Cerita Rakyat Sayang Tabuang Bagian 2

Alkisah Rakyat ~ "Tak salah dugaan," katanya seorang diri, "Elok dibunuh tukang nujum keparat itu dengan pisau kecik si rencong Aceh berhulu gading ini." Tapi sebentar kemudian ia mengurungkan niatnya. Kalau dibunuh datuk tukang nujum itu tentu akan mati seketika. Bukankah pisau rencong Aceh berhulu gading itu pisau keramat? Kena bayangan saja orang akan muntah darah. Puteri Mayang Mengurai segera surut dari keputusannya. Ia teringat akan Pencipta Semesta. Bukankah pula adiknya tak jua kurang suatu apa? Lagi pula ia amat takut dan hormat kepada ayahnya yang dikasihinya. Ia tak ingin melihat ayahnya lebih parah dalam kemarahan yang tak berkeputusan. Keputusan sudah jelas. Anak lelaki itu harus dibuang segera. Dengan diulas kayu rumah peran tua diambillah anak itu dengan tangan kiri diantarakan ke jamban dan gedang di air.


"Mana kalian buaya, atau peri," seru Datuk Menaro Kayo seraya melemparkan anak itu ke dalam air. "Terimalah persembahan kami. Kalau kalian lapar makanlah dagingnya. Bila terasa haus minumlah darah anak celaka ini. Sambutlah olehmu ikan lumba-lumba."

Sesudah itu baginda raja bergegas berbalik ke istana. Di istana  sendiri ibunda permaisuri Puteri Mayang Di Bulan sudah tak berketentuan lagi. Rambutnya yang panjang ditarik-tariknya. Makan dan minum sudah tak diperdulikannya lagi. Akan halnya anak lelaki itu begitu sampai di laut segera disambut oleh buaya, peri, dan ikan lumba-lumba. Binatang Laut segera terpikat dan kasihnya menjelma seketika. Mereka menyembah dengan penuh hormat.

"Mana  engkau, nak, budak nan jombang," kata buaya. "Setahun hamba tak minum, takkan hendak hamba minum darahmu.

Setahun hamba tak makan, takkan hendak memakan dagingmu. Sekarang marilah hamba kembalikan engkau kembali ke jamban gedang tepian Datuk Menaro Kayo." Anak lelaki itu lalu didukung dikembalikan ke tempat ia dicampakkan. Mendengus peri dilaut, tersedar mambang di gunug. Cahaya anak itu melantun-lantun. Kemudian anak itu diletkkan di atas jamban. Sebelah badan anak itu dingin, sebelah lagi panas; bagian yang dingin itu putih dan bagian yang panas itu merah. Buaya, peri, dan lumba-lumba mengelindan kata menghambang wasiat untuk diperdengarkan kepada anak itu.

"Engkau enggan berbagai kasih, nak. Tuntut bela ayahmu nan jombang. Jemput dan balas budi ayahmu sampai-sampai. Nah, itu petuah dari kami. Sebentar lagi kakakmu Mayang Mengurai akan datang menjemputmu. Tunggulah olehmu sebentar, dia pun akan mendukungmu dalam pendukung kain ke sumba muda. Kami izinkan dulu kembali ke laut."

Sejurus kemudian benar saja Puteri Mayang Mengurai telah menegok di tepian. Dilihatnya di atas jamban telah berbaring adik kandungnya. Berbaring ditengah-tengah jamban gedang, yang diapit di hulu oleh jamban bertanduk dihlir jamban bergonjong, Puteri Mayang Mengurai yang disertai ibunya Puteri Mayang Di Bulan segera tutun mengambil anak itu. Lalu bergegas mereka berbalik pulang. Dan sesampai di rumah mereka bermain di bawah rangkiang tujuh berjejer. Tentu saja mereka yang sedang asyik bermain itu segera terlihat oleh ayahnya Datuk Menaro Kayo. Melihat itu alangkah marahnya beliau. Segera diturutnya kesana.

"Oho, asyik benar rupanya kalian Mayang Mengurai. Dan ibumu Mayang Di Bulan tak tahu diri pula. Takkah kalian tahu bahwa anak itu, anak sial anak celaka, menghabiskan harta pusaka? Anak lelaki yang telah dikutuk Tuhan. Anak lelaki anjing binatang!" Tiba-tiba terdengar raung pekik tangis anak lelaki yang masih kecil itu.

Datuk Menaro Kayo cepat-cepat menarik tangan anak itu dan terus dijinjingnya dibawa lari ke hulu negeri. Ia terus berlari merencah hutan lebat, melewati tujuh lurah tujuh pematang. Akhirnya sampai ke lubuk berbandar tiga, tempat berdiamnya ular bidai dan serangkak raya. Anak itu lalu diuncalkannya ke dalam lubuk itu. Air berkecipak tertimpa badan anak itu. Sebentar saja datanglah ular bidai dan serangkak raya. Tapi begitu elihat anak itu mereka segera mengenalnya, bahkan mereka segera menyusun sembah. Mereka sudah tahu anak kecil itu titisan penguasa Ambang Pintu Langit. Semua makhluk di bumi tunduk akan Datuk Syeh Nan Putih Panjang Janggut.

"Mana gerangan engkau, nak, nan jombang. Setahun nian hamba tak makan, sebulan nian hamba tak minum, belumkan hendak haaba makan daging dan meminum darahmu. Hamba takut tertimpa kutuk Datuk Syeh Nan Putih Panjang Janggut. Takkan tahan hamba menerima kutuk orang bertuah." Kedua ekor binatang itu lalu mengelus-elus punggung anak kecil itu. Tapi sebentar kemudian dikejutkan pekik tangis anak itu.

"Kalau datuk haus dan lapar,  minumlah darah dan makan daging hamba," jawab anak itu ditujukan kepada ular bidai dan serangkak raya. "Daripada hamba sengsara menanggung penderitaan, baiklah hamba mati. Bunuhlah hamba sekarang juga." Mendengar ucapan anak itu, terhenti-henti burung yang sedang terbang, ranting jatuh tertahan-tahan.

"Amboi, nak, " jawab kedua binatang itu pula. "Belumkan sanggup kami berbuat begitu. Engkau orang keramat, orang bertuah. Ayolah kita mandi ke tepi tebing berbatu di pinggir laut sebelah sana. Kita mandi sambil berhanyut ke hilir berkecimpung jari, mudik menyongsong arus berkecimpung kaki." Mareka mengelus-elus juga punggung anak itu dengan kasih sayang. Sampai masa tiga hari bermufakatlah ular bidai, serangkak raya, serta anak itu. Didapat kata sepakat di kedua belah pihak untuk saling mengangkat ibu dan mengangkat anak.

"Mulai saat ini," kata kedua binatang itu, "engkau kami angkat sebagai anak dan kami namakan engkau Sayang Tabuang." 

"Kalau demikian datuk yang berdua hamba tetapkan sebagai ibu angkat hamba," jawab sayang Tabuang.

"Nah, besok akan datang buaya peri, buaya dewa, untuk mengantarmu ke jamban tepian mandi Datuk Menaro Kayo."

Besoknya buaya pun datang. Dia memberikan sebutir intan dan sekeping kemenyan putih. Sayang Tabuang menerimanya dengan penuh hormat. Lalu diantarkanlah ke jamban tepian Datuk Menaro Kayo.

"Nak," kata buaya kepada Sayang Tabuang. "Bila engkau pada suatu ketika menemui kesulitan cecahkanintan yang kuberikan itu di keningmu dan bakarlah kemenyan putih itu, insya Allah aku akan datang. Sekarang tinggallah engkau. Sebentar lagi kakakmu Mayang Mengurai beserta ibumu Mayang Di Bulan akan datang menjemputmu. Aku hendak pergi dulu."

Beberapa lama anak kecil itu duduk di emban jamban., Puteri Mayang Mengurai telah nampak datang tergopoh-gopoh. Rupanya ia sudah tahu dengan gerak bahasa adik akan tiba.

"Kur semangat, dik!" seru Mayang Menguarai dari atas tebing. Puteri Mayang Mengurai beserta ibundanya Puteri Mayang Di Bulan menangis terguguk-guguk sambil menyelosor juga turun menjelang anak kecil yang duduk di emban jamban dengan senyum menyambut kedatangan ibu dan kakaknya itu. Orang banyak berdiri memenuhi halaman luas istana Datuk Menaro Kayo, mengelu-elukan kedatangan anak lelaki yang sudah kembali dari pembuangannya. Raja Datuk Menaro Kayo segera diberi tahu akan kedatangan anaknya itu. Dengan acuh tak acuh beliau menjengukkan kepalanya ke halaman. Sejenak matanya bertatapan beradu pandang dengan anaknya Sayang Tabuang. Dalam hati Datuk Menaro Kayo ia sudah tak hendak lagi melihat anak itu. Sebaliknya Sayang Tabuang pun tak hendak sedikit pun menginjakkan kakinya di tangga rumah Datuk Menaro  Kayo. Itulah sebabnya ia hanya berdiri saja di halaman. Tiba-tiba terdengarlah sebabnya ia hanya berdiri saja di halaman. Tiba-tiba terdengar anak kecil itu berkata dan berseru kepada Datuk Menaro Kayo.

"Mana gerangan ayah dan bunda serta kakak Mayang Mengurai!" Dengarkan juga hamba berkata. "Bila ayah memang hendak membuang diri hamba, maka hamba tak berkeberatan. Tapi hamba meminta tanda bukti pembuang. Berilah hamba sepasang keris ayah, keris panjang dan keris pendek. Bila ayah tak hendak memberikannya tak sudi hamba beranjak dari halaman ini." 

Dalam hati Datuk Menaro Kayo, timbul keragu-raguan. Keris panjang itu di hulu keris yang dipergunakan untuk membuka pertama kali negeri Renah Tanjung Di Bungo. Namun kalau tak diberikan Sayang Tabuang tak hendak pergi. Maka diputuskannyalah untuk memberikan keris itu kepada Sayang Tabuang supaya ia cepat pergi. Diambillah oleh Sayang Tabuang keris panjang dan keris pendek serta rotan sepotong tanda pembuangan. Setelah menerima pemberian itu ia pun melangkahkan kakinya, namun terhenti sejenak karena didengarnya suara kakaknya Mayang Mengurai memanggil manggil. Sebentar kemudian adik kakak itu nampak berpeluk berpalun-palun. Ada yang pergi dan ada pula yang tinggal. Entah kapan dapat bersua kembali. Sepuluh tahun dalam pengembaraannya akhirnya Sayang Tabuang sampai ke negeri Peminggir Laut, negeri raja Datuk Menaro Bulan, kakak Puteri Mayang Di Bulan. Baginda mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Tilam Suasa. Sayang Tabuang diterima dengan baik oleh raja Datuk Menaro Bulan. Setelah beberapa lama tinggal di negeri itu ia pun dipertunangkan dengan Puteri Tilam Suaso.

Suatu ketika Sayang Tabuang menerima kabar yang diantarkan pikat langau, serta embun yang terbawa angin, bawa kakaknya Mayang Mengurai sudah dipertunangkan dengan seorang raja Renah Muaro Bersurat. Semenjak pertunangan disebut Puteri Mayang Mengurai berkurung diri di atas mahligai tujuh tingkat. Sebuah mahligai bertangga mata pedang dan mata keris. Mahligai yang terlarang didekati sembarang orang. Dijaga dengan ketat, oleh seratus orang di kiri dan seratu orang pula disebelah kanan. Semua penjaga itu para dubalang pilihan negeri. Di atas mahligai tujuh tingkat itu pulalah pupuan Puteri Lindung Bulan menemui adiknya yang terkurung. Bagi Mayang Mengurai walapun kacang yang bergoreng akan tumbuh, atau mumbang berbelah akan melembaga, berpantang hendak kawin dengan Si Raja Angin Si Raja Gila. Mendengar berita itu, Sayang Tabuang merasa tak tenteram lagi. Ia serasa ingin cepat-cepat berada di samping kakaknya di Renah Tanjung Di Bungo. Untuk itu pergilah ia menemui di Renah Tanjung Di Bungo. Untuk itu pergilah ia menemui Pak Tengahnya Datuk Menaro Bulan untuk minta diri.

"Manalah Pak Tengah yang hamba kasihi," kata Sayang Tabuang kepada Datuk Menaro Bulan. "Tidakkah dahulu Pak Tengah menyimpan dendang dua berbelahan? Hamba ingin benar mencobanya sebentar."

"Kok itu benar yang engkau tanyakan, anakku?" jawab pamannya mengajuk. "Kalau engkau ingin berburu itu ambil bedil didalam kamar serta kua didalam kandang." Sayang Tabuang tersenyum, ia sangat mengerti dengan kasih sayang orang tua itu.   

"Dendang yang engkau tanyakan itu," lanjut pamannya pula, "ada di hilir negeri."  Mendengar itu Sayang Tabuang terlonjak gembira. Semenyata itu dari dalam kamar Puteri Tilam Suaso memasang telinganya baik-baik mengikuti pembicaraan kedua orang itu.

"Dengan dendang itu hamba dapat pergi ke negri Renah Tanjung Di Bungo!" seru Sayang Tabuang. Di dalam kamar Puteri Tilam Suaso terlonjak cemas. Badan nan dalam bertunangan akankah berpisah pula? Suatu hari berangkatlah Sayang Tabuang, diantar oleh Puteri Tilam Suaso hingga ke tepi  laut. Orang berlayar seorang diri, awak tinggal berhati sedih. Sesedih-sedih orang yang pergi, sedih jugalah orang yang tingal.

Lama kelamaan berlayar sampai jugalah akhirnya Tuan Sayang Tabuang di negeri Renah Tanjung Di Bungo. Dilihatnya negeri besar itu sudah morat-marit tak terurus lagi. Negeri sudah lengang, semak belukar terdapat dimana-mana. Rumah sudah banyak yang roboh. Mana yang belum roboh sudah condong dipanjat kerakap roboh. Mana yang belum roboh sudah condong dipanjat kerakap dan akar liar. Sayang Tabuang melangkah satu-satu menuju ke mahligai tempat kakak kandung ditawan. Dengan kepastian hatinya ia memasuki gerbang istana yang mengantarnya ke mahligai tujuh tingkat. Pintu mahligai sedang dijaga oleh seratus dubalang di kiri dan seratus di kanan. Sayang Tabuang menghentakkan kakinya. Sekali hentak saja tertidurlah kedua ratus penjaga itu tak bangun-bangun lagi.  

"Mana kamu kakak kandung hamba!" seru Sayang Tabuang sambil mengetuk daun pintu mahligai sampai tiga kali.

"Terkutuklah, engkau," terdengar suara dari dalam. "Tak sudi aku melihatmu orang celaka! Anjing !" Rupanya Mayang Mengurai menyangka yang datang itu Si Raja Angin, Si Raja Gila. Tapi untunglah kemudian Sayang Tabuang dapat meyakinkan kakaknya.

"Hamba yang datang ini adalah dunsanakmu yang terbuang dulu, kak Mayang. Bukalah pintu. Lihatlah detar yang hamba pakai ini, bukankah dulu kakak yang membuatkannya?" Mendengar itu segeralah pintu dibuka oleh Mayang Mengurai. Tak terhingga besar hati saat itu, telah dapat bersua dengan orang yang dicinta selama ini.

"Amboi, dik! Lah besar malah engkau sekarang. Kakakmu ini sudah puas menanggung rindu karena kasih akan engkau."

"Hamba anak yang malang, kak! Sudah sebesar ini belum juga dapat membalas jasa budi baik kakak selama ini."

Tak dapat dilukiskan betapa terharunya perjumpaan antara manusia bersaudara itu. Namun bunyi tangis jualah yang menjadi ukuran dan jawabnya.  Sayang Tabuang mulailah mengatur siasat. Disuruhnya kakak dan pupuannya terlebih dahulu berangkat ke negeri Peminggir Laut tempat Datuk Manaro Bulan berkuasa. Ia akan menyusul kemudian setelah selesai perhitungan dengan raja perampok Si Raja Angin Si Raja Gila. Fajar telah menyingsing, yang disuruh lari telah jauh, tak kan mungkin dapat dikejar lagi. Sayang Tabuang bergegas-gegas mencari raja perampok Si Raja Angin Si Raja Gila. Setelah bertemu diceritakannyalah bahwa Puteri Mayang Mengurai telah dilepaskan orang yang bernama Sayang Tabuang kepada Raja Si Raja Angin Si Raja Gila. "Tunangan datuk sudah dilepaskan orang yang bernama Sayang Tabuang."

Mendengar kata yang demikian berlarilah raja perampok itu kemahligai gading tujuh tingkat. Ternyata mahligai memang sudah tak berpenghuni lagi. Pandangannya segera ditolehkannya kepada Sayang Tabuang. Sayang Tabuang menyenggengkan senyum berlambangkan ejekan.

"Benar, Tuk!" seru Sayang Tabuang menantang. "Yang sedang datuk pandang dan teliti ini ialah Sayang Tabuang. Engkau yang memulai, tuk! Negeri Renah Tanjung Di Bungo telah engkau porak-porandakan. Rumah telah beriang bertatah arang. Menyemak sambau di halaman. Negeri menjadi pemandangan gajah. Ayah serta bundaku engkau rampok, engkau alahkan. Senang benar rupanya hati datuk. Datuk kira cempung takkan berselami, hanyut tak berturut, hilang takkan bercari. Masih ada, tuk Sayang Tabuang yang akan menuntut balas, menuntut bela."

Tak lama kemudian terjadilah perkelahian. Setelah tiga hari tiga malam lamanya, Sayang Tabuang mencabut keris panjang disusul dengan keris pendek. Keris panjang di tangan kanan, keris pendek di tangan kiri. Dengan sekali hentakan ditikamkan keris panjang disenggolkan keris pendek. Si Raja Angin Si Raja Gila terjerangkang mengidap luka yang tidak dalam benar, sekira sepadi saja. Bisa segera naik ke muka. Lambat rebah terajang tiba. Akhirnya tamatlah riwayat raja perampok itu. Karena kepedihan hati, Sayang Tabuang tak berhenti sampai di sana saja. Ia mengamuk merimbasi orang banyak. Maka banyaklah orang yang mati. Bagaikan pimping dilayur api. Bagaikan ilalang dirambah, bergelimpangan menerangkup ke tanah. Arungan bangkai sehingga pinggang, arungan darah batas ke lutut. Sudah habis orang nan banyak. Nan hidup melarikan diri. Lalu Sayang Tabuang segera mencari ayah serta ibunda kandung. Bertemulah ayah sedang mengembalakan kerbau. Bunda didapati sedang menumbuk lesung padi. Segeralah diambil ayah serta bunda.
"Tengoklah kemari bunda. Pandanglah ke mari ke badan hamba ayah. Hambalah anak bunda serta ayah. Lihat ketiga senjata ini, tanda pembuangan yang hamba minta dari ayah dahulu. Tak usah ayah serta bunda ragu lagi. Hamba ini benar-benar anak lelaki ayah serta bunda yang didambakan dan diingini selama ini."

Setelah kedua orang itu melihat keris panjang, keris pendek, serta rotan sepotong, berlarilah mereka memburu anak lelaki itu. Dicium sepuasnya, dipeluk habis-habisan. Dan sesudah itu kembalilah orang tiga beranak itu  ke negeri Renah Peminggir Laut.


Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Rakyat Sayang Tabuang Bagian 2 Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Rakyat Sayang Tabuang Bagian 2 Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Rakyat Sayang Tabuang Bagian 2"

Post a Comment

Cerita Lainnya