "Terimalah tanda ikatan dari hamba. Bila anak yang Ensu lahirkan kelak seorang anak wanita ia akan menjadi tunangan hamba." Bila seorang  lelaki menjadi adik hamba. Puteri Tanglung Di Bulan tersenyum mendengar kata kemenakannya itu. Permaisuri nampak mengelus-elus perutnya yang kian membuncit.

"Kalau demikian kehendakmu, baiklah!" jawabnya. "Memang tak ada salahnya sedikit jua pun."

"Dalam pada itu. Ensu," ujar Malin Bungsu. "Kalau nanti ada senak dari hilir dan tengkujuh dari hulu, kalau ada orang yang hendak bertohok perang, biar hamba yang akan menghadapinya. Hambalah yang akan menjadi pelindung utama keluarga disini." Sesudah berkata demikian Malin Bungsu pun minta diri. Setelah cukup masa mengandung sembilan bulan lamanya Puteri Tanglung Di Bulan pun sakitlah. Ketika melahirkan terdengar bunyi guntur membahana. Ternyata anak yang dilahirkannya titisan Dewa yang berdiam di Ambang Langit. Dukuh tak  mampu menyambut anak yang lahir itu. Sesampai di lantai, lantai patah. Anak yang baru lahir tersebut meluncur terus ke atas tanah. Setiba di sana terbenam ke dalamnya. Dari dalam tanah itu tercuat sedikit empu kakinya. Untuk mengeluarkan anak keramat itu terpaksa dicari beberapa orang hulubalang yang kuat-kuat. Oleh para hulubalang tadi segera dibongkar bersama-sama. Setelah berhasil dibongkar dibawalah naik ke atas rumah. Maka tahulah bahwa yang lahir itu seorang anak perempuan yang amat cantik paras wajahnya. Anak perempuan itu segera dinamakan Puteri Tanglung, mengikuti nama permaisuri, ibunya sendiri.

Karena kelahiran itu dianggap yang sangat luar biasa maka untuk mengetahui lebih lanjut tentang Puteri Tanglung dipanggillah ahli-ahli nujum yang berpengalaman di seluruh negeri Panati Air Emas. Dari sekian  banyak ahli nujum yang dikumpulkan terpilihlah tujuh orang yang dirasa paling berpengalaman.

"Menurut penglihatan hamba, Tuanku," kata tukang nujum yang paling tua, "anak yang baru lahir ini orang serau, orang celaka. Namun beri maaf juga hamba kalau tak begitu tepat melihat peruntungan puteri Tuanku." Mendengar ramalan tukang nujum yang tua tersebut, kelima tukang nujum yang lain ikut meramalkan yang serupa. Hanya tukang nujum yang termuda yang tak demikian ramalannya. 

"Maafkan, hamba Tuanku!' sembah tukang nujum yang muda kepada baginda raja beserta permaisuri Tanglung Di Bulan. "Dalam penglihatan hamba puteri Tuanku ini bertuah! Kalau Tuanku buang atau disia-siakan, Tuanku akan mendapat celaka kelak."

Raja sangat gembira mendengar ramalan tukang nujum muda itu. Beliau merasa puas dan memuji ketepatan ramalan sang tukang nujum yang masih muda tersebut. Maka semenjak itu dipeliharalah sang puteri dengan sebaik-baiknya. Dan setelah besar puteri itu dipertunangkan dengan Malin Bungsu, saudara sepupunya sendiri. Pertunangan antara Puteri Tanglung dengan Malin Bungsu sudah memasuki masa sepuluh tahun. Dalam masa sepuluh tahun itu, mempersunting Puteri Tanglung. Ternyata semua pinangan yang datang itu ditolak. Karena pinangan tersebut ditolak, yang datang merasa sakit hati. Oleh sebab itu mereka mencari jalan lain dan sifatnya memaksa. Untuk ini tentu terjadi perkelahian dan peperangan. Dalam masalah ini Malin Bungsulah yang harus menghadapi mereka. Bila diingat, bahwa dalam masa sepuluh tahun itu, sembilan orang raja yang terpancung kepalanya oleh pedang Malin Bungsu. Rupanya mereka tak menyadari bahwa Malin Bungsu adalah tunangan Puteri Tanglung  sendiri.

Suatu hari, ketika itu, Malin Bungsu sedang berbaring-baring dirumahnya seorang diri, terbang dua ekor burung ke dekat kamarnya. Melihat Malin Bungsu yang berbaring seorang diri dua ekor burung tadi hinggap di atas jendela.

"Tuanku Malin Bungsu!" seru seekor di antara dua ekor burung itu. "Alangkah hiba hati  kami melihat Tuanku' sedangkan kami yang hanya burung, tetap hidup berkawan. Kenapa begitu malang nasib Tuanku. kok tidur, berguling-guling hanya seorang diri. Apakah itu yang dikatakan, orang tolol?" Selesai berucap demikian kedua ekor burung tersebut pun terbanglah.

Diam-diam menyusup dalam hati Malin Bungsu, bahwa yang dikatakan burung tadi benar adanya. Ia termenung mengenang nasib dirinya. Ia memang telah bertunangan dengan Puteri Tanglung, tapi pernikahan dalam waktu yang sekian lama itu mereka ada berjumpa satu sama lain? Adakah tunangannya mengantarkan rokok sebatang sirih agak sekapur? Sudahkah ada Puteri Tanglung mengantarkan air dan nasi serta gulai hasil masakannya kepada Malin Bungsu? Belum 'belum pernah' Usahakan mengantarkan yang demikian mendengar suara puteri itu saja belum. Inikah yang dinamakan bertunangan? Terkenang semua urutan teka-teki itu Malin Bungsu merasa sangat pedih. Ia membalikkan tubuhnya. Tangannya mengepal-ngepal. Seketika timbul niatnya hendak meninggalkan negeri Pantai Air Emas. Hatinya menjadi sangat benci dengan Puteri Tanglun, wanita yang dicintainya dengan sepenuh hati. Bukan setangkai bunga yang kembang, banyak puteri lain yang rancak lagi elok. Bagai petuah orang tua-tua, seloka anak muda-muda, kalau bukan oleh buluh sebatang namun rakit akan hilir jua; tidak ada ayam berkukuk, kalau hari akan  siang namun akan siang juga.   

Ia sudah nekad benar. Maka berjalanlah Malin Bungsu meninggalkan negeri Pantai Air Emas, berjalan seorang diri. Dalam pengembaraannya Malin Bungsu terdampar ke suatu negeri yang bernama Gunung Berpagar Gading Bukit Bersiram Intan. Sebuah negeri yang seronok, dengan puncak ketinggian sampai mengisi awan putih. Tanahnya subur, tumbuh-tumbuhan menghijau papak meluas sesayup-sayup mata memandang. Itulah sebuah negeri yang dihuni oleh seorang puteri yang amat cantik paras wajahnya, sedang namanya ialah Puteri Air Bunga. Mungkin karena amat letih setelah melakukan perjalanan jauh, begitu sampai dihalaman sebuah rumah gedang, Malin Bungsu cepat-cepat duduk di atas balai-balai yang ada di sana. Saat itu hari sedang tengah hari, bayang-bayang sedang bundar benar. Seorang wanita nampak turun dari rumah gedang menjunjung bakul beras, hendak kepancuran. Wanita itu tidak lain dari si Kembang, pembantu setia Puteri Air Bunga. Tiba di halaman, si Kembang yang akan pergi membasuh beras tadi, tertegun melihat ada seorang lelaki gagah yang sedang duduk di atas balai-balai.

Belum pernah ia melihat lelaki yang segagah itu. Tentulah orang  asing yang dilihatnya itu seorang raja jua. Begitu dalam pikiran si Kembang. Ditilik-tiliknya sebentar lelaki pendatang itu, sungguh sukar mendapatkan jodohnya, wanita yang sesuai dengan ketampanannya itu. Satu-satunya wanita yang dapat mendampingi ketampanan itu, begitu dalam pikirannya, hanyalah tuannya Putri Air Bunga sendiri. Karena terlena oleh kekaguman tak disadari si Kembang bakul berasnya terlepas dari tangan. Ia segera berbalik ke atas rumah. Sesampai di rumah ia tak menghentikan larinya, terus menuju anjung perak tempat tuannya. Anjung itu kisi-kisinya terbuat dari gading belaka, begitu pula tiangnya dari gading berbubut.

"Ampun maaf hamba, Tuanku" katanya kepada Puteri Air Bunga. "Hamba tak pergi ke pancuran karena di halaman, diatas balai-balai, ada seorang raja muda sedang duduk. Raja dari manakah itu gerangan. Hamba tak tahu siapa nama dan apa gelarannya. Mendengar tutur pembantunya yang setia itu, Puteri Air Bunga berdiri dan lambat-lambat menuju ke tingkap anjung. Ditukikkannya pandangannya ke halaman. Hatinya seolah tertusuk duri berkesiap melihat seorang raja gagah serta tampan duduk diatas balai-balai seoang diri. Bagaikan gerakan seekor kucing Puteri Air Bunga mengendap-endap mengambil jalan berkeliling. Setelah sampai di belakang lelaki itu dipegangnya tangan Malin Bungsu dan langsung dibawanya naik ke rumah. Semenjak itu tinggallah Malin Bungsu bersama Puteri Air Bunga.

Sementara itu ada di negeri Gunung Selasih Hitam yang diperintah oleh seorang raja yang bernama Sutan Geliga Matahari, berdua dengan adiknya yang bernama Raja Kecik Imbang Laut Sang raja rupanya telah mendengar bahwa Malin Bungsu menghilang dari negeri Pantai Air Emas. Raja yang sedari dulu telah tergoda akan kecantikan Puteri Tanglung, anak raja negeri Pantai Air Emas, memandang kepergian Malin Bungsu suatu kesempatan yang amat berharga. Sutan Geliga Matahari segera memberitahukan niatnya kepada adiknya. "O, Dik" kata Sutan Geliga Matahari kepada adiknya Raja Kecik Imbang Laut. "Elok kita dari kini-kini mengambil Puteri Tanglung. Bukankah engkau tahu bahwa Malin Bungsu pergi merajuk meninggalkan negeri itu? Kita habisi kedua orang tua Puteri Tanglung . Beliau seorang raja yang tak berarti bagi kita. Kalau raja beserta permaisurinya telah kita tewaskan dengan mudah sang Puteri dapat kita tawan."
"Maafkan hamba kakanda," jawab Raja Kecik Imbang Laut.

"Urungkanlah niat Kakanda yang seperti itu. Semua itu mudah untuk dikatakan, tetapi sukar dilaksanakan. Puteri raja yang bernama Tanglung terkenal seorang perempuan yang bertuah dan keramat anak titisan dewa negeri Ambang Kangit. Ia seorang puteri yang digodam tiada pecah, dibakar tiada hangus; tahan pahat tahan girik. Tak mempan ditikam dengan keris apapun juga. Jika direndam tali yang lapuk, namun dirinya tak berubah dari semula. Ia seorang perempuan yang berani bercungkil mata. Senjata-senjata yang bertuntung bersembilu janganlah dihadapkan kepadanya, tak mempan sama sekali." Sutan Geliga Matahari mendengus dan matanya merah membesar mencucuk-cucuk muka adiknya, yang dinilainya dalam hati sebagai lelaki tak berisi.

"Engkau ketahuilah Imbang Laut!" katanya pedas dan keras, "Tak ada orang yang bertuah mati, orang bertuah hidup juga. Kita uji dahulu emas batunya. Kalau tak berjemput atau tak tertawan Puteri Tanglung, sungguh takkan senang perasaan hatiku seumur hidup."

Raja Kecik Imbang Laut termenung sejurus. Hatinya panas dibakar kata-kata kakaknya. Maka sebentar kemudian ia pun mengangkat kepalanya yang tertekur sedari tadi.

"Kalau demikian teguhnya niat kakanda," katanya, "Bawalah hamba serta mengiringi Kakanda."

Mulai saat itupun berangsur-angsur dikumpulkanlah lasykar tentara untuk pelaksanaan penyerbuan ke negeri Pantai Air Emas. Ketika lasykar tentara telah terkumpul tetapi dirasa masih belum cukup, maka dihimpun pula rakyat  banyak yang ada di seluruh negeri. Untuk menghimpun rakyat banyak tersebut dikirimlah utusan sampai ke pelosok-pelosok negeri. Hingga pula sampai ke laut, dan ke kaki-kaki bukit serta lereng-lereng gunung. Pekerjaan itu menghabiskan waktu setahun. Lasykar tentara, hulubalang - hulubalang, rakyat semuanya. Cina dan Belanda, telah berkumpul semuanya di pusat negeri Gunung Selasih Hitam. Di antara mereka ada yang ditempatkan di tengah lapangan luas, di dalam negeri sendiri, bahkan di dalam rimba belantara luas. Kemana saja pergi terdengar suara manusia yang bergema dan melambung mengisi udara, puncak bukit Raja Kecik Imbang Laut bertemu dengan sebuah balai-balai, rupanya tempat itu dipergunakan oleh Bujang Selamat untuk bermain-main. Dilihatnya pula ada gendang tersangkut di sebuah dahan kayu. Ayam pikatan Bujang Selamat lagi tertambang; ayam itu berkotek terkakak-kakak melihat orang banyak yang mulai mengelilinginya.

Kalau demikian tentu Bujang Selamat baru saja kembali ke rumah gedang. Melihat ada gendang tersangkut di dahan kayu, Raja Kecik Imbang Laut segera menurunkannya. Gendang itu pun segera ditabunya. Tangan kanan mengagak-agak tangan kiri memangkah. Tak lama kemudian bunyi gendang itu diikuti oleh bunyi gong dan tawak-tawak yang dipukul oleh para hulubalangnya. Amat riuh bunyinya, seronok melantun-lantun melompati pohon besar dan daun-daunnya yang rimbun. Tapi sedang enak didengar, sedang elok diikuti Raja Kecik Imbang Laut menghentikannya. Bunyi gendang itu rupanya terdengar sampai ke istana raja negeri Pantai Air Emas. Terdengar juga oleh Bujang Selamat, pembantu setia raja. Ia tahu gendangnya di Bukit Mandiangan dibunyikan orang. Itu tandanya musuh sedang menepuk dada menghimbau lawan. Tentu saja Bujang Selamat amat marah. Segeralah ditemuinya tuannya Puteri Tanglung.

"Amboi, Tuan Puteri," serunya kepada Puteri Tanglung. "Tuan dengarkah tadi bunyi genderang perang? Siapakah gerangan yang amat lancang itu?" Kok gagak tentu harus mengorak sila, kok berani tentu meminta kita bermain raga. Gendang hamba telah dipukulnya. Kalau memang demikian jari hamba pun telah terasa gatal-gatal. Tunggulah oleh si celaka itu. Hamba remas nanti menjadi dedak, hamba hembus menjadi angin. Kalau hamba cencang, hamba sangai baru terasanya enak hidup."

"Selamat!" seru Puteri Tanglung sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Tertepuk pada tanda dan mengenalnya kita harus berhati sabar. Tak ada semut mati karena cuka, tapi karena manisan juga. Tak seorang pun takut karena garang, yang menakutkan orang ialah karena rancak, elok, serta manis kata tutur kita. Biar bagaimana pun kita mengatakan kuat, tetap orang tak percaya, dan biasanya lebih kuat orang. Kita mengatakan kebal, lebih kebal orang. Kok banyak engkau katakan rakyat kita, lebih banyaklah rakyat orang. Dari itu Selamat, harap engkau berhati sabar!". Mendengar tutur Puteri Tanglung yang diseganinya itu terhenjak duduk. Selamat Bujang. Apa yang dikatakan tiannya sukar untuk dibantah.

Setelah tujuh hari tujuh malam di Bukit Mandiangin, dan orang makin bertambah banyak juga, sehingga tak tertampung lagi disana, bergerak pulalah Raja Kecik Imbang Laut menurun ketengah medan lapang dibawah. Dan kebetulan pula rombongan pasukan Sutan Geliga Matahari dari laut telah pula tiba. Sebentar saja semua balai sudah penuh, tanah lapang telah melimpah pula; maka pasukan yang banyak itu ditempatkan pula ke tengah rimba. Ribuan kapal di laut penuh sesak pula oleh manusia, Manusia dimana-mana Menyemut banyaknya. Suara manuasia banyak itu aum gemaum bunyinya. Menggema kemana-mana, membisingkan telinga. Di suatu tempat di sebuah pesenggerahan khusus untuk Sutan Geliga Matahari beserta adiknya Raja Kecik Imbang Laut telah berkumpul hulubalang yang bertujuh. Pesenggerahan itu dibuat sedemikian rupa beriang tertegak tinggi.

"Ke marilah hulubalang yang bertujuh!"seru Sutan Geliga Matahari."Bersiap-siaplah kalian Ulurkan tanda ini, antarkan persembahan kami kepada Puteri Tanglung." Ya, tanda yang akan diantarakan itu, berisi cincin emas dua belas bentuk, gelang dua belas pasang; tutup rambut terbuat dari bunga, elok benar dilekatkan ke sanggul; selain itu ada cincin patah, gelang patah, cukup bagaikan ranjau sepematang, tombak berbalik sepumpunan.

"Kok setuju tanda harus diterima, dan bila pula tak berkenan tanda juga harus dijawab!" kata dan pesan Sutan Geliga Matahari kepada hulubalang yang bertujuh, yang harus disampaikan kepada Puteri Tanglung. "Kalau tanda pinangan kami tak diterimanya, bakal memanjat api menghabiskan dinding rumah. Bakal berganti tiang rumah dengan batang tebu atau batang bayam. Bendul rumah walau sekalipun  terbuat dari timah akan kami patahkan. Terangkan kepada Puteri Tanglung, kalau menampik tanda pinangan kami, bakal tiang rumah dipanjat ikan; padang menjadi kubangan gajah; halaman bakal berubah menjadi padang tekukur. Ingat itu, wahai dubalang, pesan kami yang harus kalian sampaikan."

Setelah berangkat, sebelum tanda diangkat untuk diantarkan hulubalang yang bertujuh menyingkapkan tutup tempat barang-barang itu. Di samping barang-barang tadi juga di dalam cerana ada emas beberapa potong cukup untuk persediaan hidup selama tujuh keturunan; ada pula sirih lengkap dengan junjungannya; pinang bergantung-gantung; tembakau bertepok-tepok; berpotong-potong. Setelah hulubalang yang bertujuh mengetahui benar isi cerana yang akan mereka antarkan itu, maka bergegaslah mereka berangkat arah ke istana tempat Puteri Tanglung. Mula-mula jalan mereka lambat-lambat saja. Tapi makin jauh  dari tempat pesenggerahan raja Geliga Matahari jalan mereka makin bertambah cepat. Jalan yang seperti mereka lakukan memang sesuai dalam kebiasaan hulubalang-hulubalang. Apa gerangan tanda hulubalang berjalan cepat? Ya, semut terinjak tidak mati, alu tertarung patah tiga. Tersepak ke banir kayu, banir simpak. Ya, deras sedikit dari angin, bagaikan kilat menghantam bumi. Bila kaki melangkah, nyata benar tapak kaki antara berjejak dengan tiada.

Lama kelamaan hulubalang yang bertujuh sampai juga ke sebuah pintu parit berjorok sembilan di atasnya melintang titian kayu lapuk, sedang di bawah tercuat ujung-ujung ranjau runcing-runcing; pada bagian atas gapura terhujam ujung-ujung ruyung tajam-tajam yang sewaktu-waktu siap untuk menembus ubun-ubun barang siapa yang lengah yang berani lalu di sana. Para hulubalang itu dengan mudah dapat menyeberangi parit buatan tersebut. Sesampai mereka di seberang tertumbuk pula ke sebuah gerbang yang tertutup pintunya. Rupaya itulah pintu masuk ke dalam istana raja. Mereka tolak pintu tadi namun tak hendak bergerak sedikitpun. Lalu salah seorang dari mereka mengetuknya keras-keras, sementara mereka memanggil-manggiil penjaganya.

"Penjaga!" Penjaga pintu!" Bukakan kami hendak masuk!" Mendengar seruan itu penjaga  yang bertugas disana membukakan pintu sekedar dapat untuk melihat orang yang berteriak di luar. Penjaga pintu memandang kepada hulubalang yang bertujuh, hulubalang yang bertujuh memandang penjaga pintu dengan sorot mata merah.

"Kalian orang dari mana?" terdengar suara keras sang penjaga bertanya kepada hulubalang yang bertujuh. 

"Kalau pintu ini telah aku bukakan, kalian hendak menuju ke mana?"

"Bukakan pintu!" jawab mereka tak kalah sengitnya. "Kami hanya nompang lewat."

"Kalau kalian hendak masuk, boleh! Tapi pintu yang akan kalian lewati ini mempunyai adat serta berpusaka. Kalau kalian ingin tahu, orang yang dapat lewat di sini harus meninggalkan pemberian seharga pembelian tiga buah negeri.

"Inilah, ambillah" seru pemimpin hulubalang tersebut seraya menunjukkan sebentuk cincin yang dirolotnya dari jarinya. Cincin itu seharga tujuh buah negeri, pusaka berharga Gunung Selasih Hitam. "Aku kira engkau tidak berkeberatan menerimanya!" Maka penjaga pintu segera mengambil kunci. Berderap bunyi kunci  berputar, terkuak papan sekeping. Lalu masuklah ketujuh hulubalang tadi, mengherang-herangkan, tubuh diantara sela-sela papan tebal. Lepas dari pintu, mereka bertemu dengan tanah datar yang dikiri kanannya terhampar sawah dengan padi menguning sesayup-sayup mata memandang. Mereka nampak terheran-heran menyaksikan suguhan alam negeri Pantai Air Emas yang permai dan elok. Dari sikap mereka tahulah orang bahwa mereka orang asing. Mereka bertemu dengan jalan raya bersiku-siku di kedua pinggirnya disasak dengan puding perak, terlebih banyak puding emas. Di persimpangan-persimpangan jalan berdiri gadis-gadis inilah negeri makmur yang pernah mereka jumpai.

Lama kelamaan mereka bersua pula dengan kebun-kebun bunga yang memikat hati ketujuh hulubalang itu. Hati mereka tak tertahankan untuk memetik beberapa tangkai bunga. Bunga tanjung  yang harum mereka rentakkan bunga pandan dan bunga cempaka. Amat gembira ketujuh hulubalang itu dapat memuaskan hati mereka. Padahal orang negeri Pantai Air Emas sendiri tak pernah berbuat seperti yang mereka lakukan. Orang negeri itu telah terbiasa mengasihi tanam-tanaman yang dengan susah payah mereka pelihara. Habis kebun bunga, sekira sepematang panjang serentang kuda berlari, cukup untuk tanjakan seratus benih. Hulubalang yang bertujuh mulai berjalan lambat-lambat. Kadang-kadang mereka berhenti sejenak untuk berkesempatan memperhatikan halaman istana yang kukuh yang dipenuhi ukir-ukiran bagus di dindingnya.

Dalam pada itu Selamat Bujang sedang duduk seorang diri dari anjung pengintaian, sambil melayang-layangkan pandangan jauh, sedang menghitung-hitung panau dibadan, sedang meruncing-runcing sulur panjang, sedang mengurut-urut sanding gigi. Ia sesekali melantur-lanturkan lengannya yang busur. Karena hari amat panas ia nampak mengipas-ngipas badan dengan selembar baju. Sedang berhal demikian tiba-tiba datang gerak menyelusup dalam pikirannya, ada tanda-tanda tamu asing akan datang.
 
Apa tandanya tamu akan datang? Pinggan di garang saling beradu, terdengar berderau-derau. Jadi dicampakkannya pandangan ke halaman, diperhatikannya jelas-jelas, kelihatan hulubalang yang bertujuh sedang berjalan mundur maju. Dikatakan maju nampak pula akan mundur. Nampak benar mereka ragu-ragu dalam melangkah. Bangunan di depan yang sedang mereka tujuh dalam melangkah. Bangunan di depan yang sedang mereka tuju berasa angker bagi ke tujuh hulubalang itu. Selamat Bujang berdiri makin ke pinggir anjung dan segera berseru dengan dipaksa-paksakan.

"Hei, hulubalang yang bertujuh!" katanya kepada ketujuh hulubalang yang sedang dalam kebimbangan itu." Cempedak ditengah halaman, uratnya susun bertindih; apalah guna tegak di halaman, elok ke rumah makan sirih."

"Oho, engkau Selamat" jawab mereka mendongakkan muka memandang ke atas. "Maka cempedak di tengah halaman, uratnya sangga-bersangga; makanya kami lama tegak di halaman, boleh menengok ayam berlaga."

Kemudian naiklah ketujuh hulubalang tadi. Dengan hati-hati sekali mereka tapaki satu-persatu anak tangga yang terbuat dari tembaga asli serta masing-masing ujungnya dibuhul oleh suasa berlarik-larik. Batang penyangganya terbuat pula dari emas bertulang, sedangkan anak tangga yang terbuat dari tembaga itu ditatah ditaburi dengan intan berlian. Akhirnya mereka sampai ke tempat Selamat Bujang menerima tamu yang belum dikenal. Sesampai di dekat Selamat mereka terjelopoh duduk keletihan.

"Ciciplah sirih kami dulu pendekar-pendekar" kata Selamat berbasa-basi.

"Tentu Selamat" jawab pemimpin mereka. "Itu benar yang kami cinta. Naumn rasanya engkau telah bersusah payah sangat menerima kami. Orang haus engkau beri air. Orang lapar engkau beri nasi. Orang capai engkau panggil berhenti. Orang kemalaman engkau beri tempat."

Selang beberapa lama beristirahat makan sirih tadi, dan terasa waktu beristirahat sudah dipenuhi, maka terdengarlah kembali pembicaraan yang sudah terputus itu.

"Ha," kata Selamat Bujang pula. "Aku rasa pendekar, telah masak sirih kita."

"Ya, ya, betul," jawab pemimpin rombongan hulubalang yang bertujuh itu. "Belum lagi tersentuh, sirihmu telah masak.    

"Apa benar maksud kedatangan pendekar-pendekar datang kemari?" tanya Selamat Bujang. "Adakah sesuatu yang terasa dalam hati Tuan-tuan, yang terhalang di ujung lidah? kalau benar ada katakanlah, supaya dapat aku dengar. Jangan hendaknya melangkah kaki tergantung, menjangkau jangan tangan tertahanlah mencogok di rumah kami. Akan ke manakah kelanjutan perjalanan Tuan-tuan ini?"

"Kalau itu yang engkau tanyakan," jawab pemimpin hulubalang tersebut. "Kok asli kami tentu dari ciptaan Tuhan Jua. Begitu pula kalau datang yang engkau tanyakan, ya kami datang dari rumah kami dan sekarang berada di rumahmu. Kalau tujuan Selamat, yang engkau tanyakan, sesungguhnya semenjak setapak meninggalkan tangga selangkah meninggalkan rumah, ada terwujud dalam hati terniat dalam diri. Wujud hati hendak bertemu denganmu. Bukan katari-katari saja; lain maksud nan di tolong bukan kami hendak kemari saja; besar maksud han hendak kami jelang. Tadi semenjak tadi sirih engkau telah kami makan; ini dicicipi pula sirih kami." Itulah kata pemimin hulubalang yang bertujuh. Sementara dilihatnya Selamat belum menjawab cakapnya berkata pulah pendekar itu.

"Nah, ini sirih kami yang  secabik, pinang yang sudah berkeping. Sesudah itu kami harapkan dapatlah kita mengadu-adu kata."

"Terima kasih banyak!" jawab Selamat. "Pucuk dicinta ulam datang. Tapi kendatipun demikian aku tak pandai mencari di mana yang disembunyikan orang. Semata-mata hanya sanggup menghabiskan apa yang ditujukan Tuan-tuan. Aku minta maaf benar-benar tak tahu berebana. Andainya tuan-tuan hendak meneliti telunjukku, akan kutelentangkan supaya bebas berjalan di atasnya. Menurut penglihatanku dalam sirih Tuan-tuan yang secabik dan dalam pinang yang tercencang serta dalam kata-kata yang terhambur, Tuan-tuan hendak meminang anak dara ranah kami. Siapa gerangan dara yang Tuan-tuan ruju, dan mana tanda peminangnya?"

"Tepat dugaanmu, Selamat." kata pemimpin hulubalang. "Anak dara yang kami tuju tidak lebih dari seorang, tak lain hanya Puteri Tanglung anak tunggal raja negeri Pantai Air Emas."

Perkataan sang pemimpin terhenti menunggu kalau-kalau ada reaksi dari lawan bicaranya. Tetapi karena tak ada reaksi apa-apa dilanjutkannya pulalah pembicaraannya yang terputus itu. "Inilah tanda antara persembahan raja kami Sutan Geliga Matahari, yang sekarang sedang berbenteng tak berapa jauh dari sini bersama-sama dengan rakyatnya yang telah memadati padang perburuan negeri Pantai Air Emas. Tak sejenkal pun negeri ini yang tak diisi oleh mereka yang harus bermain-main keris serta pedang.

Nah, inilah tanda tersebut, cincin yang dua belas bentuk, gelang dua belas pasang. Disamping itu ada pula baginda mempersembahkan cincin patah dan gelang patah serta ranjau besi bertajam cukup untuk dipasang melingkari negeri ini. Ada pula obat bedil sepumpungan. Kalau setuju tanda persembahan dapat engkau terima, tetapi bila hendak harap juga diterima. Kalau tanda persembahan ini engkau terima maka api akan menghanguskan semua dinding rumah penduduk. Tebu dan bayam akan ganti perumahan kalian. Apakah betul kalian terbuat dari timah, itu pun akan kami patahkan. Pastilah tinggi rumah akan dipanjat lipan, padang ternak  akan seperti pelubang gajah; Halaman luas akan berubah menjadi padang Takukur." Mendengar cakap pemimpin hulubalang itu Selamat tertawa terbahak-bahak. Kemudian dengan pelan dijawabnya jugalah kata-kata pemimpin tadi.

"Kalau demikian, pendekar," kata Selamat, "aku terima tanda persembahan ini; hendak dilawan tidak terlawan." Diambilnya tanda tersebut dengan tangan kiri, dicuilnya dengan empu kaki kanan, berderau bertaburan ke tanah. Hulubalang yang bertujuh mengusap-ngusap mata mereka, menyaksikan perbuatan Selamat yang amat cepat dan diluar dugaan mereka.

"Kalau Sutan Geliga Matahari menginginkan Puteri Tanglung, suruhlah datang ke mari. Akan aku pertemukan dengan ujung keris, atau dengan ujung bedil berasap. Boleh pula ujung pedang bermain-main di biji matanya. Sungguh, Puteri Tanglung jangan harapkan akan diperolehnya. Kalian tahu bahwa aku sebagaimana kalian adalah juga seorang hulubalang. Selagi nafasku masih dapat turun naik, selagi badan belum menjadi mayat, takkan dapat Sutan Geliga Matahari mengambil puteri. Tapi kalau raja kalian hendak kawin dengan si Kembang boleh aku sampaikan. Kalau hendak kawin dengan kucing, anjing, itu lebih baik," terdengarlah pula Selamat Bujang tertawa-tawa terbahak-bahak. Hulubalang yang bertujuh sangat terkejut. Dalam hati mereka terasa takut yang amat sangat. Saat itu juga mereka segera bergerak hendak lari. Tetapi Selamat Bujang cepat menghalang-halangi mereka.

"Hai tunggu!" kata Selamat mendadak diiringi sorot mata yang mencucuk ketujuh pasang mata yang ada di hadapannya."Bawalah surat kami dan sampaikan kepada raja kalian!" Maka bergegas ditulislah sepucuk surat dengan tangan kirinya. Setelah itu ditunjukkannya kepada pemimpin hulubalang tersebut. Sesudah menerima surat ketujuh hulubalang itu pun berlalulah tergesa-gesa tanpa berpadah lagi. Di tengah jalan surat Selamat Bujang tadi dibuka mereka. Apa yang tadi diucapkan Selamat Bujang semuanya besua dalam surat itu. Ketujuh hulubalang itu bertambah rasa takut mereka sehingga jalan makin cepat saja. Menerima surat Selamat Bujang dan setelah mengetahui isinya tak terkirakan marahnya Sutan Geliga Matahari. Sebentar kemudian terdengar suaranya membahana mengejutkan balatentara banyak, mendengung amat dahsyat.

"Dengarkan!" teriaknya parau. Anak Cina, anak Belanda tembakkan dan arahkan bedil kalian. "Lakukanlah tugas kalian ke Istana Puteri Tanglung. Hancur leburkan negeri Pantai Air Emas. Mari kita melihat negeri terbakar! Hebat benar rupanya Selamat Bujang." Taklah mengherankan lagi sebentar saja terdengarlah dentuman bedil yang makin lama makin hebat. Bunyinya bagai orang mengirik batang padi, seperti membakar tumpukan buluh kering. Tembakan berlangsung siang-malam tak berkeputusan. Asap tebal menyelimuti istana Puteri Tanglung dan seluruh negeri. Ketika sampai hari yang ketujuh, raja Sutan Geliga Matahari memerintahkan supaya tembakan dihentikan.

"Hentikan!" perintahnya yang diteruskan bersambung kepada yang lain. "Mari kita saksikan negeri terbakar!" Tembakan sudah dihentikan. Berangsur-angsur asap mulai menipis dan hilang dihembus angin. Tetapi usahakan negeri yang terbakar, malah bertambah rancak dari semula. Begitu juga rakyatnya tak berubah dari yang lama, malahan bertambah ramai. Lenggang-lenggok mereka masih seperti dulu juga.

"Hebat benar Selamat Bujang," desis Sutan Geliga Matahari berwajah hitam tertiup asap bedil. "Tembakkan kembali bedil kalian!" Tembakkan pun berdentuman pula sebulan lamanya.

Selama sebulan itu memang terasa benar akibat-akibatnya bagi negeri Pantai Air Emas. Daun sirih berjatuhan dari gagangnya dihantam pelor, buah kelapa berguguran dari tandannya. Begitu pula pinang jatuh beringkil-ringkil. Akan halnya Puteri Tangklung termenung seorang diri diatas anjung perak diterpa rasa cemas memikirkan negeri dan rakyat yang tak berdosa. Jahat benar ruanya raja Gunung Selasih Hitam. Puteri duduk gelisah tegak termenung. Tiga hari tiga malam ia berkeadaan demikian. Air setitik tidak terisap, sirih sekapur tidak terkunyah. Untunglah nampak oleh ibundanya permaisuri  Tanglung Di Bulan. 


Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Puteri Tanglung Bagian 1 Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Puteri Tanglung Bagian 1 Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Puteri Tanglung Bagian 1"

Post a Comment

Cerita Lainnya