Cerita Danau Sora

Cerita Danau Sora ~ Pada zaman dahulu, hidup seorang laki-laki. Laki-laki itu Sora namanya usianya belum begitu tua. Berdasarkan leluhurnya, Sora memiliki sebidang tanah garapan yang luas. Dibandingkan dengan orang lain di daerah itu, lahan milik Sora terbilang banyak. Selain tiu adalah orang yang paling rajin dan tekun.

Saatnya tiba, Sora membuka lahan baru. Lahan baru itu terletak tidak jauh dari sungai, nama Kali ado. Sungai itu tak seberapa besar, namun kaya dengan udang, belut, kepiting dan ikan. Pagi sebelum bekerja dan usai di senja hari. Sora kerap mandi di Kali Lado itu. Sekali-kali ia menaruh jaringan penangkap udang pada pagi hari. Sore harinya diambilnya udang tangkapannya dari jaringan yang dilepasnya pagi hari. Musim hujan, kepiting dan udang besar banyak yang diperolehnya dari jaringan itu.

Pepohonan dan semak telah ditebangnya. Saat menunggu untuk membakarnya pun tiba. Oleh karena musim kemarau, pepohonan yang ditebangnya sangat kering. Sora membakarnya hingga semuanya hangus membara, dan tampaklah bara dan debu. Rumpun aur, denu, kera, warum semuanya hangus terbakar. Sora sekeluarga sangat gembira karena lahan tua mereka telah terbakar hingga bersih, dan tampak bongkahan tanah subur, namun Sora kembali memeriksa, mungkin ada yang tidak menghangus dan terbakar.

Hujan pun turun lebat, Sora mulai menanam jagung, bawang, dan padi. Padi dan jagung semakin subur. Padi mulai berbuah. Batang jagung besar dan tinggi sehingga buahnya pun besar. Kacang panjang subur dan berbuah besar pula. Setiap hari mereka makan jagung muda dan menikmati sayur yang enak dan lezat. Ditenangkan juga tahun ini tiada banyak gangguan burung nuri dan kakatua yang tak merusak tanaman mereka. Hampir setiap hari Sora sekeluarga mengawasi kebun mereka, jangan sampai ada hama yang merusak jagung, padi, dan talas yang ditanam.

Suatu hari, Sora sekeluarga mengawasi kembali tanaman di kebun mereka. Padi, jagung, dan kacang baik sekali tumbuh dan bulirnya. Padi sudah menguning. Jagung mulai matang buahnya, dan kacang pun mulai mengering. Sora menyuruh isteri dan anak-anaknya memanen jagung dan kacang. Sesudah itu, dia kepinggir tebing kali, untuk mengamati kembali rumpun-rumpun talas yang banyak ditanamnya itu. Setibanya di sana, Sora sangat terkejut. Banyak rumpun talas berantakan. Dia melacak kembali, mungkin ada babi hutan yang membongkar rumpun talas itu. Sora tertegun heran karena bekas telapak kaki babi hutan tiada satu pun yang terlihat. Oleh karena hari mulai senja, Sora bermaksud untuk pulang kembali ke rumah. Besok, baru ia kembali mengawasi kebunnya.

Pagi-pagi buta, Sora menuju kebunnya. Malamnya ia berpikir, mungkin ada tikus, tupai, atau juga babi hutan yang merusak kebunnya, terlebih rumpun talasnya yang telah rusak. Setibanya di kebun, Sora langsung mengamati secara cermat. Banyak rumpun talas yang rusak. Diamatinya umbi dan akarnya, hilang dan ada sedikit ujung tersisa. Dia mengamatinya karena ada bekas, ada tanda kecil. Lama diperhatikannya, memang ada tanda yang mengoyak kebun, merusak tetanaman dan rumpun talas khususnya.

Sora beristirahat sejenak dibawah rumpun pisang karena panas. Dia berpikir, bagaimana cara menangkap babi hutan, tupai, yang merusak dan memakan talas yang ditanamnya itu. Ada inspirasi. Sora bermaksud membuat jerat besar. Siapa tahu, tertangkap. Usai membuat jerat, ditaruhnya jerat itu di tempat yang ada bekas lewat makhluk. Usai memasangnya, Sora memperhatikan kembali secara cermat, agar besok pagi saat dia kembali, ada tanda-randa atau tidak. Akhirnya Sora kembali ke kampungnya. Sebagaimana biasanya setiap hari dia pergi ke kebun dini hari, hari itu, pagi benar Sora pergi secepatnya ke kebun. Istri dan anaknya menyusul kemudian pagi tiba, mentari mulai bersinar. Sora telah tiba di kebunnya.

Sebelum tiba di tempat ia menaruh jerat, terlebih dahulu Sora mengamati kembali padi, kacang, jewawut, luas-luas menghampa. Padi sudah menguning matang. Sesudah itu Sora langsung pergi ke pinggir sungai yang juga pinggir kebunnya, dekat rumpun-rumpun talas yang ditanamnya. Ia langsung ke tempat jerat yang ditaruh sehari sebelumnya. Diamatinya perlahan-lahan, "Oooo……., ada yang sudah terjerat, tetapi terlepas. Diperhatikannya sekali lagi. Ada tanda berlendir di ujung jerat dan ada bagian yang agak bengkok. Dirabanya dengan ujung jari dan terasa agak melengket di ujung jarinya. Ia merasa agak lega kendati hati belum tenang karena jerat tak dapat menangkap mangsa.

Sora tidak putus asa. Diaturnya kembali jerat besar itu. Siapa tahu besok-lusa tertangkap. Diperbaikinya jerat supaya lebih kokoh, karena yakin ada yang sudah terjerat. Diambilnya dedak padi, umbi talas yang besar, lalu ditutupnya kembali pintu jerat. Di depan, belakang, sekelilingnya ditaburnya pula dedak,. Tidak hanya satu jerat yang dibuatnya namun cukup banyak. Selesai mengerjakannya. Sora membersihkan pula pepohonan, termasuk kelapa dan tak lupa padi, jagung, dan ladangnya. Sore hari ia pulang kembali kerumahnya.


Pagi pergi senja pulang, Sora tidak berkeluh kesah. Hari itu, pagi-pagi ia sudah ke ladang. Teringat olehnya, hari sebelumnya, telah diperbaikinya jerat-jerat, umpan dedak dan umbi talas. Ia langsung ke tebing di sisi kebun berhadapan dengan jerat-jerat yang dipasangnya. Tak jauh dari tempat itu, diperhatikannya jerat besar yang bergerak-gerak. Ia lari menuju jerat itu sambil berteriak, "Sudah tertangkap!" Menatap sambil gemetar, sepintas sambil berteriak, "Sudah tertangkap!" Menatap sambil gemetar, sepintas lintas seperti seekor ular besar yang sedang meronta ingin melepaskan diri dari jeratan. Jerat yang besar itu diperhatikannya secara cermat, ditatap dan direnungkannya, bagaimana belut besar ini terjerat dalam jerat yang dibuatnya.

Akan tetapi, iapun takut sebab belut besar itu tampaknya buas sekali. Sora menarik napas panjang. Ia berdiam sejenak lalu dipegangnya parang kuat-kuat, tali dan gelang kawat yang dibawanya dari kampung. Dibukanya pintu kecil jerat, lalu gelang kawat itu dimasukkannya pada kepala belat, diikatnya dengan tali besar yang dipintalnya.

Belut besar yang diikatnya itu, dipikulnya dalam keranjang besar ke kampung. Berat sekali belut besar itu. Badannya sebesar paha, gemuk dan montok. Di tengah jalan, belut itu meronta-ronta, namun karena terikat erat belut itu tak dapat bergerak lagi hingga tiba dikampung. Penghuni kampung terkejut melihat belut besar karena mereka semua belum pernah melihat belut besar itu. Hingga sampai di kampung itu, belut itu tetap hidup dan segar. 

Setelah beristirahat sejenak, Sora langsung mengikat belut itu di pokok kayu ditengah halaman, depan rumah adat. Orang-orang tua, anak-anak, wanita, laki-laki, berduyun-duyun datang menyaksikan kehadiran belut besar yang dijerat oleh Sora dan ditempatkan di tengah halaman itu. Ada yang berteriak-teriak ketakutan, ada juga yang berani mengelus-elusnya. Sejak pagi hingga senja penghuni kampung itu, termasuk juga dari kampung terdekat disekitarnya, datang menyaksikan kehadiran belut besar itu.

Malam harinya, Sora menceritakan semua peristiwa itu dengan keluarganya, mengapa ia dapat menangkap belut itu. Keluarganya semua tekun mendengarkannya. Mereka tidak bermaksud menyembelih belut itu. Mereka merencanakan untuk melaksanakan pesta karena tertangkapnya belut pemakan dan perusak tanaman kebun mereka. Mereka semua merencanakan untuk menarikan tandak siang- malam, berpesta ria, dengan tetabuhan dan gong yang meriah. Sora sekeluarga dan penghuni kampung itu menyetujui pesta syukur dan bersukaria, serta tari tandak siang - malam.   

Tiba saat yang direncanakan. Sora sekeluarga dan penghuni kampung itu bekerja keras menyiapkan pesta. Seluruh warga saling membantu, gotong royong, menyiapkan makanan bagi orang-orang yang sudah diundang. Beras, ayam, babi, arak, saling menunjang, karena menghadap tetamu serta undangan. Banyak sekali tamu yang datang. Orang tua, tuan tanah, sanak saudara datang semua. Pesta itu sangat meriah. Sebagian putri memasak, kaum prianya menyembelih babi, anjing, ayam untuk orang-orang yang menari, yang bermain tandak, juga ata sadha yang diundang khusus dari desa yang cukup jauh. Hari semakin malam, orang yang datang semakin banyak pula, pesta itu pun semakin meriah. Arak nomor satu disuguhkan kepada tamu-tamu. Mereka menari tandak sampai pagi hari. Pagi harinya, mereka meneruskan tarian itu. Hanya istirahat makan sejenak, mereka melanjutkan pesta tari itu lagi, karena sebagian besar mereka sudah mabuk minum arak yang keras dalam jumlah banyak.

Mentari mulai meninggi di belahan timur, semua orang, termasuk para undangan pun semakin menari tandak tiada henti. Tari tanda disiang hari itu pun semakin ramai dan hikmat. Mereka menari-nari mengelilingi belut besar yang diikat dan ditempatkan  ditengah-tengah halaman itu. Siang hari, suguhan minuman keras, makanan pun terus disajikan tiada henti, mereka semua meneruskan pesta tari itu. Sore pun tiba, cuaca mulai mendung, namun menari dan tandak tiada henti juga. Gadis-gadis, para jejaka saling berangkul, saling bertukar selendang. Perasaan mereka diselimuti kegembiraan karena mabuk minuman keras.

Hujan mulai rintik-rintik, tandak dan tari tiada henti. Siang hari hingga sore hari itu, hujan bertambah lebat. Sora bertanya kepada semua orang yang sedang berpesta ria itu. Apakah mereka semua sudah lelah atau belum? Mereka semua menjawab, "Kami mau menari tandak, menari dan menari saja!" Tuang dan berikan kami arak dan daging bakar bercampur darah, agar pesta ini bertambah meriah." Sora sekeluarga, menuangkan dan memberikan arak. Setelah itu dia menanyakan kembali hal yang sama, namun mereka semua menjawab bahwa mereka tetap meneruskan tandak dan tari-tarian itu.

Hujan bertambah lebat pula, guntur kilat menyambar gulita, tiada henti namun tandak dan tari justru semakin ramai, menikmati santapan daging dan arakpun terus dilakukan. Air merayap naik hingga dipergelangan kaki. Sora bertanya kepada orang-orang yang sedang menari dan mabuk itu, "Sudah sampai di manakah air?" Serentak dijawab mereka, "Ooo........, baru sampai dipergelangan kaki." Sora berteriak, "Bertandaklah, jangan berhenti."

Hujan semakin lebat, mereka terus saja menari. Untuk kedua kalinya Sora bertanya lagi, "Sudah sampai dimana ketinggian air itu?" Serentak pula mereka menjawab; "Sudah sampai di lutut."  "Bagaimana ya, apakah kalian akan berhenti atau terus?" Jawab mereka. "Tandak jangan berhenti."

Arak dan daging terus disajikan. Wanita dan pria banyak yang mabuk. Tanya Sora, "Anda yang sedang bertandak, sudah sampai dimana air?" Semuanya menjawab, "Sudah di pinggang, kami terus menari." Hujan lebat dan kampung kebanjiran, namun mereka  semua meneruskan tari-tarian dan tandak itu tak satupun yang berhenti menari. Banyak orang tua yang mulai takut karena air mulai meluap, tiang-tiang rumah mulai tenggelam. Saat itu pula, belut besar pun sudah meronta dan terlepas dari ikatan karena putus pula talinya. Justru halaman yang sudah digenangi air itu sangat baik sehingga ia dapat leluasa berenang, malah mengelilingi halaman yang sudah menjadi kolam. Sekali-sekali ia meloncat ke permukaan air, seakan-akan menyarankan peserta pesta untuk meneruskan tari tandak itu.

Di kampung itu, ada beberapa orang tua yang antipati terhadap ulah Sora. Melalui iman kepercayaan mereka kepada Tuhan di tempat yang tinggi, mereka bersumpah dan memisahkan diri dan tempat mereka dengan perbuatan  Sora sekeluarga yang tercela itu. Dengan memakai sendok bambu, mereka menandai keterpisahan atau cuci tangan mereka. Orang-orang tua yang murka terhadap Sora itu lalu mengulangi kutukan pemisah. "Kami menandai dengan sendok ini, kami ke sini, kamu ke sana. (Tuhan) Perhatikanlah wajah dan sosok hidung. Jika bencana tanah longsor dan menghancurkan jagad, sasarilah mereka yang bersalah. Biarkanlah kesalahan menimpa yang bersalah. Hancurlah mereka yang nista. Mereka itu ibarat ulat yang busuk dan najis."

Hari semakin gelap gulita. Hujan tak berhenti, banjir meninggi merayapi tiang rumah, namun tari tandak tiada henti jua. Tak lama, Sora bertanya kembali kepada orang-orang yang menari, "Sampai di mana air naik?" Jawab mereka; "Sudah  di pinggang dan menjelang perut, bahkan sudah ada yang didada." Anda semua sebaiknya terus menari. Aku akan menyajikan lagi arak yang keras sebagai pemanas tubuhmu, agar Anda semakin kuat. Arak kelas satu ini diimbangi dengan daging babi. Mereka semua meneguk arak, melahap daging, bahkan sebagian lagi meneriaki arak yang memang harus disajikan lagi. Tidak lama kemudian, Sora bertanya kembali kepada orang-orang yang sedang bertandak dan menari. "Sudah sampai di mana banjir / air naik?".

Mereka semua menjawab, "Air sudah sampai di leher." Sebagian sudah tak dapat bernapas lagi, tetapi Sora menyuruh mereka, "Anda teruskan bertandak dan jangan berhenti." Semua orang yang sedang mabuk karena kebanyakan minum arak keras beberapa puluh kumba (gentong), daging babi beberapa keranjang, terus saja bertandak. Malam semakin gelap, air pun kian meninggi rumah-rumah nyaris tenggelam, hujan semakin lebat. Batu, halaman adat, rumah-rumah leluhur tenggelam semuanya.

Dengan suara yang sudah parau dan tak jelas, Sora bertanya kembali, "Sudah sampai di mana air?" Inilah suara Sora yang terakhir. Semua peserta pesta beserta Sora sekeluarga tenggelam. Mereka semuanya hanya menjawab, "Air sudah sampai..... "Halaman adat yang ditempati belut itu telah menjelma menjadi kolam besar. Tak seorang pun yang selamat. Seluruh penghuni kampung, termasuk juga undangan yang ikut memeriahkan pesta, tenggelam. Belut besar yang bersama menari dengan mereka, berenang-renang kian - kemari mengelilingi kolam besar itu. Dia sudah selamat kembali. Hidup kembali seperti sedia kala. Malam semakin larut, hujan tak kunjung henti, kilat menyambar langit dan gulita, air bah semakin meninggi, hilanglah pula kampung Sora. Halaman dan kampung yang tenggelam itu "Menjelma" menjadi "Danau Sora."

Sumber : Cerita Rakyat Lio Flores oleh Dr. Aron Meko Mbete
loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Cerita Danau Sora Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Cerita Danau Sora Sebagai sumbernya

0 Response to "Cerita Danau Sora"

Post a Comment

Cerita Lainnya