Cerita Bukit Bulan dan Datuk Mangkuto Sati

Cerita Bukit Bulan dan Datuk Mangkuto Sati ~ Daerah yang sekarang bernama Bukit Bulan, dahulunya merupakan hutan belantara yang belum didiami manusia. Tak jauh dari tempat ini ada sebuah negeri, Penegak namanya, diperintah oleh seorang raja. Baginda sudah lama melihat bahwa di daerah sebelah Barat negerinya di tengah hutan belantara raya, setiap antara pukul sembilan dan pukul sepuluh muncul sinar bulan dari bumi. Biasanya cahaya bulan memancar dari langit. Kenapa di daerah tersebut cahaya bulan dari tanah, dan siang hari pula? Keganjilan ini belum dapat dipecahkan. Baginda sendiri telah pernah kesana untuk menyelidiki hal itu, namun menemui kegagalan. Begitu pula telah beberapa kali ditugaskan orang lain untuk menyelidikinya, namun tak jua berhasil. Para utusan itu kembali dengan tangan hampa serta malapetaka yang sangat menyedihkan. Adakalanya yang berhasil kembali itu menderita deman, ada pula yang bisu ada yang lumpuh, bahkan ada yang tak sempat sampai kerumah sudah meninggal di tengah jalan. Semenjak itu baginda tak berani lagi menyuruh orang pergi ke sana. Maka rahasia itu tetaplah menjadi rahasia selama-lamanya.


Suatu hari, dengan tak disangka-sangka, tiba-tiba muncul seorang lelaki dari Ranah Minangkabau. Kebetulan lelaki itu sesampai di Penegak berhenti dihalaman rumah raja. Air mukanya kelihatan sangat murung, kendatipun badannya sehat-sehat. Melihat ada orang di halamannya, raja segera turun dan lalu menegur dan mengajak orang itu naik ke rumah.

"Engkau barangkali baru saja datang dari tempat yang jauh Nak?" kata Raja kepada orang asing itu setelah mereka saling berhadapan. Siapa gerangan namamu?".

"Benar, Tuanku," jawab lelaki pendatang itu hormat. Nama hamba Datuk Mengkuto Sati, Hamba datang dari negeri Minangkabau. Kalau diperkenalkan sudi apalah kiranya menerima diri hamba yang malang ini!" 

Dari percakapan selanjutnya diketahuilah bahwa lelaki itu lagi ke Jambi karena merajuk. Dan ternyata ia telah menempuh perjalanan yang panjang merencah hutan belantara. Karena kesaktiannya jualah ia tak mengalami sesuatu cedera dalam perjalanan hingga akhirnya terdampar ke negeri Penegak yang masih belum begitu banyak penduduknya itu. Rumah pun belum berapa banyak. Itu pun terpencar-pencar letaknya. Pemuda pendatang itu diterima raja dengan perasaan gembira Budi bahasanya baik. Tutur sapanya lemah-lembut. Rupanya amat tampan dan berwajah selalu jernih. Tak mengherankan kalau kemudian ia diangkat sebagai anak oleh raja. Setelah lama bermukim dalam keluarga raja, suatu hari ia dipanggil untuk ditugaskan menyelidiki daerah Barat yang sedari dahulu selalu menjadi teka-teki itu.

"Engkau lihat cahaya bulan dari sebelah barat itu?" tanya raja kepadanya.

"Ya, hamba sudah lama mengetahuinya. Cahayanya persis seperti cahaya bulan," jawab Datuk Mangkuto Sati.

"Itulah yang aku risaukan dari dahulu, anakku'' kata raja pula sambil menekurkan kepalanya. "Aku sendiri sudah berusaha untuk mengetahuinya tetapi tidak berhasil. Orang-orang yang ku tugaskan bahkan lebih bernasib buruk. Tak jarang ada yang menemui kematian," sabda raja.

"Bagaiman kalau hamba diizinkan pergi ke sana?" tukas Datuk Mangkuto Sati memohon kepada ayah angkatnya.

"Kalau memang engkau sudah bersedia, sesungguhnya itulah yang kuharapkan," jawab raja.

"Hamba akan mencobanya" kata Datuk Mangkuto Sati bersemangat penuh kejantanan. "Tugaskan saja oleh ayah sembilan orang untuk menemui hamba nanti dalam perjalanan. Selain itu tentu hamba juga memerlukan perbekalan sekucupnya bagi perjalanan kami itu."

"Semuanya akan aku penuhi. Dan bila nanti engkau berhasil menemukan dan sudah mengetahui rahasia cahaya bulan itu aku harap hendaknya engkau juga akan membangun daerah tersebut sebagai daerah pemukiman. Aku kira daerah tersebut subur tanahnya dan baik untuk daerah pertanian. Lakukanlah tugasmu dengan berhati-hati! Kalau ternyata engkau tak dapat melakukannya jangan engkau paksakan. Berbaliklah engkau segera. Tiga hari lagi engkau sudah dapat berangkat," kata raja menjelaskan.

Tiga hari kemudian, berangkatlah Datuk Mangkuto Sati bersama-sama kesembilan orang temannya, yang diberikan ayah angkatnya. Mereka itu masih muda-muda dan sehat-sehat pula. Dengan gembira mereka terus berangkat menuju arah ke Barat. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan, sampailah rombongan sepuluh lelaki itu di suatu tempat yang agak terang, tak berapa jauh dari sebuah lubuk sungai yang jernih airnya. Di sana mereka mudah mendapatkan ikan yang mereka kehendaki untuk dijadikan lauk nasi. Ketika hari sudah malam, kesepuluh lelaki itu tidur di sana.

Besok mereka harus meneruskan perjalanan dalam keadaan badan segar yang sempurna. Malam itu kesembilan teman Datuk Mangkuto Sati terjelampai, tidur pulas di atas tanah yang berumput-rumput halus. Hanya dia sendiri yang bersandar ke sebuah tunggul kayu besar. Sambil bersandar itu pikirannya terus terpusat kepada tempat yang mengandung rahasia itu. Sesekali kata-kata ayah angkat melintas jua dalam benaknya. Ketika ia hampir saja terlelap, samar-samar dilihatnya dalam cahaya rembulan remang-remang, asap putih melintas di atas kepalanya. Setelah ditelitinya dengan cermat, tahulah lelaki itu bahwa asap putih itu keluar dari dalam tunggul kayu besar yang disandarinya itu. Melihat ini timbul keinginannya untuk mengetahui asap putih tersebut lebih lanjut. Datuk Mangkuto Sati cepat berdiri, dan dengan sekali tendang saja tunggul kayu besar yang disandarinya tadi hancur terpungkas. Matanya tertukik lurus ke bawah. Di dasar tunggul kayu itu dilihatnya tercacak sebilah keris. Senjata itu segera dipungutnya.

Ditengok-tengoknya dan ditentengnya dengan kedua belah tangannya. Tanpa disadarinya keris itu teracung kepada salah seorang tuannya. Temannya itu nampak mengeliat sebentar lalu diam tak bergerak lagi. Datuk Mangkuto Sati terkejut dan hatinya berdebar kencang. Setelah temannya itu dibaliknya ternyata sudah tewas. Pikiran Datuk Mangkuto Sati mencoba menghubungkan kematian temannya itu dengan keris teracung tidak disengajanya. Keris itu segera disimpannya baik-baik. Ia takut akan timbul korban lagi.

Esok harinya seekor elang nampak terbang bagaikan menari-nari di atas, setentang rombongan Datuk Mangkuto Sati sedang beristirahat. Melihat elang itu Datuk Mangkuto Sati mengarahkan kerisnya kepada elang itu. Ternyata burung elang itu bergulung-gulung jatuh dengan kerasnya ke tanah. Sekarang jelaslah bahwa keris yang didapatnya dari dalam tunggul kayu semalam adalah sebuah senjata bertuah yang kalau dihadapkan kepada sesuatu yang bernyawa akan menyebabkan kematiannya. Keris itu kemudian dinamakan oleh Datuk Mangkuto Sati Keris Pemanahan. Dan tempat elang mati itu kemudian dinamakan Lubuk Elang Menari hingga dewasa ini. Setelah selesai menguburkan temannya yang meninggal semalam, rombongan itu pun melanjutkan perjalanan. Kesedihan nampak benar di setiap muka mereka. Tapi untunglah Datuk mangkuto Sati dapat mengendalikan teman-temannya.   

Perjalanan kali ini terasa makin sulit karena disamping harus berjuang menembus semak-semak, juga perjalanan sudah mulai berkali-kali naik turun bukit. Cahaya matahari mulai nampak samar-samar menerobos dedaunan yang rimbun diatas. Mereka terus menuju kearah Barat. Pedoman mereka satu-satunya hanyalah batang air yang mengalir berkecipak di kanan mereka. Di kiri kanan tepi sungai itu tumbuh kayu-kayu besar. Daun-daunnya berkerumun diatas bagaikan saling berdekapan memayungi sungai yang mengali di bawah. Itulah pula kenapa sungai itu sampai sekarang bernama Batang Limun. Akhirnya Datuk Mangkuto Sati beserta teman-temannya sampai juga di tempat yang dituju. Di kiri  kanannya nampak bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi. Diperhatikannya dengan seksama semua bukit itu. Tiba-tiba ia bersorak gembira. Dengan jelas dapat dilihatnya cahaya membias dengan amat terang di salah sebuah bukit yang sedang diperhatikannya itu. Dengan bersemangat ia dan teman-temannya meneruskan perjalanan ke tempat yang membiaskan cahaya tersebut.

Sesampai disana nampaklah sebuah bukit yang gundul tak ditumbuhi oleh sebatang tumbuh-tumbuhan pun. Dasar bukit tersebut terdiri dari batu napal putih bagaikan di cat. Rupanya batu napal yang putih  itulah yang memantulkan cahaya matahari. Bila hari sudah pukul sembilan, sampai pukul sepuluh, cahaya itu nampak dengan jelas oleh orang yang berdiam di Penegak. Bukit ini terletak agak ke sebelah Barat dari bukit-bukit yang lain. Bukit inilah yang sampai sekarang bernama Bukit Bulan itu. Setelah sampai disana rombongan Datuk mangkuto Sati lalu berhenti melepaskan lelah. Mereka dapat tinggal di sana dengan aman dan tenteram. Binatang-binatang hutan akan sangat mudah mereka tangkap, seperti kijang, napuh, kancil dan rusa yang banyak berkeliaraan. Kalau menginginkan ikan dapat mereka tangkap di sungai yang tak jauh dari sana. Ternyata daerah ini belum pernah dimasuki manusia selain oleh rombongan Datuk Mangkuto Sati sendiri. Delapan buah pondok telah berhasil mereka dirikan, sembilan dengan pondok Datuk Mangkuto Sati. Kesembilan lelaki tersebut sudah mulai merasakan senang tinggal di sana. Menurut perkiraan Datuk Mangkuto Sati daerah yang baru mereka temui itu amat baik untuk tanah persawahan kelak. Terbayang dalam pikirannya bahwa di negerinya Minangkabau sawah adalah bentuk pertanian yang banyak dipergunakan.

Apa yang menjadi teka-teki selama ini telah dapat dipecahkan. Yang ditugaskan raja Penegak kepada Datuk Mangkuto Sati telah dapat diselesaikannya dengan baik. Bila dahalu ayah angkatnya mengisyaratkan agar ia dapat membuka tempat ini sebagai tempat pemukiman baru, ia sendiri setelah sampai ke daerah tersebut rasa tak hendak meninggalkannya lagi. Maka utusan pun dikirimnya menjelang ayah angkatnya untuk mengabarkan semua hal ihwalnya selama ini. Yang penting sekali dikabarkan adalah bahwa ia telah berhasil menemukan Bukit Bulan. Datuk Mangkuto Sati tak jemu-jemunya menyelidiki daerah yang baru di diaminya itu. Berhari-hari ia berjalan ke sana ke mari menjelajahi hutan lebat. Banyak hal-hal baru tentang rahasia alam yang ditemukannya. Ada-ada saja barang aneh seperti kayu yang seperti burung bentukya, sungai yang deras serta ikan yang jinak-jinak, batu-batu besar, semuanya amat menyenangkan hati lelaki petualangan itu.

Suatu hari Datuk Mangkuto Sati sampai ke persimpangan sebuah sungai. Di sana ditemukannya sebuah batu besar, yang sangat berhampiran dengan tepi sungai. Tempat sekelilingnya agak terang terhindar dari rerumputan. Di sekitar batu besar itu banyak terdapat tulang-belulang. Apa gerangan yang menyebabkan tulang belulang itu ada di sana? Satu persatu tulang belulang itu ditelitinya. Ketika Datuk mangkuto Sati akan meneliti lebih lanjut, ia amat terkejut, darahnya terkesiap sesaat. Ditempat itu dijumpainya sebuah botol tempat penyiduk air, dan tak jauh dari sana ada pula sebuah timbangan. Kedua benda tersebut diambilnya dan dibawanya ke pondoknya. Di tengah perjalanan menuju pondoknya tak habis-habis pikirannya antara tulang belulang dan kedua benda yang barusan didapatnya itu. Apakah tulang-belulang itu ada kaitannya dengan seekor harimau yang menjadikan tempat itu sebagai tempat menyeret setiap binatang yang berhasil ditangkap kemudian dimakannya di sana? Ataukah ada manusia yang menghuni daerah itu? Atau  apakah juga diantara tulang yang banyak itu ada tulang manusia? Tapi sayang  tak ada tengkorak manusia sebuah pun yang ditemukannya di sana. Siapakah yang menjadikan tempat itu sebagai tempat pangkalannnya ?

Esok paginya Datuk mangkuto Sati dan delapan kawannya kembali ke tempat itu. Mereka mengintai dan mengamat-amati dari jauh. Tiba-tiba tapak seperti seorang manusia berjalan mendekati batu itu. Kemudian makhluk aneh itu duduk berjuntai di atas batu besar tersebut. Serentak dengan itu kesembilan orang pengintai tersebut berlari sekencang-kencangnya menuju makhluk aneh  itu. Melihat ada yang mendekatinya, makhluk aneh itu pun lari pula masuk semak-semak. Kesembilan laki-laki itu mencoba meneruskan perburuannya, berputar-putar mengejar dari belakang. Mula-mula pengejaran  itu masih di sekitar batu itu saja, tapi makin lama makin jauh, dan akhirnya kembali pula ke dekat batu tadi. Makhluk aneh itu pun hilang lenyap tak tampak lagi. Datuk Mangkuto Sati makin sehari ke sehari makin terpancing dalam kegiatan perburuan yang terus-menerus. Keinginan untuk menangkap makhluk aneh itu makin menjadi-jadi dalam diri Datuk Mangkuto Sati. Pekerjaan lain suah tak dihiraukannya lagi, asyik berburu saja sepanjang hari. Namun makhluk yang diburunya itu tak kunjung dapat.

Dalam pada itu datang pula ke pemukiman Datuk mangkuto Sati, seorang lelaki. Lelaki itu bernama Datuk Mangkuto Alam, datang dari Minangkabau mencari adiknya yang sudah lama hilang merajuk ke negeri Jambi. Sama halnya seperti Datuk Mangkuto Sati, Datuk Mangkuto Alam pun sebelum sampai ke tempat adiknya, terlebih dahulu menetap di negeri Penegak di rumah raja ayah angkat Datuk Mangkuto Sati. Dari raja Penegak  inilah ia tahu dimana gerangan adiknya sedang berada. Ketika sampai di Bukit Bulan ditemuinya adiknya sedang asyik berburu. Kemudian ia terlihat ke dalam kegiatan itu. Namun makhluk yang diburu itu tak kunjung dapat. Hampir saja dapat tetapi setelah sampai ke dekat batu besar itu hilang lenyap tak tahu entah ke mana perginya. Datuk Mangkuto Sati bahkan tak hendak lagi berbalik ke pondoknya Siang malam ia hanya mengejar-ngejar makhluk aneh tersebut.

"Sudahlah!" kata Mangkuto Alam kepada adiknya yang sudah sangat capek itu. "Tak ada gunanya lagi engkau berbuat seperti orang gila. Makhluk yang engkau harapkan itu sangat cerdik. Kita sudah berpayah-payah saja."

"Kita harus bersama-sama menangkapnya!" jawab Mangkuto Sati tegas. "Hamba takkan hendak berbalik ke pondok sebelum makhluk itu dapat ditangkap." Maka mulailah orang lelaki yang sepuluh itu berunding kembali mencari jalan bagaimana cara yang paling tepat untuk menangkap buruan itu.

"Mula-mula kita kejar," terdengar pula ajaran Mangkuto Sati, kepada orang banyak. "Hamba telah menyelidiki batu besar di pinggir sungai itu, nampak berlobang dibawahnya. Nanti setelah kita kejar bersama-sama, hamba akan masuk ke dalam lobang itu. Tidakkah ini suatu rencana yang baik?"

"Perundingan telah putus," Besok pagi perburuan akan dilakukan.

Esok harinya dimulailah perburuan yang sangat meletihkan itu. Ketika mereka melihat makhluk aneh itu telah duduk pula di atas batu besar tempat yang biasa dipergunakannya itu, maka kesepuluh lelaki itu pun serentak mengejarnya. Saat makhluk itu separo jalan akan kembali. Datuk Mangkuto Sati bergegas masuk ke dalam lobang di bawah batu besar tempat makhluk tersebut biasa duduk berjuntai. Benar saja, makhluk yang diburu oleh kawan-kawannya telah kembali ke batu besar yang sedang ditunggu, Mangkuto Sati. Makhluk itu dapat dipegang kakinya oleh Datuk Mangkuto Sati. Saat itu barulah ia memekik minta tolong. 

Sebentar saja makhluk itu sudah terikat kaki dan tangannya dan langsung dibawa ke pondok. Sesampai di pondok segera diberi makan dalam tempurung. Aneh, makhluk itu tak hendak makan sedikit pun. Esoknya makanan diberikan lagi, tapi sudah ditaruh dalam pinggan. Barulah makhluk itu bersedia menyentap makanan yang diberikan tadi. Dengan kasih sayang Datuk Mangkuto Sati memelihara makhluk itu, tak ubahnya seperti memelihara sesuatu yang amat berharga. Bulu yang menghitam yang tumbuh dibadannya segera dicukur oleh Datuk Mangkuto Sati. Dan kemudian di mandikan dan dilangir. Selesai berlangir ia telah meminta kain. Rupanya telah timbul rasa malu dalam dirinya. Hari-hari selanjutnya kehidupan dua orang itu berjalan seperti biasa. Nyatalah bagi Mangkuto Sati yang disangkanya binatang itu adalah seorang wanita yang cantik. Lelaki itu pun sudah tahu bahwa wanita itu bernama Puteri Embun Putih anak raja dari negeri Rejang Lebong, yang datang ke Jambi karena melarikan diri sebab tak tahan menanggung kesedihan, sama seperti yang diidap Mangkuto Sati sendiri dahulu ketika lari ke Jambi.

Lama kelamaan kedua orang ini akhirnya hidup bersama sebagai suami istri, Dari perkawinan ini, Embun Putih melahirkan enam orang anak. Hanya lima orang yang ada kuburannya. Kuburan itu dapat ditemui di Sungai Berduri berdekatan dengan  kuburan Datuk Mangkuto Sati dan Puteri Embun Putih. Itulah pula di daerah ini dikenal Kalbu Nan Lima. Seorang anaknya tak diketahui di mana kuburannya. Menurut cerita nama anaknya yang tak diketahui kuburannya itu ialah Bujang Kurap. Sewaktu Bujang Kurap berjalan-jalan dalam hutan, ia bertemu dengan sebangsa makhluk yang waktu itu belum dikenal golongannya. Tapi penduduk lebih menyebutnya hantu. Sudah tujuh hari tujuh malam semenjak kepergiannya. Bujang Kurap tak jua berbalik. Orang sudah menganggapnya tewas, sehingga diadakan selamatan. Ditiga harikan, ditujuh harikan .... dan saat di empat puluh harikan Bujang Kurap muncul saja tiba-tiba mengabarkan ia terbawa ke dalam kehidupan warga orang halus. Katanya ia bertemu dengan sebuah dusun, disekitar Bukit Temalang sekarang. Penduduk sekarang menamakan Bukit itu Bukit Bujang Kura.

Kabar tentang Bujang Kurap yang demikian segera terdengar oleh ayahnya Datuk Mangkuto Sati. Beliau segeralah berangkat ke daerah itu untuk menyelidikinya sendiri. Sesampai di daerah tersebut ternyata memang ia bertemu dengan sebuah dusun. Di dusun tersebut ia bertemu dengan seorang pandai besi sedang mengerjakan pekerjaannya. Datuk Mangkuto Sati langsung menyapa pandai besi tersebut.

"Hei sedang mengapa gerangan Datuk, Tuk.... katanya kepada pandai besi yang sedang asyik bekerja itu.

"Takkah engkau lihat? Aku sedang menempa sebilah pisau! Dan engkau sungguh sangat lancang. Tanpa seizinku enak saja datang ke mari. Takkah engkau ketahui bahwa pisau yang sedang aku tempa ini adalah senjata yang sedang kupersiapkan untuk membunuh Datuk Mangkuto Sati?" Rupanya pandai besi itu tak mengetahui bahwa yang sedang berdiri di hadapannya adalah Datuk Mangkuto Sati, yang tersesat kesana mencari anaknya yang hilang.

"Sedangkan anaknya," lanjut pandai besi itu pula, "sudah menjadi warga kami dan sudah kawin dengan anak kemenakan kami".

"Tapi," kata Datuk Mangkuto Sati, "bolehkah aku menengok pisau itu barang sekejap?"

"Tentu saja boleh," jawab pandai besi itu.

"Terbuat dari bahan apa gerangan pisau itu?" tanya Datuk Mangkuto Sati. "Nah, ini suatu rahasia. Tapi tak apalah. Akan kukatakan kepadamu bahwa senjata ini terbuat dari bahan-bahan yang berbisa, bermiang, dari segala yang deras, dari segala yang pahir... pendeknya dari segala yang hebat. Nah, hanya dengan senjata yang seperti  inilah Datuk Mangkuto Sati dapat ditewaskan," pandai besi menjelaskan lagi.

"Bolehkah hamba menengoknya?" kata Datuk Mangkuto Sati sambil menahan marah dalam hati.

"Itulah! Pisau ini tiga bulan lagi akan sudah aku selesaikan Masalah engkau ingin melihat senjata ini agak sebentar tentu saja boleh. Nah, ini ambillah" Pandai besi itu pun menyorongkan senjatanya yang belum siap itu kepada Datuk Mangkuto Sati yang segera pula menerimanya.

"Inilah orangnya Datuk Mangkuto Sati" desis lelaki itu setelah senjata itu ada ditangannya.

Pandai besi itu terkejut bukan main. Mukanya pucat seketika dan segera menyembah, menyimpuh ke hadapan Datuk Mangkuto Sati.

"Baik kita saling mengaku bersaudara sajalah!" terdengar pandai besi itu memohon kepada Datuk Mangkuto Sati. "Pisau itu biar kita hancurkan kembali."

"Mana mungkin?" bentak Datuk Mangkuto Sati. "Aku akan menguji keampuhan senjata ini terlebih dahulu." Maka ditikamkanlah oleh Datuk Mangkuto Sati pisau tersebut ke sebuah batu ternyata batu itu hancur dibuatnya. 

"Datuk Mangkuto Sati melihat kepada pandai besi itu. Kasihannya segera terasa. Tak tega hatinya untuk menikamkan pisau itu kepada pandai besi yang bodoh itu. Maka pandai besi itu segera  diajaknya berunding.
"Engkau tak perlu cemas," kata Mangkuto Sati. Aku ingin berunding denganmu. Tapi engkau kumpulkanlah dulu warga kampungmu. Dan jemput kakakku, istriku, anak-anakku yang masih  kecil-kecil, serta delapan orang teman-temanku di Bukit Bulan dan hari ini juga harus engkau selesaikan." Dengan adanya ketentuan yang demikian cepat-cepat pandai besi itu berangkat melaksanakan tugasnya. Setelah semua warga dusun Pandai Besi itu berkumpul dan semua orang yang disuruh jemput tadi sudah hadir di tempat itu, maka perundingan pun segera dimuali.

"Apa tanda kita berdunsanak, Datuk Pandai Besi?" tanya Datuk Mangkuto Sati. "Kalau memang itu yang engkau kehendaki?"

"Begini, jawab pandai besi itu ketakutan. "Sebelumnya akan kuberitahukan bahwa kami ini bukanlah warga manusia. Kami adalah warga makhluk halus yang tak dapat dilihat oleh mata biasa sembarang orang. Apa tandanya atau buktinya kita bersahabat? Nanti apabila ada diantara warga Datuk yang menderita sakit misalnya perutnya gembung, atau anak kecil matanya terbalik-balik, maka saat ini aku tunjukkanlah apa obatnya yang sebaiknya." Maka disebutkanlah oleh pandai besi itu beberapa ramuan yang dapat dijadikan obat. Ternyata sampai sekarang obat yang terdiri dari bermacam-macam ramuan yang telah disebutkan pandai besi makhluk halus masih tetap dipakai oleh penduduk dalam kawasan Marga Bukit Bulan. Maka demikianlah akhirnya terikat tali persahabatan antara penduduk negeri Bukit Bulan dengan warga makhluk halus yang mendiami daerah sekitar Bukit Temalang. Sedangkan pisau yang belum siap itu dihancurkan saat itu juga disaksikan oleh yang hadir dalam perundingan tersebut.

Suatu hari Datuk Mangkuto Sati beserta istrinya Puteri Embun Putih berjalan-jalan pergi berburu masuk hutan. Mereka mencoba menyelusuri Batang Sungai Berduri arah ke hulu. Dikatakan Sungai Berduri, karena di sepanjang tepi sungai itu banyak onak berduri tumbuh bergelantungan. Sungai ini merupakan cabang dari Batang Limun. Ketika mereka dua suami istri itu sampai di tempat yang sekaranag bernama Kuburan Tinggi, nampak gergasi suami istri sedang menangkap udang. Gergasi itu sendiri tahu ada manusia yang sedang memperhatikan mereka Datuk Mangkuto Sati dan istri bergerak ke sebuah batu besar yang banyak terdapat di situ. Ketika gergasi yang ada di bawah berlari ke atas mengejar mereka. Datuk Mangkuto Sati cepat-cepat menggulingkan batu tadi dan tepat mengenai gergasi jantan yang tertatih-tatih menaiki tebing bukit. Melihat itu gergasi yang betina berlari pula mengejar Datuk Mangkuto Sati dan istrinya. Saat yang gawat itu beliau segera meminta tolong kepada Yang Maha Kuasa. Rupanya permintaannya dikabulkan, maka perkelahian itu dapat dimenangkannya.

Sumber : Cerita Rakyat Daerah Jambi oleh Drs. Thabran Kahar; Drs. R. Zainuddin; Drs. Hasan Basri Harun; Asnawi Mukti, BA
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Bukit Bulan dan Datuk Mangkuto Sati Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Bukit Bulan dan Datuk Mangkuto Sati Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Bukit Bulan dan Datuk Mangkuto Sati"

Post a Comment

Cerita Lainnya