Asal Muasal Nama Pulau Siau

Alkisah Rakyat ~ Pulau Siau secara geografis terdiri dari dua bagian dimana bagian barat dan bagian timur. Kedua bagian ini dibatasi oleh sebuah pegunungan. Keadaan ini masih berlaku sampai sekarang sehingga pulau Siau dibagi menjadi dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Siau Barat dan Kecamatan Siau Timur.


Konon, dahulu kala di daratan bagian barat (wilayah Siau barat sekarang) hiduplah satu keluarga kecil, yaitu keluarga Manganguwi – Bibi-bibi. Manganguwi dan Bibi-bibi dikaruniai oleh Tuhan seorang anak laki-laki. Pada waktu lahir, anak itu diselumuti oleh selaput yang serupa dengan getah. Getah dalam bahasa daerah pulau itu disebut sense. Itulah sebabnya, anak itu disebut Sense atau Getah. Oleh kedua orang tuanya ditambah dengan panggilan kesayangan “Madunde”. Anak itu bagaikan madu dalam kehidupan mereka sehingga jadilah sebuah nama yang indah yang punya makna sangat berharga dalam sejarah keluarga Manganguwi – Bibi-bibi. Tampillah sorang anak laki-laki yang dinamai Sense Madunde.

Orang tua Sense Madunde adalah petani, tetapi Sense Madunde tidak seirama dengan orang tuanya. Sejak kecil Sense Madunde senang bermain dengan sumpit, menginjak usia dewasa. Saat ini tak ada lagi orang dewasa menyayangi permainan jenis sumpit itu sebab generasi sekarang ini hidup di dunia yang cukup canggih sekaligus penuh kesibukan.

Demikianlah kehidupan keluarga Manganguwi – Bibi-bibi, sehari –harinya sibuk dengan mencari makan, tidur dan istirahat. Tidak ada kesibukan untuk beibadah, tidak ada kesibukan untuk menghadiri undangan pesta, tidak ada kesibukan untuk upacara kerajaan, tidak ada kesibukan untuk menjenguk keluarga yang sakit, tidak ada kesibukan untuk pergi ke sekolah dan lain-lain.

Kegiatan Sense Madunde hanya memainkan sumpitnya. Ini merupakan mata pencaharian baginya karena dengan sumpit itu ia memperoleh burung yang sangat banyak untuk dijadikan lauk-pauk mereka sekeluarga.

Suatu ketika di hari yang cerah, Sense Madunde melihat sekawanan burung yang terbang menuju pegunungan. Dengan tekad seta semangat yang berap-api dikejarnya kawanan burung itu.

Ia masuk hutan, dan naik gunung dan akhirnya tibalah dipegunungan perbatasan. Seekor burung pun tak diperolehnya. Tubuhnya mejadi lemah, ia lapar dan sangat lelah sehingga tertidur di bawah pohon.

Setelah bangun, ia duduk termangu-mangu, kedengaranlah olehnya bunyi semburan air bagaikan ada orang yang sedang mandi.

Di kumpulkannya kekuatannya, dipanggulnya sumpitnya, lalu ia menuruni pegunungan itu menuju bunyi semburan air.

Sesaat kemudian, Sense Madunde terpaku, seakan-akan tidak percaya pada penglihatannya. Sembilan orang putri kayangan (bidadari) sedang mandi dalam keadaan telanjang bulat, setiap bidadari sedang menghadap sebuah kolam. Sense Madunde tidak melewatkan kesempatan. Ia mundur mencari tempat yang agak terlindung dari pandangan sembilan orang bidadari tersebut, diamatinya dari jauh.

Tampaklah olehnya sesusun pakaian terletak di bawah sebuah pohon yang rimbun dekat sembilan kolam tersebut. Timbullah suatu tekad untuk mempergunakan senjata kesayangannya. Diambilnya sumpit, kemudian disetelnya baik-baik. Ujung sumpit diarahkan pada susunan baju-baju itu, kemudian diisapnya sumpit itu secara teratur hati-hati sekali. Masuklah sehelai baju sutra buatan kayangan ke dalam tabung sumpit Sense Madunde.

Waktu mandi telah usai. Bidadari-bidadari kini mulai dari yang tertua secara bergantian kembali mengenakan baju masing-masing. Apa yang terjadi? Setelah nomor delapan, baju tak ada yang tersisa. Bagaimana nasib bidadari yang kesembilan atau yang si bungsu? Dicarinya bajunya ke sana kemar, ternyata tidak ditemukan.

Waktu pulang ke kayangan telah tiba. Dengan sangat terpaksa berbicaralah bidadari yang sulung. “Kami harus pulang, tinggallah kamu di sini. Carilah baju itu dahulu, kalau sudah ada, susullah kami.”

Sesaat kemudian, menghilanglah kedelapan orang bidadari yang berpakaian, terbang kembali ke kayangan. Tinggallah si bungsu dalam keadaan masih sedih dan menangis.

Kesempatan yang baik bagi Sense Madunde mendekati bidadari bungsu dari belakangnya. Mendengar bunyi daun-daunan bergesek, bidadari bungsu mengangkat muka sambil menoleh ke belakang. Aduh, takutnya ! Kaget, risau ia melihat seorang pria tegap, gagah perkasa  yang mendekatinya.

Bertanyalah bidadari kepada Sense Madunde. Bidadari itu termenung. Dalam hatinya berkecamuk bermacam-macam perasaan. Mau bertahan di hutan tanpa baju, tidak mungkin. Mau menyerah pada permintaan Sense Madunde, rasanya terlalu janggal mengikuti seorang pria yang baru dikenal semenit yang lewat. Menyayangi nyawa memang satu hal yang paling mendasar sehingga tak ada jalan lain yang dapat ditempuh, selain mengikuti laki-laki itu yang mencuri bajunya. Bidadari berdiri, lalu melangkah maju, Sense Madunde mengikutinya dari belakang.

Kini perasaan Sanse Madunde seakan-akan berada dikayangan. Usaha menyumpit burung tidak dilanjutkannya. Ia pulang, sumpit yang kini dibawanya yang berisi baju bidadari, bahkan bidadari sendiri pun turut tersumpit. Sense Madunde bersama putri kayangan yang diberi nama Sangheno kini membentuk satu rumah tangga.

Sense Madunde – Bidadari ( Sangheno) memperoleh anak yang bernama Pahawong Suluge. Pahawong Suluge – Ombunduata (putri Bawonttehu) memperoleh anak, yang diberi nama Lokongbanua. Longkobanua menjadi raja pada tahun 1511. Selain penduduk asli keturunan Sense Madunde juga telah ada perpindahan penduduk dari Campa, Indo Cina dan menetap di situ.

Tahun 1516, masuklah sebuah kapal Spanyol Portugis. Orang-orang itu mendirikan benteng di situ.

Raja Lokongbana dan permaisuri Mangindampele (putri Manado Tua) memperoleh anak, yang diberi nama Pasuma dan Angkumang. Pasuma jadi jogugu, sedangkan Angkumang tinggal bersama dengan ayahnya.

Pada tahun 1540, Raja Lakongbanua meninggal dunia. Angkumang, adik Pasuma, diangkat menjadi raja pengganti ayahnya.

Padahal, sesuai dengan peraturan waktu itu, bila raja meninggal dunia, yang berhak menduduki takhta kerajaan adalah anak sulung. Karena Angkumang merasa berhak sebab dia selalu dekat dengan ayahanda Raja Lakongbanua, ia tetap mempertahankan kedudukannya. Masing-masing merasa mempunyai hak, baik Pasuma sebagai anak sulung maupun Angkumang, karena tidak tercapai kesepakatan, timbullah peperangan antara keduanya.

Pegunungan yang membatasi wilayah masing-masing yang disebut Pegunungan Bunuh, dipotong. Terjadilah pertempuran yang hebat di perbatasan itu, di daerah sembilan kolam, antara pasukan Pasuma dan pasukan Angkumang. Angkumang kalah, Pasuma maniki takhta kerajaan menggantikan ayahanda raja Lokongbanua.

Terbukalah hubungan antara kedua wilayah itu. Sementara itu, Pegunungan Bunuh telah diratakan. Daerah Pegunungan Bunuh, yaitu daerah sembilan kolam dari sembilan bidadari, kini menjadi daerah pemukiman. Mata air dari sembilan putri kayangan itu menjadi sumber pengambilan air dari penduduk yang tinggal di situ.

Sembilan di dalam bahasa daerah Pulau Siau disebut Sio. Penduduk campuran, terutama bangsa Portugis agak kaku menyebut Sio, kedengarannya Siou atau Siau. Dari kata sembilan atau Sio itu muncullah nama yang membudaya, yaitu Siau.

Demikianlah muncul nama Siau atau Pulau Siau, yang semula bernama Karangetang.

Sumber: Cerita Rakyat Dari Sulawesi Utara Dan Sulawesi Tengah oleh Aneke Sumarauw Pangkerego & Pauline N. Tiendas

loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Asal Muasal Nama Pulau Siau Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Asal Muasal Nama Pulau Siau Sebagai sumbernya

0 Response to "Asal Muasal Nama Pulau Siau"

Post a Comment

Cerita Lainnya