Asal Mula Nama Sungai Amandit

Alkisah Rakyat ~ Dataran rendah di kaki gunung Madang, kecamatan Batung sekarang, dahulunya adalah sebuah desa yang subur, pemandangan alamnya yang indah mempersona. Tetua daerah adalah JUlak Lampihung (julak = kakak tua ayah/ibu) yang harinya dipanggil Julak Pihung. Kampung tersebut, merupakan deretan pondok yang berderet-deret rapi sepanjang jalan. Cucu Julak Pihung, Idang Siritan, adalah seorang gadis yang terkenal ramah - tamah pandai bergaul baik dan pandai membawa diri. Tidak membedakan martabat dan kedudukan seseorang dalam pergaulan; yang dia pandang bagaimana kelakuan dan sopan santunnya. Ibu Idang Siritan, sehari-harinya dikenal orang dengan panggilan Ma Idang, sedang nama lengkapnya adalah Tumiang. Mungkin nama gunung Madang itu asalnya dari kata Ma Idang menjadi Ma dang, menjadi Madang.


Idang Siritan, wajarlah kalau selalu menjadi buah bibi, pembicaraan muda-mudi, dimana pun berada, di kedai-kedai, di jalan-jalan, yang rupawan menawan hati setiap perjaka yang melihatnya. Lagi pula tingkah laku dan perangainya yang selalu menarik hati. Hanya karena segan kepada Julak Pihung tetua mereka sajalah, maka pemuda-pemuda tersebut tidak berani atau segan memperebutkannya sebagai isteri tambatan hati. Rupanya semakin tahun semakin berkembanglah kampung Madang ini, sebab kemakmuran yang selalu bertambah-tambah. Hasil huma tunggal, hasil hutan dan sebagainya selalu melimpah ruah. Berkat pimpinan tetua Julak Pihung, maka keadaan kampung aman, tenteram dan damai, sehingga penghuni kampung dapat mencari nafkah dengan tenteram, jauh dari rasa iri dengki dan kerisauan. Menurut ceritera, karena aman, tenteram, damai, teratur itulah rupanya yang merupakan gaya tarik bagi orang-orang dari luar, untuk datang mencari nafkah di Kampung Madang tersebut, sehingga menambah pesatnya perkembangan kampung itu.

Alkisah, ketika itu datanglah ke Madang seorang pemuda, entah dari mana asalnya bernama Tumirang. Sehari-harinya ia dikenal dengan sebutan Itum; berperawakan tinggi semampai, tampan, berbudi dan pandai bergaul, andai menesuaikan diri dengan warga kampung. Berhuma tugal, mencari kayu untuk membuat pondok dan sebagainya, yang lazim dilakukan seorang pemuda. Demikian juga Itum tidak ketinggalan. Itum telah mempunyai sebuah pondok yang tetak dan dibangun atas petunjuk tetua desa yaitu Julak Pihung. Hari bderganti hari, tahun beredar, Tumirang mencari nafkah di kam[ung Madang. Rupanya Yang Maha Kuasa, melapangkan rejekinya, sehingga ia dapat menabung sedikit-sedikit. Kemudian Itu, menjadi orang terpandang di kaki gunung Madang itu dan dipercayta sebagai pembantu dekat Julak Pihung dalam membina kampung Madang.

Dengan tugas yang baru ini, maka Itum adalah pemuda yang paling dekat dengan keluarga Julak Pihung. Setiap saat selalu berhubungan, bergaul rapat dengan keluarga tetua kampung tersebut. Karena kenalmaka cinta, kata pepatah. Demikian juga Itum sebagai pemuda yang setiap saat dihadapkan dengan Idang Siritan yang terkenal cantiknya. Diam-diam dalam hati Itum bersemi kuncup cinta, tertawan hatinya terhadap Idang Siritan. Macam-macam jalan dan cara ditempuhnya untuk menarik perhatian Idang, agar mau menaruh hati kepadanya. Idang Siritan rupanya belum tertarik kepada seorang pemuda, sehingga sikapnya pun biasa sajaterhadap Itum. Dianggapnya sebagai teman biasa, a[palagi dia adalah pembantu neneknya dalam mengatur, menjaga dan membina desanya. Tetapi Itum lain halnya, semakin hari semakin mendalam cintanya terhadap Idang, sehigga ditetapkannya dalam hati untukmelaksanakan maksudnya dengan cara apa pun juga asal bisa mempersunting bunga rupawan kaki Gunung Madang, yaitu Idang Siritan Bertambah hari, bertambah berat hati Itummendendam rasa. Akan berterus terang, segan pada Julak Pihung, juga takut kalau cintanya ditolakoleh Idang Siritan.

Pada suatu senja, awan putih bergumpal-gumpal melintasi kampung Madang, awal dari kisah hidup Idang Siritan. Awan membubung sambun g-mnyambung semakin menghitam, kilat menyambar, guntur menggelegar membahana laksana membelah bumi. Hujan mulai turn sejak matahari masuk keperaduannya. Kesunyian kampung Madang, ditambah deras hujan turun malamitu, menambah suasana sun yi, apalagi bagi Itum, yang sedang tidur seorang diri. Terbayang wajah tambatan hatinya Idang Siritan.Bagaimanakah caranya, untuk dapat segera mempersunting bunga idaman, kuncup harapan ini. Malam kelam yang menyeramkan bulu roma itu telah mendesak Itum untuk melaksanakan maksudnya dengan cara bagaimana pun juga, Itum sebagai pemuda, kecuali pandai memela diri, sigap dan tangkas sepak terjangnya, mempunyai juga ilmu dalam, yang tidak dimiliki o;eh orang lain dalam kampung Madang ketika itu, Itum dapat merubah dirinya, menjelma menjadi macan putih yang sangat ganas dan sangat jahat, yang oleh daerah sekitarnya disebut halimaung. Malam itu, halimaung jadi-jadian, geger keluarga Julak Pihung, demi diketahui bahwa cucu kesayangannya hilang tanpa diketahui siapa yang melarikannya. Dikumpulkannya seluruh warga kampung untuk bermusyawarah bagaimana mengatasi hal tersebut.

Ternyata Tumirang tidak ada dalam pondoknya, sehingga penduduk curiga kepadanya. Orang mulai bertanya-tanya, kalau bukan si Itum siapakah lagi yang melarikan Idang itu. Itum adalah pemuda yang selalu dekat dengan Julak Pihung, itu yang mendapat kepercayaan dari tetua desa. Itum banyak mengerti bagaimana rumah tangga Julak Pihung. Sementara itu, beberpa pemuda diam-diam telah menghubungi seorang tabit, seorang juru tenung, yang terkenal pandai berhubungan dengan orang-orang gaib; bernama Paimau. Dijemputnya tabit tersebut ke kampung Madang, untuk membantu mengetahui dimanakah Idang Siritan itu. Maka segera setelah diadakan persiapan seperlunya oleh tabit Paimau itu, tampaklah tabit mulai melakukan usahanya dengan menggunakan sebuah kendi dari tanah betisi air. Dari dalam kendi  mengepul asap menghitam; maka kata tabit: Idang Siritan masih hidup, hanya jalan yang harus ditempuh untuk mengambilnya amat sulit. Idang disembunyikan oleh halimaung jadi-jadian, penjelmaan Tumirang dalam suatu gua, disimpan di dalamsebuah bejana. Idang Siritan telah berubah bentuk berujud sekuntum melati dalam bejana batu yang selalu dijaga oleh halimaung yang ganas dan jahat itu. Kata Tabit Paimau, bahwa tidak setiap manusia dapat selamat masuk ke dlama gua menjemput Idang Siritan itu, kecuali mereka yang mempunyai ciri atau tanda-tanda tertentu yang akandiselidikinya terlebih dahulu oleh tabit Paimau tersebut. Maka disuruhnya seluruh pemuda yang akan membantu mencari Idang Siritan itu datang untuk diperiksa tubuhnya oleh tabit Paimau. Ternyata tidak seorang pun di antara pemuda kampung Madang itu yang mempunhai ciri-ciri yang bisa mendapatan Idang Siritan itu.

Ada seorang pemuda ketika itu yang tidak turut hadir untuk diperiksa, berhubung pemuda tersebut sakit kult,cacat tubuhnya, suaranya mingsang (suara orang yang tidak normal hidungnya). Maka pemuda itu dijemput dan dihadapkan kepada tabit Paimau. Ternyata oemuda cacat yang berkurap dan penuh penyakit kulit itu bernama Bahara Mingsang. Inilah justru yang memenuhi syarat untuk menjemput Idang Siritan. Demi didengar oleh Juluk Pihung bahwa ada pemuda yang memenuhi syarat untuk mendapatkan cucu kesayanganna atau bisa menyelematkan Idang Siritan, maka dengan tidak sadar ia berjanji dihadapan orang banyak, bawa apabila Idang sudah kembali denganselamat, akan kami kawinkan dengan Bahara Mingsang. Selesai seluruh petunjuk tabit Paimau diterima oleh penduduk, maka dibawalah pemuda cacat Bahara Mingsang dengan tandu bersama-sama penduduk menjemput Idang Siritan, ke sebuah gua yang jauh dari kampung Madang, penuh dengan hutan yang menyeramkan,sesuai dengan keterangan tabit Paimau. Namunperjalanan sangat sulit, akhirnya mereka sampai ke tempat yang dituju di mana Idang Siritan disembunyikan. Tandu penggotong Bahara Mingsang diletakkan orang pada mulut gua. Tabit Paimau membaca mentera-mantera memberi petunjuk kepada pemuda Bahara Mingsang untuk segera memasuki gua tersebut. Ia dibekali sebuah cermin kecil dan  disuruh mengamil apa saja yang dilihatnya di ekat seekor macan putih dalam gua tersebut. Baik itu berupa sekuntum melati zeperti yang tampak dalam petunjuk dalam kendi, maupun berbentk lainnya, karena benda itulah penjelmaan dari Idang Siritan tersebut.

Begitu pemuda Bahara Mingsang masuk ke dalam gua, turnlah hujan amat deras. Angin ribut bukan main kencangnya, kilat dan petir sabung menyabung, melemahkan semangat pengiring Bahara Mingsan di luar gua tersebut. Maka diusahakan oleh tabit Paimau untuk meredakannya dan ternyata berhasil, keadaan pulih sebagai biasa. Dalam keadaan yang angat menegangkan bulu roma mereka menunggu pemuda Bahara Mingsang keluar dari dari gua. Tabit Paimau memperingatkan bahwa nanti kalau dalam perjalanan pulang, jangan ada di anatar mereka yang meludah, jangan ada yang buang air kecil, atau memakan buah apa saja yang putih warnanya. Kalau hal itu dilangar, maka macan putih penjelmaaan Tumirang akan terbangun dan sangat membahayakan mereka semua. Di luar gua yang semula gelap gulita,muali sedikit demi sedikit terang, berangsur-angsur suasana tegang kembali seperti semula. Sementara itu tampak pemuda Bahara Mingsang keluar dari gua membawa setangkai bunga melati dan langsung diserahkannya kepada tabit Paimau, lalu di bacakan mentera agar kembali menjelma menjadi manusia seperti Idang Siritan. Sementara itu dipersiapkan orang zebuah tandu untuk mengangkut Idang Siritan, yang masih dalam keadaan belum sadar.

Dalam perjalanan pulang merek harus melakukan pantangan atau pemali sesuai dengan petunjuk tabut Paimau. ebelum fajar menyingsing sampailah rombngantersebut ke kampung Madang, dan Idang Siritan masih belumterbngun dan belum sadar. Maka ditidurkan ia dalambilik di pondoknya, sedang jiwanya kata tabit  Paimau masih berbahaya.Seluruh rakyat dan keluarga Julak Pihung menunggu-nunggu petunjuk selanjutnya dari tabit Paimau,yang memerintahkan agar seluruhrombngan beristirahat dan tabit Paimau akan berusaha untuk menguatkanIdang iritan itu kembali sebelumjam 02.00, siang yakni  sebelum matahari tenggelam. Sebuah lampu tetap menyala di dekat Idang Siritan yang masih belum sadarkan diri itu. Berita ditemukannya Idang Siritan meluas sampai keluar kampung Madang; dan sementara itu orang menunggu0nunggu jam 2.00 siang, yang menurut tabit Idang Siritan akan sadarkan diri. Benarlah sebelum matahari tenggelam. Idang Siritan sudah sadar kembali seperti sediakala, tapi tidak dapat menceriterakan apa yang telah dialaminya sebab hal itu diluar kesadarannya. Tercengang-cenganglah demi dilihat  sekitarnya berkerumun manusia begitu banyak, seolah-olah masing-masing penuh tanda tanya. Sebelumnya Idang tidak percaya bahwa dirinya habis dilarikan oleh Halimaung, macan putih jadi-jadian penjelmaan Tumirang. Karena tidak mengira kalau Tumirang menaruh hati keadanya, walaupun pernah terasa tusukan pandangan Tumirang, ketika dia mengambil gergaji untuk membantu neneknya bekerja. Terasa ketika itu pandangan mata Tumirang mengandung panah asmara. Pernah juga Tumirang berkata kepadanya ketika dia duduk sendirian di halaman rumahnya: Apakah obatnya liur pahit itu?. Ketika itu dengan cepat dijawab oleh Idang, makanlah rujuk  mangga muda. Semuanya itu masih teringat oleh Idang Siritan, namun tidak mengira kalau Itum menaruh hati kepadanya. Barulah ia percaya setelah seluruh yang hadir diperhatikannya. Mereka kelihatan baru pulang dari perjalanan jauh menjemput dirinya dari gua tempat persembunyiannya.

Malam pertama diadakan selamatan besar-besaran. Semua tetua desa diminta hadir untuk menyaksikan upacara tepung tawar yang dilakukan oleh tabit Paimau. Selamatan pertama disediakan dodol muda, buah kelapa merah tampuk dan pisang kidung dengan beberapa biji telur untuk orang gaib, telah dilaksanakan. Selesai selamatan, Juluk Pihung akan menyampaikan ucapan terima kasih kepada masyarakat dan akan memenuhi janjinya untuk mengawinkan Idang dengan Bahara Mingsang. Maka hal ini disambut baik oleh masyarakat. Pemuda lain tidak ada yang iri hati, karena hal itu adalah pilihan tabit Paimau, sesuai dengan petunjuk dalam ramalan bahwa Bahara Minanglah yang dapat menyelamatkan Idang Siritan. Hari berikutnya, disiapkan orang peralatan untuk melaksanakan upacara perkawinan Bahara Mingang dengan Idang Siritan. Telah diatur tempat pengantin bersanding, tempat nasi bdrhadap-hadapan, lilin terpasang pada tempatnya gapura, naga laki-bini, dinding sasaran air guci, semut beriring tergantung sudah, dinding tambal terpasang se keliling rumah, tempat untuk acara memercikkan air ke kepala pengantin sudah tercium harumnya, dengan campuran minyak wangi yang ada didalamnya. Tempat untuk meletakkan gamelan, karena sejak malam pertama sampai malam ketiga akan diadakan pertunjukan wayang dan topeng. Telah ditaur pula susunan dan urutan kesenian apakah yang akan dipergelarkan pada malam-malam tersebut, sejak mamanda, madihin, balamat, bakisah, baandi-andi, basair dan sebagainya. Ramailah persiapan orang ketik itu. Sedangkan dalam diri Idang sebenarnya terlintas perasaan, bahwa tidak sependapat ia dikawinkan denga Bahara Mingsang. Namun karena dialah yang menyelamatkan dirinya, maka diterima nasibnya dengan penuh keikhlasan.

Lalu dilaksanakan upacara perkawinan antara Idang Siritan dengan pemuda cacat penuh kurap. Bahara Mingsang menjadi perhatian seluruh hadirin dan buah bibir masyarakat, tetapi tidak berani mereka terang-terangan, karena segan dengan Juluk Pihung. Berakhirlah upacara perkawinan degan meriah tidak kurang suatu apa pun. Beberapa bulan setelah perkawinan Idang Siritan dengan Bahara Mingsang, rupanya belum dicapai keserasian dalam rumah tangga pengantin baru ini. Maklumlah Bahara Mingsang orangnya cacat jasmani, badan penuh dengan kurap dan tidak sehat. Sering terlintas di hati Idang Siritan rasa penyelesalannya, mengapa tidak lebih baik dahulu menerima cinta kasih Tumirang yang gagah, tampan, sanggup memenuhi hasrat mudanya, menikmati madunya pengantin baru yang telah lama ditunggu-tunggu.

Semakin lama semakin bertambah penyesalannya, semakin tertekan batinnya. Harapan untuk menikmati malam-malam indah seperti layaknya rumah --tangga baru hanyalah kenangan dalam kalbu. Semua musnah bagaikan setetes embun di pagi hari lenyap dilanda sinar sang surya. Dalam hati pemuda Bahara Mingsang terjadi juga hal yang serupa itu. Terasa dalam dirinya, bahwa perkawinannya dengan Idang Siritan tidaklah seimbang, hanyalah karena kehormatan belaka, untuk memenuhi janji, karena telah meresa berhutang budi. Namun sebagai pemuda, merasa tersika dirinya sebab belum mampu memenuhi tugas sebagai suami, karena keadaan jasmininya. Tekanan dan siksaan dalam batinnya tak dapat ditahannya setiap malam selalu mengganggunya. Namun apa hendak dikata, suratan takdir menghendakinya.Sehingga pada suatu malam yang teramat dingin di kampung Madang dan belum pernah sedingin malam itu, Bahara Mingsang yang sedang tidur merasa seolah-olah ada yang membangunkannya. Sedang siangnya baru saja ia bercakap-cakap dengan isterinya Idang Siritan yang cantik, baik perangainya walaupun suaminya cacat jasmani, berkurap dan berkudis, tapi karena sudah nasib dirinya tetap dihormatinya sebagai suami.

Menjelang kokok ayam yang pertama malam itu, Bahara Mingsang baru tidur. Ia terbangun karena bermimpi. Dalam mimpinya, ia merasa seolah-olah diberi kain hijau, baju hijau dan setelah dipakainya baju tersebut dia meresa sehat seperti pemuda lainnya, tidak lagi cacat jasmaninya. Kemudian ia berjalan menuju sebuah sungai yang sangat jernih airnya dekat serumpun bambu yang sangat subur tumbuhnya. Sungai itu merupakan dinding untuk memelihara keluarga  Juluk Pihung dari gangguan seekor macan putih  penjelmaan diri Tumirang yang selalu berusaha mengganggunya. Dalam mimpinya, Bahara Mingsang diperintahkan agar memperpanjang sungai tersebut mulai dari rumpun bambu tersebut terus ke muara. Kalau kau memperpanjang sungai tersebut, akan ada buih yang akan menyembuhkan penyakit kulitmu. Disamping itu kau akan mendapatkan senjata berupa keris dari kayu besi. Ketika Bahara Mingsang terbangun, orang tua yang tampak dalam mimpinya sudah tidak ada.

Pagi itu juga Bahara Mingsang menyiapkan segala perkakas untuk menggali sungai seperti petunjuk dalam mimpinya itu. Pagi masih gelap, Bahara Mingsang telah menuju tempat yang ditunjukkan dalam mimpinya itu. Penggalian dimulailah, serta apa yang terjadi dalam mimpinya itu semua terbukti. Buih putih membentang di sungai dan ditemukannya keris dari kayu besi dan sungai telah meluas memanjang mengelilingi kampung di mana Idang Siritan tinggal sebagai pengaman keluarga Juluk Pihung. Ketika keluarga Juluk Pihung bangun pada pagi itu, terkejut bukan kepalang demi dilihatnya air melimah disangkanya banjir melanda kampungnya dan dikiranya pulatelah terjadi tanah longsor. Idang Sirirtan ketika itu juga turut berlari keluar menyaksikan apa yang sedang terjadi dekat rumpun bambu dekat rumah atau pondoknya. Sambil berteriak-teriak: Banyu pandit, banyu pandit artinya air surut - air surut. Karena suaranya mingsang Bahara Mingsang menyambung pula: Ha, ha, ha, haaaa, mandit, mandit. Demi dilihat oleh Idang Siritan akan suaminya itu terkejutlah ia mengapa suaminya pagi-pagi buta sudah mandi ditempat tersebut mempermainkan air. Tampak badannya sembuh dari segala penyakit yang melekat pada tubuhnya.

Idang Siritan segera memanggil nenek dan keluarganya lain untuk menyaksikan keadaan tersebut seperti dalam mimpi saja. Kemudian Bahara Mingsang dijemput oleh Julak Pihung dan dibawanya pulang. Alangkah gembira hati Idang Siritan demi dilihat suaminya sehat, segar bugar, tidak ada tanda-tanda bekas penyakit atau cacat pada tubuhnya. Sementara itu Bahara Mingsang menceriterakan, bahwa apa yang telah dilakukannya adalah kerena peyunjuk dalam mimpinya. Sungai itu dibuatnya sebagai pelindung dari bahaya ancaman macan putih yang selalu mengganggunya. Keris kayu besi itu sebagai penolaknya. Sejak peristiwa di atas terasalah keamanan dalam keluarga Juluk Pihung, tidak lagi selalu diganggu oleh macan putih penjelmaan Tumirang. Juga dalam keluarga Idang Siritan beserta suaminya Bahara Mingsang, mulailah timbul kebahagiaan hidup sebagai layaknya rumah tangga baru. Sejak itulah Bahara Mingsang mampu menunaikan tugasnya sebagai pemuda yang wajar, pemuda yang sehat, tidak cacat jasmaninya. Mampu membahagiakan isterinya. Macan putih penjelmaan Tumirang telah menganam bahwa akan tetap mengganggu anak cucu keluarga Juluk Pihung sampai beberapa keturunan. Sebaliknya Bahara Mingsang berpesan agar anak cucu dan keturunannya selalu memakai keris kayu besi, sebagai penolak bahaya yang dapat ditimbulkan oleh macan putih jadian penjelmaan Itum.

Alkisah, pada suatu hari pergilah Bahara Mingsang bersama isterinya ke sebuah hutan yang agak jauh dari kampungnya. Mereka bermaksud akan mencari kayu yang besar untuk perabotan rumah. Mereka akanmendirikanrumah yang lebih besar dari pada rumah Juluk Pihung yang mereka tempati. Ketika keduanya mencari kayu di hutan tersebut, dijumpainya sebuah pondok kecil, tdak diketahi siapa pemilik pondok tersebut. Dalam pondok itu di jumpai beberapa sisirpisang yang sedang mulai masak. Demi dilihat Idang Siritan akan pisang tersebut, titiklahg liurnya  ingin memakan pisang itu, lebih-lebih lagi rupanya Idang Siritan sedang mulai berbadan dua. Sebenarnya, Bahara Mingsang tahu bahwa diri Tumirang sering menjelma dalam berbagai bentuk untuk selalu mengganggu keluarganya itu. Tetapi ketika itu, karena sayangnya terhadap isterinya yang mulai berbadan dua, maka tidak sampai hati untukmelarang isterinya agar jangan memakan pisang tersebut, yang mungkin adalah bukan pisang yang sewajarnya tetapi adalah penjelmaan Tumirang. Selesai memakan pisang dalam pondok itu, keduanya meneruskan perjalanan lagi. Tidak jauh dari mereka itu ada pohon yang besar, yang menurut perkiraan mereka cukup untuk perabot rumah yang akan didirikannya nanti. Ternyata setelah mereka sampai dekat pohon tersebut, benarlah bahwa pohon itu besar sekali.

Segera pohon tersebut ditebangnya. Mereka itu telah empat hari, empat malam di dalam hutan tersebut. ementara itu Idang Siritan sudah mulai sakit perut dan Idang merasa bahwa dirinya telah melahirkan anak, tapi anak tersebut begitu lahir begitu hilang ataugaib. Sementara itu terdengarlah suara, bahwa anak yang gaib itu menjadi Iyang Batara dan sebenarnya anak ini adalah anak Idang Siritan dengan Tumirang, bukan dengan Bahara Mingsang. Menurut kisah hal ini kerena Idang Siritan memakan pisang dalam pondok di hutan tersebut. Ketika pohon yang ditebangnya rebah, turunlah hujan amat lebatnya, bercampur kilat dan halilintar sangat menyeramkan bulu roma. Hujan turun bagaikan dicurahkan dari langit. Karena hujan deras di hutan tersebut, air sungai melimpah-limpah, terjadilah banjir besar, melua-luap melanda desa sebelah menyebelah sungai tersebut, tidak luput kampung Madang, dilanda banjir besar juga. Akhirnya musnah habis terkikis air tanpa meninggalkan bekas sedikit jua pun. Idang Siritan pun menjadi korban juga dari sungai Amandit, asal sebutan Bahara Mingsang dari Ha Mandit.

Dalam kisah, dulu Idang Siritan katanya setiap tahun meminta korban, sebabsetiap tahunnya selalu ada manusia yang mati terbenam dalam sungai Amandit itu. Kayu besar yang ditebang oleh Bahata Mingsang sebenarnya bukanlah kayu biasa, tetapi seekor naga besar yang akhirnya naga ini menuju ke laut. Sedang Bahara Mingsang sendiri setelah terlanda banjir berubah menjadi gajah mina, yang kadang-kadang timbul di teluk-teluk yang dalam atau sering menimbulkan suara seperti bunyi meriam, apabila  sungai Amandit banjir.Dibeberapa tempat  di sungai Amandit, misalnya di Teluk berhantu, Sungai Kalang sering terdengar suara menggelegar apabila banjir akan datang. Dengan adanya banjir yang melanda kampung Madang habislah riwayat keluarga Bahara Mingsang dengan Idang Siritan bersama seluruh penduduk kampung tersebut. Sisa riwayat desa Madang tinggal sungai Amandit saja bekasnya. Kali Amandit adalah kali yang aman dan kadang-kadang pandit (surut), tetapi cukup menyeramkan kalau banjir. Kalau sedang banjir air sangat deras dan banyak potongan kayu atau potongan sisa-sisa tebangan kayu penduduk yang bekerja di hutan. Sampai  sekarang hampir setiap tahun ada orang yang mati dalam sungai Amandit tersebut. Begitulah kisah asal nama sungai Amandit, sungai yang merupakan urat nadi Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan ibu kota Kandangan.

Sumber : Ceritera Rakyat dari Kalimantan Selatan
 
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Asal Mula Nama Sungai Amandit Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Asal Mula Nama Sungai Amandit Sebagai sumbernya

0 Response to "Asal Mula Nama Sungai Amandit"

Post a Comment

Cerita Lainnya