Cerita Legenda Danau Mbata

Cerita Legenda Danau Mbata  ~ Dahulu kala, di daerah Paupanda, Maumeri, hidup satu keluarga besar. Pemimpin warga tersebut besar dan kekar tubuhnya. Ia kuat dan besar. Selain kokoh, badannya juga tinggi semampai. Pemimpin warga itu, Mbata Bani namanya. Sesuai pula dengan namanya, Mbata Bani adalah seorang ksatria yang tidak takut sedikitpun kepada orang lain, Mbata Bani memang keturunan kaum ksatria sejati.


Daerah Paupanda, Maumeri, terletak di daerah dataran. Disisi timur ada Gunung Wumbu, sisi barat Gunung Tero Fole. Jadi, kampung itu ada ditengah-tengah, dikelilingi oleh kedua gunung itu. Di Tengah dataran dan kampung itu ada sebuah sungai besar. Daerah dataran itu sangat subur, banyak humus dan lumpur yang kerap terbawa banjir demi kesuburannya. Padi, jagung yang ditanam selalu subur. Sungai itu, kendatipun ramah karena membawa lumpur subur, namun di musim hujan sering membawa duka bagi penghuni kampung Paupanda. Saat banjir, setiap kali, banyak orang yang terbawa banjir, ada yang meninggal dan hilang. Sejak dulu, sudah cukup banyak orang yang mati dan dan hilang di sungai itu. Sungai yang baik dan buruk itu, namanya Sungai Rea.
 
Di sebelah barat daerah itu, dekat kampung utama Paupanda, ada sebuah kampung yang bernama Kota Mbata. Kampung itu besar dan juga sangat ramai. Orang yang menghuni kampung itupun  cukup banyak. Yang kaya karena usaha sendiri juga banyak. Kerbau, kuda, babi, ayam, anjing, sangat banyak, karena apa yang dipelihara oleh mereka senantiasa berhasil. Keadaan kampung itupun tenteram. Dibagian selatan, timur, barat, utara, kampung itu, Kampung Kota Mbata dipagari batu. Pagar batu itu kuat dan rapih karena dulu dikerjakan secara baik. Pagar batu itu benar-benar kuat. Umumnya orang-orang tua dulu jika menyusun batu selalu kokoh, karena orang-orang Kota Mbata kerap berperang dengan kampung dan suku lain.

Saling bermusuhan orang-orang saat itu, umumnya soal lahan dan tanah. Karena tanah, batas lahan, mereka saling membunuh, mereka sering berlawanan. Saat konflik itu, mereka mengambil panah, tombak, parang panjang yang bernama topo sonda, beserta sumpit. Jika mereka bertempur dengan menggunakan sumpit, musuh-musuh mereka selalu takut. Sumpit itu terbuat dari buluh. Jika musuhnya kena sumpit, tak lama mati seketika karena ujung mata sumpit itu beracun. Orang-orang di kampung itu, jikalau mereka menangkap kerbau dengan sumpit, kerbau itu langsung mati saat terkena sumpit. Justru karena ada sumpit itu pula, orang kampung itu sangat berani tidak takut kepada siapapun, apalagi jikalau mereka berada di pihak yang benar.
Orang yang paling berkuasa di kampung itu, namanya Mbata Bani. Orangnya pintar dan sangat baik hatinya. Dengan orang-orang sekampung itu dia pun sangat berbaik hati. Kehidupan mereka semua tak kurang suatu apapun, didukung pula oleh keberhasilan usaha, apa pun yang diupayakan selalu berhasil. Rumah-rumah mereka kokoh dan tegar. Bangunannya terbuat dari kayu pilihan, beratapkan ilalang yang diikat, berdinding papan kuat. Rumah mereka, seperti juga rumah di kampung sekitarnya, terletak di atas tiang. Tiang rumah itu terbuat dari kayu besar yang kokoh pula. Tiang rumah umumnya tinggi agar saat banjir besar balai rumah mereka tidak kebanjiran. 

Ditengah-tengah kampung itu ada rumah adat, namanya keda kanga. Rumah itu beratapkan ilalang dan ijuk, atapnya indah menjulang tinggi. Dindingnya terbuat dari papan. Saat upacara adat, dirumah itulah mereka memasak. Di Keda itu pula tidak semua orang dapat masuk. Saat ada upacara adat, hanya Mosalaki saja yang bisa keluar-masuk, duduk disitu. Di depannya ada batu keramat yang indah berukirkan ular besar sebagai dewa pelindung kampung itu. Di dalam keda itu ada barang pusaka keramat warisan leluhur. Ada tombak, topo sonda, gong, tabuh, gendang, dan aneka barang hiasan.

Setiap tahun, ada saja upacara dan pesta adat. Pesta dan upacara kerap diadakan usai berperang melawan musuh, atau juga saat mereka meminta hujan. Seusai panen, mereka mengadakan pesta adat juga, sebagai tanda syukur dan terima kasih kepada Tuhan atas langit dan bumi. Setiap pesta panen itu, sering diikuti juga dengan menari tandak. Banyak orang baik wanita maupun pria, orang tua, anak-anak, gadis dan jejaka berperan dalam tari tandak untuk meramaikan kampung meraka. Dengan tandak yang diikuti oleh seluruh penghuni kampung itulah, pertanda bahwa penghuni Kampung Kota Mbata sejahtera hidup mereka, tiada kesulitan apapun. Terlebih kaum wanita muda, saat menari tandak mengenakan perhiasan yang mahal, hiasan yang mahal, saling mendemonstrasikan kekayaan tanpa seorang pun yang tersinggung. Di leher mereka tergelar kalung emas, subang indah di telinga, menyandang sarung asli yang bermotif indah kemilau. Di tangan merekapun ada gelang indah berukir. Terlebih lagi, para gadis dikenakan juga gelang kara yang beratnya antara delapan hingga sembilan kilogram. Gelang itu berkawat besar yang diikatkan pada pergelangan kaki wanita. Jika ada wanita yang tak bergelang kara, niscaya tiada dapat mengikuti tari tandak karena merasa malu. Setiap keluarga senantiasa bekerja keras agar memiliki gelang kara itu.

Pada saat berlangsung tandak, kaum pria, orang tua dan kaum muda mengenakan sarung hitam asli, beserta destar dikepala. Ada yang bertugas mengendalikan ujung tandak. Pemegang ujung tandak itulah yang kerap menentukan kemeriahan tari tandak. Setiap tahun, jika mereka menyelenggarakan pesta adat, tari tandak tak pernah terlewatkan. Tambahan pula, pada saat bertandak itulah mereka menikmati minuman keras arak sebanyak mungkin. Mereka umumnya minum hingga mabuk, hingga muntah, kehilangan diri, sebagai tanda juga bahwa mereka sedang makmur. Kehidupan orang-orang Kota Mbata yang serba makmur itu, tiadalah langgeng jua. Terlebih  lagi kebiasaan berpesta yang kuat membudaya terutama usai panen, pernikahan, atau saat menang perang. Gaya hidup yang serba berpesta ria itu pertanda kemalangan datang menjelang mereka. Ada saja yang mengaturnya dari atas.

Usai pesta adat yang meriah, karena umumnya mereka minum arak hingga mabuk, tak tahu diri, makan hingga mabuk jua, maka datang cerita bahwa ada orang dari seberang pulau, akan datang untuk menduduki dan menguasai Kampung Kota Mbata. Orang-orang yang melakukan pendudukkan itu berlabuh di Wewaria. Mereka menumpang kapal besar, termasuk juga serdadu yang membawa bedil. Orang-orang itu akan mengusir semua penghuni Kota Mbata itu, dan setelah itu mereka akan mendiami Kota Mbata. Seluruh isi kampung itupun sangat terkejut. Ada yang mengamuk dan gusar karena ada juga yang takut.

Ketika mendengar berita penting itu, Mbata Bani sangat terkejut dan terancam. Dia sangat tidak menerima jika ada orang yang akan mengusir penghuni kampung itu. Ini adalah tanah pusaka warisan leluhur. Ini rumah adat warisan nenek-moyang demi kenangan dan ingatan akan leluhur, Mbata Bani merenung seraya menguatkan mental karena kaum penyerang segera akan masuk. Namun, Mbata Bani pun tak gentar sedikitpun. Dia meminta  kekuatan dan restu leluhur demi kekuatan mereka. Sesudah itu dia bersumpah, sambil membuat ancang-ancang bersama dengan penghuni kampung itu, seluruh sanak saudara, dan memerintahkan mereka membuat peralatan perang berupa bedil, panah, sumpit, untuk mengusir orang yang akan menduduki kampung mereka.

Saatnya tiba, seluruh penduduk, keluarga Mbata Bani, membawa parang panjang, anak panah, sumpit, tombak, pentong, menuju pantai tempat musuh akan mendarat (berlabuh). Tujuh hari tujuh malam mereka berperang, mereka mengejar dan membunuh serta memanah, menghajar orang-orang yang turun dari kapal itu. Pada dasarnya mereka pun sangat berani menyerang, sehingga banyak musuh dari kapal yang terluka, beberapa orang meninggal kena panah, kena tombak yang dilempakan dari jarak jauh. Orang-orang kampung itu dengan keberanian mereka, menghadang di sekitar kapal. Karena orang-orang dari kapal itu melihat banyak orang berduyun-duyun menyerang mereka, mereka naik kembali ke kapal dan dari atas kapal mereka bertahan. Saat orang-orang sekampung itu, termasuk kaum pria muda, dan lelaki umumnya, berperang dan mengusir orang-orang dari kapal yang akan menduduki tanah mereka, di Kampung Kota Mbata itu hanya tinggal dua wanita.

Kedua wanita yang tidak turut mengantarkan makanan ke pantai itu, disebabkan keduanya baru saja melahirkan. Seusai dengan adat setempat setiap wanita yang baru bersalin, harus melakukan upacara “Keluar Rumah" baru boleh bepergian, baru boleh keluar rumah. Jika belum diupacarakan (Upacara Keluar Rumah), ke rumah tetanga pun tak dibolehkan. Setiap hari sang ibu yang belum diupacarakan, tidak kemana-mana, mandipun langsung di dalam rumah.

Suatu hari, karena sebagai ibu yang usai bersalin dan mempunyai bayi, salah satu Ibu yang bernama Godhi berniat memasak. Dia sangat lapar karena harus meneteki bayinya. Karena kurang makan sayur, air susunya pun akan kurang. Namun, ia tokh agak panik. Api tidak ada, padahal hari hujan. Bagaimana gerangan caranya. Bayinya tak henti-hentinya menangis karena lapar, air susu pun tiada keluar. Godhi sangat lapar. Beras, jagung, ubi kayu memang tersedia, namun belum bisa memasak. Dicarinya kembali batu api, mungkin tersimpan oleh suaminya, namun tiada juga ditemukan.

Yang ikut menunggu Godhi, wanita yang mempunyai bayi itu, seekor anjing besar, Bulu anjing itu hitam berbelang, gemuk sekali, karena terawat baik. Anjing besar itu namanya Ndeto karena bulunya yang hitam-belang itu mirip dengan tanaman ndeto. Anjing itu sangat jinak dengan seisi rumah Ndeto-lah yang menjaga dan mendampingi penghuni rumah. Setiap hari Ndeto tidak menggonggong dan langsung menggigit, sekalipun dia tak sembarang menggigit orang. Malam hari dia senantiasa tidak tidur, dia menggonggong, mengejar orang-orang yang mendekati rumah Godhi. Tampaknya Godhi sangat mengerti bahwa di rumah itu penghuninya memiliki bayi, terlebih lagi kepala keluarganya pun tak ada karena pergi berperang.

Merenung-renung kemudian terpikir olehnya bahwa Ndeto bisa menolongnya. Karena dia tak boleh keluar, apalagi ia sangat lapar, Godhi meneriaki Lero, wanita yang juga baru melahirkan dalam waktu yang sama dengan Godhi. Di rumah Lero ada api, karena Lero mempunyai kayu bakar besar yang hidup apinya siang-malam. Godhi menyuruh Lero supaya memanggil Ndeto datang ke rumahnya. Lero menjawab, "Ooooo, Godhi saya akan memanggil Ndeto. Engkau ada keperluan apa, Godhi?" Lero meneriaki dari rumahnya karena hujan tak henti jua. Jawab Godhi, "Lero, engkau tidak tahu. Aku disini, sejak pagi tidak makan karena tak ada api. Kayu api besar penyimpan api sudah tak ada lagi. Tolong ikat sepotong kayu besar berapi di ekor Ndeto jika dia sudah tiba di situ. Cepat kau panggil dan ikatkan potongan kayu berapi secepatnya."

Mendengar temannya Godhi tidak makan sejak pagi, Lero segera memanggil Ndeto. Tak lama, Ndeto tiba di rumah Lero dengan bulunya basah karena kehujanan. Ekornya mengibas-ngibas di depan Lero, seakan-akan menyuruh Lero secepatnya mengirimi Godhi sepotong kayu api karena ia hampir mati. Lero mencarikan kayu api kecil. Diambilnya tali waru. Sesudah itu dielusnya Ndeto, lalu diikatnya kayu berapi pada ekornya Usai ikat, Lero meneriaki Godhi, menyuruhnya memanggil kembali Ndeto untuk segera ke rumah Godhi. Ndeto lari ke rumahnya sesaat mendengar suara panggilan Godhi. Saat itu, hujan pun tiada henti. Godhi sangat gembira. Ia langsung menghidupkan api. Kayu api yang ada ditambahkannya, kayu api diatas para-para dapurnya. Dimasaknya nasi, sayur, tiada lama sudah matang. Karena sejak pagi ia tak makan sedikitpun, Godhi pun makan sekenyang-kenyangnya. Teringat akan bayinya yang masih sangat kecil.
Tak lama, haripun mulai senja. Hujan tak seberapa deras lagi, tinggal rintik-rintik saja. Godhi mendengar suara orang yang datang sambil berteriak-teriak. Ada yang sedang berbangga karena dapat menombak musuh hingga tewas, ada pula yang berbangga karena memanah musuh hingga keluar darah, ada yang berbangga karena memarangi orang hingga rebah, namun ada juga yang kecewa karena panahnya tidak mengena. Akan tetapi, mereka umumnya bersukaria karena orang-orang yang akan menduduki daerah Kota Mbata sudah lari menghilang bersama kapal mereka karena kalah berperang dengan orang Kota Mbata itu. Godhi dan Lero pun sangat gembira karena suami mereka sudah kembali dengan selamat, seminggu mereka pergi.

Gembira karena suami mereka telah kembali, tiada bersusah lagi, tak kekurangan sedikitpun, Godhi, demikian juga Lero tetangganya, langsung menghidangkan makanan untuk suaminya. Tiada diungkapkannya apa yang terjadi kemarin, saat Ndeto yang adalah anjing mereka yang menyelamatkan Godhi hidup kembali. Godhi menyimpannya dalam hati. Saat yang baik baru diceritakan kepada orang, terlebih kepada suaminya.
Oleh karena seisi kampung dapat mengusir orang-orang yang turun dari kapal dan berniat menduduki kampung itu, mau mengusir penduduk itu, setibanya di kampung, Mbata Bani langsung ke rumah adat. Ia langsung berterimah kasih kepada leluhur karena para leluhurnya telah menolong warga Kota Mbata mengusir orang yang akan mencaplok daerah mereka. Ia juga bersyukur kepada Tuhan atas perlindungan-Nya bagi mereka semua, tak ada yang meninggal saat berperang dengan kaum penjajah. Sekali-sekali Mbata membanggakan diri kepada orang tua, mengagung-agungkan perjuangannya, karena mereka seisi kampung mampu mempertahankan tanah warisan leluhur mereka.

Mbata Bani memanggil kembali orang-orang sekampung untuk menari-nari, bertandak, karena mereka semua selamat waktu berperang dengan orang-orang dari kapal itu. Mosalaki Mbata Bani menyuruh menyembelih babi, kerbau, untuk disajikan kepada seisi kampung karena mereka dapat menjaga, menjaga kelestarian kampung halaman dan lahan, serta daerah yang diwariskkan oleh leluhur. Ada keluarga yang menyiapkan arak, beras, dan ayam. Kemudian mereka semua menari-nari seraya mengejek Ndeto karena dia dapat menolong tuannya yang memeliharanya. Mereka semua menari-nari sambil menyanyi, terus-menerus memperolok anjing itu tiada henti. Sambil memperoloki anjing itu, Mbata Bani pun menyuruh mereka menari dan bertandak. Ada juga yang berteriak, saat wanita yang usai bersalin tak boleh keluar rumah, kok dapat mengambil api. Engkau laksana dewa pelindung Kota Mbata ini." Banyak sekali pria yang mabuk dengan arak, makan terlalu banyak meneriaki dam memperolok Ndeto, hinggga Ndeto lari dan terkejut malu.

Tak lama kemudian, hari mulai mendung, angin ributpun tiba. Kendatipun terasa akan segera  hujan, mereka yang sedang menari dan bertanda itu, bahkan berteriak meminta tambahan minuman arak. Mereka terus-menerus minum, seraya memperoloki Ndeto, karena dia telah telah menjadi dewa yang menolong manusia, dapat membawa api dengan ekornya. Mosolaki Mbata Bani pun sama saja dengan orang-orang yang telah mabuk karena minuman keras itu. Mereka semua terus saja memperoloki Ndeto.

Hari kian gelap, hujan bertambah deras turun, ibarat dituangkan dari langit. Hujan lebat tiada reda, malam hingga pagi, pagi hingga sore dan malam. Banjir di Sungai Rea semakin membesar. Kilat bersambar-sambaran, deru banjir, guntur dan kilat menerjang gulita, tak henti-hentinya. Penduduk kampung itu saling memanggil, tetapi tidak saling mendengar karena hujan lebat dan deru banjir Kali Rea sangat dahsyat. Hari semakin gelap, hujan semakin lebat, air mengikis dan menerjang Kampung Kota Mbata beserta isinya, tercerai berai sendiri-sendiri hilang tenggelam bersama banjir dan lumpur menuju laut. Genangan air berlimpah. Kampung Kota Mbata tenggelam bersama gulita, dan menjadi muara besar, yang akhirnya menjadi danau. Hujan pun berhenti, muncul danau dan kendatipun Kampung Kota Mbata telah lenyap, tempat itu muncul sebagai "Danau Mbata."

Sumber : Cerita Rakyat Lio Flores oleh Dr. Aron Meko Mbete
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Legenda Danau Mbata Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Legenda Danau Mbata Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Legenda Danau Mbata "

Post a Comment

Cerita Lainnya