Cerita Rakyat Sayang Tabuang Bagian 1

Alkisah Rakyat ~ Adalah seorang raja yang bernama Datuk Manaro Kayo, memerintah negeri Tanjung di Bungo. Baginda seorang raja yang disegani rakyatnya. Tentu saja demikian. Maklumlah baginda seorang raja yang penyantun berbudi luhur, elok basa-basinya. Selalu bermulut manis, berkata lemah lembut. Bagaikan gonjang pucuk durian, bagaikan sanggul pucuk kapuk. Raja panutan dan turutan rakyat banyak. Datuk Manaro Kayo mempunyai puteri satu-satunya, yang bernama Mayang Mengurai. Seoang anak tunggal yang amat cantik serta elok paras wajahnya. Seorang puteri bertuah semenjak lahir. Yang besar di dalam kamar. Tak pernah disentuh teriknya panas matahari. Seorang perempuan yang sangat sempurna, perpaduan antara kecantikan dan keluhuran budi serta kesopan santunan. Lemah lembut kalau berbicara. Pandangannya tak sedikit pun memperlihatkan keanguhan. Sinar matanya itu memancarkan keagunan sejati yang sangat terpuji.
Walaupun Datuk Menaro Kayo hidup berbahagia bersama keluarganya, anak isterinya, serta rakyatnya yang bercukupan, namun nyata terbayang dalam perilakunya sehari-hari bahwa baginda menyimpan sesuatu kehendak yang amat didambakannya. Baginda berahikan seorang anak laki-laki, yang kelak akan menjadi penerus tali pemerintahan negeri Tanjung di Bungo. Keinginan, rupanya tetap keinginan saja. Yang didambakan Datuk Menaro Kayo tak kunjung terjelma. Apakah akan demikian lama kegetiran itu berlangsung dalam keluarga raja itu?


Dalam pada itu tersebutlah seorang raja bernama Datuk Syah Nan Putih Panjang Janggut, raja negeri Alam Pintu Langit, penguasa para dewa semesta. Baginda mempunyai seorang anak laki-laki satu-satunya. Anak lelaki itu, kecil belum pula mempunyai gelar. Anak tunggal yang jombang, ke laut diambung-ambung, ke gunung ditinggi-tinggikan. Seorang anak lelaki yang amat elok paras wajahnya masa itu. Seorang anak lelaki yang besar dan tumbuh dalam pupukan kasih sayang. Besar karena urut punggung gosok belakang. Siapa saja tak jemu memandang anak lelaki kecil itu. Tak jemunya orang menghitung-hitung, membilang panaunya. Tercetak panau di badannya, memabukkan barang siapa yang memandangnya. Bahunya bidang, bahu seorang lekaki sejati. Di bawah lekuk lesung pipinya hilang-hilang timbul sesosok panau yang bercahaya, panau bernama si palit gila. Makin dilihat makin nyata manis. Rasanya tak hendak melepaskan pandangan mata untuk selalu menatapnya.

Atas lelaki itu sungguh-sungguh menjadi pusat perhatian orang negeri Ambang Pintu Langit. Semua orang kasih kepadanya. Namun tiba-tiba muncul suatu perubahan dalam diri anak raja itu. Ayah dan ibunya tak tahu apa sebabnya timbul perubahan itu. Ia sudah banyak bermenung. Kelincahannya tak tampak lagi. Semua orang tak tahu bahwa anak lelaki itu sedang terkenang akan kakaknya Puteri Mayang Mengurai di dunia, anak raja negeri Tanjung di Bungo. Anak lelaki kecil itu sedang bertumpah pikirannya untuk segera menjelang kakaknya yang sangat disayanginya itu.

Suatu hari diberanikannya dirinya menghadap kedua orang tuanya yang sedang beristirahat di anjung peranginan. Di tangannnya terjinjing uncang teruntai, berisi sirih pinang. Sesampai di hadapan kedua orang tuanya dianggukkannya pesirahan dalam uncang beruntai. Melihat anaknya datang dengan tiba-tiba itu, hati Datuk Syah Nan Putih Panjang Janggut berdetak keras. Terlihat oleh beliau dari tubuh anaknya seberkas sinar gilang-gemilang. Cahaya sinar itu berbilau-bilau terpantul dedaunan kayu yang tumbuh di sekitar istana. Diam-diam dalam hati baginda raja tumbuh suatu pengakuan betapa jombang puteranya itu. Baginya pengakuan itu pengakuan yang bukan dibuat-buat. Baginda tercenung mengingat betapa keramat dan sakti puterinya itu.

"Mana kiranya bunda hamba," tiba-tiba terdengar ucap anak lelaki itu kepada ibunya. "Beri ampun hamba terlebih dahulu bunda. Izinkan kiranya hamba ingin berbincang berkarena dengan bunda. Hamba kira bunda takkan berkeberatan menjawab pertanyaan yang akan hamba ajukan."

"O, nak! Bunda telah mendengar sembahmu. Insya allah mana yang dapat bunda jawab akan bunda jawab, selebihnya ayahmu tentu dapat pula engkau mintai pertimbagan mana yang patut.

Tapi sungguhpun demikian bolehkah bunda bertanya, apakah yang telah menimpa badanmu. Apakah perutmu sedang mengidap sakit, atau kepalamu sedang pening?"

"Bunda," jawab anak lelaki itu penuh hormat dan kasih sayang, "Baik kiranya bunda mencicipi sirih yang hamba bawa ini dahulu.  Sesudah itu dapatlah bunda berucap jawab dengan hamba," Kemudian anak lelaki itu menyorongkan pesirihan dalam uncang berutai kepada ibunya disaksikan oleh ayahnya yang sedari tadi memperhatikan dan menyimak pembicaraan kedua orang tua itu. Maka mulailah ibu itu makan sirih tanda penghormatan bagi anak lelakinya yang telah mempersembahkan persirihan itu.

"Bunda,"terdengar lagi suara anak lelaki itu menegur ibunya. "Sudah selesai rupanya bunda makan sirih, perbolehkan sekarang hamba berucap."

"Oi, anakku," jawab ibunya. Apa gerangan yang engkau kehendaki dari kami? Katakanlah terus terang, supaya senang pula hati kami."

Anak lelaki itu segera menjawab. Mukanya tertekur tunduk sedih. Disertai ayahmu penuhi?" Dari kedua matanya mengalir air bening, air mata jatuh bagaikan daun kanidai layu. akan derita yang di tangannya lambat-lambat terangkat ke atas menyaka matanya. Terasa air yang keluar itu panas menjalari kulit telapak tangannya. Melihat itu kedua orang tuanya ikut bersedih. Baru kali itulah mereka bersua dengan keadaan anak mereka yang seperti itu. Si ibu yang terlalu peka akan derita yang diidap anaknya segera berucap.

"Apa benar kehendakmu, nak, yang selama ini tak dapat ibunda serta ayahmu penuhi?"

"Bunda serta ayah yang hamba cintai. Hamba sungguh tak terniat ingin menyusahkan bunda serta ayah. Namun terima jugalah apa yang akan hamba sampaikan. Hamba teramat rindu akan kakak perempuan hamba Puteri Mayang Mengurai yang sudah lama bergelut hati hamba. Dalam pada itu hamba menaruh firasat akan timbul bahaya yang akan menimpa kakak hamba itu. Raja perampok sedang mengintai-ngintai yang sewaktu-waktu siap untuk mencelakakannya. Apakah tak pantas menurut bunda serta ayah, saudara lelakinya, hamba ini, membelanya?" Untuk itu hamba berkehenak untuk mengundu  ke atas dunia. Kalau bunda serta ayah izinkan itu benar yang hamba kehendaki. Tapi apabila tak diizinkan hamba akan pergi juga."

Mendengar tutur cakap anaknya si ibu tak segera menjawab. Kerongkongannya terasa tersumbat. Napasnya terasa sesat. Hatinya sangat sedih. Tak ditanya itu yang akan didengarnya hari itu. Dibawah ajung yang tinggi terlihat ayahnya duduk di atas kasur buntak perimping kuning, bersandar pada bantal besar emban pesandaran, diapit bantal guling dikiri kanan persilakannya. Beliau diam tak bergerak. Tutur anaknya itu, meluluhkan hatinya. Tentu saja beliau pun tak mampu menjawab atu mengemukakan pikirannya. Namun sekali lagi si ibu juga yang lebih dahulu menjawab kata anaknya.    

"Amboi, Nak. Mengapa itu benar yang engkau kemukakan. Takkah engkau ketahui betapa hancurnya hati ayah dan bundamu sekarang? Bagaikan kaca ditimpah batu, nak. Remuk redam rasanya hati jantung bunda serta ayahmu mendengar tuturmu itu. Tahukah engkau, bahwa engkau anak kami satu-satunya? Engkau yang selama ini menjadi tumpuan serta onggokan kasih? Begitu tegakah engkau mengambil keputusan yang demikian?"

Si ibu selesai berkata demikian mendekati anaknya. Tangan wanita itu mengelus-elus punggung anaknya. Sementara air matanya jatuh bercucuran, bertitik-titik.

"Bagaimana pun beratnya, bunda , perkenankan jualah permintaan hamba tadi. Lepaslah hamba dengan hati suci serta muka yang jernih. Biarkanlah hamba mengundu ke dunia, ketengah keluarga Datuk Menaro Kayo di Renah Tanjung di Bungo. Tak tertahan lagi rasanya hati hamba untuk bertemu dengan kakak Mayang Mengurai." Setelah berucap demikian anak lelaki itu cepat mengambil tangan ibunya. Diciumnya sepuas hatinya. Kemudian berpindah kepada ayahnya. Nampaknya sudah tak dapat lagi dicegah. Dan sebelum langkah yang pertama dilangkahkannya, di tolehnya sekali lagi kedua orang tuanya itu, sambil tak lupa mengucapkan kata-kata terakhir.

"Lepaslah hamba bunda serta ayah. Lepaslah dengan hati yang suci dan muka yang jernih. Doakanlah semoga tidak satupun aral dan bahaya."

"Anakku," jawab ibunya terisak-isak. "Bunda lepaslah engkau berjalan. Kami lepas dengan muka jernih dan hati suci. Darahmu setitik belum tertumpah. Rambutmu selembar belum tercabut. Berangkatlah engkau. Mudah-mudahan tak satu pun aral dan bahaya. Pergilah, nak, pergilah pertama. Pergilah engkau mengundu kedunia."

"Senyum anak lelaki itu kini nampak beriak tanda keinginannya telah dipenuhi. Kehendak yang selama ini didukung dan disimpannya. Akan tinggallah tempat ketiduran. Akan membubung kelambu siap benar nampaknya untuk berangkat. Pakaian sepelulusan sudah terkenakan. Ia mulai turun ke halaman berlambat-lambat. Dibelakangnya menempel kedua orang tuanya.

"Mana gerangan engkau nak," terdengar pula kata ibunya yang berusaha menahan tangisnya. Kehendakmu nampaknya tak dapat dihalangi lagi. Sesaat perpisahan kita ini isilah dengan kemesraan. Hadapkan mukamu lurus-lurus kepada kami. Tegaklah engkau sejenak di bawah anjung peranginan nan tinggi. Biarkan kami memandangmu selelanya."  Anak lelaki itu telah berdiri dengan jombangnya dibawah anjung pernginan. Dibiarkannya kedua pasang mata orang yang dikasihinya memandangnya. Tiba-tiba Datuk Syeh Nan Putih Panjang Janggut, ayahnya menghampirinya dan anak lelaki itu ditepuknya pelan-pelan. Dan dari mulutnya keluar kata-kata keramat seorang raja para dewa yang bertahta di Ambang Pintu Langit.

"Hendak menjadi pinang putih, menjelmalah engkau sebagai pinang putih. Tempatmu di dalam uncang berutai. Tergerak jualah hati Puteri Bungsu Mayang Di Bulan untuk memakannya." Selesai berbuat demikian Datuk Syeh Nan Putih Panjang janggut segera menarik tangan isterinya dan tanpa menoleh lagi ditinggalkannya anak lelaki itu, yang mengirap dengan gaibnya.

Negeri Ranah Tanjung di Bungo kelihatan murung, karena raja mereka sedang berahikan anak lelaki yang tak kunjung dapat. Baginda sangat sedih nampaknya. Mudik hilir dirumahnya yang sedang serencang kuda berlari. Rumah Gedang sembilan ruang, sepuluh dengan serambi turun. Rumah Gedang itu murung, semurung raja itu pula. Seorang raja yang kaya raya, sekaya raja Belanda. Jawi saja terayap dipangkal padang. Kerbau terayap diujung pandang. Merpati bagaikan awan menutupi langit, sangat banyak. Itik  serta angsa memenuhi muara sungai. Tapi semua itu tak dapat menggugah hati Datuk Menaro Kayo. Semuanya tenggelam dalam himpitan derita kesusahan karena baginda sedang berahikan seorang anak lelaki.

Satu hari, sedang melambung tengah hari, kurang setapak menjelang tepat, tergerak isteri Datuk Menaro Kayo yang bernama Puteri Bungsu Mayang Di Bulan hendak makan sirih. Direngkuhnya uncang beruntai. Disorongkannya tangannya ke dalam uncang kipas hendak makan pinang tersebut. Semenjak pinang termakan, tuan putih pun segera tertahan bulan. Ia telah mengandung. Semua orang amat gembira melihat isteri raja sudah mengandung. Tak terhingga pula Datuk Menaro Kayo sendiri. Harapannya yang hampir pudar itu tumbuh dan mulai bersinar kembali. Kasih sayangnya kepada isterinya nampak mekar semekar-mekarnya.

"Kalau kelak adinda melahirkan seorang anak lelaki." kata baginda kepada istrinya. "Aku bernazar dari sekarang akan mendirikan gelangang besar. Akan aku adakan perjamuan  makan minum bagi rakyat kita. Akan pula diadakan acara tepuk tari." Mendengar ucapan suaminya itu Puteri Mayang Di Bulan tak menjawab sepatah katapun. Sementara itu di dalam kamar, Puteri Mayang sudah tahu akan gerak dan firasat, bahwa ibunya sedang mengandung adik lelakinya yang mengundu ke atas dunia. Ia berbicara seorang diri. "Rindu nian rupanya adik akan daku.”    

Permaisuri raja telah mengandung. Rakyat sangat bergembira. Dan pada waktu kandungannya sudah tujuh bulan, maka diadakanlah keramaian besar-besaran, akan menyongsong kelahiran yang sedang mereka tunggu-tunggu. Ramai orang mengadakan acara tepuk jari, makan minum sepuas-puasnya. Untuk keperluan keramaian itu telah banyak kerbau dibanati. Rakyat menyerahkan sayur-sayuran. Bujang Selamat sangat sibuk menjalankan tugas. Di tengah-tengah gelanggang didirikan balairung yang bernama balairung bunga setangkai. Tamu berdatangan dari sana-sini. Tujuh pematang tertutup, tujuh lekuk pula tertimbun. Bak akan karam jamban di air, bak akan runtuh tebing nan tinggi, tak akan jorot jenjang jalan ke tepian. Begitu yang datang.

Di dalam bilik nan gedung Puteri Mayang Mengurai memasang telinganya mendengar hiruk-pikuk orang nan ramai. Begitu benar rupanya menyongsong kedatangan adik yang mengundu ke atas dunia. Rindunya kali ini makin menjadi-jadi. Rindu yang tak tertahan untuk sesegera mungkin bertemu dengan adik kandung. Adik kandung adik keramat, adik pengurut kepala nan pinang, pengurus demam yang datang, adik tali jiwa genggaman jantung. Namun sebelum adiknya itu lahir kedunia hatinya tak sunyi dari persaan was-was yang mengganggu badan dirinya. Hatinya berdetak-detak terus, telinga sering berdesing-desing. Harimau mulai terdengar banyak mengaum, elang sering melayap-layap melintas mahligai istana.

Dihitung-hitung hari, dibilang-bilang bulan. Entah berapa kali periuk kuali terjerang, hentakan kaki Si Kembang Malang, tak terhitung pula. Maka tibalah saat Puteri Mayang Di Bulan sakit melahirkan. Dukun beranak nan bertujuh segera dipanggil untuk menanti kelahiran itu. Sedang membuntar bayang-bayang, sedang hari nan tengah hari kelahiran pun terjadi. Sejenak negeri Ranah Tanjung di Bungo menjadi sepi dan hening. Ini karena anak yang lahir itu seorang yang keramat. Bayangkan saja, ketika masih dalam kandungan segala yang ditanam menjadi, semua yang dipelihara berkembang biak. Penduduk makin bertambah banyak. Segala kebutuhan rakyat bertambah melimpah ruah. Hidup mereka senang tenteram. Sekarang kelahiran anak bertuah itu telah berlaku. Namun peristiwa kelahiran ini sangat mengejutkan orang banyak. Bayi yang dilahirkan itu tiba di lantai, lantai patah. Sampai di gelegar, geleger remuk. Sang bayi terus sampai di tanah. Tapi sampai di tanah, tanah pun berlekuk. Melihat ini tak seorang pun berani mendekat. Bayi dihulu dan di hilir bertangisan. Sungguh keramat anak yang baru lahir ini.  Dari tubuhnya memancarkan sinar keemasan. Cahaya sinar ini mengejutkan peri di air, terperanjat mambang di gunung. Sinar tubuhnya memancar-mancar melantun ke daun-daun kayu.

Bayi itu telah lahir, Terbenam dalam tanah sendirian. Dielus angin dicium, diterpa cahaya matahari. Namun ia tak cacat sedikit jua pun. Benar sungguh hebat! Terkejut orang di hulu dan di hilir. Bergetar Datuk Menaro Kayo dibuatnya. Tapi di dalam kamar besar mencelotoh Puteri Mayang Mangurai melihat karena adik kandung. "Amboi, dik!" kata Puteri Mayang Mengurai dalam hatinya. "Engkau nampakkan benar tuah badan diri. Tahukah engkau, bahwa itu tak elok kedudahannya? Aku tahu kehebatanmu, darah setitik belum tertumpah, bulu roma sehelai belum tercabut. Tak elok yang demikian, dik."

Dari luar terdengar suara Datuk Menaro Kayo menyeru Puteri Mayang Mengurai. Menyatakan kemasygulannya yang kian memuncak. "Engkau lihat, bukan, nak? Aku menyaksikan semua ini, Aku menanggung hati tak senang."

"Puteri Mayang Mengurai hanya memandang dari dalam kamar dengan perasaan gelisah. Terdengar tangisnya bersedu-sedu membayangkan nasib adiknya. Ayahnya sendiri telah pula tak senang akan adiknya karena hal-hal yang timbul dari kelahirannya itu. Tangis Puteri Mayang Mengurai makin menjadi-jadi, sementara ceracah yang tak berkeputusan keluar dari mulutnya.

"Amboi, dik. Akan terbuang jua engkau kerantau yang jauh, kerimba yang lebat. Nasib kakakmu jua yang malang. Itu semua salahmu sendiri. Engkau perlihatkan benar tuah di badan. Tak engkau lihat bunda kita dibelenggu ayah di pangkal tiang tua. Mana engkau, dik. Perlihatkanlah badanmu nan kuning. Remuk redam hati jantung kakak." Selesai berucap demikian ia pun memanggil Bujang Selamat memberitahukan bahwa ibunya sedang dimabuk rindu ingin bersua dengan anak yang baru dilahrkannya. Ibunya menarik-narik rambutnya sendiri.

"Mana engkau Bujang Selamat. Isilah uncang beruntai dengan sirih kering dan pinang putih. Itu ditengah rumah bunda menghela-hela rambut nan panjang." Dalam pada itu orang ramai menangis meratap berkepanjangan, menyaksikan kejadian yang menyedihkan itu. Melihat ibunda permaisuri yang tak tahan menanggung kerinduan hatinya.

"Mana engkau nak Mayang Mengurai," kata ibunda kepada Mayang Mengurai. "Jemputlah adikku dan bawalah naik. Boleh bunda cium pipinya yang kuning. Tak tertahan rasanya kalut hati yang seperti ini. Air setitik belum terminum oleh adikmu. Jemputlah. Bawalah, sayang, adikmu! Ratap tangis orang banyak makin menjadi-jadi. Ibunda masih juga berceracah tak berkeputusan.

"Atau bunuh sajalah bunda supaya cepat selesai. Bunuh sajalah bunda supaya cepat mati. Bunuh saja dengan pisau kecil si rencong Aceh berhulu gading. Jangan biarkan bunda berlama-lama menanggung rindu. Bukannya adikmu yang celaka, tapi ayahmulah yang tak pernah puas."

"Ampun hamba bunda," jawab Puteri Mayang Mengurai pula. "Ampun hamba sepuluh kali ampun. Ampun dibawah telapak kaki bunda. Hamba takut mengambil adik di bawah tak lain karena larangan ayah juga. Ayah yang mendidik hamba selama ini."

"Anakku, Mayang," seru Datuk Menaro Kayo kepada Mayang Mengurai yang sedari tadi memperhatikan kedua wanita itu. Tunggu dulu. Jangan engkau ambil adikmu dibawah sana. Ayah akan menyuruh Bujang Selamat menjemput tukang nujum yang berdiam di hulu negeri. Kita lihat apakah adikmu itu benar-benar sial atau celaka, ataukah bertuah dan keramat serta memang berbudi dan berguna bagi kita." Mendengar keputusan ayahnya itu Puteri Mayang Mengurai mengurut dada terisak menangis berpilu-pilu sambil berkata juga. Ia sudah membayangkan bahaya akan segera datang.

"Amboi, dik. Apalah kakak seorang perempuan. Hanya doalah yang dapat kakak kumandangakan. Mudah-mudahan tak suatupun aral dan bahaya, berkat engkau anak bertuah. Panjang  jugalah umurmu. Dahulu kita beradik kakak hendaknya selamanya tetap begitu dan selamatlah engkau, dik! Penderitaan yang engkau alami sekarang rupanya memang jodoh seorang lelaki. Engkau, dik bertuah semula ada, keramat semula jadi.    Mayang Mengurai lalu pergi mengambil uncang beruntai, terus diisinya dengan sirih kuning serta pinang putih. Sementara itu Bujang Selamat telah ada di dekatnya, duduk terhenyak bersimpuh hormat.

"Mana engkau, kakak Bujang Selamat. Aku menyuruh, meminta engkau menemui tukang nujum di hulu negeri. Tak mau, engkau harus juga pergi. Kalau mau, itu benar yang kupinta."

"Benar itu," tukas Datuk Menaro Kayo mengiyakan. "Pergilah engkau segera."

"Insya Allah, tuk. Baik benar itu hamba kerjakan."

Bergegas, berangkatlah Bujang Selamat menuju rumah tukang nujum. Di pihak tukang nujum, ia sudah tahu bahwa Selamat sudah ada di halaman.

"Hei, engkau rupanya Selamat. Dengarkan dulu pantun mempersembahkan menyongsong kedatanganmu.
Cempedak di tepi halaman
Akarnya silang bersila
Jangan lama amat tegak di halaman
Naik ke rumah pesirihan sudah tersedia."
"Insya Allah, tuk. Hamba lama tegak di halaman karena melihat ayam datuk sedang berlaga.

Sang tukang nujum sudah tahu apa yang akan dikehendaki Bujang Selamat. Ia sudah tahu bahwa Datuk Menaro Kayo minta lihatkan nasib serta peruntungan anak lelakinya yang lahir kedunia melalui hal-hal yang hebat. Akhirnya datuk tukang nujum bersama penjemputanya pun bergeraklah menuju negeri Ranah Tanjung Di Bungo. Sesampai di halaman istana raja Datuk Menaro Kayo, nampak oleh datuk tukang Nujum seberkas sinar kuning yang memancar dari anak kecil yang terbaring di bawah rumah. Kedatangan tukang nujum itu disambut dengan semestinya oleh Datuk Menaro Kayo. Diatas rumah sudah tergelar kasur buntak perimping kuning. Bantal gedang pengemban sandar. Bantal guling pengapit sila. Didudukkanlah tukang nujum itu disana. Sebelum tukang nujum itu melihat nujumkan maka dipercayakan kepada Si Kembang Malang.

Hidangan sudah disantap. Sirih sudah pula dikunyah. Petunjuk nujum segera nampaknya akan dimulai. Orang banyak yang hadir di sana tegang berhati cemas. Ibunda permaisuri gelisah menghempas ke kiri ke kanan. Puteri Mayang mengurai memusatkan perhatiannya dari dalam kamar, memasang kupingnya baik-baik.

"Menurut nujum hamba," tiba-tiba tukang nujum itu memulai pembicaraannya. "Anak lelaki datuk yang baru lahir tak baik ditaruh dan disimpan di negeri Ranah Tanjung Di Bungo."

Mendengar keterangan itu semua orang terperanjat. Datuk  Menaro Kayo diam tak bergerak sedikit jua pun. Sebentar suaranya lantang menggema.

"Engkau jelaskan seterang-terangnya kepadaku. Bagiku sudah jelas tak perlu memelihara anak celaka. Jelaskan."

"Kalau ditaruh anak datuk di Renah Tanjung Di Bungo," jawab tukang nujum pula, negeri ini akan punah menjadi abu. Rumah-rumah akan bertiang bertatah arang. Menyemak rumput sambau dihalaman. Negeri akan menjadi bendang gajah liar. Itu tanda negeri akan punah. Harta datuk akan hilang lenyap." Puteri Mayang Mengurai mengatupkan giginya rapat-rapat. Berderik-derik dipergeserkannya. Hatinya serasa terbakar mendengar ucapan tukang nujum celaka itu.


Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Rakyat Sayang Tabuang Bagian 1 Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Rakyat Sayang Tabuang Bagian 1 Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Rakyat Sayang Tabuang Bagian 1"

Post a Comment

Cerita Lainnya