Cerita Putri Mayang ~ Kampung Ja'ar Sangarasi adalah kepunyaan Dambung Halang. Tempat pemukiman sebelumnya adalah di seberang kampung Sangarasi itu. Di permukiaman itu dia memperoleh anak, tetapi semua anaknya itu mati. Karena ia tidak senang tinggal di sana dan tempat dianggap panas itu. Maka disuruhnya dua orang budaknya yaitu si Bayuku dan si Risa untuk mencari tempat lain untuk mendirikan kampung yang baru.
Bambang Halang berkata, "Pergilah kamu berdua hari ini mencari tempat lain untuk mendirikan kampung baru, karena tempat ini tidak menyenangkan. Anak-anak saya telah mati disini. Disamping itu tempat ini terasa panas dan tidak tenteram. Kamu berdua harus segera pergi!". Atas perintah raja, maka pergilah keduanya.
Dalam perjalanan, mereka menemukan sebuah sungai yaitu sungai Ja'ar, yaitu di sekitar Lubuk Kajang sekarang. Dengan tidak berpikir panjang lagi, serta tidak memperdulikan dalam atau dangkal, mereka seberangilah sungai tadi. Ketika mereka menyeberang, terinjaklah oleh mereka sesuatu benda yang dingin di dalam air. "Apa ini?", mereka lalu mengambil benda itu dari dalam air dan membawanya ke permukaan air. Ternyata benda itu adalah besi. Besi itu seperti palang.
"Bawalah benda ini dan marilah kita berdua terus mencari." Mereka berdua terus pergi melanjutkan pencarian mereka. Tidak jauh mereka pergi, sampailah mereka ke sebuah hutan yang subur. Kata mereka, "Ini nampaknya baik untuk dijadikan tempat perkampungan, sebab ada hutan yang subur ini." Mereka terus memeriksa sekeliling tempat bakal kampung itu, setelah yakin bahwa daerah itu baik, maka mereka kembali pulang.
Besi yang didapat di sungai tadi pun dibawa pulang. Begitu mereka sampai maka besi tadi mereka lemparkan ke belakang pintu. Ringkasnya mereka menceritakan hasil penelitian mereka kepada raja bahwa. "Tanahnya subur, dan tempat itu baik sekali karena ada tempat permandian, yaitu sungai tempat mereka menemukan besi.
Maka kata raja, "Baiklah besok pagi saya akan memeriksakannya sendiri."
Keesokan harinya mereka mengantar raja ke tempat itu dan terus menyeberang sungai.
Begitulah mereka membawa raja ke Sangarasi, sambil melihat-lihat sekelilingnya.
Kata raja. "Di sini tempat kita ini, baik. Marilah kita bertiga pulang.
Sesampai raja ditempat pemukiman lama, ia lalu mengumpulkan orang banyak. Kata raja, "Kita mendirikan sebuah kampung dan saya sangat mengagumi tempat kampung itu nanti di sana letaknya". Tentulah di dalam melakukan pemeriksaan itu, beliau menggunakan ilmu sehingga dapat menentukan baik tidaknya tempat bakal kampung itu. "Ha", kata mereka, "Kalau demikian sabda raja, baiklah kita tidak usah mempertimbangkannya lagi. Marilah kita pindah."
Ketika malam tiba, sang raja pun tidur lalu bermimpi. Di dalam mimpinya itu datanglah seorang orang tua yang berkulit merah. Kata orang tua itu, "Mengapakah engkau lambat mengambil kami ke sini. Menurut pendengaran saya, raja hendak membuat kampung,. Tempat di sana memang baik untuk mendirikan kampung, tetapi ada satu persyaratannya yang dilupakan, yaitu kami lalu tidak diurus dan diletakkan sembarangan saja."
Kemudian raja pun bangun. "Apa gerangan arti mimpiku tadi?. Raja pun berpikirlah dan bertanya-tanya, apa gerangan yang disembarangkannya itu. Kiranya hanya besi yang diletakkan di belakang pintu itulah. Belum lagi kampung didirikan, muncul pulalah pembicaraan setelah lebih dari sebulan mereka tinggal berunding. Sementara itu penyakit pun tidak ada putus-putusnya.
"Ha,....ha," kata raja, "tak tertahankan sakit yang begini Tak akan kita dapat membuat kampung." Kemudian bermimpi pulalah sang raja. Dalam mimpinya itu beliau bertemu kembali dengan orang tua yang berkulit merah tadi. Kata orang tua itu, "Jikalau sekalian ingin selamat dan semua pekerjaan dingin dengan sempurna, hendaklah kalian membuat tempat tinggal kami baik-baik".
Jawab sang raja, "Di manakah tempat untuk rumahmu yang baik itu?" Jawab orang tua itu. "Yah, kami ini dapat saja ditempatkan diatap lonteng balai, diatas loteng rumah juga boleh. Jangan dilemparkan sembarangan seperti sekarang." Kemudian raja bangun dari tidurnya. Lalu diberitahukannya hal itu kepada orang banyak. Kata orang banyak "Kalau begitu, ini tidak boleh tidak dipelihara, tidak boleh tidak disebut-sebut dan tidak boleh tidak dipulas dengan darah hewan."
Ringkasnya orang lalu memulas besi palang yang dicampakkan dibelakang pintu dengan darah hewan. Semenjak orang memulas benda itu dengan darah hewan, tidak ada lagi penyakit ataupun orang yang merasa sakit. Semuanya selamat sentosa. Kemudian orang banyak merencanakan mendirikan kampung aru itu. Ketika orang banyak pindah ke kampung baru itu, mereka mendirikan sebuah rumah besar di sanggar jatang.
Setelah itu kita pun ikut menggunakan sebutan itu dan berubah menjadi Sanggarasi hingga sekarang ini. Demikianlah orang terus bekerja. Orang banyak pun habis diangkut dan dipindahkan semuanya ke tempat baru itu. Semua orang membuat rumah tempat tinggal dan orangpun membuat tempat menyabung ayam dan membuat batas kampung. Dengan demikian cukuplah sudah persyaratan berdirinya sebuah kampung. Habislah cerita pendirian kampung itu, lalu timbul pula cerita musim buah-buahan.
Pada waktu itu pohon buah-buahan sedang berbuah. Jikalau telah tiba musim buah-buahan, haruslah buah-buahan diantar kepada raja. Orang banyak pun berundinglah untuk menentukan siapa diantara mereka yang ditugaskan mengantarkan buah-buahan itu kepada raja. Hal ini sudah menjadi kewajiban karena pulau buah-buahan itu adalah kepunyaan raja.
Lalu diputuskanlah untuk mengutus Uria Rena dan Uria Renya anak Dambung Halang, mereka pun pergilah ke Kayu Tangi dan tiba di sana menjelang senja. Pada waktu itu orang banyak sedang ramai bersepak raga. Mereka pun marapatlah ke dermaga raja dan kemudian memberitahukan maksud kedatangan mereka itu yaitu mengantarkan buah-buahan kepada raja.
Kata dayang-dayang raja. "Raja tidak ada. Hanya kami ini kaum wanitanya saja yang ada." "Ya, jadilah, sebab toh kami ini tidak bermalam. Kami hanya menyerahkan buah-buahan ini kepada raja." Setelah itu kedua utusan itupun ikutlah bersepak raga, seketika Uria Renyan sedang bersepak raga itu, terurailah rambutnya yang panjang sampai ke bahu. Dayang-dayang yang menyaksikan permainan itu bertanya-tanya, siapakah gerangan pemuda berambut panjang yang pandai bersepak raga itu.
Putri pun ingin melihat, soal apakah gerangan pemuda tadi. Dari jendela permaisuri melihat bahwa pemuda itu memang gagah dan tampan rupanya. Ia pun merasa tertarik. Permainan sepak raga itu berakhir ketika hari menjelang malam. Setelah selesai bermain sepak raga itu, kedua pemuda utusan itu pun pergilah ke perahunya di dermaga raja tadi.
Kata permaisuri raja itu kepada dayang-dayangnya. "Beritahukan kepada orang-orang itu agar mereka bermalam di sini." Maka diberitahukanlah oleh dayang-dayang itu perintah sang Permaisuri sambil mengatakan bahwa mereka boleh bermalam, walaupun raja tidak ada.
"Tidak", kata mereka berdua. "Kami tidak berani menginap sebab raja raja tidak ada."
"Tidak mengapa, toh permaisuri sudah mengatakan demikian," kata dayang-dayang itu.
Kedua mereka pun berpikirlah sebentar. "Karena orang sudah menghormati kita, maka kita tidak boleh tidak harus menghormati orang itu."
Maka mereka pun menginaplah dan tinggal disana. Kemudian datanglah dayang-dayang menghadap Uria Renyan dan mengatakan bahwa permaisuri ingin berbicara dengannya. Mula-mula Uria Renyan tidak berani. Tetapi kemudian ia pun pergilah ke tempat sang permaisuri.
Ringkasnya malam itu Uria Renyan tidur bersama permaisuri. Ke tubuhnya digosokkanlah wangi-wangian kepunyaan raja. maklumlah orang sedang berkasih-kasihan. Demikianlah mereka berkasih-kasihan semalam suntuk sampai pada hari siang esoknya. Keesokannya pulanglah mereka kembali. Dalam perjalanan mereka pulang, mereka itu mudik ke sungai Barito dan sampai ke Tanjung Kuripan, sekarang. Begitu mereka sampai di Tanjung Kuripan, bertemulah mereka dengan perahu raja.
Kata Uria Renyan, "Kalau raja tahu di sebelah kanan, kita melalui sebelah kiri dan kalau raja melalui sebelah kiri, kita melalui sebelah kanan."
Pada saat itu orang melihat bahwa perahu yang lewat itu adalah kepunyaan Uria Renyan dan Uria Re Rena. Ketika mereka melampaui Tanjung itu berhamburanlah bau minyak wangi Sang raja pun mencium bau minyak wangi itu dan tahu bahwa minyak wangi itu adalah kepunyaannya karena tidak ada orang lain memiliki minyak wangi serupa itu. Raja pun telah mengira bahwa istrinya telah berbuat serong. Sementara itu Uria Rena dan Uria Renyan terus mudik ke Ja'ar Sangarasi, sedangkan raja meneruskan perjalanannya ke Kayu Tangi. Ketika raja telah kembali dia menanyainya istrinya. "Bagaimana keadaanmu disini?"
Jawab istirnya, "Uria Rena dan Uria Renyan telah datang kemari mengantarkan buah-buahan kepunyaanmu. Mereka kami terima. Inilah buah-buahan itu dan kami tidak mau memakannya sebelum engkau datang." Kemudian raja bertanya pula. "Dimana mereka menginap?" tidak berhasil menemukannya, ia kebingungan.
Akhirnya ia berkata, "Di perahu mereka."
"Kamu bersalah" kata raja kepada istrinya
"Tidak", kata istrinya
"Tidak bisa", kata raja. "Jikalau engkau tidak mengatakan yang sebenarnya, kamu akan mati, kamu saya bunuh. Sebab minyak wangi itu tidak ada orang lain yang memilikinya selain saya. Bau minyak itu tercium olehku sewaktu berpapasan dengan mereka. Maka berkatalah istri raja dalam hatinya. "Ini tentulah disebabkan karena minyak itu saya gosokkan tadi malam." Permaisuri pun mengakulah dan kemudian menceritakan segala-galanya dari awal sampai akhir.
Kemudian raja berkata, "Apakah hanya itu saja yang dikerjakan?"
Jawab permaisuri. "Hanya itu."
Tenggelam cerita raja, timbul pula cerita si Uria Rena dengan Uria Renyan yang telah tiba selama dua hari di Sangarasi. Pada waktu itu datanglah kabar yang berisikan perintah agar si Renyan segera menghadap ke hilir karena ada kabar penting. Maka berdetaklah di dalam hati si Renyan itu. Pikirnya di dalam hati pastilah ia akan mati dikarenakan persoalan itu. Mau tak mau ia harus ke hilir karena itu adalah perintah raja. Walaupun ke hilir itu berarti mati. Kata Uria Rena. "Siapa diantara kita berdua yang akan ke hilir."
"Jangan kamu, sebab saya yang empunya urusan. Sayalah yang akan ke hilir." kata Uria Renyan.
"Yah, baiklah."
"Tetapi saya ini ada permintaan kepada ayah Saya minta si Risah dan Si Bayuku menyertai saya agar bisa menyaksikan apakah saya ini betul-betul akan mati atau tidak."
"Baiklah," kata kakaknya Uria Mapas. "Saya tidak keberatan."
Sebelum Uria Renyan pergi ke hilir, dia mengumpulkan orang kampungnya dan menceritakan segala hal ikhwalnya. Kata Uria Renyan, "Malam ini kita berpisah. Saya ini pasti dibunuh raja. Tetapi karena saya tidak ingin menghapuskan nama turunan kita, biarkanlah saya mati. Hal itu tidak mengapa si Risak dan si Bayuku pergi bersamaku."
Orang banyak pun mempersilakannya.
Maka pergilah mereka ke hilir. Setiba mereka di hilir dan raja melihat mereka, maka disuruhnya jemput si Renyan itu. Sebelum ia pergi, Uria Renyan berpesan kepada si Risak dan Bayuku agar jangan pergi dan baru jika mereka sudah melihat bahwa tuannya itu benar-benar telah mati, barulah mereka boleh pergi.
"Kamu berdua jangan dekat. Bersembunyilah kalian dengan caramu sendiri. Begitu pesan Uria Renyan kepada kedua budaknya itu.
"Kalau sampai masanya, maka dibawalah Uria Renyan berkeliling kampung dengan menaiki kereta kuda. Uria Renyan pun senanglah hatinya diperlakukan demikian. Kemudian permaisuri duduk diapit oleh raja dan Uria Renyan dikiri kanannya. Pada malam harinya diselenggarakanlah pertunjukkan wayang dan tari-tarian, sehingga terciptalah suasana gembira ria. Malam itu Uria Renyan tidak tidur sedikit pun. Dia tahu bahwa ia akan dibunuh. Ketika siang telah tiba raja berkata kepada Uria Renyan, "Kamu ini akan dibunuh dan engkau tak akan pulang-pulang lagi, sebab dosamu dengan istri saya sewaktu saya tinggalkan."
Uria Renyan tidak menyahut, melawan tidak, pokoknya diam seribu bahasa. Kemudian ia dinaikkan ketiang gantungan, tetapi tidak-tidak juga ia mati. Tiga kali tiang gantungan itu terbongkar, belum juga pemuda itu mati. Kemudian si Risak dan si Bayuku melihat tuan mudanya itu disembelih orang. Mereka pun segera lari pergi dari situ dan tidak sempat mengambil perahu mereka.
Menurut kisah si Bayuku dan kawannya berlari melalui pinggiran sungai Barito, terus melalui sungai Patai dan akhirnya tiba di Sangarasi. Sesampainya di Singasari mereka memanggil orang banyak, mantir-mantir dan ketua-ketua kampung memberitahukan bahwa si Renyan telah mati dibunuh oleh raja. Mereka mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui sebab-sebabnya karena mereka tidak dekat. Diman-mana terdengar teriak dan tangis mendengar berita malang itu.
Kata Uria Mapas, "Sekarang saya pergi menyusul mengambil jenazah adik saya. Andaikata saya mati, itu berarti saya menyusul arwah adik saya. Jikalau saya tidak mati saya membalas kematian adik saya."
Maka pergilah ia sendiri berjalan menuju ke luar hendak meminjam perahu. Tetapi semua perahu telah habis disembunyikan orang. Setelah berpikir beberapa saat, diperolehnya akal bagaimana ia akan pergi ke hilir. Ketika segerombol Kumpei yang terapung lewat terbawa air ke hilir, Uria mapas pun segera mengambil sebatang alu dan kemudian menggunakannya untuk melompat ke atas kumpei itu. Rupanya raja sudah merasa bahwa sanak saudara Uria Renyan akan membalas pati. Karena itu orang-orang diperintahkan jaga dan apabila ada orang lewat dan mencoba masuk haruslah dibunuh.
Di Amuntai, orang pun sudah berjaga-jaga melaksanakan perintah raja. Penjagaan itu berlapis-lapis dan amat ketat. Ketika orang-orang di Amuntal melihat kumpei yang sebesar rumah itu hendak lewat dan akan menghantam jembatan, maka katakutanlaj mereka. Lalu dibuka oranglah tabat dan membiarkan kumpei itu berlalu. Tak seorang pun yang tahu bahwa di dalam kumpei itu bersembunyi Uria Mapas.
Ketika melewati Amuntal itu. Uria Mapas masih mampu menahan diri. Tetapi ketika dia sampai Kampung Nagara, ia sudah tak dapat lagi menahan kemarahannya. Dengan menggunakan alu yang dibawanya tadi ia pun melompatlah kepinggir sungai. Uria Mapas terus mengamuk dan membunuh siapa saja yang dijumpainya. Orang banyak berteriak-teriak dan memohon agar Uria Mapas berhenti mengamuk. Jikalau ia tidak berhenti mengamuk, maka akan musnalah penghuni kampung itu. Sementara itu sebagian orang dapat mengenal bahwa yang mengamuk itu adalah Uria Mapas.
Kemudian dikirimlah utusan menghadap raja memberitahukan bencana yang menimpa kampung Nagara itu. Kepada raja mereka menyatakan bagaimana akal untuk menghentikan amukan Uria Mapas itu. Kata raja, "Bujuklah dia agar berhenti mengamuk. Tanyakan padanya apa yang dikehendakinya. Kalau ia menginginkan emas dan perak saya akan membayarnya." Uria Mapas mengatakan, "Saya tidak menginginkan emas atau pun perak." Kalau demikian apakah yang menjadi keinginanmu?", kamu harus mengatakannya. Raja telah mengatakan bahwa apa pun yang kau pinta pasti akan dikabulkannya."
"Saya tidak ingin emas, perak, intan yang bisa diganti. Hanya apabila kamu dapat menggantikan nafas adik saya, baru saya berhenti mengamuk." Orang pun segera menemui raja kembali, dan menyampaikan bahwa Uria Mapas baru akan berhenti mengamuk dan membunuh kalau nafas adiknya telah diganti. Setelah berpikir beberapa lama, akhirnya raja berkata, "Beritahukan kepadanya dan minta agar dia berhenti mengamuk. Saya akan memberikan anak saya. Dia boleh mengambil salah seorang di antaranya yang dikehendakinya asalkan dia berhenti mengamuk."
Maka disampaikanlah pesan itu sebegitu utusan sampai di Nagara. Uria Mapas mendengarkan tawaran raja itu dan melihat sekelilingnya dan mendapatkan kenyataan bahwa banyak orang yang terbunuh oleh amukannya tadi. Setelah berpikir agak lama ia pun menerima tawaran raja itu walaupun sebenarnya jika ia turutkan kata hatinya dia tak akan mau berhenti mengamuk.
Kemudian ia pergi ke sungai membersihkan diri menghapuskan darah yang membeku di ujung tangannya lalu kemudian meneruskan perjalanannya milir ke Kayu Tangi. Sesampainya di Kayu Tangi ia terus menghadap dan bertanya "Apakah benar perkataanmu bahwa kamu akan mengganti adik saya dengan anakmu yang menjadi pilihan saya?"
Raja pun membenarkannya Uria Mapas minta agar semua putra raja itu keluar. Setelah dipanggil oleh raja, datanglah anak-anaknya itu menghadap, terus duduk berbaris. Kemudian raja mempersilahkan Uria Mapas untuk memilih salah satu diantara mereka dan akhirnya pilihan jatuh atas Putri Mayang yang sebenarnya bernama Putri Bungsu. Raja mempersilakan mengambil putri Bungsu itu dan Uria Mapas pun menarik Putri itu ke sudut yang lain. Putri itu pun menangis tidak mau ikut, tetapi raja menegaskan bahwa ia harus ikut karena itu adalah janji sang raja.
Kemudian raja bertanya kepada Uria mapas, "saya ingin menanyakan sesuatu hal kepadamu yaitu apakah kau akan mengambil Putri ini untuk kau jadikan istrimu atau saudaramu?" Uria Mapas menyatakan bahwa ia mengambil Putri itu sebagai pengganti adiknya dan tidak sebagai istrinya karena di kampungnya pun tidak kurang perempuan. Setelah berada dua-tiga hari di Kayu Tangi Uria Mapas pun pulanglah ke kampungnya membawa Putri Mayang dan mereka sampai di Matabu.
Banyak orang berbondong-bondong ingin melihat Putri Mayang karena mereka belum pernah melihat Putri sebelumnya. Putri Mayang pun tinggallah di Janah Newe. Jikalau dia berjalan ada dayang-dayangnya untuk membawa rambutnya, begitu pula jika ia pergi mandi. Kalau dia mandi di sana banyaklah orang-orang Matabu itu mengelus-elus rambutnya. Orang-orang itu berjejer dari Janah Newe sampai ke tepian Matabu.
Setelah perkelahian berhenti Putri Mayang tinggal bersama Uria Rena tetapi tidak kawin. Demikianlah Uria Mapas mendapatkan Putri ini sebagai ganti adiknya yang mati dan Putri Mayang tinggallah di Janah Newe.
Kemudian Putri Mayang pindah ke Sangarasi. Begitu dia pindah ke Sangarasi, disana mandi di tepian di Lubuk Kajang. Rumahnya di tempat kuburan Sangarasi sekarang ini dan merupakan tempat asal mula, Kampung Putri Mayang. Orang-orang pun membuat tepian mandi untuk Putri Mayang di Lubuk Kajang, dan ia pun mandilah disana. Kadang-kadang dia memanggil sesuatu. Menurut cerita yang dipanggilnya itu adalah batu maruei dan batu abeh. Batu itu dianggap bersuami istri dengan Sanggar Jatang. Menurut sahibul hikayat, jikalau batu yang ada dibelakang Abeh di Dayu itu tidak ada, ia pasti ada di Dayu.
Referensi : Berbagai Sumber
loading...
0 Response to "Cerita Putri Mayang"
Post a Comment