Kisah Pang Awi, Cerita Rakyat Kalimantan Tengah ~ Pak Awi dan mak Awi ini hanya beranak seorang saja, perempuan. Entah bagaimana pada suatu hari emak Awi berkata kepada pak Awi. "Bagaimanakah kita ini pak Awi? Garam kita ini habis . Setiap hari aku memasak Gulai kita terus tawar."
"Eh, Eh" kata pak Awi. "Jangan sakit hau kata pak Awi. Begitu subuh nanti cepat-cepatlah memasak supaya aku pergi ke hulu sana. Mandatangi di hulu sana!"
"Baiklah" kata mak Awi.
Begitu hari terang pak Awi lalu berangkat membawa bakul satu, lalu ia melepaskan tali perahu terus mendayung/berkayuh.
Begitu kira-kira di pertengahan tanjung orang menanyai dia.
"Kemana engkau pak Awi?"
"Sengajaku berdayung ke hulu disitu."
Begitulah berulang-ulang terus menerus orang menanyai dia.
Tidak begitu lama, dua tiga tanjung berkayulah, sampailah ia di dermaga lalu ia mengikat perahunya. Sesudah itu dia naik. Tidak begitu lama sampailah ia dimuka rumah lalu disambut oranglah pak Awi.
"Hau, silahkan masuk, pak Awi. Lama engkau tak bertemu. Bisa juga rindu perasaanku."
"Memang saya masuk walaupun kalian tidak mempersilahkan saya."
Demikianlah pak Awi lalu masuk dan terus duduk.
Setelah bercerita pak Awi lalu menanyakan dia, apa gerangan tujuannya pak Awi.
"Sengaja saya datang ini kalau-kalau ada kasihmu. Saya mau meminta garam untuk kami beranak bini, karena kami kehabisan garam. Untuk menggarami segala macam pakis, segala rebung."
"Hau, boleh pak Awi. Memang kebiasaan kita begini yaitu bisa saling meminta dan memberi segala barang."
Demikianlah tidak berapa lama pak Awi meminta permisi turun dan minta lagi disatu rumah lain. Begitulah seterusnya. Akhirnya habis, setiap rumah di kampung itu. Lalu penuhlah bakul yang di bawa pak Awi. Terus dia balik pulang menuju perahunya. Lalu dilepaskannya tali parahunya terus dia berkayuh. Begitulah di amilir. Tiba ditengah-tengah pulau pakis dan rebung, berhentilah dia. Lalu ia mengikat tali perahunya. Maka ia mengangkat bakul yang berisi garam. Sampai disitu lalu ia menabur habis garam yang sebakul itu. Setelah itu pak Awi bermaksud pulang kembali. Entah apakah waktu ia kembali sampai ke perahunya, tiba-tiba terlihat olehnya tanduk.
"Akui apa artinya rusa ini tidur di perahuku ini."
Begitulah pak Awi pelan-pelan melangkah lalu ia melepaskan tali perahunya. Setelah itu ia naik lalu mengambil pengayuh terus dia mendayang perlahan-lahan.
Maka di pertengahan tanjung banyak orang yang menanyai tujuannya semula.
"Oh, pak Awi, apa yang kau kayuh?"
"Jangan ribut, rusa tidur."
Lalu pak Awi berkayuh. Tak berapa jauh dari situ ditanyai orang lagi bahkan dipanggil orang dia. "Oh, pak Awi, apa yang kau dayung di dalam perahu?"
Terus pak Awi berkayuh.
Bosan sudah pak Awi oleh Pertanyaan-pertanyaan orang terus menerus. Berteriaklah dia karena orang menanyai dia.
"Oh, pak Awi" Keras-keras orang memanggil dia." Apa yang bercabang-cabang dalam perahumu itu rupanya!"
"Jangan ribut, rusa tidur!"
"Metur", begitulah rusa itu meloncat.
"Nah itulah yang jangan ribut jangan ribut saya katakan tadi, tidak kamu patuhi."
Begitulah orang kalang kabut mendorong empat lima perahu lalu sama membawa tombak lalu menombak. Begitulah rupanya rejeki, rusa dapat. Maka orang berkayuh membawanya menuju tepian. Lalu orang membagi hasil kerjanya itu. Yang banyak orangnya itu. Orang memberi kepalanya kepada pak Awi. Pak Awi gembira lalu permisi dan berangkat. Mereka yang lain tadi semua pulang.
Sampai di dermaga pak Awi lalu mengikat perahunya.
Bakul tadi ditinggalkannya. Kepala rusa diletakkannya di kepala tangga ketika ia membuat tali.
Selesai tali tadi ia mengangkat sekuat tenaga. Pak Awi berdiri "Huut euus" bunyi kentut. "Satu sudah putus uratnya!" katanya. Tidak berapa lama, sekuat tenaga lagi pak Awi mengerjakannya, menguatkan dirinya.
"Heet,.......buut". bunyi kentut. "Dua sudah uratnya putus", kata pak Awi dari rumah. "Akui apakah yang dikerjakan ayahmu, sekuat tenaga. Apa yang dipikulnya disana. Berdiri tidak dapat berdiri. "Lalu mak Awi timbul amarahnya sebab pak Awi ini memang bodoh. Dari permulaan mereka hidup pak Awi ini memang bodoh. Diambilnya sepotong kayu dari dapur terus turunlah ia. Maka didekatinya lalu "Pik" lalu dipukulnya pak Awi maka pak Awi terkejut.
"How, berhenti kau memukul aku!"
"Bagaimana rasanya?" Tidakkah oleh sebab kebodohanmu maka kau memikul anak tangga ini?"
"Anak tangga bagaimana? Bukankah kepala rusa yang dipikul ini". "Yang ini yang kepala rusa yang kau ikat dengan tali itu tangga, anak tangga."
Diamat-amati pak Awi, "Begitukah? Oh ya,"
Sejak itulah pak Awi lalu timbul pintarnya. Lalu mak Awi bertanya, "Manakah garam yang kau minta tadi?"
"Habis, Habis sedemikian banyak, penuh bakul ini tadi diberikan orang. Memang seluruh kampung telah memberikan kepada saya."
"Habis? Habis dimana?"
"Bukankah katamu tadi untuk mengasinkan segala pakis dan rebung. Habis telah saya taburkan ditempat kumpulannya!."
"Memang pantas saja ketololanmu. Sampai-sampai engkau memikul anak tangga ini."
Maka sejak itulah pak Awi mulai pintar.
Kesimpulan/pendapat
Kisah Pak Awi.
Cerita ini menggambarkan kehidupan manusia (Pang Awi) yang dalam hidupnya sehari-hari kurang inisiatif dan hanya bekerja kalau diperintah. Sikap ini timbul kerena kekurangan pengalaman dan pengetahuannya, karena itu pula ia sering melakukan pekerjaan yang menurut orang biasa hal itu aneh.
Cerita ini berbentuk dongeng biasa, yang bersifat explanatory, bermaksud untuk mengungkapkan liku-liku pekerjaan. Pang Awi serta kejadian-kejadian yang menimpa dirinya, karena ia seorang yang kurang berpengalaman dan berpendidikan. Entah cerita ini benar atau tidak, bagi pendengarnya bukanlah menjadi persoalan dan cerita ini umurnya tak terbatas pada anak-anak dan pemuda-pemudi.
Sama halnya dengan cerita Pak Paloy di daerah lain, cerita Pang Awi ini lebih dikenal di daerah Katingan, yang melukiskan kegagalan Pang Awi karena kebodohannya sendiri.
Unsur yang menonjol ialah bahwa cerita ini bersifat pendidikan dan mengandung nasehat kepada pemuda-pemudi desa, jangan sampai hidup mereka kelak seperti Pang Awi, sudah miskin, garam yang dipintanya dari orang lain, habis dihamburkannya untuk menggarami rebung/sayur di hutan. Suatu perbuatan yang sama sekali tidak diperlukan dan masuk di akal. Pekerjaannya selalu salah dan tak mengenai pada sasaran, karena ia tidak mampu memikirkannya dan tanpa rencana. Bayangkan saja ia mengangkat kepala rusa bersama-sama dengan anak tangga tempat menggantungkan kepala rusa itu.
Bagi Mak Awi, ia tahu suaminya agak kurang, sebagai teman hidup, terpaksa kadang-kadang ia agak keras dan memerintah suaminya berbuat ini dan itu, supaya suaminya berinisiatif. Malahan karena cintanya pada sang suami, walaupun berat hati dan jengkel, terpaksa juga dipukulnya suaminya supaya pintar.
Referensi : Berbagai Sumber
loading...
0 Response to "Kisah Pang Awi, Cerita Rakyat Kalimantan Tengah"
Post a Comment