Cerita Si Lancang Bujang Gadung

Cerita Si Lancang Bujang Gadung ~ Di ujung Dusun Pinang Berlarik, bagian Dusun Suko Rami sekarang, tinggallah pada masa dahulu seorang wanita tua bersama seorang anak lelakinya. Tempat tinggalnya itu hanya sebuah pondok buruk. Suami wanita itu sudah lama meninggal dunia. Untunglah ia mempunyai seorang anak, yang dapat menghibur hatinya yang kosong. Ia tak mengerti apa sebabnya suaminya meninggal yang menjadi tali tempat bergantung. Kala itu, saat suaminya meninggal dunia, anaknya baru berumur setahun. Kini anak itu sudah besar, sudah berumur tiga tahun.

Pada usia tiga tahun, anak lelakinya itu sangat banyak makannya. Karena mudah diperoleh, maka makanan yang sering dimakan kedua orang itu ialah gadung. Bila sudah bersua dengan makanan gadung si anak nampaknya sangat bernafsu makannya. Si ibu tidak marah sama sekali, ia senang melihat anaknya berhal yang demikian. Bahkan si ibu memberi anak itu nama Bujang Gadung. Entah anak itu setuju dengan nama pemberian ibunya itu, entah tidak itu tidak perduli. Yang penting ibu itu nampaknya sudah puas anaknya mempunyai nama. Suaminya sendiri dulu belum sempat memberi nama telah meninggal dunia. Sekarang si ibu telah mempunyai sebutan untuk memanggil anaknya bila diperlukan.Tentu tak kalah dengan orang lain, yang masing-masing anaknya mempunyai nama sendiri-sendiri.

Untuk hidup anak beranak, ibu itu setiap harinya mengambil upahan, seperti merumput ladang orang, menumbukkan padi, dan banyak lainnya lagi. Kalau kebetulan upahan itu sedang tak ada, wanita janda itu pergi ke hutan meramu gadung. Gadung memang banyak dan mudah ditemukan di dalam rimba. Tumbuhan ini tak pula ditanam orang. Hanya tumbuh liar tanpa penjagaan. Binatang hutan, biasanya tak berani memakan gadung ini karena racunnya dapat mematikan. Oleh sebab itu tumbuhan ini mempunyai musuh atau hama apa pun. Wanita ini tentunya tahu sungguh bagaimana mengolah gadung sehingga kalau dimakan tidak memabukkan. Begitulah pekerjaan wanita itu setiap hari demi sesuap pagi sesuap petang.

Kini anak lelaki itu sudah besar. Ia sudah berumur sepuluh tahun. Kemana saja ibunya pergi, kesana pula ia turut serta. Ke ladang ibunya mengambil upahan merumput, ia telah pula ada disana. Ibunya mencari kayu api. Bujang Gadung tentulah ikut pula. Begitulah yang diperbuatnya setiap hari. Sampailah akhirnya Bujang Gadung berusia empat belas tahun. Mungkin karena sudah besar itu, timbul dalam pikirannya untuk pergi merantau ke negeri orang. Ia sudah tak puas dalam keadaan yang menjemukannya itu. Seolah-olah hidupnya tak berujung tak berkesudahan. Pikiran ini tentu biasa dijumpai dalam diri seorang anak seusianya. Pikirannya itu akhirnya disampaikannya juga kepada ibunya. Waktu itu kedua anak itu sudah selesai makan malam.

"Mak!" katanya kepada ibunya. "Kalau seperti ini terus menerus apalah ' kan jadinya nasib kita. Akan tetap seperti inilah nasib kita sampai akhir hayat."

"Apa maksudmu" Bujang Gadung lemah. "Dari pada seperti ini terus dan baiknya hamba mencoba-coba nasib dirantau orang. Hamba hendak mencoba-coba menanam numbang, untung-untung berbuah. Kalau menjadi sabut biar terapung. Tapi kalau batu biar tenggelam.

Mendengar cakap anak lelakinya tersebut, wanita itu sangat terkejut. Tak disangkanya pikiran anaknya akan sejauh itu besar. Ia mulai menangis, makin lama makin keras. Tersedu-sedu mengingat akan berpisah dengan anak yang dicintai. Dengan keadaan yang demikian dicarinya juga akal untuk menghalang-halangi maksud anaknya itu.

"Amboi, Nak, Bujang Gadung," kata ibunya kepada anaknya Bujang Gadung disela sedu sedangnya. "Kalau engkau pergi, dengan siapa pula ibu tinggal? Siapa kawan emak berbincang-bincang? Siapa yang akan mengurut kepala mak dikala terasa pening?

Mencari obat bila mak sakit? Engkau adalah anak emak satu-satunya. Engkau masih terlalu kecil, nak. Pekerjaan apa yang sanggup engkau kerjakan?"

Bujang Gadung nampaknya tak terpengaruh dengan ucapan emaknya itu. Hatinya sudah sangat keras untuk tetap melaksanakan niatnya pergi merantau. Maka dalam hal yang demikian dicobanya juga membujuk ibunya.

"Mak!" katanya kepada ibunya. "Kini beginilah..., Boleh oleh Mak hamba akan pergi, karena memang demikian yang hamba pinta. Tapi bila tak boleh oleh Mak, hamba akan pergi juga. Doakanlah semoga hamba selamat saja!.    

Melihat sikap anaknya yang demikian, terpaksalah wanita itu mengalah. Untuk melepas keberangkatan itu tak lupa ia memberikan nasihat yang penting-penting untuk bekal anaknya.

"Kalau demikian, baiklah," jawab ibu itu. "Tapi dengarkan pesan emak. Nanti, bila engkau sudah sampai dirantau orang, maka hendaklah berkata dibawah-bawah, mandi dihilir-hilir. Tirulah ilmu padi, makin berisi makin merunduk. Dan jika umur kita sama panjang. jelanglah emakmu ini!"

"Kalau hal yang demikian, percayalah Mak dengan hamba. Takkan hamba lupakan Emak sampai hayat hamba. Percayalah kepada hamba, Mak!" kata anaknya.

"Nah, jika engkau akan berangkat siapa yang akan menjadi temanmu di perjalanan?"

"Hamba akan pergi sendirian," jawab Bujang Gadung tegas. "Hamba hendak naik kapal. Biasanya ada kapal yang singgah di negeri kita ini."

Tiga hari kemudian, untung bagi Bujang Gadung, datang sebuah kapal dagang ke negerinya. Mendengar ada kapal yang datang cepat-cepat Bujang Gadung memberitahukannya kepada ibunya. Sambil memberitahukan kedatangan kapal itu, ia pun minta diri sekaligus. Bahkan ia sudah pula mengutarakan niat hatinya untuk mendapat pekerjaan di kapal itu. Untung baik baginya nakhoda kapal itu menerimanya dengan segala senang hati. Di atas kapal, Bujang Gadung mengemukakan kepada nakhoda agar ia dapat diterima sebagai pekerja baru. Sebenarnya tak ada lowongan sedikit jua pun diatas kapal itu bagi pencari kerja seperti Bujang Gadung. Tapi melihat kesungguhan anak itu timbul hiba dan kasihan dalam diri nakhoda kapal. Maka diterima jugalah Bujang Gadung sebagai pekerja baru, yakni sebagai pembantu tukang masak.

Rupanya kapal itu dalam kegiatan perdagangan selanjutnya tak lagi melakukan perdagangan ke negeri Bujang Gadung. Kapal itu telah mengalihkan kegiatannya ke tempat lain. Oleh sebab itulah Bujang Gadung tak pernah lagi bersua dengan ibunya. Selama Bujang Gadung bekerja di kapal itu nakhoda yang mempunyai kapal itu silih berganti mendapat untung. Kalau semula ia hanya mempunyai sebuah kapal, kini ia sudah mempunyai dua buah kapal. Terakhir kapalnya sudah tujuh buah. Tak terasa Bujang Gadung tumbuh menjadi sedewasa lagi pula gagah bukan main. Ia bekerja sangat rajin  dan menyenangkan hati sang nakhoda si empunya kapal itu. Tak mengherankan kalau ia kemudian diangkat sebagai anak. Nakhoda itu sendiri tak mempunyai anak, jadi tepat sekali apabila Bujang Gadung, pemuda yang telah tumbuh menjadi dewasa itu diakui dan diangkatnya sebagai anak. Mulai saat itu segala urusan dagang diserahkan kepada Bujang Gadung. "Bujang!" kata nakhoda itu suatu hari, kepada Bujang Gadung.

"Engkau telah menjadi anak kami sendiri. Kepada engkaulah  segala urusan kami serahkan. Aku sendiri sudah tua, dan tak merasa kuat lagi. Kendalikanlah ketujuh kapal kita. Lakukanlah perdagangan sebagaimana yang baik. Engkau menurut penglihatan kami sudah cukup mampu dalam mengendalikan perniagaan kita." katanya selanjutnya.

Semenjak itu Bujang Gadung, anak saudagar tersebut, mulailah berdagang kemana-mana. Ia bahkan jauh berniaga sampai ke negeri Cina. Hindustan, dan Johor. Dan banyak lagi negeri yang dijelajahinya dengan armada dagangnya. Setiap berlayar selalu ketujuh kapalanya dibawanya. Sebuah di antaranya dijadikannya sebagai induk, pusat kegiatan, seperti keadaan sekarang sebuah perkantoran terapung yang setiap saat bergerak bersama-sama armada niaganya. Tak mengherankan harta kekayaan Bujang Gadung sangat cepat membesar. Hidupnya sudah sangat mewah. Anak buahnya lebih dari cukup. Ia tinggal memerintah  saja, maka segala kegiatan terlaksana dengan lancar.

Bagaimana dengan ibunya? Tentang ibunya, tak usah dikirimi belanja, teringat pun tidak lagi oleh Bujang Gadung. Ibunya ini ternyata sudah tua renta. Bila ada orang yang lewat dan hiba hatinya, maka pada saat itu diberilah makanan. Kalau tak ada, maka laparlah yang dideritanya. Pendek kata hidupnya bergantung kepada belas kasihan orang sekampungnya. Ia mulai beragak-agak untuk pergi ke sana. Dalam pikirannya terlintas wajah ibunya,yang menurutnya kemungkinan hidup sangat tipis. Untuk itu ia bermaksud untuk berkunjung ke negeri kelahirannya itu. Maka berangkatlah Bujang Gadung naik kapal Lancang Gadung ke negerinya. Sudah tentu anak buahnya dibawanya serta.

Sesampai di dusunnya. Dusun Pinang Berlarik, singgahlah kapal itu tadi. Begitu kapal itu singgah, orang berkerumun di atas tebing ingin menyaksikannya. Berita tentang kedatangan kapal itu tersebar dengan cepat ke pelosok dusun. Orang makin ramai saja berdatangan ingin menyaksikan kapal itu. Berita kedatangan kapal ini tak luput dari pendengaran ibu Bujang Gadung yang sudah tua renta itu. Seseorang yang kebetulan lewat di depan pondoknya segera ditanyainya. Rupanya orang itu baru saja kembali dari pelabuhan melihat kapal yang datang itu.

"O, Anak yang sedang lewat!" katanya kepada orang itu."Mengapa gerangan ramai benar orang berlalu lalang di negeri kita ini?"

"Itu, Nek!" jawab orang itu. "Orang-orang tersebut hendak melihat sebuah kapal yang sedang berlabuh di tepian."

Entah mengapa, mendengar cakap orang tersebut, hati perempuan itu berdetak keras. Mungkinkah itu gerangan kapal anaknya? Anaknya yang telah merantau selama lima belas tahun? Dengan terbungkuk-bungkuk berjalanlah perempuan tua itu menuju tepian tempat kapal tersebut berlabuh. Sesampai di pinggir tebing sungai ia berpapasan dengan seorang awak kapal yang baru berlabuh itu. Maka diberanikannya dirinya bertanya kepada orang yang belum dikenalnya tersebut.

"O, Nak! Siapa Nak yang empunya kapal itu," tanya orang tua itu.

"Yang empunya kapal itu seorang saudagar muda bernama Tuan Bujang," jawab orang yang ditanyai. Mendengar jawab orang tersebut hati orang tua itu makin berdetak keras. Itu pasti anaknya, demikian menurut kata hatinya.

"Adakah engkau lihat bekas luka di Kepala Tuan Bujang itu?" tanya pula tak sabar.

"Ada!" jawab orang itu singkat." Ada pautan apa nenek dengan dengan bekas luka Tuan Bujang?" Bekas luka itu menandakan anakku." kata orang tua itu pula.

Anak kapal itu segera berlalu dari sana. Ia sedikit pun tak percaya akan omongan orang tua itu. Tuang Bujang sendiri tak pernah menyebut-nyebut bahwa ia mempunyai ibu. Lalu anak kapal itu tertawa dalam hatinya. Ia menilai wanita tua itu sudah tak waras lagi. Sesampai dikapal diceritakannyalah semua yang baru saja dialaminya. Sejenak Tuan Bujang termenung. Namun kemudian terdengar suaranya.

"Pergi jemput orang tersebut dan bawa ke mari!" perintah kepada anak buahnya itu. Anak kapal itu pun segeralah menjemput wanita tua yang dijumpainya tadi. Wanita tua tersebut dibawanya ke hadapan Tuan Bujang. Sesampai di hadapan Tuan Bujang wanita itu lama menatapnya. Dan sebentar kemudian ia berlari menubruk lelaki yang dipercayainya anaknya. Tetapi lelaki itu menghindar sehingga wanita tua itu jatuh tertelungkup. Lelaki itu merasa sangat malu terhadap teman-teman serta anak buahnya. Wanita setua dan seburuk itu tak pantas sebagai ibunya. Ia seorang kaya lagi gagah pula. Pakaiannya saja wanita itu compang-camping.


"Bawa wanita ini ke darat!" katanya kepada anak buahnya. "Berikan uang ini!" Anak buahnya segera mengambil uang itu, dan bersama-sama menggotong wanita itu memandang sejurus  kearah kapal lancang Gadung. Hatinya dirasanya tidak menaruh iba lagi. Bagaimana pun ia sudah pasrah menerima nasibnya yang amat malang.

"Anak tak memerlukan uang?" katanya kepada para anak kapal yang berdiri di dekatnya. "Aku hanya igin bersua dengan anakku. Tapi kalau dia tak hendak mengakui aku ini ibunya, aku tak  memaksanya. Biarlah," katanya.

Awak kapal telah kembali ke kapal. Nampak kapal itu mulai akan bergerak. Di darat si ibu menengadahkan tangannya menuntut keadilan Tuhan.

"Kalau benar orang itu anakku dan Engkaulah yang akan menghukumnya, maka hukumlah dengan hukuman yang berat!" doanya. Maka sebentar itu juga, kapal yang telah melaut itu segera tenggelam. Di tempat kapal itu tenggelam muncul batu napal menyerupai kapal. Menurut kepercayaan orang, kapal itu adalah Bujang Gadung yang dikutuki ibunya. Batu napal itu sampai saat sekarang bernama napal perahu Lancang Gadung. Sedangkan Bujang Gadung menurut cerita menjadi seekor ular naga penghuni teluk yang terdapat di bagian hulu napal tersebut.

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Si Lancang Bujang Gadung Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Si Lancang Bujang Gadung Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Si Lancang Bujang Gadung"

Post a Comment

Cerita Lainnya