Si Kabayan dan Sumpah Pemuda ~ Si Kabayan mendapat tetangga baru. Asal Jawa Tengah. Keluarga Begjo. Kalau dalam bahasa Sunda artinya "bagja." Dan menurut pak Guru, kata bagja berati rezeki. Nah, karena begitu Si Kabayan mengharapkan bahwa tetangga baru itu akan membawa rezeki bagi dia dan desanya.
Betul juga. Si Kabayan dapat undangan untuk makan malam di rumah tetangga baru itu. Ini rezeki yang pertama, pikirnya, ketika Mas Begjo bilang, "Slamet datang sederek" mempersilakan dia masuk rumah. Lalu mereka duduk menghadapi hidangan yang terdiri dari dua buah sangku, masing-masing berisi sayur asem dan sayur lodeh. selain itu, ada satu ayakan dari anyaman bambu berisi lalap, dan satu cobek batu yang penuh dengan sambal cabe rawit.
"Monggo didahar, Mas Kabayan," kata Mas Begjo mempersilakan Si Kabayan mulai makan. Kasar banget tuan rumah ini, pikir Si Kabayan. Dahar kan kasar. Dia harusnya bilang "tuang," bukan dahar. Kita kan baru berkenalan. Belum akrab.
"Monggo, Mas," kata Mas Begjo lagi. "Ini jangan (menunjuk dengan ibu jarinya ke sangku sayur asem), waaah, iki lo, Mas Kabayan, iki mestine kesenengen sampeyan, priyantun Sundo, nggih? Tiang Sundo, kabarnya kados kambing bandot, suka makan dedaunan lan pucu'- pucu'en; utawi kayak jangkrik, doyan rumput-rumputen."
Karena Mas Begjo selalu bilang, "jangan," kalau ibu jarinya menunjuk ke arah kedua sangku yang berisi sayur itu, maka Si Kabayan makannya cuma dengan lalap dan sekepal-sekepal nasi yang dicocolkan ke dalam sambel rawit saja, sehingga Mas Begjo pikir, bahwa Si Kabayan pasti lagi kemasukan roh kambing dan jangkrik. Tapi, dipikirnya lagi, kambing dan jangkrik kan tidak doyan sambel. Masa binatang-binatang itu sampai kranjingan sambel cabe rawit kayak tamu ini. Karena begitu, tamu ini mesti priyantun Sindo temenan. Tidak palsu. Dan aku harus percaya pada pengakuannya sendiri, bahwa dia itu adalah priyantun Sundo, keturunan pangeran Geusan Ulun dan Iskandar Zulkarnaen yang seperti aku puncak sumbernya ialah Nabi Adam. Cuma aku bukan lewat pangeran Ulun itu, melainkan lewat Kiyai Semar, guru lan rencange, juga sesepuh Pendowo Lomo sakabehe.'
Pulang di rumahnya, Si Kabayan semalam suntuk tidak bisa tidur, kerjanya keluar-masuk kakus terus. Perutnya bergolak kepanasan sambel cabe rawit.
Semingu kemudian tersiar di desa bahwa Mas Begjo akan buka warung pecel dan wedang jahe di dekat pangkalan becak dan ojek. Tapi dia kekuruangan modal. Wah, ini mengandung janji dan ramalan rezeki, pikir Si Kabayan. Aku mesti engko modal sama dia. Lalu dia undang Mas Begjo minum teh di rumahnya, dengan rencana akan merundingkan patungan modal itu. Si Iteung sudah disuruh beli gulapasir sebaskom penuh, karena orang Jawa, katanya, tidak biasa minum teh tanpa gula.
"Mangga, Mas, dileueut tehnya," kata Si Kabayan. Mas Begjo sudah mengerti beberapa kata Sunda, termasuk kata "ngaleueut" (minum). Dia segera meneguk aer tehnya. Dan Si Kabayan langsung tanya, "Amis, Mas?"
Mas Begjo langsung mengangkat gelas tehnya ke hidungnya, menghisap uap air teh yang hangat. "mBoten, Mas Kabayan, mBoren amis." Lalu Si Kabayan menyodok gula satu sendok dari baskom. Dimasukkannya ke dalam gelas tamunya. Mas Begjo meneguk lagi. Ditanya lagi oleh Si Kabayan, apa amis, apa tidak? Dan Mas Begjo mengangkat lagi gelasnya ke hidung. Dihisap-hisap lagi uap air tehnya, lalu menjawab lagi; "mBoten, Mas Kabayan. MBoten amis." Lalu Si Kabayan menyodok lagi gula dari baskom. Lalu dicurahkannya lagi ke dalam gelas tamunya. Lalu ditanya lagi yang sama. Dan dijawab lagi yang sama mBoten lagi. Siklus tanya-jawab itu berlangsung sampai gelas tamu itu sudah lebih dari setengahnya penuh dengan gulamelulu.
Mas Begjo merasa dirinya dipermainkan oleh Si Kabayan, dan rundingan keuangan tidak pernah dimulai. Dia marah. Memaki-maki Si Kabayan. "Sampeyan tidak ngerti tembung Jowo 'amis'. Iku coro Mlayune 'bau ikan' atau bau ketek' orang yang jarang mandi."
Dijawab oleh Si Kabayan, "Andika oge teu ngarti kecap Sunda 'amis'! Kecap Malayuna 'manis'. Buan bau ketek."
Di tengah-tengah mereka saling maki dan saling tunjuk hidung itu, tiba-tiba muncul dari dapur anak Si Kabayan, Si Bego. Rupanya dia diam-diam mengikuti percekcokan soal bahasa itu. Lalu dengan suara lantang dan tinjunya yang kanan mengacung ke atas, berseru, "Sumpah Pemuda! Satu, Kami putra-putri Indonesia mengakui bertanah air satu, Tanah Air Indonesia! Dua, Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia! Tiga: Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia! Selesai!"
"Aiiih, "kata Si Bego. "Bokap-bokap ini kayak bocay-bocay aja. Blonn dan norak. Cuwek banget mereka! Lokup ama Sumpah Pemuda ! Cih! Aiiih! Bapak-bapak ini kayak bocah-bocah saja. Bloon dan kampungan. Nggak peduli banget mereka itu. Lupa Sumpah Pemuda, Cih!
Mendengar Si Bego menyuarakan Sumpah Pemuda dan makiannya dalam bahasa prokem itu, kedua orang tua itu lalu saling peluk. Kemudian mereka berdiri tegak. Dan sambil mengacungkan tinjunya ke atas, mereka sama-sama berseru; huree!" Ditutup dengan menyanyikan lagu "Satu Nusa, Satu Bangsa," dan lagu penuh harapan yang dimulai dengan kata-kata "Di Timur Matahari mulai bercahaya,"
Si Kabayan keluar air mata, nostalgia, ingat sama zaman perjuanagn ketika dia sebagai pemuda penuh semangat dan harapan-harapannya yang menjanjikan zaman keemasan yang gilang-gemilang...
Dan dia menelan ludah, ingat sama Si Iteung, teman seperjuangannya yang sejak Labaran tahun lalu,belum pernah dibelikan kain kebaya yang baru......???
Sumber : Si Kabayan Manusia Lucu oleh Achdiat K. Mihardja
loading...
0 Response to "Si Kabayan dan Sumpah Pemuda"
Post a Comment