Si Nam Berenam, Bertujuh Dengan Puteri Bungsu

Alkisah Rakyat ~ Pada zaman dahulu daun kelapa tidak seperti sekarang yang bercerai-berai. Menurut kisahnya daun kelapa itu sama dengan daun pinang yang melebar saja tanpa terpisah-pisah. Namun oleh ulah seorang dewi kayangan yang berhiba hati karena berpisah dengan seorang temannya untuk selama-lamnya telah menghentakkan kakinya sekuat-kuatnya sehingga daun kelapa itu terpisah-pisah seperti sekarang. Suatu perlambang perpisahan yang takkan pernah bersua kembali. Kisahnya bermula dari seorang yang bernama Putri Bungsu, isteri seorang raja yang amat kaya. Pada saat itu Puteri Bungsu ini sedang hamil. Dalam keadaan hamil itu, baginda raja bermaksud hendak pergi berlayar. Tentu saja permaisurinya, Puteri Bungsu, harus tinggal. Puteri Bungsu mempunyai enam orang saudara, semuanya perempuan. Panggilan untuk keenam kakaknya Si Nam. Oleh Baginda Raja, puteri yang berenam ini disuruh untuk menjaga Puteri Bungsu selama beliau bepergian.


Raja telah pergi berlayar. Puteri Bungsu yang sedang hamil tadi dijaga oleh kakaknya yang berenam. Suatu hari kakak permaisuri yang berenam ini mengajak Puteri Bungsu pergi mencari rumbai. Sebenarnya, Si Nam yang berenam, telah bermufakat untuk membunuh adiknya yang mereka benci semenjak lama. Semua niat jahat tersebut tentu dapat dilakukan di dalam hutan. Dengan demikian perbuatan mereka takkan diketahui oleh siapa pun. Untuk itu adik mereka itu harus dibujuk supaya bersedia turut serta bersama mereka.

"Dik!" kata kakaknya yang berenam kepada Puteri Bungsu.

"Marilah bersama kami pergi mengambil rumbai. Engkau tentu takkan lama lagi melahirkan. Orang melahirkan harus menggunakan tikar cukup banyak."

"Bagaimana hamba akan turut bersama kakak," jawab Puteri Bungsu memohon kepada kakaknya yang berenam. "Hamba tak kuat lagi berjalan jauh. Tengok dan rasakan sendirilah keadaan hamba ini."

"Itulah, Engkau," seru kakaknya yang berenam serentak. "Ada ada saja alasan yang engkau katakan." Hari itu mereka tak jadi berangkat. Namun esok harinya Si Nam yang berenam ini mengulangi lagi bujukan mereka supaya permaisuri raja, adik mereka itu, dapat diajak serta mencari rumbai. Mereka sudah bertekad, kesempatan yang paling baik untuk membunuh adik mereka ialah ketika raja tak ada.

"Dik, ayolah kita pergi!" kata kakaknya yang berenam keesokan harinya. "Kami saja tak mampu mengambil rumbai ini ditengah-tengah rimba itu. Bukankah rumbai yang akan kita ambil nanti untuk keperluan engkau juga?" bujuk mereka. Tapi nampaknya Puteri Bungsu masih juga tak hendak. Ia berusaha mencari-cari akal supaya kakaknya tak mengikutsertakan dirinya yang sedang hamil itu. "Hamba tak mempunyai parang," kata Puteri Bungsu mencoba meyakinkan kakak-kakaknya.

"Kalau engkau tak mempunyai parang, parang kami kan ada," balas kakaknya pula. "Biarlah nanti kami yang akan mengambilkan. Engkau duduk sajalah nanti disana. Yang penting engkau harus ikut. Di rumah siapa nanti yang akan menjagamu." Puteri Bungsu terdesak, tak dapat berkelahi lagi. Maka dipaksakannya jugalah mengikuti kehendak kakak-kakaknya walau pun keadaan dirinya tak memungkinkan untuk berjalan jauh.

Sesampai di tempat orang biasa mengambil rumbai, ditengah hutan, kakak-kakaknya telah sibuk dengan pekerjaan mereka. Sementara itu Puteri Bungsu duduk sambil menahan rasa sakit yang mulai mengentak-ngentak di sekitar pinggangnya. Ia mencoba duduk agak ke pinggir sungai. Timbul rasa penyesalan dalam dirinya, kenapa ia hendak memperturutkan ajakan kakak-kakaknya itu. Sementara itu kakak puteri yang berenam, siap melaksanakan rencana mereka. Mereka mulai mendekati puteri Bungsu.

"Engkau sedang mengapa gerangan?" tanya Si Nam yang berenam kepada adiknya Puteri Bungsu yang nyata benar sedang bergulat menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. "Bukankah tujuanmu datang kemari untuk mengambil rumbai? Kalau hanya untuk duduk, lebih  baiklah di rumah saja," kata mereka antara terdengar dengan tiada.

"Ai, kok itu benar yang engkau perkatakan," seru kakaknya pula. "Nah, ambillah parang ini! Agak kesana banyak rumbai yang baik-baik." Dengan susah payah pergilah puteri tadi ke tempat yang ditunjukkan kakaknya.

Si Nam yang berenam makin dekat juga ke tempat Puteri Bungsu yang sedang mengambil rumbai. Ia tertatih-tatih disela-sela rumpun rumbai. Tak berapa lama kemudian serempak Si Nam berenam tadi mendorong puteri masuk sungai. Dan bersamaan dengan itu iapun melahirkan. Si Nam cepat-cepat mengambil bayi Puteri Bungsu kemudian bergegas meninggalkan tempat itu kembali ke rumah. Puteri Bungsu terbenam masuk sungai. Selang beberapa hari kemudian mayatnya nampak muncul ke permukaan sungai dalam keadaan sudah gembung. Di kayangan para dewa amat gusar akan ulah manusia diatas dunia. Permusuhan yang tak mengenal batas berkecamuk diantara mereka. Yang paling keji ialah pembunuhan. Para dewa yang dari semula mengikuti gerak-gerik Si Nam yang membunuh adiknya sendiri, merasa tak tega membiarkan Puteri Bungsu dalam kesengsaraan yang luar biasa. Mayatnya tak terurus sedikit pun jua. Terdengarlah dewa tertua diantara para dewa itu berkata kepada anaknya seorang dewi.

"Coba engkau tengok!" kata dewa tersebut kepada anaknya yang sedang asyik melihat kejadian yang menimpa Puteri Bungsu.

"Puteri Bungsu nampak olehmu dalam keadaan yang sedang sengsara. Tidakkah engkau merasa kasihan? Turunlah engkau segera ke bumi dan bawalah puteri yang sengsara itu ke kayangan!" kata dewa itu. Mendengar titah ayahnya dewi yang cantik lagi bijkasana itu langsung menyembah kemudian terbanglah secepatnya ke bumi. Sesampai di tempat Puteri Bungsu, ia pun mengambil mayat Puteri yang malang itu diobatinya dan dapat hidup kembali. Tanpa membuang waktu, dewi kayangan tersebut segera membawa Puteri ke kayangan.

Akan halnya bayi perempuan Puteri Bungsu yang telah diambil Si Nam yang berenam, sesampai di rumah diletakkan diatas abu, di antara tungku yang tak berapi. Sebentar saja tubuhnya yang masih merah penuh disaputi debu. Tetapi untunglah ia tak mendapat cedera sedikit pun. Memang sangat keterlaluan perbuatan Si Nam yang berenam. Anak kecil yang tak tahu menahu diperlakukannya denga tak semena-mena. Lama-kelamaan anak Puteri Bungsu pun besarlah. Kendati pun hidupnya amat tersiksa, namun pertumbuhannya tak terhalang sedikit pun. Ia dapat melewati masa-masa gawat sebagaimana biasanya anak kecil hingga ia pandai berjalan. Setelah ia besar pekerjaan yang diberikan kepadanya oleh Si Nam yang berenam ialah menumbuk padi di bawah rumah. Pekerjaan itu dilakukannya tanpa membantah. Badannya tumbuh terus diiringi kelentang-kelentung bunyi alu yang beradu dengan lesung. 

"Nak!" sapa Puteri Bungsu kepada anaknya. Berat benar pekerjaan yang engkau lakukan. Siapa yang menyuruhmu melakukan pekerjaan ini?"

"Hamba menumbuk, bila persediaan beras sudah habis!" jawab anak perempuan itu seadanya. "Bila hamba tak mengerjakan pekerjaan ini hamba akan dibunuh oleh Si Nam yang berenam. Hamba takut."

"Engkau jangan takut, Nak!" kata Puteri Bungsu kepada anaknya. "Ketahuilah olehmu, yang berdiri di hadapanmu ini ialah ibu kandungmu." Sebentar kemudian ibu dan anak itu tenggelam dalam penglepasan kasih sayang. Mereka berpeluk, berciuman sepuas-puasnya. Ketika waktu untuk berangkat sudah pula tiba, Puteri Bungsu menyerahkan beras kepada anaknya, sehingga anaknya tak perlu lagi menumbuk, yang berarti pula terbebas dari pekerjaan berat. Demikianlah dilakukannya berkali-kali, bila suara kelentang-kelentung menyerunya supaya turun ke bumi. Terbatas pulalah anaknya dari pekerjaan berat. Akhirnya raja pulang dari berlayar sesudah sekian lama tak balik-balik. Karena raja sudah balik Si Nam yang berenam cepat-cepat menyiapkan anak tikus sebanyak sembilan ekor. Kesembilan anak tikus yang menjijikkan itu ditaruh mereka di dalam sebuah kotak. Mereka akan mengatakan kepada raja bahwa kesembilan anak tikus itu adalah anak yang dilahirkan Puteri Bungsu.

"Nam!" kata raja kepada Si Nam yang berenam. "Aku tak melihat Puteri Bungsu diantara kalian. Dimana gerangan permaisuri berada?"

"Ampun kami Tuanku!" jawab Si Nam yang berenam. "Permaisuri Puteri Bungsu bernasib, malang. Beliau meninggal dunia saat melahirkan. Dan lebih dari pada itu yang dilahirkan Puteri ialah sembilan anak tikus yang tak hendak pula bertumbuh besar. Lihatlah oleh Tuanku di dalam kotak kayu."

Raja sangat marah dan hatinya masygul. Dalam pikiran baginda mana mungkin permaisuri melahirkan tikus. Permaisuri yang pernah bergaul dengannya yang terbaik yang pernah ditemui baginda. Kesemibilan anak tikus itu tak dipercayainya sebagai anaknya. Sampai akhirnya anak tikus itu mati semuanya karena kelaparan tak diberi makan. Oleh Si Nam dibuatkan kuburan untuk anak-anak tikus itu sembilan buah berdekatan dengan kuburan Puteri Bungsu di halaman. Suatu hari raja bertanya kepada Si Nam, "Anak perempuan yang ada di belakang itu, siapa dia gerangan?"

"Anak perempuan itu," jawab mereka serentak, "Dia adalah anak yang kami pungut. Anak serang wanita yang amat melarat hidupnya." Baginda raja makin terbenam dalam kesusahan yang amat sangat. Dalam pada itu tumbuh pikirannya untuk menguji kebenaran ucapan Si Nam beradik kakak. Maka dipanggilnya keenam wanita bersaudara itu dan diperintahkannya mencari induk besi.

"Kalau induk besi itu belum bertemu, kalian belum boleh kembali!" kata raja kepada mereka. Siapakah yang dapat menemukan induk besi? Biasanya yang ada induk sapai, kerbau, atau sejenis binatang lainnya. Bagi manusia biasanya disebut orang ibu. Induk besi terang tak ada. Tentu saja Si Nam bersaudara kembali dengan tangan hampa. Kerena kembali dalam keadaan yang tidak berhasil, raja menyuruhnya pula kembali mencari induk besi. Dalam pada itu, raja, sepeninggal Si Nam bersaudara, mulai menyelidik anak perempuan yatim yang tinggal di istananya. Rupanya bunyi kelentang-kelntung itu sampai ke kayangan terdengar oleh Puteri Bungsu. Mendengar bunyi alu yang bagaikan nyanyian, tak tertahankan hati sang ibu untuk turun ke bumi. Maka berangkatlah ia segera. Tak begitu susah baginya untuk menemukan siapa gerangan yang menumbuk itu. Seorang anak perempuan cantik yang amat sengsara dan tersiksa. Tanpa ragu-ragu Puteri Bungsu mendekati anak perempuan itu, dan langsung menegurnya.

"O, Nak!" sapanya kepada anak yang sedang menumbuk seorang diri dibawah rumah. "Siapa sebenarnya engkau, Nak?"

"Hamba seorang anak yatim piatu!" jawabnya berterus terang tanpa takut-takut. "Kabarnya ibu hamba telah lama meninggal ketika kelahiran hamba. Sedangkan ayah hamba tak tentu pula kemana perginya." Puteri Bungsu mendengar ucap anak itu merasa dirinya hendak rebah. Hatinya merasa diiris-iris. Tapi untunglah ia masih dapat menguasasi diri. Ingin pada saat itu juga ia hendak mengambil anak itu. Namun keinginannya diurungkannya. Dari jauh terdengar suara Si Nam yang berenam menuju ke tempat mereka. Ambillah beras ini cepat!" kata Puteri Bungsu kepada anak perempuan tersebut. Kemudian ia pun membubung naik lagi kekayangan. Sesampai di kayangan diceritakanlah oleh Puteri Bungsu apa yang telah dialaminya di bumi. Dan diceritakan pula bahwa anak itu adalah anaknya.

Tak berapa hari kemudian bunyi kelentang-kelentung telah terdengar pula. Ini menandakan anaknya telah pula menumbuk dibawah rumah gedang. Mendengar itu segeralah Puteri Bungsu bersigegas turun ke bumi. Didapatinya anak perempuan tersebut sedang melakukan pekerjaannya, yang seharusnya belum kewajibannya memikul tugas yang seberat itu. Makin diperhatikannya makin jelas bahwa roman muka anak perempuan itu mirip benar dengan Puteri Bungsu. Pada saat itu anak sedang menumbuk, raja mengintainya dari atas dengan hati-hati. Saat itu dilihatnya seorang wanita datang ke tempat anak tersebut dan menyerahkan beras. Rupa wanita yang datang itu tak ubahnya seperti Puteri Bungsu, permaisuri raja yang dikatakan oleh Si Nam yang berenam, telah meninggal. Mulai saat itu raja bertekad untuk menanyai anak perempuan itu. Esoknya dipanggilnyalah anak perempuan tersebut menghadapnya. Setelah anak itu berada di hadapannya ditanyailah, "Engkau ini siapa sebenarnya, Nak?"

"Entahlah, Tuanku," jawab anak itu. "Tak mungkin hamba bertutur bercerita kepada Tuanku," nanti kalau Si Nam tahu hamba tentu dimarahinya. "Namun raja tetap mendesak agar anak perempuan itu bersedia mengatakan rahasia yang sebenarnya tentang dirinya." Karena sudah tak ada jalan lain untuk mengelak, dengan takut-takut mulailah diceritakannya siapa dirinya yang sebenarnya.

"Hamba," katanya kepada raja," adalah seorang anak dari seorang ibu yang bernama Puteri Bungsu. Tapi sayang ibunda hamba itu sudah meninggal dunia dibunuh oleh Si Nam yang berenam. Kala itu hamba hampir lahir, ketika ibunda ditolakkan oleh Si Nam yang berenam masuk sungai. Ibu berguling-guling dilereng tebing sungai, dan hamba pun lahir."

"Sungguh keterlaluan," desis raja, diiringi suara generetak gigi yang dipergeserkan."Jadi engkau adalah anak raja kalau demikian. Maka ketahuilah olehmu bahwa raja tersebut ialah aku," sabda Raja serentak dengan berakhirnya ucapan raja itu kedua orang itu berdekapan melepaskan rasa rindu masing-masing.

"Kalau demikian hamba masih mempunyai ayah seorang raja dan ibu seorang puteri kayangan," kata anak perempuan itu diantara dekapan ayahnya.

Tak berapa lama kemudian Si Nam yang berenam balik dari perjalanan mencari induk besi. Melihat mereka  sudah kembali dan tak membawa apa-apa, raja menyuruh mereka kembali mencari yang lain. Tapi sekarang yang harus mereka cari ialah permaisuri Puteri Bungsu.

"Bagaimana mungkin kami dapat menemukan Puteri Bungsu yang telah meninggal, Tuanku?" jawab enam wanita beradik kakak tersebut ketakutan.

"Aku tak tahu," jawab raja berang. "Yang harus kalian ingat, apabila Puteri tak kalian temui, kalian akan kupancung." Maka bergegas pulalah keenam wanita itu pergi mencari yang diperintahkan raja. Pergi asal pergi, maklumlah mereka sudah tahu bahwa puteri sudah mereka bunuh. Dan waktu mereka kembali, raja menyongsong dengan kata-kata yang tak dapat mereka bantah sama sekali.

"Kalian rupanya yang telah membunuh Puteri Bungsu," hardik raja yang serentak dengan itu mata pedang baginda melayang-layang memancungi leher keenam wanita tersebut. Matilah Si Nam yang berenam karena kejahatannya sendiri. Dan semenjak itu tinggallah anak perempuan tersebut berdua dengan raja, ayahnya.

Raja menyuruh  pula anaknya menumbuk, dan saat itu Puteri Bungsu telah turun dari kayangan mengantarkan beras. Setelah beras diberikannya, ia pun terbang kembali ke kayangan. Raja terpaku memandang peristiwa yang terjadi. Hasratnya untuk mencegah Puteri Bungsu supaya jangan lagi kembali ke langit amat besar. Tapi sungguh sayang, baginda belum menampak sesuatu lagi. Seketika, timbul dalam pikirannya untuk bermusyawarah dengan anaknya.

"Anakku," katanya kepada anaknya. "Engkau tentu sama dengan ayah, bukan? Ingin supaya ibumu dapat lagi kembali bersama kita di bumi?"

"Ya, ananda ingin agar ibu dapat tinggal bersama kita," jawab anaknya.

"Nah, bagaimana menurutmu agar ibumu tak kembali lagi ke kayangan?" tanyanya.

"Kita cari sebuah kacip pembelah pinang. Ayah tentu dapat mengasahnya tajam-tajam. Dan pinang yang akan dibelah itu nanti ayah licini pula selicin-licinnya. Nanti apabila ibu turun lagi ke bumi, akan kusuguhkan pinang tersebut. Dan saat demikian kita harapkan tangan ibu akan luka. Bila darahnya telah menetes ke bumi, ibu takkan dapat lagi kembali ke kayangan," kata anak itu.

"Sungguh engkau anak pintar," seru raja lalu mendekapnya penuh kasih sayang. 

Kacip  pembelah pinang telah diasah setajam-tajamnya. Buah pinang telah pula dilicini, selicin-licinnya. Esoknya anak raja itu mulai menumbuk. Ketika suaranya terdengar sampai di kayangan, Puteri Bungsu bergegas pula turun ke bumi. Sebentar saja anak dan ibu telah bersua. Sedangkan baginda raja memperhatikan dengan harap-harap cemas.

"Nak!" kata Puteri Bungsu kepada anaknya yang sedang menumbuk. "Kapankah engkau dapat terbebas dari tugasmu yang maha berat ini?.

"Telah selama ini bunda turun naik, tapi belum pernah ananda perbasakan pinang sebuah. Sekali ini ananda mengharapkan dengan sangat bunda suka mencicipi pinang agak sebuah." Lalu anak perempuan itu memberikan pinang beserta kacip pembelahnya. Tapi pinang serta kacip itu tak segera diambil oleh Puteri Bungsu.

"Bunda takut, nak! Nanti tangan bunda terluka," katanya. "Takkan terjadi sesuatu seperti yang bunda duga! Ambillah pemberian ananda yang sekali ini. Sudah ibu bunda takkan kembali lagi ke bumi tak menjadi  soal amat bagi ananda," mohon anaknya.

"Amboi, anakku," jawab Puteri Bungsu pula dengan perasaan sedih. "Janganlah engkau berkata sedemikian benar. Sorongkanlah tanganmu boleh kuambil pinangmu," Maka anak perempuan itu pun menyorongkan tangannya dan Puteri Bungsu mengambil pinang beserta kacipnya dan segeralah dibelahnya. Tapi baru saja mulai, mata kacip yang tajam menggelincir mengenai jarinya. Darah menetes membasahi bumi. Saat itu sadarlah Puteri Bungsu, ia mengembangkan kedua tangannya. Badannya terasa berat. Dicobanya juga terbang, tetapi jatuh kembali. Dicobanya sekali lagi, ia hanya sampai di daun kelapa. Tiba-tiba serombongan Puteri dari kayangan nampak mengelilingi Puteri Bungsu yang sudah tak berdaya itu.

"Sudah berulang-ulang kami katakan, bahwa apabila engkau turun ke dunia harus berhati-hati. Darahmu telah tertetes ke bumi, engkau takkan dapat lagi kembali ke kayangan. Tingagallah engkau sahabat! Suamimu dan anak perempuanmu telah menanti." Selesai salah seorang puteri kayangan itu berbicara, semua mereka bertangis-tangisan. Namun kemudian rombongan puteri kayangan itu segera terbang meninggalkan Puteri Bungsu. Puteri kayangan  yang berbicara tadi menghentakkan kakinya kuat-kuat, maka kelapa yang lebar bercerai - berai. Hingga kini lihat daun kelapa terpisah-pisah.

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Si Nam Berenam, Bertujuh Dengan Puteri Bungsu Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Si Nam Berenam, Bertujuh Dengan Puteri Bungsu Sebagai sumbernya

0 Response to "Si Nam Berenam, Bertujuh Dengan Puteri Bungsu"

Post a Comment

Cerita Lainnya