Paman Ta Kear-Kear

Alkisah Rakyat ~ Paman Ta Kear-kear mempunyai rumah di lereng sebuah bukit bernama Bukit Pengsong. Di bawah bukit itu mengalir sebuah sungai besar bernama Sungai Babak. Bukit Pengsong ini banyak dihuni kera. Berkelompok-kelompok kera tingal di situ. Tiap kelompok mempunyai pimpinan sebaga kepala kelompok, biasanya yang menjadi pemimpin adalah kera jantan paling kuat. Kera jantan itu disebut Paung.


Paman Ta Kear-kear, mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Kegemaran Paman Ta Kear-kear adalah memancing ikan, setiap hari ia pergi ke sungai atau lubuk untuk memancing ikan. Hasilnya ia jual ke pasar untuk membeli keperluan sehari-hari.

Pada suatu pagi, seperti biasa, pergilah Paman Ta Kear-kear ke lubuk untuk memancing ikan. Baru saja ia duduk dan melempar kail, datanglah seekor kera kecil menghampirinya.

“Assalamualaikum!” sapa si kera

“Alaikum salam!” jawab Paman Ta Kear-kear.

“Sedang apa kau Paman?” tanya si kera

“Sedang memancing ikan, jawab Paman Ta Kear-kear. Apa yang menjadi pancingmu?” “Kawat baja.” “Apa yang menjadi umpanmu?” “Telur semut serangga (semut besar berwarna merah).

“Apa yang menjadi pelampungmu?” “Bulir kulit pohon dadap.” “Apa yang menjadi pancingmu?” “Serat nanas.” “Apa yang menjadi joranmu?” “Bambu cina.” “Apa yang kau pancing?” “Apa saja yang mau makan umpanku, lele, mujair, udang, ikan gabus, pokoknya apa yang menjadi rezekiku hari ini.”

Akan kau apakan hasil pancinganmu itu?” tanya si kera kecil itu lagi.

“Kujual ke pasar untuk membeli beras, garam, dan minyak,” jawab Paman Ta Kear-kear dengan sabar.

“Oh ya,…. oh ya,” ucap si kera cerewet. “Ah permisi dulu,” sambungnya sambil melompat ke semak-semak.

“Ah, cerewet sekali kera bandel itu,” pikir Paman Ta Kear-kear sambil melanjutkan pekerjaannya.

Tidak lama kemudian ketika pancingnya sedang disentak ikan, datanglah seekor kera betina. Kera ini agak besar, dia menyaringai memperhatikan gigi-giginya yang putih lagi runcing.

“Ehm….ehm…. assalamualaikum!” ucapnya, “alaikum salam!” jawab Paman Ta Kear-kear.” Sedang apa kau Paman Ceking?” tanya si kera dengan nada mengejek.

“Sedang memancing,” jawab Paman Ta Kear-kear. “Apa yang menjadi pancingmu?” 

“Sedang memancing ikan, jawab Paman Ta Kear-kear. Apa yang menjadi pancingmu?” “Kawat baja.” “Apa yang menjadi umpanmu?” “Telur semut serangga (semut besar berwarna merah). “Apa yang menjadi pelampungmu?” “Bulir kulit pohon dadap.” “Apa yang menjadi pancingmu?” “Serat nanas.” “Apa yang menjadi joranmu?” “Bambu cina.” “Apa yang kau pancing?” “Apa saja yang mau makan umpanku, lele, mujair, udang, ikan gabus, pokoknya apa yang menjadi rezekiku hari ini.”

Akan kau apakan hasil pancinganmu itu?” tanya si kera kecil itu lagi.

“Kujual ke pasar untuk membeli beras, garam, dan minyak,” jawab Paman Ta Kear-kear dengan sabar.

“Oh ya,…. oh ya,” ucap si kera cerewet. “Ah permisi dulu,” sambungnya sambil melompat ke semak-semak.

“Ah, cerewet sekali kera bandel itu,” pikir Paman Ta Kear-kear sambil menlanjutkan pekerjaannya.

Tidak lama kemudian ketika pancingnya sedang disentak ikan, datanglah seekor kera betina. Kera ini agak besar, dia menyaringai memperhatikan gigi-giginya yang putih lagi runcing.

“Ehm….ehm…. assalamualaikum!” ucapnya, “alaikum salam!” jawab Paman Ta Kear-kear.”Sedang apa kau Paman Ceking?” tanya si kera dengan nada mengejek.

“Sedang memancing,” jawab Paman Ta Kear-kear. “Apa yang menjadi pancingmu?” 

Akan kau apakan hasil pancinganmu itu?” tanya si kera kecil itu lagi.

“Kujual ke pasar untuk membeli beras, garam, dan minyak,” 

“Oh ya,…. oh ya,” kata  si kera betina sambil melompat ke atas pohon ara.

Dengan hati dongkol, Paman Ta Kear-kear memancing kembali. Gara-gara menjawab pertanyaan kera-kera itu, belum seekor pun ikan diperolehnya. Jangankan lele besar, anak udang pun tidak di dapatkannya. Paman Ta Kear-kear memasang umpan, lalu melempar kailnya.

Plung! Bunyinya, menimbulkan gelombang melingkar pada permukaan air lubuk, tiba-tiba ada suara lagi.

“Ehm….ehm…. assalamualaikum!” sapa seekor kera jantan. Si kera bertanya persisi seperti kera-kera sebelumnya. Setiap pertanyaan di jawab Paman Ta kear-kear dengan menahan kesabaran. Sehabis bertanya, si kera jantan lalu permisi. Dia berjalan terpincang-pincang menuju sebuah batu besar. Tidak lama kemudian, datang lagi seekor kera besar. Kali ini yang datang si Paung, pemimpin kelompok kera. Wajahnya ditumbuhi bulu putih, badannya kekar dengan ekor panjang. Dia datang diikuti beberapa ekor kera betina yang menggendong anaknya. Ada pula anak kera yang masih remaja ikut bersamanya. Sangat angkuh gerak-gerik si Paung ini. Sebentar-sebentar dia berhenti berjalan lalu menyeringai menakut-nakuti. Matanya melotot seperti lazimnya tabiat bangsa kera.

“Oho…..selamat pagi Bung!” tegurnya dengan congkak. “Selamat pagi!” jawab paman Ta Kear-kear dengan ketus karena rasa jengkelnya sudah tidak tertahankan lagi. “Sedang apa Bung?” tanya Paung. “Sedang memancing kera!” jawab Paman Ta Kea-kear, geram. “Apa yang menjadi pancingmu?” “Hati kera!” “Apa yang menjadi palempungmu?” “Usus kera!” “Apa yang menjadi joranmu?” “Ekor kera!” “Apa yang kau pancing?” “Kera-kera cerewet!” jawab Paman Ta Kear-kear jengkel.

“Akan kau apakan hasil pancinganmu?” “Aku jual ke pasar untuk menjadi penari topeng monyet (kera)”

“Krah…krah!” si Paung berteriak dengan marah mendapat jawaban seperti itu. Serta merta datanglah beratus-ratus kera besar kecil mengerumuni Paman Ta Kear-kear.

“Nah, mati kau sekarang,” kata si Paung mengancam. “Ayo kawan, keroyok dan gigit dia sampa habis,” perintah  si Paung kepada teman-temannya Paman Ta Kear-kear terdiam. Ia mencari siasat bagaimana cara menghalau kera-kera itu agar tidak mengganggu lagi.

Lalu, ia berkata, “Kalau kalian membunuhku, tidak akan kuberitahukan tempat buah buni yang sedang masak.

“Ah…. Apa katamu, buah buni?” tanya si Paung. “Ya ada satu pohon buni yang sedang berbuah ranum, hanya aku yang tahu tempatnya. Tempat itu sangat kurahasiakan. Jangankan bangsa kra, bangsa manusia pun tak tahu tempat itu!” kata Paman Ta Kear-kear penuh kepastian.

“Buni…buni!” teriak kelompok kera itu. “Ya….ya kau tak jadi kubunuh, tetapi kau harus menunjukkan tempat pohon buni itu!” kata si Paung. “Ah…aku malas berjalan kesana,” jawab Paman Ta Kear-kear. “Biarlah kami dukung kau beramai-ramai,” kata si Paung. “Aku jijik dan takut didukung bangsa kera, “ jawab Paman Ta Kear-kear.

“Kalau begitu, kami pikul kau dengan tandu.” “Aku malu naik tandu dengan pakaian buruk.” “Baiklah, kami akan sediakan pakaian sutra Cina dan songket tenun untukmu.”

“Tapi aku tak senang naik tandu tanpa iringan gamelan,” kata Paman Ta Kear-kear. “Ah…..gampang, gampang soal kecil!” kata si Paung.

Kemudian, Paman Ta Kear-kear diusung dengan tandu menuju pohon buni. “Pak dit-dit-pak-pung!” bunyi gamelan mengiringi rombongan itu. Setelah beberapa lama berjalan, sampailah mereka ke tempat pohon buni dengan buahnya yang lebat dan ranum. Berlarilah para kera saling mendahului. Paman Ta Kear-kear dibanting begitu saja. Mereka berlomba memanjat pohon buni itu, lalu berebut memakan buahnya.

Paman Ta Kear-kear bangun sambil kesakitan, kemudian, ia mengumpulkan jerami dan menimbun jerami itu pada pangkal pohon buni.

“Untuk alas kalau ada yang terjatuh,” jawab Paman Ta Kear-kear. “Ah, bagus sekali, kau benar-benar pintar,” kata para kera.

Pada saat para kera berebut buah buni, diam-diam Paman Ta Kear-kear membakar jerami itu. Api menyala berkobar-kobar menghanguskan pohon buni. Kera-kera yang sedang bersuka ria itu mati terbakar dan jatuh ke api jerami.

Ampun, ampun Paman Ta Kea-kear, teriak si Paung sambil terbatuk-batuk di atas pohon karena terkena asap. Dia memanjat ke puncak pohon buni, tetapi lama-kelamaan pohon buni itu pun ikut tebakar. Si Paung dihanguskan oleh api dan bangkainya jatuh ke atas api di pangkal pohon. Si Paung  pun mati terbakar dan hangus menjadi arang.

Kesimpulan

Cerita ini melukiskan balasan orang yang sering diganggu pihak lain. Oleh karena itu, janganlah suka mengganggu orang yang sedang bekerja. Sesabar-sabarnya orang, kala terus-menerus diganggu, suatu saat akan timbul amarahnya dan ia akan membalasnya.

Sumber: Cerita Rakyat Dari Lombok (Nusa Tenggara Barat) oleh G. Parman dan Slamet Riyadi Ali


loading...
Kamu sedang membaca artikel tentang Paman Ta Kear-Kear Silahkan baca artikel Alkisah Rakyat Tentang Yang lainnya. Kamu boleh menyebar Luaskan atau MengCopy-Paste Artikel ini, Tapi jangan lupa untuk meletakkan Link Paman Ta Kear-Kear Sebagai sumbernya

0 Response to "Paman Ta Kear-Kear"

Post a Comment

Cerita Lainnya