Cerita Asal Mula Pulau Rengas

Cerita Asal Mula Pulau Rengas ~ Penduduk yang menetap di Dusun Teluk Ruan, bermula berasal dari kaum pendatang dari Asia Tengah. Dusun ini terletak tak berapa jauh dari Dusun Pulas sekarang, kira-kira enam kelometer saja jauhnya. Itu terjadi sudah lama sekali, berabad-abad yang lalu. Namun sejarah tentang terbentuknya Dusun Pulau Rengas beserta penduduk yang mendiaminya di dahului oleh suatu peristiwa yang tak terlupakan hingga dewasa ini.

Penduduk Teluk Ruan yang hidup dalam ketenteraman itu, dalam pelukan alam pertanian dikelilingi hutan balantara yang lebat, suatu masa dikejutkan oleh datangnya tentara Sriwijaya dari Palembang. Kedatangan tentara itu terasa begitu mendadak dan mengejutkan. Serbuan itu merupakan malapetaka bagi penduduk yang sudah terbiasa hidup dalam suasana damai. Rombongan tentara itu masuk dari Tembesi di sebuah dusun yang bernama Koto Biayo. Dari sana mereka menyusur ke hulu terus masuk ke daerah Merangin. Sampai ke kawasan Marga Batin Sembilan di bagian hilir, yang bernama Dusun Pemenang.


Di dalam perjalanannya pasukan tentara Sriwijaya itu, disetiap kampung yang dilaluinya, mengambil para pemuda dan kaum perempuan, yang saat itu terkenal dengan sebutan mengambil seratus bujang seratus gadis. Pemuda yang diambil itu adalah yang gagah-gagah serta tampan-tampan. Begitu pula anak gadisnya yang cantik-cantik dan elok paras wajahnya. Giliran terakhir ialah menuju ke Teluk Ruan. Disana ada tiga orang gadis beradik kakak yang terkenal amat cantik. Masing-masing bernama Pematih Lilo Bruji, Pematih Lilo Majenum, dan Pematih Lilo Menjoni. Namun ketiga wanita ini mempunyai kakak laki-laki masing-masing bernama Saih Biti, dan Patih Krisi Malin Samat. Kedua lelaki itu merupakan benteng tempat berlindung ketiga gadis tadi. Selain itu terkenal seorang hulu balang, yang selalu melindungi gadis-gadis tersebut, ialah yang bernama Beras Basau. Hulubalang ini, orang yang terkenal suka berbenteng dada, berkoto betis dari negerinya apabila diganggu musuh. Lelaki bertiga inilah kemudian yang telah berperang melawan tentara Sriwijaya. Secara teratur mereka menyerang rombongan tentara yang besar itu. Tentu saja perjuangan mereka dibantu sepenuhnya oleh rakyat negeri Teluk Ruan.

Pasukan tentara Sriwijaya yang berhasil mereka kalahkan itu dipimpin oleh hulubalang-hulubalang kenamaan seperti Depati Baginda Ayu orang Rejang, Mandari Kuning dari Komering. Sengajak, Sengayun, dan Senarun. Tiga yang tersebut terakhir ini berasal dari daerah Pasemah. Empat orang diantara hulubalang ini telah tewas di medan pertempuran. Mereka itu ialah Depati Baginda Ayu, Senagjak, Sengayun, dan Senarun.
Setelah keempat hulubalang itu berhasil ditewaskan, maka dengan mudah hulubalang yang bernama Mendari Kuning, yang tinggal seorang diri, berhasil ditawan. Ia harus menebus kekalahannya teramat mahal. Dalam  suatu persumpahan bersumpah tidak lagi melakukan permusuhan dengan orang negeri Teluk Ruan sampai ke anak cucu, ia harus memotong kelingking kirinya yang disuntingkan ke telinga kanan. Sumpah yang diucapkannya itu dilakukan di hadapan hulubalang Saih Biti, dan Patih Krisi Malin Samat beserta adik-adik mereka Pematih Lilo Bruji. Pematih Lilo Majenun, dan Pematih Lilo Menjani.

Bila Panglima Mendari Kuning tersebut telah selesai bersumpah, beliau dipersilahkan kembali ke Palembang. Senjata yang dimiliknya dilucuti. Salah sebuah senjatanya yang amat keramat ialah sebilah pedang yang bernama pedang sayap Kelatu. Semua tawanan mereka Bujang seratus gadis seratus dapat dibebaskan dengan tak kurang suatu apa pun. Sebaliknya tentara Sriwijaya tak seorang pun selamat, semuanya tewas dalam medan pertempuran. Mayat mereka dibuang ke dalam Sungai Batang Merangin, disebuah teluk besar, yang saat itu langsung diberi nama oleh penduduk Teluk Oeang. Sekarang namanya Teluk Ruan.

Berita kemenangan hulubalang negeri Teluk Ruan yang telah dapat  membebaskan bujang seratus gadis seratus itu cepat tersebar kemana-mana. Di dengar oleh orang Pemenang kawasan Batin Sembilan Di Ilir, sampai ke daerah Koto Buayo sebelah hulu Muara Tembesi. Mereka telah mendengar bujang seratus gadis berada dalam keadaan selamat di Teluk Ruan. Segerombongan orang negeri Pemenang segera datang ke Teluk Ruan menjumpai Saih Biti dan Patih Krisi Malin Samat untuk melakukan perundingan.

Sudah jelas perundingan itu menghendaki agar bujang seratus gadis seratus dan yang tadi ditawan oleh tentara Sriwijaya yang berhasil dikalahkan oleh hulubalang negeri Teluk Ruan. Dalam perundingan itu mereka menjanjikan akan memberikan emas selesung pasuk, selengan  baju panjang, separuh burung enggang, sebiduk daun ketari. Mendengar tawaran yang demikian Saih Biti dan patih Krisi Malin Samat amat marah. Sejenak muka mereka dan mata mereka mendelik-delik. Mereka berdua terang tak menyetujui tawaran yang demikian kendatipun itu pancaran ketulusan hati pihak yang menawarkan. Suasana pertemuan menjadi tegang. Tak terdengar selinting suara pun. Namun kemudian tiba-tiba berdiri salah seorang dari dua hulubalang negeri Teluk Ruan yang bersaudara itu. Suaranya lantang berkumandang disimaki oleh orang banyak.

"Kami tak menghendaki tebusan seperti yang telah Datuk-Datuk ajukan!" kata hulubalang itu mengejutkan orang banyak. Mereka yang mendengar ucapan tersebut nampak. Untuk melaan sudah pasti tak mungkin. Sedangkan para panglima perang Sriwijaya yang keenam itu saja tewas digasaknya. "Kami cuma mengharap suatu pemberian yang berhulu ke gunung, bermuara ke laut. Tidak lapuk dipakai, tidak habis dimakan. Tidak pula lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan," kata-katanya.

Orang banyak menganggukkan kepala mereka. Sudah jelas maksud dan ujung cakap hulubalang itu meminta tanah tempat permukiman dan tempat pertanian serta peternakan. Teluk Ruan telah terlalu sempit bagi penduduk negeri itu yang kian bertambah jua dari masa ke masa. Sebentar kemudian terengarlah jawaban dari kelompok orang-orang Pamenang menanggapi ucapan hulubalang Teluk Ruan tadi.

"Semua itu dapat kita rundingkan sekarang, Datuk Hulubalang," katanya keyakinan. "Bagi kami sudah jelas bahwa jasa datuk-datuk yang berdua sangat besar. Sekepal akan kami gunungkan, setitik akan kami lautkan. Apa benar gerangan yang datuk maksudkan, jelaskanlah seterang-terangnya!" Maka perundingan pun mulailah lebih sungguh-sungguh. Perundingan yang penuh rasa kekeluargaan itu menghasilkan buah yang nyata menguntungkan kedua belah pihak. Penduduk negeri Teluk Ruan akan diberi tanah untuk pemukiman dan pertanian serta peternakan secukupnya. Memang sudah wajar apabila kepada mereka diberikan suatu tempat pemukiman yang lebih layak. 

Pada saat itu disepakati pula mengangkat seorang pemimpin yang akan mengepalai daerah Marga Batin Di Hilir, yang kelak kepala pemerintahan itu bergelar Nenek Semilau Sungai Lintang. Seseorang yang dipercayakan memegang upeh serta datih, memegang sirih dengan diding. Tanah disepanjang aliran sungai sampai ke Muara Merangin yang disebut Tanah Abang, yang berbatasan ke kaki gunung Merapi di Kerinci menjadi hak milik Nenek Semilau Sungai Lintang dengan semua orang yang mendiami daerah itu. Sebaliknya diberilah penduduk Teluk Ruan yang dianggap sangat besar jasanya itu daerah yang terbentang sampai ke hilir hingga Pamenang yang disebut Limbur Jenuk, tertumbuk sebelah ke hilir dengan Muara Tantan. Sebelah Timur berbatas dengan Marga Batin Liam Tabir, Rantau Panjang yaitu Mensango yang disebut dengan Kiambang Balaie. Kemudian sebelah Utara berbatas dengan Marga Morgi Kibu dan Naung hingga Kayu Aro Berlantas Besi.

Kemudian terus ke daerah Tanah Ranah atau Marga  Sungai Manau, yaitu Durian Bertakuk. Terus pula turun ke Selatan memanjang ke Simpang Guguk. Marga Tembarat terus ke Serindin Pulau Panjang, menyeberang ke Muara Nilo, meliku terus ke Selatan sampai berbatas  dengan Luhak Enam Belas. Marga Tiang Pumpung yaitu Srik Jajar Sembilan, kira-kira lima belas kilometer dari Dusun Pulau Rengas yang sekarang. Kemudian terus meniti Pemantang Pauh Rusa yang berbatasan sampai ke Dusun Tanjung Gagak. Marga Batin Lapan Sarolangun.

Demikianlah pemberian sebagai imbalan jasa bagi nenek moyang Teluk Ruan yang diberikan oleh orang Pamenang Batin Sembilan di Hilir beserta kampung-kampung lainnya yang turut merasa beruntung karena pemuda dan gadis-gadis kampung mereka telah terbebas dari cengkeraman angkara murka. Begitu pulalah akhirnya berdiri kampung baru yang bernama Palau Rengas, yang penduduknya berasal dari Dusun Teluk Ruan. Pulau Rengas sebagai daerah pemukiman, pertanian, dan peternakan dikitari sebuah tanjung, sebuah dusun Kungkai, Dusun Bangko, dan Dusun Mudo. Semuanya masuk kawasannya. Di sanalah mulai dari dahulu hingga sekarang, bermukim penduduk dengan aman tenteram dalam suasana kehidupan bertani dan beternak.  

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Asal Mula Pulau Rengas Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Asal Mula Pulau Rengas Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Asal Mula Pulau Rengas"

Post a Comment

Cerita Lainnya