Puteri Bungsu Bersuamikan Kambing

Puteri Bungsu Bersuamikan Kambing ~ Tersebutlah seorang raja yang senang memelihara kambing. Hewan peliharaan baginda itu cukup banyak. Diantara kambing peliharaan baginda ada seekor yang sudah tiga hari tak hendak makan dan tak hendak minum. Melihat ada diantara kambingnya yang berhal demikian pergilah baginda raja mendatanginya. Setelah sampai disana berkatalah baginda, "Engkau inginkan apa gerangan, kambingku. Apakah engkau hendak berniaga, atau hendak berjalan bertamasya. Atau sebenarnya engkau hendak berumah tangga?" Titah raja itu memang sangat lucu. Ini sudah biasa dilakukannya terhadap kambing-kambingnya. Kambing itu semuanya sangat manja kepada rajanya yang baik budi itu."


"Hamba ingin mencoba-coba pergi berjalan, Tuanku!" terdengar jawaban kambing yang diajak bicara tadi.

"Kalau engkau mencoba-coba pergi berjalan," titah raja pula.

"Berapa banyak uang yang engkau kehendaki, boleh aku sediakan." Hamba "Hamba tidak meminta uang, Tuanku !" jawab kambing penuh hormat. Beri saja hamba ambacang agak sebuah dan pisau satu. Keduanya ikatkan dipinggang hamba!" 

"Beri saja hamba ambacang agak sebuah dan pisau satu. Keduanya ikatkan di pinggang hamba!"

"Kalau demikian, baiklah" jawab raja sambil tersenyum. Maka dibekalkan bagindalah kedua macam permintaan kambingnya itu. Setelah kedua barang tersebut diikatkan di pinggangnya, kambing tersebut pun berangkatlah.

Arah perjalanan kambing ialah ke rumah Puteri Enam bersaudara, bertujuh dengan adik mereka Puteri Bungsu. Di dapatinya si enam bersaudara sedang menumbuk. Tanpa takut-takut sang kambing melenggang-lenggok didekat si Enam bersaudara sedang menumbuk padi. Ketika melihat kambing menghampiri mereka salah seorang yang berenam, yang tertua memanggilnya. "Harum benar bau ambacangmu, Kambing!" kata si enam yang tertua.

"Masakkah gerangan?" "Tentu!"jawab kambing yang bersemangat. "Bawa kemari! Boleh kita kupas!" kata puteri itu. Maka diberikanlah oleh kambing kepada puteri yang meminta ambacangnya itu. Tapi baru saja dipegang oleh puteri, kambing segera berkata dengan jenakanya. "Barang siapa yang mengupas dan memakan ambacang hamba, maka dialah bakal menjadi tunangan hamba."

Alangkah terkejut puteri itu mendengar kata sang kambing. Lalu Puteri itu nampak sangat marah dan segera melontarkan kata-kata yang tak enak didengar.

"Aduh,mak!" katanya, "Aku sungguh tak berahi bersuamikan kambing. Sedangkan bersuami manusia belum tentu dapat ditompangi, konon pula kambing," Maka disuruhnya pergi menghadap adiknya yang nomor dua. Ternyata puteri yang kedua ini begitu juga, tak sudi dijadikan tunangan kambing. Begitulah seterusnya dan menyumpah-nyumpahinya.

Dengan perasaan sedih pergilah kambing tadi ke tempat adik puteri yang keenam, yakni Puteri Bungsu. Sesampai disana dilihatnya Puteri Bungsu yang cantik itu sedang asyik menumbuk padi. Mukanya basah oleh keringat. Tapi bila saja ia melihat seekor kambing dan dipunggung binatang itu terikat pula sebilah pisau dan sebuah ambacang segeralah sangat sempurna masaknya."

"Benar dugaanmu," jawab kambing seadanya. "Hamba memang membawa ambacang masak."

"Kalau saja aku dapat mencicipi ambacangmu yang masak itu tentu akan hilang hausku!" kata sang puteri bernada permohonan. "Hamba mahir mengupas ambacang," katanya lagi.

"Kalau memang Tuan menginginkan ambacang hamba ini, silakan! Kupaslah sendiri!" Maka sebentar kemudian ambacang itu sudah berpindah ke tangan Puteri Bungsu. Bungsu, berkatalah kambing tadi memperingatkan.

"Barang siapa yang mengupas dan memakan ambacang hamba berarti dialah bakal menjadi tunangan hamba," kata kambing itu menjebak sang puteri.

"Tak ada salahnya," jawab Puteri  Bungsu meyakinkan, aku bersedia menjadi tunanganmu." Mendengar ucapan sang puteri yang cantik dan anggun tadi, sang kambing bersorak kegembiraan.

Sebaliknya kakak puteri yang berenam sangat  marah mendengar kesediaan adik mereka yang mereka anggap tanpa berpikir lagi telah begitu saja menyatakan kesediaan untuk menjadi tunangan kambing tak tahu malu itu. Lalu dengan kemarahan yang amat sangat mereka memukuli adik mereka sejadi-jadinya. Terlihat betapa menderita Puteri Bungsu dihajari Si Enam beradik kakak itu. Sedang ia dipukuli oleh kakak-kakaknya padi pun habis dimakan ayam.

Sang kambing dengan riang bergegaslah balik mendapatkan raja. Apa yang sedang dialami oleh Puteri Bungsu tak sempat dilihatnya lagi. Setiba didekat raja diberitahukannyalah niatnya hendak kawin dengan Puteri Bungsu. Dalam hal ini raja tak dapat berbuat banyak. Baginda menganggap hal itu hak setiap warga negeri yang diperintahinya. Esok harinya sang kambing pergi pulalah ke rumah Puteri Bungsu. Sesampai disana ia langsung menuju ke bawah rumah sang Puteri.

"Benarkah engkau suka menerima hamba yang hina dina ini. Dik?" katanya mengajuk Puteri Bungsu.

"Sebagaimana hamba katakan kemarin, hamba tak berkeberatan menerimamu sebagai junjungan"' jawab Puteri Bungsu dari atas rumah.

Sang kambing mendengarkan kepalanya memandang kepada Puteri Bungsu. Pandangan mereka beradu. Nyata benar mata sang puteri basah oleh air mata. Ia bukannya menyesal, tapi ia sangat kasihan kepada kambing. Sebaliknya kambing tertunduk merasakan betapa besarnya pengorbanan Puteri Bungsu. Pada saat itu ingin rasanya ia segera membuka kerusung kulit kambingnya. Tapi ketika disadarinya saatnya belum tiba maka ia pun pasrah menyerahkan diri akan takdir sang Mahadewa penguasa jagat raya.

"Tapi apakah kakak-kakakmu tidak marah nanti?" kata sang kambing kepada Puteri Bungsu. "Aku takut kalau-kalau engkau mereka pukuli." "Biarlah!" jawab Puteri Bungsu. Hamba adik mereka." Sekali lagi hati sang kambing terhenyak mengingat keagungan wanita itu. "Kalau demikian kita besok menikah' Kita memotong kerbau secukupnya," kata kambing. "Kalau demikian katamu, baiklah!" jawab Puteri Bungsu. Esok harinya, tanpa diketahui oleh Puteri Bungsu, kambing tadi membakar kemenyan menyeru Datuk Syeh Panjang Janggut raja penguasa negeri Ambang Pintu Langit, raja penguasa para dewa di kayangan.

"Kalau aku benar keturunan Datuk Syeh Panjang Janggut, yang berdiam di Ambang Pintu Langit. Dan aku yang diturunkan ke atas dunia berkat semua itu, maka aku minta turunkan para dewa lengkap sebagai hakim, dan pegawai, serta lengkap dengan alat makan minum. Aku minta nikahkan dengan Puteri Bungsu," demikian do'anya. Maka turunlah para dewa yang menyerupai manusia biasa seperti negeri tersebut.

Mulai pagi orang banyak telah sibuk melakukan tugas mereka masing-masing dalam urusan perkawinan Puteri Bungsu dengan sang Kambing. Sore harinya orang banyak pun kembalilah ketempat mereka di kayangan. Sedangkan yang di bumi telah pula kembali ke tempat masing-masing. Kambing tadi tinggal sendirian dibawah rumah. Makan minum diantarkan oleh istrinya Puteri Bungsu. Akan halnya Si Enam yang berenam makin bertambah rasa benci dan marah mereka kepada adik mereka yang sudah resmi menjadi isteri kambing. Mereka tak segan-segan memukuli Puteri Bungsu. Puteri yang malang itu, walaupun diperlakukan demikian, tetap pendiriannya tak goyah sedikitpun. Cintanya kepada suaminya tak terungkaikan oleh siapa pun. Tak terasa Puteri Bungsu telah pula setahun lamanya bersuami hidup bersama dengan kambing, yang dipanggil sehari-hari dengan sebutan Tuan Bujang. Suatu hari kambing tadi, Tuan Bujang mendatangi isterinya.

"O. Dik!"katanya, kepada isterinya Puteri Bungsu. "Esok siapkan aku bekal nasi. Tolong pula engkau ikatkan di punggungku." "Baiklah!" jawab isterinya. "Tuan Bujang hendak kemana?" tanyanya. "Belum dapat kukatakan," jawab Tuan Bujang. "Aku hendak berjalan-jalan."

Esok harinya, pergilah kambing itu meninggalkan isterinya. Ia berjalan masuk hutan ke luar hutan, yang akhirnya sampai ke suatu rimba yang besar. Di sana ia mengeluarkan kemenyan dan membakarnya. "Berkat aku ini anak Datuk Syeh Panjang Janggut, raja negeri Ambang Pintu Langit, penguasa sekalian dewa aku yang diturunkan ke atas dunia, maka aku minta turunkan para dewa lengkap dengan peralatannya. Aku minta mereka membuatkan tanah pertanian. Aku inginkan huma yang mereka membuatkan tanah pertanian. Aku inginkan huma yang seluas-luasnya," pinta Tuan Bujang itu. Maka sebentar kemudian rimba itu telah penuh oleh para dewa yang menyerupai manusia biasa. Mereka serentak bekerja. Ada yang menebang, ada pula yang menebas. Suara mereka terdengar hiruk pikuk bercampur deru bunyi kayu yang tumbang. Sementara itu Tuan Bujang telah menanggakan kerusung kulit kambingnya, dan menyembunyikannya. Setelah itu ia pun bergabung dengan orang banyak yang sedang bekerja.

Hari itu pekerjaan membuka rimba untuk dijadikan huma telah selesai. Huma itu hanya sedikit, tujuh lurah tujuh pematang, tujuh muara sungai. Sementara itu rupanya di rumah, Puteri Bungsu sejadi-jadinya dipukuli oleh kakak-kakaknya Si Enam yang berenam. "Sedangkan bersuamikan manusia, sukar menggantungkan hidup kita," kata mereka menyerang Puteri Bungsu. "Apalagi engkau bersuamikan seekor kambing' Apa yang engkau harapkan dari binatang tersebut? Orang sibuk berhuma bertanam padi, kalian sehari-harian hanya berdiam diri saja. Sedangkan bekerja membanting tulang kita belum tentu dapat, apalagi hanya bermenung  di rumah berkepanjangan." Mendengar kata-kata kakaknya Puteri Bungsu hanya berdiam diri. Tak berani menyelang sedikit jua pun. 

Adapun Tuan Bujang, karena menebas menebang tadi sudah selesai, kembalilah ke rumah. Di dapatnya isterinya sedang menunggu di atas rumah. Ia sendiri hanya dapat memandang dari bawah. Makanan dan minuman diantarkan isterinya. Beberapa lama sang kambing itu tak pergi-pergi lagi. Si Enam yang berenam makin menjadi-jadi marahnya. Bila diperkirakannya kayu-kayu yang ditebangnya beserta para dewa dahulu sudah kering, sang kambing berencana akan pergi pula ke sana. Esok harinya ia telah memberitahukan hal itu kepada isterinya. Aku akan pergi berjalan-jalan ke rimba, katanya kepada Puteri Bungsu. "berkali nasi, kalau ada' "Nasi tentu ada, "jawab isterinya penuh hormat. "Tuan Bujang hendak kemana pula gerangan?" Hei entahlah, jawabnya singkat.

Setelah bekal itu disediakan isterinya, dan telah diikatkan pula di punggungnya, maka berangkatlah ia dengan segera. Setiba di humanya, kambing telah pula membakar kemenyan, dan langsung menyeru Datuk Syeh Panjang Janggut, ayahnya raja penguasa para dewa di Ambang Pintu Langit. Sebentar kemudian beratus, bahkan beribu dewa dalam wujud manusia biasa telah berkumpul di sana, lengkap dengan alat pembakar dan alat-alat pertanian lainnya. Sangat ramai bunyi mereka bekerja. Kayu-kayu yang telah kering, mulai mereka bakar. Marak api nampak melampaui negeri Raja melihat api disertai asap yang berkepanjangan sehari suntuk, terheran-heran tak mengerti. Siapa gerangan yang  empunya huma selebar itu. Sehari suntuk api marak. Sungguh hebat orang yang empunya. Alangkah kaya orang tersebut, sanggup membuka hutan lebar menjadikan huma seluas itu. Dalam pada itu Si Enam yang berenam sedang sibuk pula dengan huma mereka. Kalau ini siap mereka akan memperlihatkan kepada Puteri Bungsu, betapa orang yang telah berusaha akan mendapat hasil yang banyak. Sudah terbayang di ruang mata mereka kelak adiknya yang bersuamikan kambing itu, datang meminta-minta kepada mereka. Tuan Bujang selesai membakar kembalilah ke rumah. Dan esoknya pula ditanyainya pula isterinya yang ada diatas rumah.

"O, Dik" serunya dari bawah rumah. "Adakah engkau menaruh benih?" "Kalau sedikit, adalah," jawab Puteri Bungsu.

"Kita sudah boleh menugal, menanam benih. Huma kita sudah selesai dibakar," Kata Tuan Bujang.

"Wahai, Tuan Bujang! Maha pula Bujang akan mampu berhuma. Bagaimana pula Tuan Bujang akan dapat bekerja," keluh si isteri. Air mata Puteri Bungsu titik bermanik-manik. Amat hiba hatinya mengenangkan nasib yang menimpa dirinya. Apa daya kalau suami hanya seekor kambing.

"Tak elok engkau berlaku demikian, istriku," jawab sang kambing dari bawah rumah. "Tak apalah, kecilkan huma juga namanya. Yang penting aku telah bekerja membuat huma untuk kita."

Jadi, berangkatlah sang Kambing ke humanya akan menugal menanam benih. Benih yang diberikan isterinya dibawanya juga. Tanah perhumaannya telah terbakar hangus. Nampaknya panas matahari amat sempurna mengeringkan kayu serta daun-daunnya.

Sesayup-sayup mata memandang hanya tanah menghitam bekas terbakar terhampar luas, tujuh lurah tujuh pemantang tujuh muara sungai. Ia pun lalu mengambil kemenyan dan langsung membakarnya, kemudian menyeru ayahnya Datuk Syeh Panjang Janggut yang berdiam di Ambang Pintu Langit, raja para dewa dikayangan. Ia meminta agar dikirim ke atas dunia semua dewa untuk menugal humanya serta menanam benih. Ia juga minta dikirimkan sekalian macam tanaman. Maka mendengar seruannya turunlah dewa-dewa dari kayangan berwujud manusia biasa. Humanya sehari itu juga selesai ditugal dan ditanami benih padi serta berbagai jenis tanaman lain, seperti tebu, ubi, nenas, dan banyak lagi yang lain. Bila pekerjaan sehari itu telah selesai berbaliklah ia kerumahnya. Menjelang padi masak, dan tumbuh-tumbuhan lain dapat diambil sang kambing tak meninggalkan rumah.

Ketika jangkanya sudah tiba, padi sudah masak, serta tanaman lain sudah dapat diambil hasilnya, berkata pulalah kambing tadi kepada isterinya Puteri Bungsu untuk melihat humanya. "Aku hendak pergi pula melihat huma kita" kata kambing dari bawah rumah kepada isterinya diatas rumah.
"Kalau demikian, pergilah!" jawab isterinya.

Dilihatnya, benar saja padi sudah masak, menghampar luas merunduk tandanya berisi. Ia pun lalu membakar kemenyan mohon minta bantuan para dewa di kayangan. Tak berapa lama kemudian yang diserunya pun turunlah ke atas dunia. Hari yang sehari itu dapat dituai empat bidang di empat pematang, empat muara sungai. Empat buah lumbung padinya penuh semuanya. Sesudah itu ia pun berbaliklah.

Esoknya, berkatalah ia kepada isterinya. "Dik, kalau engkau hendak melihat huma kita, ayolah kita pergi. Padi kita sudah masak. Separohnya sudah dituai. Ajak pulalah Kak Enam. Aku dengar padi mereka hampa semuanya." Mendengar itu pergilah Puteri Bungsu ke rumah kakak-kakaknya mengajaknya menuai di humanya.

"O, Kak Enam!" katanya kepada kakaknya. "Apakah kakak tak ada kesibukan hari ini? Kalau tak ada, ayolah kita ke talang pergi menuai ke huma kami!"

"Ai, Mak!" jawab kakaknya yang tua. "Aku tak ingin sedikit jua pun. Berapa benarlah gerangan luas huma seekor kambing.  Orang bersuami manusia tak jua dapat ditompangi, apalagi sepertimu ini bersuami kambing."

"Tak apalah, Kak Enam?" sela Puteri Bungsu pula. "Marilah kita tengok dahulu. Bawalah sekalian alat-peragat kakak."

Akhirnya bersedia jugalah keenam kakaknya untuk melihat huma adiknya. Ditengah perjalanan tak henti-hentinya keenam wanita itu mengomeli adik mereka. Namun setelah sampai alangkah tercengang mereka menyaksikan betapa luas huma Puteri Bungsu. Untuk mengimbangi keheranan, mereka mencoba bertanya itu, ini kepada Puteri Bungsu.

"Itu, yang disana huma siapa itu. Dik?" kata yang tertua bertanya kepada Puteri Bungsu. "Huma kami, Kak" jawab adiknya.

"Itu yang bertuai? tanya dia lagi. "Juga huma kami," jawab adiknya.

Sementara itu dari tengah huma sang kambing memperhatikan segala gelagat si Enam yang berenam. Tiba-tiba ia berseru kepada mereka. 

"Ooo, kakak yang berenam' Apa yang akan kakak inginkan. Ia lakukanlah' Kalau hendak makan tebu, tebanglah' Hendak ubi ambillah' suara kambing makin dekat ke pondok tempat ketujuh wanita beradik kakak itu berbincang. "Tapi sebuah syarat yang harus kakak patuhi, kalau ditebang atau dicabut jengan dibunuh!"

"Aneh benar!" terdengar Si Enam yang berenam serempak. "Bagaimana mungkin, Kambing! Tebu ditebang tidak boleh dimatikan?" tanya mereka lagi.

"Ya, itulah syaratnya," jawab kambing jenaka. "Kalau seharusnya!" Si Enam bersaudara terdengar marah-marah.

"Tak masuk diakal kami," kata mereka pula. Bagaimana mungkin tebu ditebang tak boleh dimatikan, ubi digali tak boleh dibunuh, atau nenas diambil tak juga boleh dibinasakan."

Namun akhirnya karena wanita itu merasa tersudut. Dan untuk menenangkan pikiran bertanya jugalah mereka tentang hal lain. Yang bertindak sebagai juru bicara tentu wanita yang tertua itu juga.

"Ini, yang kami tempati sekarang, pondok siapa?" tanyanya.

"Pondok kami, Pondok siapa pula lagi," jawab Tuan Bujang.

"Itu, yang disana itu, pondok siapa?" dia bertanya lagi.

"Juga pondok kami," jawab kambing pula.

"Huma yang di sana itu, huma siapa!"bertanya lagi Si Enam yang tertua.

"Huma kami," jawab kambing.

"Yang belum dituai di sana, yang jauh itu?" tanya mereka lagi. "Ya, juga huma kami," jawab kambing selanjutnya.

"E, e, banyak benar huma dan pondokmu, Kambing?" balas si Enam  penuh rasa dongkol.

"Tak begitu banyak!" jawab kambing ingin lebih menyudutkan keenam wanita itu. "Hanya tujuh lurah tujuh pematang, tujuh muara sungai." Kini barulah keenam wanita itu tahu siapa sang kambing itu sebenarnya. Rupanya kambing itu bukan sembarang kambing, tapi seekor kambing keramat.

Sesudah lama berhal demikian, dan setelah derasnya keenam wanita itu tunduk, kambing pergi menjauh dan diam-diam mengambil kemenyan dan terus membakarnya. Sebentar saja para dewa telah pula turun keatas dunia memenuhi huma kambing tersebut. Mereka tak ubahnya sebagai manusia biasa, yang dengan cekatan menuai padi di huma kambing. Si Enam merasa sangat takjub memperhatikan orang banyak yang sedang bekerja. Lain lagi Puteri Bungsu dengan cermat memperhatikan suaminya kambing tadi. Jelas dilihatnya, tadi kambing itu masih ada diantara orang banyak, tapi kini tak tampak lagi. Kemana perginya? Tapi terlihat ditengah-tengah orang banyak ada seorang pemuda yang gagah perkasa bekerja dengan gesitnya bergerak dan berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Puteri Bungsu mulai berpikir. Ke mana perginya kambing tadi. Dalam pada itu tuaian telah selesai dikerjakan oleh orang banyak, dan itu bertepatan pula ketika hari sudah petang, sebentar lagi tentu hari akan malam.

Semua pekerja di huma kambing telah kembali ke kayangan Puteri Bungsu tingal sendiri di tengah huma. Ia tenggelam dalam memikirkan rahasia suaminya di tengah huma. Ia tenggelam dalam memikirkan rahasia suaminya. Ke mana dia gerangan. Tapi tiba-tiba ia mendengar ada kecipak orang sedang mandi di sungai. Hati-hati Puteri Bungsu mengintai orang yang sedang mandi itu. Ketika ia melihat orang sedang mandi, hatinya berdebar kencang sekali. Orang itu tak lain pemuda tampan yang tadi dilihatnya di tengah huma. Siapakah gerangan pemuda itu? Pangeran dari negeri mana yang tersesat ke talang humanya? Sedang dia asyik berpikir-pikir pandangannya tertumbuk ke seonggok benda, kulit kambing. Dengan mengendap-endap dipungutnya segera kulit kambing itu. Ditatapnya sebentar, kepalanya mengangguk-angguk.

Tak salah lagi kulit kambing itu adalah seperti yang dikenalnya benar selama ini. Lambat-lambat Puteri Bungsu meninggalkan tempat tersebut. Dan kerusung tadi disembunyikannya. Setelah selesai mandi, ia pun terus kembali ke pondoknya. Orang asing tadi sejenak tercenung diatas tebing. Yang dicarinya tak bersua lagi. Dengan mengendap-endap pergilah ia ke pondok Puteri Bungsu bersembunyi di balik onggokan padi di dekat lumbung. Puteri Bungsu terdengar memanggil-manggil suaminya.  Tapi  tak  ada  sahutan.  Ia mencari-cari di sekitar pondoknya, juga yang dicari tak kunjung bersua. Sementara itu pemuda yang bersembunyi tadi segera keluar dari tempat persembunyiannya. "Mana baju aku, Dik?" tanya orang itu. "Sudah saatnya kita kembali, karena hari sudah senja." "Siapa pula engkau?" jawab Puteri Bungsu. "Mana aku tahu bajumu." Kembalikanlah. "Lihatlah hari sudah senja!" ujar pemuda itu.

"Tahulah hamba sekarang, Tuan telah mencoba hamba yang hina-dina ini," kata Puteri Bungsu.

"Adinda," bisik pemuda itu, "Maafkan aku, suamimu ini. Bukannya aku sengaja berbuat yang demikian, tetapi menunggu ketentuan berlaku." Puteri Bungsu menatap muka suaminya, sebaliknya suaminya menatapnya pula. Tak terkirakan bahagia kedua suami isteri itu.

Kerusung kulit kambing mereka bakar. Mana yang melanting ke atas pondok menjadi rumah besar, yang melanting ke tengah menjadi binatang ternak seperti kerbau, jawi, itik, angsa, ayam, dan merpati. Mana yang melanting ke jalan menuju tepian mandi menjadi jamban berkorong. Semenjak itu mereka hidup berbahagia dan sejahtera sampai akhir hayat mereka.

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Puteri Bungsu Bersuamikan Kambing Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Puteri Bungsu Bersuamikan Kambing Sebagai sumbernya

0 Response to "Puteri Bungsu Bersuamikan Kambing"

Post a Comment

Cerita Lainnya