Cerita Puteri Tanglung Bagian 2

Alkisah Rakyat ~ Tanglung, anakku!" katanya mendekati anaknya Puteri Tenglung. "Kenapa engkau berlarut-larut benar terjatuh dalam pengaruh pikiranmu sendiri. Kalau sekiranya musuh takkan dapat kita lawan, baiklah kita mundur ke gunung nan tujuh. Kalau orang mundur, Nak. belum berarti kalah. Nanti kalau negeri sudah aman kembali, saat itulah kita berbalik."


"Itu yang tak hamba inginkan Bunda." jawab singkat. "Jangan diumbut malam hari, jangan ditebang merantih patah; jangan Bunda sebut dua kali, jangan diramal sekali sudah. Berpantang  Bunda mundur di gelanggang, dari pada hamba mati ditawan oleh hamba mati melawan; mati menggigit bagai semut kerangga."

Selesai bertukar pikiran begitu, ibunda permaisuri meninggalkan Puteri Tanglung seorang diri. Beliau tahu sekali dengan sifat-sifat kekesatrian puterinya itu. Keras tak dapat ditukik, lunak tak boleh disudu. Jadi setelah lama berpikir dapat jugalah akal oleh Puteri Tanglung. Diambilnya daun semilau, diletakkannya ditelapak tangan, diambilnya pula kemenyan tahunan lalu dibakarnya kemenyan tadi di atas telapak tangan. Ia pun mulai menyeru hiyang-hiyang yang berdiam di awang Pintu Langit. Kalau keramat yang diuntukkan bagiku oleh-Mu Penguasa Jagat, kekal dan baqa, tuah lagi memerlukan ujian hamba yang bernama Puteri Tanglung, turunkan menjelang hamba si Burung Junai yang berdiam di Awang Pintu Langit, nan dibalai empangan langit. Burung yang berpijak tak berbeka. Itulah dia anak Burung Junai, anak sulung saudara hamba, itu kemenakan hamba sendiri."

Belum kering lagi air liur, sebentar kemudian telah datang Burung Junai yang diseru Puteri Tanglung tadi. Burung kayangan itu hinggap di daun pintu, dan langsung menegur Puteri Tanglung, saudara ibunya.

"Hendak mengapa gerangan Ensu memanggil hamba tergesa-gesa benar!" kata burung Junai penuh hormat. Putri Bungsu melihat burung junai telah datang, segera mengambil beras berendang yang telah diberi kunyit dan diletakkan diatas telapak tangan kiri.

"Makanlah dulu, Nak! kata Puteri Tanglung. "Sesudah itu baru kita berunding."

"Setahun hamba tak makan, setahun pula tak minum belumkan hendak hamba makan makanan yang terletak di tangan kiri. Hamba tahu Ensu seorang raja, sedangkan hamba hanya seekor burung biasa dan buruk pula," kata burung itu.

Puteri Tanglung tersenyum mendengar ucapan Burung Junai, burung kayangan, anak saudaranya itu. Kalau makanan yang ada diatas telapak tangan kirinya dipindahkannya ke telapak tangan kanannya. Barulah burung junai tadi bersedia makan beras kunyit berendang yang diulurkan Puteri Tanglung. Makan dan cotok, cukup ketiga disudahinya.

"Sebenarnya, aku mengharapkan kerelaanmu, Nak, menjemputkan Pak Ensu engkau. si Malin Bungsu. Pak Ensumu berjalan berhiba-hati marajuk ke Gungung Berpagar Gading Bersiram Intan tempat seorang puteri cantik bernama Puteri Air Bunga."

"Kalau demikian biarlah hamba mencarinya. Ibu Ensu!" kata Burung Jaunai.

"Begitulah yang sebaiknya, Anakku!" balas Puteri Tanglung gembira. "Akan kuberikan engkau pakaian bulu berusap air emas, sepatu, serta sarung paruh yang bertatahkan intan. Engkau harus memakai semua itu. Kemudian engkau bawalah sirih sekapur rokok yang sebatang, serta cincin sebentuk dan berikan kepada Pak Ensumu!" Burung Januai pun cepat-cepat berpakaian, dan sesudah itu mengambil barang kiriman, lalu terbanglah. Ketika hendak terbang dipertimbangkannya dulu berbagai kemungkinan. Hendak terbang rendah ia takut disambar burung sikap, dan burung elang.

Maklumlah kedua burung itu sambar-menyambar di angkasa luas. Dari pada menghadang bahaya yang amat besar, lebih baiklah terbang tinggi. Lalu membubunglah burung junai, terbang tinggi-tinggi, menyisip-nyisip awan putih. Bila angin kencang di sebelah kiri dibentangkannya kapak sebelah kanan, bila angin kencang sebelah kanan dibentangkan kapak sebelah kiri. Begitulah dilakukannya berganti-ganti sesuai menurut keadaan. Setelah menghabiskan waktu tujuh hari tujuh malam akhirnya sampailah ia ke Gunung Berpagar Gading Bersiram Air Intan. Burung Junai hinggap di atas sebatang kelapa gading. Didapatinya orang sangat ramai sedang berkumpul mempersiapkan segala sesuatu untuk pernikahan Puteri Air Bunga dengan Malin Bungsu. Yang sedang menumbuk padi nampak pula sedang sibuk dengan pekerjaan mereka. Burung Junai setelah berpikir-pikir sebentar, lalu menghimbau kepada orang banyak.

"O. orang banyak" serunya dari atas kelapa gading. "Kecil hamba belum, bernama, besar belum mempunyai gelar. Pasih tidak biasa belum, pertama barulah ini. Hamba sungguh belum mengetahui adat pusaka tuan-tuan di renah ini. Namun bolehkan jualah hamba bertanya, dimana gerangan kini Pak Ensu hamba Malin Bungsu berada." Tercengang orang banyak yang ada di sana, sebagian tengah mengisar, ada pula yang sedang menumbuk; setengah sedang makan sirih, sedang merokok; ada lagi sedang mendukung anak.

"Kecil sudah dilalui, besar sedang dirasakan, tua akan dihadapi, belum pernah bersua dengan burung yang serancak dan seanggun itu. Burung cerdik pandai berbicara." Demikian gumam orang banyak tanpa hendak menjawab sedikit pun; hanya memandang acuh tak acuh. Setelah tiga kali orang banyak itu dipanggil tidak hendak menyahut, dengan marah berkata pulalah ia. Tak ada gunanya orang negeri ini," katanya kasar. "Tak tahu adat istiadat orang. Coba kalian pergi sekali-sekali ke Pantai Air Emas, akan kutunjukkan serta kuajari bagaimana orang hidup beradab. Di sana undang boleh diuji, titian boleh dititi. Salah ambil harus mengembalikan, salah makan dimuntahkan, salah pakai diungkai." Selesai berkata demikian beranjaklah Burung Junai dari sana. Terbang menukik bagai jantung pisang jatuh menuju rumah gedang terus menuju anjung perak. Didapatinya Pak Ensunya Malin Bungsu sedang bersenda gurau dengan Puteri Air Bunga. Ia tertegun sesaat, tetapi kemudian dengan sigap terbang ke atas lutut Malin Bungsu.

"Kur, semangat, Nak!" kata Malin Bungsu. "Engkau Burung Junai mengapa ke mari."

"Pak Ensu lihatlah ini!" jawab Burung Junai tajam, seraya menunjukkan rokok sebatang, sirih sekapaur, serta cincin sebentuk.

"Semua itu tanda setapak tidak surut melangkah tidak marah, bawa kuku lagi melekat; bergantung perogam bersorak. Hamba datang ke mari hendak menjemput Pak Ensu. Jemput harus terbawa; belum terbawa belum akan berbalik."

"Berbaliklah engkau sendiri!" jawab Malin Bungsu. "Aku takkan berbalik. Cobalah engkau pikir, Nak'lah sudah dua belas tahun lamanya bertunangan, usahakan bertemu, rokok sebatang pun belum terulurkan oleh Puteri Tanglung. Usah bertentang mata, suaranya pun belum pernah aku dengar. Apakah itu yang dikatakan tunanga?"

"Itu mungkin benar, Pak Ensu!" jawab rung Junai tajam. "Pak Ensu telah meninggalkan adat lama pusaka usang, petuah orang tua-tua. Apa itu adat lama pusaka usang, pegangan anak muda-muda itu? Yalah tak ada enau menjelang sagai melainkan sigai menjelang enau. Bukan wanita menjelang laki-laki, melainkan lelaki juga menjelang wanita. Tak ada teluk menolak sembah. Tak ada wanita membuang lelaki, melainkan lelaki yang membuang wanita. Eloklah kita berbalik dulu. Karena siapa Pak Ensu merajuk? Kalau Pak Ensu merajuk karena oleh bertunangan, ingatlah bahwa antara Pak Ensu dan Ibu Ensu berdunsanak. Kalau merajuk oleh karena berdunsanak ingatlah bahwa Pak Ensu dan Ibu Ensu dalam bertunangan, Ibu, bapak, nenak, serta kakek masih ada hubungan keluarga, ingatlah semua itu. Sungguh tak ada tempatnya Pak Ensu merajuk berhati iba kepada ibu Ensu Puteri Tanglung."

"Aku telah habis-habis berpikir, Nak' " kata Malin Bungsu tak  tersurutkan rasa marahnya. "Aku benar-benar tak hendak kembali. Pergilah engkau berbalik pulang!"

"Keras kepala!" seru Burung Junai. "Tinggallah Pak Ensu di Gunung Berpagar Gading Bersiram Intankan berganti jua dengan panas. Masa itu ada hujan panas rintik-rintik, Pak Ensu hamba bunuh! Itulah balasannya bagi orang yang telah menyia-nyiakan Ibu Ensu Puteri Tanglung. Saat itu Pak Ensu akan merintih-rintih menyembah di bawah telapak kaki Ibu Ensu. Hamba sangat heran kenapa Pak Ensu tak dapat membedakan mana wanita cantik dan anggun dengan wanita yang biasa saja. Kenapa Pak Ensu mempertukarkannya?" Kemudian terbanglah Burung Junai tadi kembali kenegeri Pantai Air Emas. Setelah sampai di negeri Pantai Emas, diceritakannyalah semua yang dialaminya kepada Puteri Tanglung. Sesudah itu kembalilah Burung Junai tadi ke kayangan kembali. Puteri Tanglung berpikir-pikir bagaimana caranya untuk menundukkan Malin Bungsu. Bagaimana supaya lelaki itu meratap dan menangis terkenang dirinya. Maka timbullah dalam pikirannya untuk beralih rupa seperti Malin Bungsu. Rambutnya yang panjang dipotongnya pendek-pendek. Sebentar saja ia dapat berlaku seperti lelaki  itu. Kulitnya persis seperti kulit Malin Bungsu wajahnya, sorot mata, gigi semuanya sama benar dengan Malin Bungsu. Sebentar kemudian dipanggilnya Selamat Bujang.

"Coba engkau ambil limau purut sundai gading. Panjat batangnya menyunsang, kaki keatas kepala kebawah. Pekik dengan empu kaki, sauk dengan sehelai baju, sambut dengan kain detar." Selamat tanpa banyak tingkah melaksanakan perintah tuannya. Setelah diperolehnya langsung diberikannya kepada si Kembang. Oleh si Kembang limau tersebut dierap. Di luar tampak limau tak rusak sedikit pun, tapi di dalam sudah hancur lumat. Sebenarnya bukan limau itu yang dierap, tapi hati dan jantung Malin Bungsu yang tinggal jauh di Gunung Berpagar Gading Bersiram Intan. Limau tadi terus dimasak. Kemudian dibaut pula bedak bergiling. Setelah keduanya siap, berangkatlah Puteri Tanglung ditemani Selamat Bujang ke tepian tempat mandi.

Sesampai di tepian, sebelum Selamat Bujang mandi, diremas dulu limau tadi. Bukan limau yang diremas tapi hati jantung si Malin Bungsu yang dituju. Selamat pun dilimaui. Setitik ditimpa limau empat lima panau tumbuh. Dua titik ditimpa limau berpuluh panau nan tumbuh. Tiga titik ditimpa limau tiba-tiba Selamat Bujang telah menjadi seorang raja. Panau membayang didadanya, panau berkilat di kakinya. Di belakang panau hujan seirap. di dado pelatuk Puteri Tanglung mendapat kepastian, seperti petuah orang tua-tua seloka anak muda-muda ke air takkan dimakan kapang, ke darat takkan dimakan bubuk. Bergegas diambilnya keris pendek sebilah yang tergulung dicupu gading, dan keris panjang sebilah. Keris pendek bernama si untung sudah, keris panjang bergelar si cabik kafan. Diberi berasam  di hulu sungai, lamanya setahun perantau tidak mudik; disungai di atas angin. Ketika kedua senjata itu terpegang di tangannya barulah telah roboh hulubalang yang bertujuh, terheran-heran raja Sutan Geliga Matahari melihatnya. Dengan sigap melangkahlah Puteri Tanglung menjelang ibunda dan ayahandanya.

"Wahai ayah serta bunda!" katanya kepada orang tuanya penuh hormat. "Juga engkau Kembang Manis mendekatlah ke mari. Hari ini hamba ingin bertutur berunding. "Maka menghampirlah ketiga orang tersebut. "Ayah bunda, serta Kembang Manis!" kata Puteri Tanglung pula. "Mana yang terpakai selama ini. yang termakan dan terminum, susah payah ayah serta bunda, hamba minta direlakan. Hamba akan memasuki medan peperangan, tempat cencang tak beralas tempat bunuh tak diurus bangkainya. Angin ribut mungkin menderu; entah padi, entah selasih yang berderai; entah hidup mati; kasih barangkali yang akan berserai."

"Permaisuri Tanglung Di Bulan meneteskan air mata. Si Kembanag Manis menangis meratap-ratap. Ayahandanya menghampiri anaknya Puteri Tanglung. Dipegangnya pundak anaknya dan ditatapnya wajah Puteri Tanglung. "Anakku' kata baginda sendu. "Kalau kiranya ada terasa pelangkahanmu banyak buruk dari bainya, eloklah bersabar engkau dahulu. Urungkan niatmu yang semula tadi." Mendengar kata ayahnya, gelak senyum Puteri Tanglung. Yang bersamaan dengan itu gerak pun datang, maka bangkitlah puteri itu cepat-cepat lalulah berjalan meninggalkan rumah gedang, di belakang berlari Selamat Bujang menyertai.

Tiba di halaman Puteri Tanglung mendongakkan mukanya ke langit dan menekurkan kepala ke bumi berganti-ganti. Ia pun memberi salam. Langit diakui bapak, bumi diakui ibu. Sesudah itu orang berdua tersebut terus menuju balai tempat genderang perang tersimpan. Puteri Tanglung berdiri, Selamat Bujang  duduk memukul gendang. Bunyi gendang bertalu-talu menyelinap nyaring sampai ke telinga Malin Bungsu di Gunung Berpagar Gading Bersiram Intan. Begitu mendengar bunyi gendang, air setitik tidak terminum, nasi sebutir tidak termakan, segera putus perangkai jantung, rasa hancur perangkai hati. Tapi sedang elok berbunyi, sedang enak didengar, Selamat Bujang menghentikan pukulannya. Kedua pendekar yang masih muda itu pun melangkah menuju ke kepala negeri mendekat pesenggerahan Sutan Geliga Matahari.
       
"O, balatentara banyak!" seru Sutan Geliga matahari. Itu Malin Bungsu telah tiba. Tembaklah biar mampus segera." Namun setelah diperhatikannya nyatalah yang nampak itu bukan Malin Bungsu, tapi Puteri Tanglung yang berpakaian laki-laki tersenyumlah ia. "Tunggu!" katanya pula. Jangan dulu ditembak! Itu Puteri Tanglung! Tangkap dan ikat! Bawa ke mari segera!" Tujuh orang hulubalang cepat-cepat menuju Puteri Tanglung. Membawa perlengkapan rantai besi pengikat orang yang akan mereka tangkap. "Jangan kalian mendekat!" bentak Puteri Tanglung kepada ketujuh hulubalang yang telah mendekatinya. "Kalau kalian ingin juga mendekat kemari sebut terlebih dahulu siapa nama dan gelar kalian. Kalau kalian mati supaya sudah ada orang mencari kalian!"

Usahkan menjawab, berbunyi pun tidak ketujuh hulubalang yang ditegur Puteri Tanglung itu. Bagaikan puyuh melihat padi mengejar Puteri Tanglung. Serentak rantai yang mereka humbangkan lekat di leher Puteri Tanglung; di tangan, di pinggang, dan di kaki, Rantai terlekat ketujuh kepala hulubalang itu terpangkas, berpisah dari badan dihantam pedang Puteri Tanglung. "Nah, itu yang kalian kehendaki," teriak Puteri Tanglung dengan mata berapi-api. "Sejak tadi aku katakan, kini apalah jadinya. Tanganku sudah terlanjur".

"Peristiwa tersebut begitu cepat terjadi. Sutan Geliga Matahari terkejut bukan main. Maka diperintahkannya pula pasukan penembaknya menembaki Puteri Tanglung. Tidak kepalang tanggung  tembakan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Agaknya Sutan Geliga Matahari sudah sangat memuncak amarahnya. Ketika asap bedil sudah hilang, nampaklah Puteri Tanglung sedang duduk bersila sambil merokok makan sirih. Dan malahan bertambah dekat dari semula. Sutan Geliga Matahari tentu saja makin menjadi-jadi amarahnya. Maka diperintahkannya pula pasukan penembak untuk menembak Puteri Tanglung. Kali ini tembakan tidak berhenti sebulan lamanya. Bila asap telah pula hilang terlihat Puteri Tanglung makin bertambah dekat dari semula. Sutan Geliga Matahari tentu saja makin menjadi-jadi amarahnya. Maka diperintahkannya pula pasukan penembak untuk menembak Puteri Tanglung. Kali ini tembakan  tidak berhenti sebulan lamanya. Bila asap telah pula hilang terlihat Puteri Tanglung makin bertambah dekat saja. Bahkan ia makin cantik dari yang sudah-sudah.

"Kapan lagi kita balas Tuanku!" tanya Selamat Bujang yang ada di samping Puteri Tanglung. "Sekarang giliranmu," jawab Puteri Tanglung mantap. "Balaslah segera!" Tanpa membuang waktu Selamat pun mengambil bedil yang bernama misa cinda lalu diisikan tiga sekawan terikat arah ke hadapan musuh. Di bawah ketiaknya terkepit bedil yang berisi tiga peluru beradik kakak tadi. Peluru yang tua bernama si untung sudah, yang tengah si ajal tak sampai, dan yang bungsu si cabik kafan. Kalau berlari itulah telunjuk kakaknya menarik pelatuk, dan saat itu juga terdengar bunyi yang amat dahsyat didiringi asap tebal. Peluru tiga beradik tadi mengamuk sejadi-jadinya. Yang dimudik dihilirkannya, yang melintang dibujurkannya. Berkapan banhkai manusia digasak peluru tiga beradik tadi. Cukup tujuh hari tujuh malam, berhentilah peluru tersebut mengamuk dan kembali kepada Puteri Tanglung yang sedari tadi mengawasi dengan seksama. Setelah dekat disauklah oleh Puteri Tanglung dengan baju, kemudian dihamburkan kembali kepada ayah dan bundanya. Selamat Bujang mendekati Puteri Tanglung dan langsung berkata.

"Maafkan hamba bertanya, Tuan Puteri Tanglung'" sembah Selamat Bujang hormat. "Sekarang hendak ke mana lagi gerangan Tuan?"

"Aku sendiri akan ke tengah padang peperangan." jawab Puteri Tanglung. "Engkau sendiri mana yang baik menurut pilihanmu sendirilah."

"Kemana Tuan pergi hamba akan ke sana pula." kata Selamat Bujang. "Setapak hamba tak hendak bercerai dengan Tuanku."

Kedua orang itu telah melangkah mendekati pesenggerahan Sutan Geliga Matahari. Puteri Tanglung melentik sebentar kemudian dengan suatu gerakan tubuhnya telah tersambung ke udara dan hinggap di halaman pesenggerahan Sutan Geliga Matahari. Belum lagi jejak kakinya ke tanah bergerincingan bunyi besi saling beradu. Puteri Tanglung memekek lantang menghimbau lawan. Bumi terasa bergetar karena hantaman kakinya. Suara ruangnya mengejutkan para dewa di kayangan, juga mambang beserta peri tergagau ungko di gunung, terlepas anak siamang yang sedang ditimang induknya. Sementara itu Selamat Bujang tak kalah serunya, menerjang musuh yang ada di dekatnya. Tubuh kedua orang  itu berkelebatan ke sana kemari amat cepat, tak terikuti oleh mata lagi. Kadang-kadang tampak kadang-kadang hilang dalam galau orang banyak. Tumpukan bangkai makin meninggi, darah menggenang dimana-mana. Ternyata kedua orang itu telah mengamuk tujuh hari tujuh malam lamanya. Akan halnya Malin Bungsu yang berada di istana Gunung Berpagar Gading Berisiram Intan, selama tujuh hari tujuh malam, saat puteri Tanglung dan Selamat Bujang sedang mengamuk tadi, merasa tidak enak terganggu perasaannya. Sudah tujuh hari tujuh malam pula ia tak ada nafsu untuk makan dan minum. Duduk bermenung, tegak tertegun, itu saja yang diperbuatnya. Melihat itu menghampirilah Puteri Air Bunga seraya berpantun menggoda Malin Bungsu.
"Apalah guna dibuat Tan Bujang bedung-bedungan.
Bak pulau bilang-bilang
Apa gunanya Tan Bujang duduk bermenung
Coba bergurau supaya hilang."
Maka dijawab oleh Malin Bungsu dengan pantun yang seiring.
"Sudah letih karena ke pulau
Tidak bersua pulau bilang-bilang
Sudah letih karena bergurau
Tidak juga kunjung hilang."
Mendengar balasan pantun Malin Bungsu suaminya, mendekatlah Puteri Air Bunga, lalu bertanya menyelidik. Apa benar gerangan yang terasa dalam hati, tertahan di ujung lidah. Apa niat Tan Bujang yang tidak sampai, apa rundingan yang tak sudah. Sebutkan semuanya tepat-tepat, katakan benar-benar. Kalau dapat hamba tolong, akan hamba tolong. Yang penting hati hamba senang, dan Tan Bujang terlepas dari persoalan tersebut."

"Sungguh amat sukar mengatakannya, Dik!" kata Malin Bungsu. "Namun karena engkau menghendakinya juga, maka akan kukatakan." Malin Bungsu diam sejenak dan di tatapnya mata istrinya. "Negeri Pantai Air Emas sedang dilanda kerusuhan! Seharusnya yang paling tepat menyelesaikannya ialah aku sendiri. Tapi bagaimana aku hendak ke sana jalan yang akan ditempuh tak kelihatan. Akan selamanyakah aku dirasuki keadaan yang menjemukan ini?"

"Tidaklah terlalu sukar' jawab Puteri Air Bunga. "Kenakan oleh Tan Bujang berjanji akan kembali lagi kesini, itu akan hamba berikan."

"Aku berjanji, dik' kata Malin Bungsu. "Kalau aku pergi tentu akan kembali."

Puteri Air Bunga mengambil peti tempat penyimpanan baju songsong barat. Baju pun dikeluarkan dan langsung diberikan kepada Malin Bungsu. Ditungguinya pula Malin Bungsu menyarungkan baju tersebut. Sesudah baju terkenak, disewainya keris sepasang, keris panjang dan keris pendek. Lalu disisipkannya dipinggangnya. Ia pun bersisurut sebentar kemudian badannya melayang terbang. Kalau baju songsong barat sudah terkenakan tak ada lagi gunung yang tinggi, sebentar saja ia telah berada di atas negeri Pantai Air Emas. Dilihatnya Puteri Tanglung dan Selamat Bujang hilang-hilang timbul dikerubuti orang banyak. Kedua manusia itu  bahu-membahu menghadapi musuh-musuh mereka. Malin Bungsu meluncur dengan deras ke tanah dan hinggap tepat dihadapan Puteri Tanglung, Selamat Bujang melihat Malin Bungsu sudah datang bersorak kegirangan dan cepat-cepat menghampiri tuannya Puteri Tanglung."

"Berbaliklah, Tuanku ke rumah gedang!" seru Selamat Bujang kepada Puteri Tanglung. "Lihatlah Tuanku Malin Bungsu sudah tiba." Mendengar kata Selamat, Puteri Tanglung mendengus. Warna merah di mukanya membayang jelas menandakan hatinya amat panas.

"Aku tak kenal Malin Bungsu, Selamat!" kata Puteri Tanglung. "Aku usahakan mempunyai tunangan yang ternama itu, kenal pun dari semula aku belum. Coba engkau pikir! Kalau aku mempunyai tunangan mengapa aku sampai berada ditengah medan perang? Tapi dari pada aku mati ditawan musuh, lebih baik mati melawan. Aku pun sudah bertekad untuk tidak tertawan. Kalau musuh ingin juga berlaku demikian tentulah mayat aku yang dibawahnya."

"Selamat celaka!" bentak Malin Bungsu. "Engkau memang keterlaluan! Jauh aku tak engkau layangkan surat, dekat tidak engkau hendak berhimbau. Yang sebenarnya engkau telah berpandai-pandai sendiri, membawa tunanganku ke medan perang." Maka serentak dengan akhir cakap itu dicabutnya kerisnya ditikamkannya kepada Puteri Tanglung. Terkilat kerisnya mengena, tapak oleh Selamat Bujang. Ia cepat menangkap keris itu. Keris tersebut dapat  disambarnya dan dapatlah diselamatkan nyawa Puteri Tanglung. Kalaulah Selamat terlambat saja beberapa detik pastilah Puteri Tanglung yang tak hendak mengelak itu telah tewas di ujung keris bertuah Malin Bungsu. Mata Selamat Bujang merah menyala dan pada saat itu juga terdengarlah kata-katanya dalam senandung pantun.
"Orang tidak ada berperang ke Kundangan
Kalau hendak berperang ke Malaka
Tidak kurang berperang dengan tunangan
Kalau hendak berperang dengan Cina dan Belanda."
Dengan merapatkan giginya, berderik-derik doper geserkannya, diserangnyalah Selamat Bujang dengan kata yang itu-itu juga.

"Ya" bentak Malin Bungsu." Salah engkau sendiri. Jauh aku tidak engkau layangkan surat, dekat tidak engkau berhimbau."

"Benar, Tuanku Malin Bungsu," jawab Selamat Bujang tak kalah tajamnya. "Benar hamba salah, kalau Tuanku memandang hamba salah beri maaf malah hamba. Tapi kalau Taunku menganggap salah hamba besar, bunuhlah hamba. Dengan membunuh hamba tentu Tuanku nanti akan dikatakan orang, orang bertuah.


Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Puteri Tanglung Bagian 2 Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Puteri Tanglung Bagian 2 Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Puteri Tanglung Bagian 2"

Post a Comment

Cerita Lainnya