Si Kabayan Mau Melawat Keluar Negeri ~ "Eh, Kabayan, kalau mobil, kamu ini sudah merupakan besi tua yang karatan, bisa dijual kiloan di pasar loak. Apakah ada kepenasaran atau cita-cita yang kamu ingin laksanakan sebelum kamu menyanyikan tembang Sunda 'Sapu nyere pegat simpay' dan membilang 'pileuleuyan' atau 'good bye' terhadap dunia fana ini?"
"Ada, Bah, Malah sangat mendesak."
"Apa itu?"
"Saya ingin melawat keluar negeri. Bah. Saya sudah kumpul-kumpul duit untuk itu."
"Keluar negeri itu mahal, Kabayan. Sudah berapa lama kamu mengumpulkan duit itu?"
"Ya, dua-tiga minggu. Untuk beli dua-tiga lembar tiada masalah, Abah. Sekarang sudah cukup untuk beli dua lembar."
"Lho! Ngomong apa kamu ini, Kabayan. Pake dua-tiga lembar segala. Lembar apa?"
"Lotre, Bah, Lotre. Siapa tahu, saya bakal narik. Cukup untuk plesiran dunia. Tuhan kan Maha Pemurah bukan?!"
Pak Kiyai ketawa.
"Tapi kamu harus bisa berbahasa Inggris, Kabayan. Kalau tidak bisa, kamu bakal pungak-pinguk seperti domba bego yang dilepaskan ditengah-tengah keramaian kota besar."
"O, itu tiada masalah. Bah. Saya sudah belajar ngomong bahasa Inggris dengan Pak Guru. Oke, Bah. No worries."
"Syukurlah. Kalau begitu kamu oke-lah. Jadi kalau kamu ditanya, 'What's your name?' Apa jawabanmu?"
Abah ketawa dalam hati.
"Dan kalau ditanya, 'Where do you come from?' Apa jawabanmu?"
"Mister Kabayan. Ay em mister Kabayan."
Abah ketawa lagi dalam hati.
"Dan kalau orang bilang, 'You' re a monkey!'?!"
"Gua gebukin dia dengan ketupat Bangkahulu ini!" Dan Kabayan mengacam dengan menggerak-gerakkan tinjunya di depan hidungnya sendiri. Pak Kiyai tambah keras ketawanya dalam hati, sehingga kulit perutnya gemetaran seolah terjadi gempa bumi dalam perutnya. Tapi akhirnya gempa tak tertahan lagi. Meledak keluar perut. Pak Kiyai ketawa bercekakakan seperti bunyi kambing mengembik terpatah-patah kecil. Lalu mengingatkan.
"Eh, Kabayan. Luar negeri bukan Malakeudeu. Hati-hatilah, kalau kamu mau kencing jangan di pinggir jalan atau di halaman orang, ya. Disana kamu bisa ditangkap polisi, lho."
"O, No problem, Abah. Tiada masalah, Pak Guru. Doctor Pehade (Ph.D) lulusan luar negeri pun sudah banyak kasih tahu saya. Kata dia, kencing pinggir jalan atau makan di restoran pake celana dalam dan singlet, itu melanggar peraturan 'etikat' kesopanan, atau peraturan 'protokol' namanya. Ada bukunya mengenai soal etiket dan protokol itu. Buku itu harus dihafal luar kepala oleh para diplomat dan istri-istrinya atau suami-suaminya. Kasihan mereka. Saya tak habis kaget bin heran. Bah. Manusia yang katanya pinter-pinter itu kok bikin hidup ini sukar dengan membikin macam-macam peraturan yang berabe. Masa makan saja, pegang sendok dan garpunya mesti begini, jangan begitu. Dan kencing harus di sini, tidak boleh di sana. Itu kan nonsen, kata Inggrisnya. Padahal tanpa peraturan-peraturan setebal buku itupun hidup di desa Malakeudeu kan jalan terus, ya Bah. Kencing di pinggir jalan rondaan pun kan no problem kalau di kota sini. Tidak mengganggu apa-apa. Dan sopan-sopan saja. Tidak ditangkap satuan keamanan. Ya. toh?"
"Eh, ngomong-ngomong, Kabayan, apakah kamu tidak bercita-cita untuk ziarah ke Mekah juga?"
"O, itu puncaknya niat saya, Abah. Mekkah kan termasuk luar negeri juga. Tentu saja masuk rencana perjalanan saya. Itu top-penting! Super-wajib! Dan saya pun ingin jadi haji mabrur. Pakai kopiah haji, lengkap dengan jubahnya yang serba putih itu. Tapi sebelum itu saya mau lihat luar negeri yang lain dulu dong, macam Hollywood, Paris, London, Kings Cross Sydney, tempat pak Guru keluyuran malam ketika dulu dia belajar mau jadi Doctor Pehade itu. Kata dia, Kings Crosss itu tempat campur aduknya surga dan neraka. Interesting, ya Bah? Menarik. Banyak hal-hal yang lucu-lucu yang aneh-aneh, yang syur-syur dan aduhai Mak! Macam tari perut, tari telanjang, film cabul, mabok-mabok, cium-ciuman dijalan-jalan raya, ditaman-taman umum, arak-arakan kaum wadam dan lesbi yang berpakaian setengah telanjang menari-nari, berloncat-loncatan, berjungkir-jungkiran, nyanyi-nyanyi, teriak-teriak di sepanjang jalan. Tapi, Bah, yang paling istinewa bagi saya, yang saya tidak boleh lewatkan dalam perjalanan keluar negeri itu, ialah kunjungan kepantai-pantai 'kaum nudis', tempat orang-orang yang suka bertelanjang bulat, bermain-main, berenang-berenang , berkejar-kejaran, atau bersantai-santai di atas pasir putih, ngelamun, mimpi atau bercakap-cakap mengenai kenikmatan hidup bebas bertelanjang di surga dunia ini. Mereka itu terdiri dari laki-laki perempuan, tua-muda, kanak-kanak, nenek-nenek, kakek-kakek, yang sudah peyot-peyot, tokroh-tokroh, bergelisikan di pantai tanpa memakai pakaian secewit pun. Saya kira, Abah pun pasti akan tertarik karena itu akan mengingatkan Abah ke zaman Nabi Adam dan Hawa. Bukan begitu, Bah?"
Pak Kiyai yang selama itu membiarkan Si Kabayan terus ngoceh, berkata; "Tapi semuanya itu maksiat, Kabayan. Tahu toh?"
"Kalau cuma nonton saja, itu kan tidak apa-apa, Bah? Malah kata pak Guru, saya akan banyak pengalaman, tidak picik-picik lagi seperti seekor kodok dalam tempurung. Saya pasti banyak dongeng yang akan saya bawa sebagai oleh-oleh bagi teman-teman sekampung Malakeudeu; terutama untuk Pak Lurah dan Pak Camat yang hanya baru tahu kota Bandung dan Jakarta saja, yang tidak ada apa-apanya kecuali jalan - jalan yang macet kendaraan dan polusi hawa bensin. Mereka pasti akan lebar-lebar membuka lobang telinganya. Nah, sesudah saya kenyang melihat-lihat hal-hal yang maksiat di manca negara itu, barulah saya akan ziarah ke Tanah Suci, bersujud dan bertaubat. Tidak mau sebaliknya, Bah. Maklumlah, kalau bersujud dan bertaubat dulu, lalu baru kemudian nonton yang syur-syur maksiat itu, wah itu kan bego namanya. Gelar haji mabrur yang saya telah dapat dari Tanah Suci itu, akan buyar serta merta dinodai oleh tontonan-tontonan kemaksiatan itu. Bukan begitu, Abah?"
Pak Kiyai tersenyum-senyum penuh pengertian.
Kembali di rumah, Si Kabayan panik, Menanduk-nanduk dinding rumah degan kepalanya. Dia kehilangan duitnya yang sudah dia kumpulkan dengan begitu cermat dan sabar untuk beli lotre itu. Ambruk berantakan segala tontonan maksiat itu.
Ternyata kata Si Iteung, duitnya itu dipakai beli alat-alat tulis dan uang jajan oleh Si Bego.
Buseeet! pikir Si Kabayan. Seharian itu dia tidak mau ngomong sepatah kata pun sama Si Iteung dan Si Bego. Meringkuk saja di sudut rumah. Menggerutu, sambil membayangkan bergeol-geolnya pantat dan mengombak banyunya tari perut yang kini tak mungkin lagi dia bakal bisa melihatanya di luar negeri. Dasar Si Kabayan, keluhnya dalam hati. Sekali Si Kabayan, tetap Si Kabayan. Lancar sial, sukar mujur. Rupanya gua harus beli gelar Doctor Pehade saja di percetakan yang suka mencetak macam-macam diploma 'aspal' (Aslinya Palsu). Lalu gua taroh gelar itu depan nama gua. Baru gua bisa mundar-mandir keluar negeri, diundang ceramah sini, seminar sana; diwawancara oleh majalah-majalah dan TV; dan potret gua dimuat di surat-surat kabar, pakai pet Eropa di kepala dan rokok kretek di bibir, berkacamata hitam, bergaya seniman model Eropa klasik. Dan gua akan ngoceh; bagaimana indahnya alam kepulauan Nusantara, bagaimana ramah dan halusnya sifat tabiat bangsa kita, dan betapa hebatnya kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa kita di segala bidang kehidupan. Pokoknya beres, deh. No worries! No problem!" pikir Si Kabayan berlanjut-lanjut.
"Akang! Akang Kabayan!" Tiba-tiba suara Si Iteung dari dapur. "Mana beras itu? Katanya, Ki Silah akan kasih 'zakat ekstra' satu karung kepada kita."
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan Mau Melawat Keluar Negeri"
Post a Comment