Alkisah Rakyat ~ Di Lumban Holbung, dekat Porsea, memerintah pada abad yang ke-18 seorang raja yang bernama DATU NIANTAN MANGAN. Ia juga disebut RAJA NIANTAN MINUM.
Ia mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama RAJA MANGGELENG. Nama ini didapat saudaranya, karena ia selalu menolak atau menggelengkan kepalanya bila familinya memintanya melamar salah seorang gadis yng ada di kampungnya. Karena ia tidak kawin-kawin, Raja Manggeleng terkandang terlupakan bila ada undangan untuk sesuatu urusan adat. Bila ada pesta adat, terkadang baru sehabis upacara diketahui bahwa ia tidak hadir.
Untuk menghindarkan perhatikan masyarakat padanya, Raja Manggeleng membangun diluar perkampungan sebuah pondok. Disinilah ia tingga.
Raja Manggeleng setiap hari gemar membuat berbagai macam boneka. Ada yang menggambarkan manusia, ada yang menggambarkan binatang. Boneka-boneka ini akhirnya hampir menyerupai apa yang di Jawa disebut "Wayang Wong" dan wayang kulit".
Setiap hari Raja Manggeleng bermain-main dengan bonekanya, sambil menyanyikan lagu-lagu yang lucu dan membuat gerak-gerik yang mengundang gelak dan tawa mereka yang melihatnya.
Pada suatu hari Datu Niantan Mangan bermaksud mengadakan pesta untuk merayakan kelahiran anaknya. Baik untuk acara mufakat maupun untuk upacara pesta, Raja Manggeleng tidak diundang. Ini melanggar adat dan merupakan penghinaan.
Ketika Raja Manggeleng mendengar dari orang lain mengenai rencana pesta itu, ia sangat tersinggung. Begitu tersinggung, sehingga ia gemetar dan menggit-gigit bibirnya menahan marahnya. Maka diputuskannya untuk melakukan tindakan balasan. Siang malam pikirannya dipusatkannya pada boneka-bonekanya. Akhirnya Raja Manggeleng berhasil menguasai benda-benda ciptaannya dengan kekuatan pikirannya. Sekalipun dari jarak jauh, ia sekarang dapat menggerakkan benda-benda mati itu sesuka hatinya.
Pada hari pesta itu diadakan, dari segala penjuru berdatangan para undangan, sehingga pemukiman itu penuh tamu.
Tiba-tiba tersiar kabar bahwa keadaan di pondok Raja Manggeleng ramai sekali karena ada tarian dan nyanyian. Yang aneh, seorangpun tak kelihatan, kecuali boneka-boneka. Raja Manggeleng sendiri bersembunyi di suatu tempat yang sunyi.
Mendengar berita aneh ini berduyun-duyunlah para tamu dan penduduk kampung ke pondok Raja Manggeleng. Akibatnya tempat pesta Raja Niantan Minum kosong melompong.
Pesta besar itu pastilah akan gagal sama sekali, bila keramaian di pondok Raja Manggeleng tidak segera dihentikan. Tapi menghentikan boneka-boneka yang menyanyi dan menari itu tidak seorangpun berani. Cepat-cepat Raja Niantan Minum memerintahkan untk mencari tempat persembunyian adiknya.
Dengan mengerahkan anak buahnya ke segala penjuru, akhirnya yang bersembunyi itu ditemukan juga. Setelah berembuk, Raja Manggeleng bersedia kembali ke pemukiman, sehingga pesta Raja dapat dimulai. Selain dari itu, Raja Manggeleng juga dapat dimulai. Selain dari itu, Raja Manggeleng juga dapat meneruskan kegemarannya dengan boneka-bonekanya tanpa diganggu, bila pesta sudah berakhir.
Raja Manggeleng meninggal tanpa keturunan dan harta, kecuali boneka-boneka kesayangannya. Konon sesudah ia tiada lagi, sewaktu-waktu boneka-boneka itu masih bergerak dan bernyanyi, seolah-olah pancarankemauan penciptanya masih mempengaruhinya dari dalam kubur.
Boneka-boneka itu dijuluki "Raja Deang". Sampai pemerintah kolonial Belanda berkuasa di daerah itu boneka-boneka itu disimpan baik-baik dan dimainkan bila ada pesta. Dalam hal ini yang memegang peranan adalah keturunan-keturunan sebelah perempuan dari Raja Niantan Minum, yaitu marga Sitindaon.
Datu Niantan Mangan beristerikan seorang perempuan dari marga Haean (Hutahean). Namanya NAI PAGARSINONDI. Sesudah ia kawin, perempuan itu juga disebut NAI ANTAN MANGAN.
Suami-isteri terkenal sebagai dukun dan pendekar yang tangguh. Bila salah seorang tidak berada di tempt, persoalan-persoalan pemerintahan dan perdukunan tetap diselesaikan dengan lancar, seolah-olah kedua-duanya ada di tempat.
Dari perkawinan mereka lahir 3 orang putera, yang sulung bernama RAJA NAPOSO, yang kedua PISO MALIM DAN YANG BUNGSU GINJANG MANASO.
Sesudah ketika puteranya lahir,Raja Niantan Minum dan Nai Antan Mangan mengumumkan, bahwa puteranya.Piso Malim akan menjadi seorang pendekar dan dukun besar.
Sejak usia remaja Piso Malim sudah dididik orang tuanya dalan ilmu pengobatan dan perdukunan. Setiap hari ia mendapat latihan jasmani khusus. Akhirnya badannya begitu lenturnya, sehingga dengan membengkokkannya ke belakang ia dengan mudah dapat mengutip sesuatu dari tanah. Otot-ototnya terus diurut. Ia dilatih berlari kencang, melompat tinggi, memanjat dan berenang cepat. Pada umur 10 tahun ia sudah dapat melompati parit selebar 5 meter.
Dengan satu jotosan ia dapat menumbangkan batang pinang. Bila ia berteriak, bunyinya seperti harimau mangaum. Pemandangannya begitu tajam, sehingga bila melihat perempuan hamil, ia sudah dapat menentukan apakah kandungannya laki-laki atau perempuan. Pendek kata, Piso Malim memiliki segala sifat yang mutlak dimiliki seorang pendekar besar.
Putera yang sulung, Raja Naposo, dididik orang tuanya untuk suatu waktu menjadi penguasa pengganti mereka. Ketika ia dewasa, ia kawin dengan seorang gadis yang bukan puteri "Amang Boru" atau saudara ibunya.
Raja Niantan Minum dan isterinya ingin agar puteranya Piso Malim dapat menentukan sendiri lewat ilmu yang dimilikinya, dimana calon isterinya tinggal siapa namanya dan bagaimana tampang gadis itu. Karena itu kepada Piso Malim mereka merahasiakan dimana sanak saudara ibunya tinggal.
Sesudah Piso Malim cukup dewasa untuk berumah tangga sendiri, pada suatu hari ia menemui ibunya. Dicweritakannya bahwa ia bermimpi dan menurut mimpi itu calon mertuanya adalah "amang borunya" yang tinggal di Pansurnapitu. Menurut mimpi itu lagi calon isterinya bernama Boru Haean yang sekarang sudah dewasa.
Mendengar cerita puteranya, Nai Antan Mangan mengatakan bahwa apa yang dimimpikan Piso Malim itu memang benar. Tetapi ia meminta dengan sangat supaya puteranya untuk sementara jangan pergi ke Pansurnapitu. Dekat daerah itu sedang terjadi kerusuhan, lagi pula calon mertuanya sedang berperng melawan raja-raja di sekitarnya.
Namun Piso Malim sudah bulat tekadnya untuk berangkat, sebab ia tidak sabar lagi dan ingin secepatnya melihat calon isterinya.
Karena Raja Niantan Minum dan isterinya tidak berhasil membujuk puteranya untuk mengundurkan keberangkatannya, mereka memeutuskan untuk melengkapi ilmunya.
Piso Malim digembleng lagi.Dengan ilmu yang mereka tam bahkan pemuda itu, sekalipun tidur, tetap dalam keadaan siap siaga, sehingga musuh tidak dapat mendekatinya. Bila ia disentuh dengan suatu benda, benda itu akan terlempar oleh tendangan kakinya atau pukulan tangannya yang keras. Dalam keadaan tidur Piso Malim menyerupai seekor ular kobra yang besar, yang mengintai mangsa yang akan diterkamnya. Sekalipun harimau yang menyerangnya, binatang itu akan terpental puluhan meter serupa kelertang akibat hantaman kaki atau tinjunya sedangkan Piso Malim sendiri tidak menyadari apa yang terjadi.
Sebagai senjata pemuda itu menerima sebuah tombak yang didapat ayahnya dari gurunya dan dinamakan "Hujur Batara Guru." Dari ibunya ia mendapat sebilah pisau yang terkenal sebagai "Piso Salam Debata." Asal-usul pisau itu dirahasiakan ibunya. Konon selama pisau itu dibawanya, pemakaianya kebal terhadap penyakit-penyakit menular. Bila senjata itu diletakkan di atas sehelai daun, daun itu dapat digunakan sebagai perahu. Selain dari itu Piso Malim menerima sebentuk cincin dari ibunya.
Tangkai tombak "Batara Guru" itu begitu kuat, sehingga dapat digunakan sebagai jangkungan. Dengan menggunakannya sebagai ga;lah, sekali lompat saja pemakainya sudah sampai di atap rumah atau di pohon yang tinggi. Pada zaman itu tidaklah mengherankan, bila orang bercerita bahwa Piso Malim memasuki rumah-rumah lewat jendelanya yang terbuka.
Agar cepat tiba di tempat yang ditujunya, Piso Malim menggunakan tombak itu sebagai jangkungan. Dalam perjalanannya ia berhasil mendapat berbagai keterangan mengenai pertempuran-pertemuran yang sedang berkecamuk.
Disuatu tempat terpencil diantara daerah-daerah yang berperang, tinggal seorang penderita penyakit kusta. Makan minumnya tergantung pada kebaikan kerabat dan sahabatnya. Mereka mengantarkannya ke sebuah pancuran, dimana si sakit biasa mandi. Bila mereka berhalangan, ia terpaksa memakan buah-buahan dan sayur-sayuram yang terdapat di sekitar tempat tinggalnya.
Piso Malim heran sekali penderita kusta itu tidak keberatan, ketika ia menanyakan apakah ia boleh menginap di tempatnya. Ketika si sakit memperlihatkan penyakitnya yang menjijikkan,pemuda itu menyatakan bahwa ia tidak takut pada penyakit itu.
Piso Malim dan penderita itu akhirnya bersahabat . Diantara mereka yang bertempur, tidak seorang pun mengetahui bahwa ada seseorang yang setiap hari mengintip gerak-gerik mereka. Dengan saksama dibuatnya skesa-sketsa pepersangan itu, sehingga dari catatannya ia dapat menentukan tem[at-tempatnya mana yang tidak dipertahankan dan mana yang dijaga dengan ketat. Menurut pengamatannya, mereka yang berperang menghindarkan tempat tinggal penderita kusta itu. Karena takut pada penyakit itu barangkali? Dari pengamatannya Piso Malim mengetahui pula, bahwa pasukan-pasukan calon mertuanya dipimpin oleh 7 orang panglima.
Pada suatu malam, selagi tentara pamannya menyerang sebuah kampung, pemuda itu menyelinap kesebuah kampung lain yang juga merupakan musuh, lalu membakarnya. Beberapa barang berharga, diantaranya perhiasan-perhiasa dari emas, diambilnya sebagai barang rampasan. Barang-barang ini kemudian diletakkannya dengan diam-diam di perkemahan panglima-panglima pamannya yang didirikan di luar perkampungan. Pagi-pagi, ketika para panglima menemukan barang-barang itu, mereka menyerahkannya kepada rajanya. Mereka mendustai Raja dengan mengatakan bahwa merekalah yang membakar kampung dari mana barang-barang itu mereka rebut.
Setiap malam Piso Malim keluar menyerang musuh-musuh pamannya dari jurusan yang tidak dipertahankan. Akhirnya semuanya ditaklukkannya. Barang-barang rampasannya selalu diletakkannya di perkemahan para panglima. Dan keesokan harinya mereka selalu melaporkan, bahwa barang-barang itu adalah hasil operasi mereka.
Sesudah keadaan aman, Raja mengumumkan bahwa ia akan mengadakan pesta besar. Ia ingin merayakan kemenangannya dan menghormati ketujuh panglimanya yang berjasa. Sementara itu panglima-panglima itu tidak menganggap perlu untuk menyelidiki, siapa sebenarnya yang membantu mereka secara diam-diam itu.
Sikap mereka dianggap Piso Malim tidak ksatria. Dengan tenang dinantikannya hari pesta besar itu diadakan. Pagi-pagi benar beberapa ekor kerbau dan sapi disembelih untuk pesta itu. Piso Malim menyuruh penderita kusta itu pergi ke pemukiman untuk meminta hati sapi. Penderita itu harus mengatakan bahwa ia dan seorang temannya ingin ikut merayakan kemenangan Raja di gubuknya.
Permintaan si sakit dilaporkan kepada para panglima, tetapi permintaan itu bukannya dikabulkan sebaliknya mereka mengumpulkan 7 keranjang kotoran sapi dan kerbau yang tanpa kasihan mereka guyurkan ke seluruh badan penderita kusta itu, sehingga ia tidak dapat ditandai lagi.Dan dari badannya meruap bau yang tak terkirakan busuknya.
Piso Malim yang dari jauh mendengar temannya menjerit-jerit datang menyongsongnya, lalu membawanya ke pancuran untuk membersihkannya dan mengganti pakaiannya. Untuk membalas sakit hatinya, malam-malam dengan menggunakan tombak ajaibnya Piso Malim menyelinap ke tempat tinggal panglima-panglima kerajaan itu. Mereka sedang tidur nyenyak dalam sebuah ruang, karena menganggap keadaan sudah aman benar.
Piso Malim membawa 7 buah jerat dari rotan yang lubangnya dapat diperbesar dan diperkecil. Jerat itu dipasangnya satu per satu sekeliling leher mereka yang tidur itu. Ujungnya diikatkannya pada sebuah tiang, sedang lubangnya diperkecilnya sehingga persis sama besarnya dengan leher mereka yang tidur. Bila mereka sedikit saja menggerakkan kepalanya atau cepat-cepat bangkit, lubang itu mengecil sehingga ada kemungkinan si korban mati tercekik oleh gerakannya sendiri.
Pagi-pagi benar ketika bangun, dengan kaget sekali panglima-panglima itu melihat keadaannya yang gawat! Mereka serupa udang yang dirangkaiankan pada seutas tali. Seorangpun tidak bisa bergerak untuk mengambil pisau pemotong jeratnya, sebab sedikit saja menggerakkan kepala atau badan, seorang dua atau mereka semua dapat mati terjerat.
Akhirnya tibalah Raja di bilik tidur panglima-panglima itu untuk melepaskan mereka dari keadaannya yang gawat. Namun, karena malu, mereka tidak mengaku bahwa ada orang yang telah mempermainkan mereka. Mereka hanya mengatakan kepada Raja, bahwa pemasangan jerat itu adalah olok-olok mereka sendiri untuk merayakan kemenangan Rajanya.
Beberapa lama kemudian Piso Malim menyelinap lagi ke ruang tidur panglima-panglima itu, ketika mereka sudah tidur nyenyak. Kali ini ia membawa tali ijuk halus yang panjang dan kuat sekali.
Pada zaman itu para pria terkemuka ditindik telinganya dan mereka memakai subang emas, pertanda bahwa mereka termasuk golongan yang berkuasa. Tali ijuk itu disimpulkan Piso Malim berturut-turut pada subang ketujuh panglima, sedang ujungnya diikatkannya kuat-kuat pada sebuah tiang. Bila panglima-panglima itu sedikit saja menggerakkan kepalanya, mereka akan kesakitan sekali oleh tarikan pada lubang cuping telinganya. Maka keesokan harinya datanglah Raja sekali lagi untuk melepaskan para panglimanya dari keadaan mereka yang lucu dan gawat!
Sekalipun mereka sudah dua kali "dipermainkan," ketujuh panglima sedikitpun tidak berusaha untuk menyelidiki, siapa sebenarnya yang telah mengganggu mereka. Mungkin mereka malu, bahwa sebsgai panglima tentara kerajaan mereka tidak cukup waspada, sehingga mendapat perlakuan yang menghina itu.
Pada suatu malam Piso Malim memainkan "Sordam"nya (sejenis suling bambu yang bunyinya serupa klarinet) di suatu tempat dekat tempat tinggal panglima-panglima itu. Tertarik oleh bunyi musik yang merdu, yang seolah-olah menghimbau itu, Siboru Haean minta diantarkan ke tempat pemain suling itu. Ia ingin melihatnya dan berkenalan dengan dia. Namun yang ditemukannya ialah para panglima ayahnya. Semuanya mengaku setiap hari memainkan "sordam." Tetapi ketika gadis itu meminta salah seorang memainkan sulingnya di depan raja, bunyi dan iramanya ternyata jauh berbeda dengan musik Piso Malim. Daya tariknya tidak ada sama sekali seperti yang terdapat pada tiupan Piso Malim.
Setibanya di rumah, gadis itu memberitahukan kepada orang tuanya, bahwa ia hanya mau kawin dengan pemain suling yang tidak dikenal itu, siapapun orangnya. Ia tidak mengetahui bahwa ayahnya sudah menerima pinangan dan emas kaein dari seorang juara dari Tambunan yang bernama JUARA DUNDANG JUARA PANE. Dan bahwa upacara perkawinannya akan dilangsungkan tidak lama lagi.
Karena ingin tahu, siapa yang telah menggoda puterinya dengan tiupan sulingnya itu, Raja memerintahkan kepada panglima-panglimanya untuk menangkapnya dengan mengadakan pengintaian ditempat-tempat yang strategis. Bila tertangkap orang itu harus mereka bawa hidup-hidup ke hadapan Raja.
Usaha ini berhasil, sebab Piso Malim membiarkan dirinya tertangkap. Ia dibawa ke hadapan Raja. Raja langsung menandai pemuda tampan itu sebagai putera adiknya dan calon menantunya yang sebenarnya, karena memakai cincin, membawa pisau dan tombak yang diberi orang tuanya.
Dengan bangga Raja memperkenalkan kemanakannya kepada para panglima dan pembesar-pembesarnya. Kemudian Piso Malim mengungkapkan apa yang telah dilakukannya dengan panglima-panglima pamannya selagi mereka tidur. Diceritakannya pula, bahwa bukanlah mereka yang mengalahkan musuh-musuh Raja dan merampas harta benda mereka, tapi dia sendiri.
Mendengar pengakuan Piso Malim Raja langsung memecat ketujuh panglimanya karena telah mendustainya. Sebagai tambahan hukuman Piso Malim boleh menunggang mereka sebagai kuda, seorang demi seorang sampai ia bosan. Ketika Juara Dundang Juara Pane mendengar bahwa Piso Malim sudah sampai di Pansurnapitu, ia berangkat ke kampung itu disertai beberapa orang kerabatnya. Ia khawatir bahwa orang tua Siboru Haean akan berubah pikiran dan mengawinkan puterinya dengan kemenakannya, karena itu ia ingin mempercepat perkawinannya.
Tetapi begitu Juara Dundang Juara Pane, dan rombongan tiba di Pansurnapitu, Piso Malim menghilang bersama Siboru Hean. Ia maklum maksud kedatangan rombongan dari Tambunan itu. Tidak terkatakan marahnya Juara Dundang Juara Pane ketika menemukan calon isterinya sudah dilarikan Piso Malim. Dikerahkannya para anak buahnya yang paling tangkas, namun berkat keampuhan tombaknya tidak seorangpun dapat mengejar Piso Malim.
Hati Juara Dundang Juara Pane panas sekali.Ia bersumpah akan berjuang terus sampai Siboru Haean dapat diperisterinya.Ia bertekad membunuh pemuda yang telah menggagalkan rencananya. Ia menolak menerima kembali emas kawin yang sudah diserahkannya kepada ayah tunangannya. Namun ia tidak berani memasuki Lumban Holbung, kampung Piso Malim, karena di sekitarnya banyak terjadi hal-hal yang aneh. Lagi pula ia ngeri menghadapi Raja Niantan Minum dan Niantan Mangan, dukun-dukun besar itu.
Untuk sementara ia menjauh dari Lumban Holbung. Ia menantikan kesempatan yang baik untuk menculik Siboru Haean. Kesempatan ini akan terbuka, bila perempuan muda itu untuk pertama kali pergi ke "onan" (pasar) untuk berbelanja. Sekalipun ia akan disertai oleh beberapa orang teman atau anggota keluarga yang perempuan, sebagaimana lazimnya bila seorang perempuan yang baru kawin pergi ke pasar.
Ketika telah diketahuinya harinya Siboru Haean pergi ke pasar, pada hari itu Juara Dundang Juara Pane menyuruh beberapa orang anak buahnya membawa puluhan ekor ayam ke pasar. Mereka menyamar sebagai pedagang ayam. Sedang ramai-ramainya orang berbelanja, ayam-ayam itu mereka lapskan sambil berteriak-teriak dengan heboh. Siapa yang mendapat ayam-ayam itu, boleh menjadi pemiliknya, begitu diteriakkannya. Tentu saja keadaan pasar kacau-balau karena sibuknya orang memburu ayam.
Dalam kekacauan ini JUara Dundang Juara Pane muncul dengan tiba-tiba. Ditangkapnya Siboru Haean, lalu dilarikannya naik kuda yang sudah dipersiapkannya. Gadis itu terus melawan dan berteriak-teriak, tapi sia-sia. Peristiwa penculikan isterinya disampaikan kepada Piso Malim, tetapi terlambat. Sang penculik baru saja menyeberangi Sungai Porsea, ketika Piso Malim tiba di situ.
Dengan meletakkan pisau ajaibnya di atas sehelai daun pisang pemuda itu dengan cepat dapat menyeberang. Kemudian dipergunakannya tombaknya sebagai jangkungan, sehingga ia cepat tiba di Tambunan, kampung Juara Dundang Juara Pane. Lama ia bersembunyi di luar kampung itu sambil meninjau keadaan. Dari beberapa orang penduduk didengarnya, bahwa Juara Dundang Juara Pane mengurung isterinya dalam sebuah rumah yang dijaga ketat. Sang penculik khawatir Siboru Haean akan direbut suaminya kembali.
Sesudah mengetahui dirumah mana isterinya ditahan, berkat tombak ajaibnya Piso Malim berhasil masuk ke rumah itu malalui atap yang dijebplnya. Namun ia tidak dapat melarikannya lewat lobang atap itu. Tidak berapa lama kemudian Juara Dundang Juara Pane mengetahui bahwa musuhnya sering mengubungi isterinya, bahkan mendapat makanan dan minuman dari dia. Lalu disuruhnya mencampur nasi yang dibawakan kepada tahanannya dengan semacam obat tidur. Ia mengharapkan suami isteri akan memakainya, sehingga dapat memergoki musuhnya selagi ia tidur nyenyak.
Tetapi sesudah memakan nasi yang diberi obat itu, hanya Siboru Haean yang tertidur pulas. Piso Malim sendiri tetap jaga berkat keampuhan pisaunya. Pisau itu sekarang diletakkannya di tangan isterinya, Siboru Haean tersentak bangun, seolah-olah diciumkan bau amoniak. Anak buah Juara Dundang Juara Pane mengepung rumah tawanan itu. Beberapa orang menyerbu kedalam kamar Siboru Haean. tetapi dengan takjub mereka melihat bahwa perempuan muda itu tidak terpengaruh oleh obat tidur itu.
Siboru Haean masih sempat menyembunyikan pisau tadi di dalam sanggulnya, sebab Piso Malim dalam sekejap mata sudah menghilang ke atas atap rumah. Ia kelihatan oleh pengepung-pengepungnya yang di luar. Mereka menembakinya dengan membabi buta. tetapi Piso Malim dengan sigap pindah dari atap rumah yang satu ke atap yang lain, sehingga selamat.
Sekarang anak buah Juara Dundang Juara Pane tukar siasat. Mereka menembak ke semua atap rumah sekaligus supaya tidak ada tempat Piso Malim melarikan diri. Piso Malim malayang ke sebuah rumpun bambu yang tinggi. Tetapi malang, badannya terlampau berat untuk batang bambu yang didekapnya. Bambu itu merunduk dan Piso Malim jatuh ke tanah. Serentak anak buah Juara Dundang Juara Pane menyergapnya. Maka terjadilah perkelahian yang hebat, satu lawan puluhan. beberapa lawan Piso Malim terpental sambil meraung kesakitan oleh tendangan atau pukulannya. Dan ini berulang berkali-kali dengan mereka yang mengerubutinya. Tetapi lawan Piso Malim terlampau banyak. Akhirnya ia kecapekan dan tertangkap. Tanpa ampun lawan-lawannya memukuli, dan menikam dan mencencang-cencangnya sebagaimana yang diperintahkan Juara Dundang Juara Pane.
Melihat suaminya dikeroyok Siboru Haean cepat turun ke bawah. Ia duduk bersila di samping mayat suaminya dikelilingi pembunuh-pembunuhnya. Sambil merentangkan tangannya ia bermohon. "Raja Juara Dundang Juara Pane dan saudara-saudara sekalian, kalian sudah memenangkan pertarungan satu lawan seratus ini. Almarhum ialah putera bibiku dan seorang anak Raja. Aku bermohon supaya mayatnya dibungkus dalam sehelai tikar yang baru dan dibawa oleh seorang pedagang yang jujur ke Lumban Holbung supaya dapat dikebumikan secara adat. "(Pedagang-pedagang yang jujur dinamakan dahulu kala, "partigatigatorus." Mereka memakai tanda-tanda tertentu dan termasuk orang-orang kepercayaan rakyat).
Sesudah berembuk sebentar, Juara Dundang Juara Pane mengabulkan permintaan Siboru Haean. Mereka menemukan seorang pedagang yang jujur dari marga Sitorus yang bersedia mengantarkan mayat itu ke kampung asalnya. Sebelum mayat itu dibawa, Siboru Haean berhasil dengan diam-diam membisikkan sesuatu kepada pedagang itu. Ia memintanya menyampaikan kepada Raja Niantan Minum agar penguburan suaminya diundurkan sampai ia isterinya tiba.
Tidak lama sesudah pedagang itu berangkat membawa mayat suaminya, Siboru Haean yang masih menjadi tawaran, melarikan diri dari sebuah pancuran, dimana ia katanya hendak manadi. Ia menyamar sebagai laki-laki dengan memakai topi dan pakaian pria. Dengan sekali tampar buah dadanya hilang, sehingga bentuk badannya serupa dengan bentuk badan laki-laki. Berkat penyamaran ini Siboru Haean dapat mengalabui para pengejarnya. Mereka tidak menandainya ketika meraka brtemu dengan dia. Mereka bahkan menanyakan, apakah ia melihat Siboru Haean. Dengan perasaan geli dalam hatinya dijawabnya, bahwa ia ada melihat gadis itu bersembunyi di dalam hutan dekat kampung.
Siboru Haean menyeberangi Sungai Porsea dengan selamat dan pergi ,engunjungi tempat keramat yang disebut "Sombaoan Sidorpi." Letaknya kira-kira 300 meter di hilir jembatan Porsea yang sekarang. Pada tengah malam diterimanya disini sebuah tabung kecil berisi ramuan ajaib. Ramuan itu konon dapat menghidupkan kembali manusia dan binatang yang sudah mati. Dalam bahasa Batak ramuan atau penawar itu dinamakan "tawar pangabang-abang, tawar pengubung-ubung."
Sebelum sampai di Lumban Holbung Siboru Haean mengubah dirinya kembali menjadi laki-laki. Didapatinya suaminya terbujur ditengah-tengah para kerabat dan sahabatnya. Mereka meratapinya dengan sedih. Keampuhan ramuan yang dibawa Siboru Haean terbukti, ketika digoskkannya pada mayat suaminya; Piso Malim tiba-tiba hidup kembali dalam keadaan utuh, sehingga mereka yang menyaksikannya gempar. Sesudah Siboru Haean berhasil melarikan diri dari tahanannya, Juara Dunfang Juara Pane tidak berhasrat lagimuntuk mengawininya. Ia tahu bahwa perempuan itu manusia luar biasa yang tidak dapat ditundukkannya. Namun dengan Piso Malim, yang diketahuinya sudah hidup kembali, ia ingin sekali lagi mengadu tenaga.
Sesudah dihidupkan kembali oleh isterinya, Piso Malim mempunyai satu kelemahan. Ia tidak tahan menyentuh atau terkena getah tumbuh-tumbuhan. Beberapa kali ia ia jatuh pingsan akibat sentuhan terlarang itu, sehingga harus dibangunkan lagi oleh isterinya dengan ramuannya. Pada waktu itu penduduk Palipi di pulau Samosir yang satu marga dengan Piso Malim, terlibat dalam peperangan yang terjadi antara beberapa marga di daerah itu. Mereka minta bantuan Piso Malim yang mereka kenal sebagai pendekar ulung.
Memenuhi permintaan itu Piso Malim segera berangkat ke Samosir. Setibanya di Palipi didengarnya, bahwa lawan yang dihadapinya ialah musuh lamanya Juara Dundang Juara Pane. Karena masing-masing pihak tidak mau berdamai, peperangan berlangsung dengan sengit selama bertahun-tahun. Tentara Piso Malim ternyata tidak dapat mengimbangi pasukan musuh yang jauh lebih besar. Akhirnya pertempuran dilanjutkan Piso Malim sendiri hanya dibantu oleh beberapa orang pengikutnya yang setia.
Sekalipun Juara Dundang Juara Pane berbulan-bulan mengepung musuhnya, ia tidak berhasil menewaskannya Piso Malim selalu berhasil mengelakkan tembakan-tembakn yang menghujaninya berkat kesaktian tombaknya. Semua jalan keluar dari tempat pertahanannya sudah diduduki musuh. Ia benar-benar terkepung. Kesulitannya yang paling besar ialah soal makanan. Dalam keadaan terkepung ini tidak ada yang berani membawakan makanan kepadanya, sehingga keadaannya bertambah gawat. Sebagai usaha tersakhir diutusnya seorang anak buahnya untuk meminta bantuan kepada isterinya. Tetapi karena kepungan yang ketat itu, juga utusan ini tidak dapat menyeberangi Danau Toba, ia terpaksa kembali tanpa hasil.
Melihat keadaannya yang gawat, tahulah Piso Malim bahwa riwayatnya segera akan tamat. Menyerah secara suka rela jauh panggang dari api, sebab ini berarti bahwa tombak saktinya akan jatuh ke tangan musuhnya. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya Piso Malim mematahkan tombak ampuhnya. Pada saat itu pula, tanpa tombak pelindungnya, peluru musuh tepat mengenainya sehingga ia tewas. Ia terbaring sebagai pahlawan perkasa yang pantang menyerah, di samping potongan tombak yang begitu sering menyelamatkannya.
Mengenai tempat di mana Piso Malim dikuburkan terdapat beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa tempat istirahatnya terkhir ialah Palipi. Yang lain mengatakan, bahwa mayat pahlawan itu belakangan dipindahkan ke kampungnya Lumban Holbung. Mereka yang menganut pendapt kedua menambahkan bahwa ketika Siboru Haean mau menghidupkan suaminya kembali, tabung ramuan yang dipegangnya direbut kembali, tabung ramuan yang dipegangnya direbut dan dibuangkan oleh salah seorang saudara Piso Malim.
Tambahan kisah mengenai Piso Malim ialah, bahwa sewaktu berada di Samosir ia konon beristeri lagi. Pada tahun 1932 tiba di Lumban Holbung seorang yang bernama Aman Japaris dari Samosir untuk menetap di kampung itu. Ia diakui sebagai keturunan langsung dari pahlawan lagendaris Piso Malim.
Raja Niantan Minum dan Nai Antan Mangan berkubur berdampingan di Lumban Holbung. Sesudah mereka dikuburkan, di pusaranya timbul sebuah mata air. Para penduduk Lumban Holbung menganggap air yang memancar itu berkhasiat mengokohkan tali perkawinan atau menghindarkan percerian. Karena itu seorang perempuan yang baru kawin biasa dibawa ke mata air itu untuk meminum airnya, sebelum ikut ke rumah suaminya. Bila perempuan itu kemudian bercerai juga, maka bila ia kawin lagi, ia tidak akan mendapat anak,demikian kepercayaan penduduk kampung.
Mata air itu disebut "Aek Taguru" dan airnya konon juga berkhasiat sebagai tangkal menghadapi wabah penyakit. Sesudah suaminya meninggal, Siboru Haean beberapa kali brusaha untuk bersuami lagi, tetapu gagal, sebab semua pemuda takut padanya. Ia tinggal sendirian dan setiap hari ia bertenun kain. Ketika mencapai umur setengah baya, pada suatu hari dimintanya semua laki-laki, tua dan muda, berkumpul di rumahnya. Lalu ia berkata.
"Mulai sekarang tidak seorang pun janda di kampung ini boleh kawin lagi. Bila larangan ini dilanggar, suami isteri yang bersangkutan akan cepat menemui ajalnya." Serentak ditekankannya tapak tangannya yang dilumuri cat pada salah atu balok rumahnya. Konon, hingga perintah Belanda datang menguasai daerah itu, bekas tapak tangan Siboru Haean masih kelihatan. Rumahnya belakangan dinamakan "Sopo Silintong, Sopo Andang-andang, Sopo Undung-undung."
Karena takut pada ancaman Siboru Haean, sejak ratusan tahun para lelaki di kampung itu tidak mau kawin dengan seorang janda. Selain daripada Aman Japaris yang disebutkan tadi, keturunan-keturunan Raja Niantan Minum adalah kepala-kepala kampung Lumban Holbung dan Janjimatogu yang bermarga Doloksaribu.
Sumber : Lima Legenda Sumatera Utara oleh Is. Daulay
loading...
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny